Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah3 | Junait
A.
Latar Belakang
B.
Pengertian
C.
Tujuan
D.
Alasan Diterapkannya
MPMBS
A.
Pengertian
B.
Pola Bary Manajemen
Pendidikan Masa depan
C.
Konsep Dasar MPMBS
D.
Karakteristik MPMBS
1. Output yang diharapkan
2. Proses
E.
Fungsi-Fungsi yang
Didesentralisasakan ke
Sekolah
1. Pengelolaan Proses
Belajar Mengajar
2. Perencanaan dan Evaluasi
3. Pengelolaan Kurikulum
4. Pengelolaan Ketenagaan
5. Pengelolaan Fasilitas
6. Pengelolaan Keuangan
7. Pelayanan Siswa
8. Hubungan Sekolah
Masyarakat
9. Pengelolaan Iklim
Sekolah
F.
Prakondisi MPMBS
BAB
III
KONSEP
PELAKSANAAN
A.
Rasional dan Tujuan
B.
Tahap-tahap Pelaksanaan
1. Melakukan Sosialisasi
2. Merumuskan Visi, Misi,
Tujuan, dan Sasaran
Sekolah
3. Mengidentifikasi Fungsi-
Fungsi yang Diperlukan
untuk Mencapai Sasaran
4. Melakukan Analisis
SWOT.
5. Alternatif Langkah Peme-
cahan Persoalan.
6. Menyusun Rencana Pe-
ningkatan Mutu.
7. Melaksanakan Pening-
katan Mutu.
8. Melakukan Monitoring
dan Evaluasi Pelaksana-
an.
9. Merumuskan Sasaran
Mutu Baru.
C.
Tugas dan Fungsi Jajaran
Birokrasi.
1. Direktorat PLP
2. Dinas Pendidikan Propin-
si.
3. Dinas Pendidikan Kabu-
paten/Kota.
4. Sekolah.
A.
Rasional dan Tujuan
B.
Komponen-komponen
MPMBS yang Dimonitor dan
Dievaluasi
C.
Jenis Monitoring dan Evalu-
asi
|
BAB
III
KONSEP
PELAKSANAAN
A. Rasional dan Tujuan
Konsep
Manajemen Peningkatan Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana
telah diuraikan diatas esensinya adalah peningkatan
otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan
peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah.
Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah
sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan
adanya keberbagian cara melaksanakan (MPMBS) dan
bukan lagi menggunakan pendekaan “nomotetik” (cara
melaksanakan MPMBS yang cenderung seragam/konformitas untuk
semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya,
tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk
diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal perlu
diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan
mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan
bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan
melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Paling tidak, proses
menuju MPMBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut :
Pertama,
perlu perubahan peraturan perundang-undangan/ketentuan-ketentuan
bidang pendidikan yang ada saat ini. Peraturan
perundang-undangan yang ada sekarang perlu disesuaikan, dari
yang semula menempatkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi
semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi
sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit
utama.
Kedua,
kebiasaan (routines) berperilaku unsur-unsur sekolah perlu
disesuaikan, karena MPMBS menuntut kebisaan-kebiasaan
berperilaku yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis,
koordinatif, integratif, sinkronistis, kooperatif, luwes, dan
professional.
Ketiga,
peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang
diputuskan oleh birokrasi) perlu disesuaikan menjadi sekolah
yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran
ini merupakan konsekwensi dari perubahan peraturan
perundang-undangan bidang pendidikan, baik undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dsb.
Keempat,
hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antara sekolah
dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan
Propinsi perlu disesuaikan. Karena itu struktur organisasi
pendidikan yang ada saat ini perlu ditata kembali dan kemudian
dianalisis hubungan antara unsur/pihak untuk menentukan sifat
hubungan (komando, koordinatif, dan fasilitatif.
Dilandasi
oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai
pelaksanaannya tersebut, maka berikut ini akan disampaikan
beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang sifatnya masih
“umum” dan “luwes”. Sekolah dapat melakukan
penyesuaian-penyesuaian pentahapan berikut sesuai dengan
kondisi sekolah masing-masing.
Tahap-tahap
pelaksnaan MPMBS berikut ditulis dengan tujuan untuk :
1.
Membantu unsur-unsur penyelenggara pendidikan, terutama
sekolah, agar penyelenggara MPMBS dapat dilaksankan secara
efektif dan efesien.
2.
Membantu sekolah-sekolah yang menerapkan MPMBS dalam
menyusun rencana dan program-programnya untuk mendapatkan dukungan
biaya dari pihak-pihak yang kompeten, dan
3.
Melakukan uji coba tentang pelaksanaan konsep MPMBS,
sehingga diharapkan diperoleh masukan-masukan yang konstruktif
bagi penyempurnaan konsep dan pelaksanaan MPMBS di masa yang
akan datang.
B. Tahap-tahap Pelaksanaan
1.
Melakukan Sosialisasi
Sekolah
merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya
hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif
dari semua unsur sekolah. Dengan cara berfikir semacam ini,
maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MPMBS “apa”,
“magapa” dan “bagaimana” MPMBS diselenggarakan. Oleh
karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah
adalah mensosialisasikan konsep MPMBS kepada setiap unsur
sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan,
orang tua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai
mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja,
simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam
melakukan sosialisasi MPMBS, yang penting dilakukan oleh
kepala sekolah adalah “membaca” dan “membentuk” budaya
MPMBS di sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar
kegiatan sosialisasi/pembudayaan MPMBS dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
a.
Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang
ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya
dengan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diharapkan
dapat mendukung penyelenggaraan MPMBS.
b.
Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang
perlu diperkuat dan perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya
dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan
MPMBS.
c.
Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua
unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan sistem,
budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar.
d.
Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk
mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan
program-program penyelenggaraan MPMBS.
e.
Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap
perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta
jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari manajemen berbasis
pusat menjadi MPMBS.
f.
Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya
yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk
mendukung visi, misi, sasaran, rencana dan program-program
penyelenggaraan MPMBS dan doronglah sistem, budaya, dan
sumberdaya manusia yang mendukung penerangan MPMBS serta
hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam
penerapan MPMBS, dan
g.
Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai
dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan
program-program MPMBS.
2.
Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan
Sasaran Sekolah
(tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah
yang melaksanakan MPMBS harus membuat rencana pengembangan
sekolah. Rencana pengembangan sekolah pada umumnya mencakup
perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan strategi
pelaksanaannya. Sedangkan rencana kerja tahunan sekolah pada
umumnya meliputi pengindentifikasian sasaran sekolah (tujuan
situasional sekolah), pemilihan fungsi-fungsi sekolah yang
diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasi,
analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan
penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah. Berikut
diuraikan secara singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan
dan sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah).
a.
Visi
Setiap
sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi
sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu
perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah
pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi
adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar
sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup
dan perkembangannya.
Gambaran
tersebut tentunya harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah
peraturan pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional
sesuai jenjang dan jenis sekolahnya dan juga sesuai dengan
profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata lain, visi
sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan
nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat
yang dilayani. Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil
sekolah khususnya potensi dan kebutuhan masyarakat yang
dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu
dimungkinkan sekolah memiliki visi yang tidak sma dengan
sekolah lain, asalkan tidak keluar dari koridor nasional yaitu
tujuan pendidikan nasional.
Sebagai
contoh, sebuah sekolah yang terletak di perkotaan, mayorotas
siswanya berasal dari keluarga mampu dan hampir seluruh
lulusannya ingin nelanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,
merumuskan visinya sebagai berikut:
UNGGUL
DALAM PRESTASI
BERDASARKAN
IMTAQ
Sementara
itu sekolah yang terletak di daerah pedesaan yang umumnya
tidak lebih maju dari pada sekolah di perkotaan, merumuskan
visinya sebagai berikut :
TERDIDIK
BERDASARKAN IMTAQ
Kedua
visi tersebut sama-sama benar sepanjang masih dalam koridor
tujuan pendidikan nasional. Tentu saja, perumusan visi harus
disesuaikan dengan tujuan
dari setiap jenjang jenis sekolah sebagaimana
dituliskan dalam peraturan pemerintah.
Visi
yang pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filiosofis
seperti contoh tersebut, seringkali memiliki aneka tafsir.
Setiap orang menafsirkan secara berbeda-beda, sehingga dapat
menimbulkan perselisihan dalamimplementasinya. Bahkan jika
teerjadi pergantian kepala sekolah yang baru
tidak
jarang memberi tafsir yang berbeda dengan kepala
sekolah sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan indikator
sebagai penjelasan apa yang dimaksud oleh visi
tersebut.
Sebagai contoh, visi yang dituliskan
UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA,
diberi indikator sebagai berikut :
b.
Misi
Misi
adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut.
Karena visi harus mengakomodasi semua semua kelompok
kepentingan yang
terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai
tindakan untuk memnuhi kepentingan masing-masing kelompok yang
terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus
mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok
kepenting yang terkait dengaan sekolah. Dengan kata lain, misi
adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan
dalam visi dengan berbagai indikatornya.
Misalnya,
sebuah sekolah yang memiliki visi UNGGUL DALAM PRESTASI
BERDASARKAN IMTAQ merumuskan misinya sebagai berikut :
c.
Tujuan
Bertolak
dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan.
Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh
sekolah yang bersangkutan dan “kapan’ tujuan akan dicapai.
Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang,
maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan
demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah
menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika
visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh
(ideal), maka
tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin
belum se ideal visi atau belum selengkap visi. Dengan kata
lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi. Sebagai
contoh sebuah sekolah telah mendapatkan visi dengan indikator
sebanyak 9 aspek, tetapi,
tujuannya sampai tahun 2004 baru mencakup 5 aspek
sebagai berikut :
d.
Sasaran/Tujuan Situasional.
Setelah
tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka
langkah selanjutnya adalah memetapkan sasaran/target/tujuan
situasional/tujuan jangka pendek.
Sasaran adalah penjabaran yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai
oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan
tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan,
baik peningkatan kualitas,
efektifitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah satu
atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif,
maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya,
dan disertai indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran
bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana
dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas
tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
1)
Mengindentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada
tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah
yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang
dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidak
sesuaian) antara output sekolah saat ini dan output
sekolah yang diharapkan di masa yang akan datang (tujuan
sekolah). Besar kecilnya ketidak sesuaian antara output
sekolah saat ini (kenyataan) dengan ouput sekolah yang
diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang memberitahukan
besar kecilnya tantangan kualitas; misalnya, jika dalam tiga
tahun ke depan dicanangkan tujuan untuk mencapai GSA sebesar
+2, sementara saat ini baru mencapai +0,4, berarti tantangan
nyata yang dihadapi sekolah adalah (+2)-(+04) = (+1,6).
Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah remaja sekolah saat
ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan diharapkan akan
meningkat menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan
adalah 1-4 = -3 (kurang 3). Contoh tantangan efektifitas; dari
300 siswa yang ikut EBTANAS, yang lulus 270 siswa, sehingga
tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari
30 siswa dibagai 300 siswa.
Output
sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena
tersedia datanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya
mengindetifikasi output sekolah yang diharapkan,
sehingga output yang diharapkan tersebut cukup
realistis? Caranya, perlu dilakukan analisis prakiraan
(forecasting) lengkap dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan
kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di masa depan.
Pada
umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output
sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat yaitu kualitas,
produktivitas, efektivitas, dan efesiensi.
Kualitas
adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa, yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan
yang ditentukan atau tersirat. Dalam konteks pendidikan,
kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah
yang bersifat akademik (misal; NEM dan LKIR) dan non akademik
(misal; olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah
dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses
persekolahan.
Produktivitas
adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input
sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah
dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah,
misalnya jumlah guru, model sekolah, bahan, dan energi.
Kuantitas output sekolah, misalnya; jumlah siswa yang
lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas, misalnya,
jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya
dari pada tahun lalu dengan input yang sama (jumlah
guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan bahwa tahun ini
sekolah tersebut lebih produktif dara pada tahun sebelumnya.
Efektifitas
adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas,
kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan,
efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang
diharapkan. Misalnya, NEM idealnya berjumlah 60, namun NEM
yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45 :
60 = 75%.
Efisiensi
dapat diklarifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal
dan efesiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk
kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian
prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan
untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efesiensi
internal biasanya diukur dengan biaya – efektivitas.
Setiap penilaian biaya-efektifitas selalu memerlukan dua hal,
yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input)
dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama
belajar, angka putus ekolah). Misanya jika dengan biya yang
sama, tetapi NEM tahun ini lebih baik dari pada NEM tahun lalu,
maka dapat dikatan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan
lebih efisien secara internal dari pada tahun lalu. Efesiensi
eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan
untuk menghasilkan tamatan dan keuntungn kumulatif
(individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat
setelah pada kurun waktu yang panjang di luar sekolah.
Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur
efesiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah SLTP 1 dan SLTP 2
dengan menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya. Akan
tetapi, lulusan SLTP 1 mendapat upah yang lebih besar dari
pada lulusan SLTP 2 setelah mereka bekerja. Oleh karena itu
dapat diktakan bahwa SLTP 1 lebih efisien secara eksternal
dari pada SLTP 2.
2).
Merumuskan Sasaran (Tujuan situasional)
Berdasarkan
tantangan nyata yang dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah
sasaran/tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah.
Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata
yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut
harus tetap mengacu pada visi, misi dan tujuan sekolah
merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan
sasaran sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran
sekolah yang akan dicapai, setiap sekolah harus memiliki visi,
misi dan tujuan sekolah.
Sasaran
sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif pendek, misalnya
untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya
untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai
tujuan jangka menegah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika
menentukan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh-
sungguh. Jika tujuan yang telah dicanangkan mencakup 5
aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama, atau
hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.
Sebagai contoh, sebuah sekolah memutuskan ingin menggarap
kelima aspek yang tercantum dalam tujuan, meskipun baru pada
awal. Oleh karena itu, sekolah tersebut menetapkan sasaran
untuk tahun ajaran 2000/2001 sebagai berikut :
3.
Mengindentifikasi Fungsi-fungsi yang Diperlukan untuk
Mencapai
Sasaran.
Setelah
sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah
menindentifikasi fungs-fungsi yang perlu dilibatkan untuk
mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi
proses belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya
yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan
evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan
kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi
hubungan sekolah masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
4.
Melakukan Analisis SWOT
Setelah
fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran
diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan
tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui
analisis SWOT (Strength, Weakness, opportunity, and Threat)
Analisis
SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan
setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan
untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui
tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai
melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor
dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria
kesiapan faktor adalah faktor yang memenuhi kriteria/standar
untuk mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang
memenuhi kriteria/standar ini ditemukan melalui
perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang
bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung
tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan
masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka
analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam
setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun
eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pada setiap
fungsi yang berada di dalam kewenangan sekolah. Sedangkan yang
dimaksud faktor eksternal adalah faktor pada setiap fungsi
yang berada di luar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi
proses
belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya
perilaku mengajar guru (faktor internal) dan satu lainnya
kondisi lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal).
Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal karena
sekiranya perilaku tersebut perlu diubah, masih dalam
kewenagan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial
masyarakat digolongkan sebagai faktor ekternal karena
sekiranya kondisi tersebut ingin diubah, diluar kewenangan
sekolah.
Tingkat
kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria
sebagai; kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal;
peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang
tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi
ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna; kelemahan, bagi faktor
yang tergolong internal; ancaman, bagi faktor yang tergolong
eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang
memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.
Untuk lebih jelasnya, lihat Tabel 2 : Analisis SWOT/Tingkat
Kesiapan Fungsi dan Faktor-faktornya berikut :
Tabel
2 : Analisis SWOT/Tingkat Kesiapan Fungsi dan Faktor-faktornya
5.
Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan
Dari
hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih
langkah- langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni
tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap
menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang
sama artinya dengan ada ketidak siapan fungsi, maka sasaran
yang telah ditetapkan tidak
akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu
dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidak siapan
menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya
disebut langkah-langkah
pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan
mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi
kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya
satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
6.
Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan
langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama
dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang, beserta program-programnya
untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu
memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan
bagi pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas
untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Rencana
yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang
aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang
harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan
dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan
untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh
dukungan dari pemerintah maupun
dari orang tua, baik dukungan pemikiran, moral,
material maupun finansial untuk melaksanakan rencana
peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud
harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang
diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal
pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan
rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stekeholder
pendidikan, khususnya orangtua siswa
dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya.
Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa
kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya
rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh
orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan
keterbukaan rencana ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh
sumber dana untuk melaksanakan rencana ini bisa dihindari.
Catatan
: BP3 saat ini yang anggotanya hanya terdiri dari orang tua siswa
perlu dimekarkan menjadi Komite sekolah yang anggotanya
terdiri dari ; orang tua siswa, wakil dari siswa, wakil dari
sekolah, wakil dari organisasi profesi, wakil dari pemerintah,
dan wakil dari publik.
Jika
rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan
dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan
sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumber daya
manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan,
peralatan, perlengkpan, perbekalan, dsb.) keadaan
kegiatan-kegiatan, menurut jadwal dan waktu dan menunjukkan
tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah
bentuk dokumen untuk menggambarkan lankah mewujudkan
sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
Catatan
: Pada gilirannya,
analisis SWOT dapat digunakan untuk merevisi/ memperbaiki
sassaran yang mungkin terlalu tinggi/rendah atau terlalu besar
agar menjadi sasaran yang pas/realistik (wajar).
7.
Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam
melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah
disetujui bersama antara sekolah, orang tua siswa, dan
masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk
mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala
sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya
pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan
pengalaman- pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan
menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan
kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil
inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang
diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri
dari keterikatan-keterikatan birokrastis yang biasanya banyak
menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam
melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan
konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini
menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara
utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran
topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai
suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan
dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya
yang lebih luas dan mendalam.
Untuk
menghindari penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan
supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan
peningkatan
mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manejer
dan pimpinan pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu
memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada
guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai
dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian,
bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga
lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan,
sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
8.
Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk
mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu
mengadakan evaluasi pelaksanan program, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap
akhir caturwulan untuk mengetahui keberhasilan program secara
bertahap. Bilamana pada pada satu catur wulan dinilai adanya
faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat
memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada catur
wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada
setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program
peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang
telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan
diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada
tahun-tahun berikutnya.
Dalam
melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan
setiap unsur yang terlibat dalam program, khusunya guru dan
tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian
yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian
pula, orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak
eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program
yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui
bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan
hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa
orang tua peserta didik dan masyarakat menilai suatu program
gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggap
cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa
saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan. Untuk
lebih detailnya tentang monitoring dan evaluasi MPMBS, lihat
bab 4.
Hasil
evaluasi pelaksanaan MPMBS perlu dibuat laporan yang terdiri
dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut
program pelaksanaan dan hasil MPMBS, sedang laporan keuangan
meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika
sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income
generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut
harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas),
maka laporan harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan
Kabupaten, komite sekolah, orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi
sekolah swasta).
9.
Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, terdahulu hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan
kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak
kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi
sekolah dan orang tua peserta didik untuk merumuskan sasaran
mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil,
sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan
sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran
mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan
strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak
tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena
dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya
pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana) yang
tersedia.
Setelah
sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT
untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam
sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang,
dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah
pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi
faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana
peningkatan mutu baru dapat dibuat. Demikian seterusnya,
caranya seperti urut-urutan nonor 2 sd nomor 8 diatas.
C.
Tugas dan Fungsi Jajaran Birokrasi
Konsekwensi
logis dari perubahan penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari
pola manajemen lama (sentralistik) menuju ke pola manajemen
baru (desentalistik), maka tugas dan fungsi jajaran birokrasi
juga harus diubah.
Dari
uraian konsep MPMBS disebutkan bahwa pola manjemen baru lebih
menekankan pada pemandirian dan pemberdayaan sekolah. Ini
memiliki arti bahwa sekolah merupakan unit utama kegiatan
pendidikan sedang birokrasi dan unsur-unsur lainnya merupakan
unit pelayanan pendukung .
Karena
pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada
subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one-man-show
dalam pengambilan keputusan, sudah harus ditinggalkan dan
diganti dengan pola pikir manajemen baru yang lebih menekankan
pada pemberian otonomi, pemberian fasilitas, penumbuhan
motivasi-diri sekolah, pemberian bantuan, dan pengembilan
keputusan partisipatif.
Sambil
menunggu tugas dan fungsi jajaran birokrasi Depdiknas yang
definitif secara yuridiksi dalam kerangka Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, berikut disampaikan tugas dan fungsi tentatif
masing-masing jajaran birokrasi Depdiknas dalam
penyelenggaraan MPMBS.
1.
Direktorat SLTP
Secara
umum, Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi
menentukan kebijakan dan strategi pada tataran formulasi/penetapan
kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan pada
tingkat nasional, yaitu :
2.
Dinas Pendidikan Propinsi
Secara
umum, tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Propinsi adalah menjabarkan
kebijakan dan strategi MPMBS yang telah digariskan oleh
Direktorat SLTP/Dikmenum untuk diberlakukan di Propinsi
masing-masing, antara lain :
3.
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Seiring
dengan diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsi utama memberikan
pelayanan dalam pengelolaan satuan pendidikan di Kabupaten/Kota
masing-masingyang menjalankan MPMBS, lebih spesifiknya, Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai berikut :
4.
Sekolah
Tugas
dan fungsi utama sekolah adalah mengelola
penyelenggaraan MPMBS di sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit utama dan
terdepan dalam
penyelenggaraan MPMBS, maka sekolah menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai berikut:
|
Komentar
Posting Komentar