Filsafat Islam Mazhab QOM
FILSAFAT MAZHAB QOM
Oleh :
Junait, S.Pd., M.Si.
Banyak kalangan, terutama para tokoh yang diresmikan sebagai
intelektual di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat, memandang Hawzah
Ilmiyeh Qom dengan sebelah mata. Hal itu, boleh jadi, karena mereka tidak
mampu menangkap dinamika intelektual yang terus berlangsung disana, atau karena
mereka tidak menyelami ruhnya.
Qom adalah sebuah kota yang tak pernah mati, tapi bukan karena
lampu-lampu kota dan mobil. Qom bagai benua lain atau planet lain, dengan pola
kehidupan sosial yang unik, bahkan terkesan stagnan, bagi orang luar. Sebagian
besar pedang kaki lima yang menggelar dagangan di trotoar di sana tidak menjual
vcd bajakan atau makanan, tapi buku dan alat-alat tulis. Jumlah penerbit dan
toko buku atau persewaan kaset dan cd pelajaran mirip dengan wartel atau tempat
persewaan vcd di kota-kota di Indonesia. Sekolah dan pusat-pusat kajian serta
perpustakaan di kota itu tak ubahnya mal-mal di Jakarta dan Surabaya. Jalan-jalan kota itu ramai dan padat oleh
pejalan kaki yang sebagian bersorban bukan karena menghindari perkelahian antar
pelajar atau atau kerusushan, tapi saling mengejar waktu kuliah-kuliah yang
diisi oleh guru besar-guru besar dalam bidang filsafat, teologi, teosofi,
hermenetika agama, ushul fiqh dan sebagainya. Transaksi dan interaksi sosial di
sana hanya bersifat intelektual dan spiritual. ‘Qom is Planet of The Wisdom’.
Di situlah Filsafat Mazhab Qom berdiri megah dan mewah.
Filsafat Mazhab Qom atau filsasat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah adalah
sebuah sistem pemikiran falsafi yang dibangun oleh Shadruddin Asy-syirazi, dilanjutkan oleh Sabzawari, Mirdamad dan
disempurnakan oleh Muhammad Husein Thabathabai.
‘Kebijaksanaan yang
melambung’ atau Al-hikmah Al-muta’aliyah bukanlah akumulasi dari
pendapat-pendapat dan filsafat-filsafat kuno. Ia adalah sebuah sistem pemikiran
filsafat yang berdiri di atas konsepsi Islam Syiah yang paling rapi
(radu=komplit). Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah telah melakukan
sebuah revolusi pemikiran filsafat yang hingga kini masih terasa gaungnya. Ia
telah mengakhiri masa kejayaan filsafat Al-Falsafah Al-Masysya’iyah yang
merupakan adaptasi dari neo-Platonisme Yunani. Mulla Sahdra telah
mempersembahkan sebuah konsep filsafat yang diambil dari sumber-sumber orisinil
Islam, terutama Islam Syiah.
Teosofi trasendental telah menyingkap sejumlah realitas yang
selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep
filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak
dunia filsafat metafisika dengan konsep orisinalitas wujud (Ashalatul-Wujud)
dan menggugurkan klaim orisinialitas esensi (Ashalatul-mahiyyah)-nya
Shuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim pluraitas
wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Paripatetik dengan gagasan
tentang unitas wujud yang gradual (Al-wahdah fi ain Al-katsrah) dan
gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (Al-wujud Al-mustaqil) dan ‘Wujud
bergantung” (Al-wujud Ar-rabith). Shadrul-Muta’allihin (Penghulu
para teis) ini juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah
Al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek akal
dan objek akal (Ittihad Aqil wa Ma’qul). Mullla Shadra juga memberikan
kritik-kritik tajam atas para teolog, tak terkecuali para teolog Syiah, seperti
Khajeh Nasruddin Ath-Thusi, Al-Fadhil Miqdad, dan lainnya. (Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 61)
Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dikembangkan oleh Mulla Hadi Sabzawari.
Meski tidak memberikan gagasan-gagasan baru, ia dinilai berhasil memberikan
penjelasan, komentar bahkan kritik tentang gagasan-gagasan baru Mulla Shadra
dengan karyanya yang sangat monumental Syarhul-Mandhumah. Ia adalah
filsuf yang mengalami masa transisi intelektual besar-besaran dari trend
filsafat Ibnu Sina ke trend filsafat Mulla Shadra.
Filsafat mazhab Qom mencapai kesempurnaannya di tangan Allamah M.
Husein Thabathabai. Ulama ini rela mengorbankan karier fiqh sehingga tidak
menjadi marja’ atau menyandang gelar Ayatullah Al-uzhma
sebagaimana rekan-rekan semasanya, demi menekuni bidang filsafat yang pada
mulanya kurang populer dan terkesan ‘aneh’ di kalangan hawzah Najaf dan
Qom. Ia berhasil mendirikan sebuah akademi tradisional yang mengajarkan
filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah di saat akademi tradisional (Al-Bahts
Al-Kharij) lainnya mengajarkan teknik-teknik penyimpulan hukum (Ijtihad).
Thabathabai mencetak puluhan filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika
intelektual Hawzah Qom bahkan menjadi pionir-pionir Revolusi Islam Iran,
seperti Muthahhari, Behesyti, Javadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, M. T. Mishbah
Yazdi, Mehdi Heri Yazdi, M. Taqi Ja’fari, Syed, Hossein Nasr dan sebagainya.
Berkat kegigihan dan ketulusannya, filsafat
di Hawzah Qom dan Iran kini telah menyetarai fiqh dan Ushulul-Fiqh, sebagai
mata pelajaran untuk pelajar pemula (Muqaddimat), untuk pelajar menengah
(Suthuh), dan untuk pelajar lanjutan atas (Bahtsul-Kharij).
Bukunya Bidayatul-Hikmah dan Nihayatul-Hikmah kini dijadikan
sebagai buku pelajaran resmi Hawzah dalam filsafat sebelum Syarhul-mandhumah
karya Mulla Sabzawari dan Al-asfar Al-arba’ah-nya Mulla Shadra.
Filasat Mazhab Qom tidak bisa disamakan
dengan filsafat lainnya, apalagi filsafat Barat. Filsafat Mazhab Qom hanya
membahas wujud sebagai wujud. Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia
tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi,
misalnya Filsafat dalam arti umum (wujud) dan Filsafat dalam arti khusus
(Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran,
bukan karena objek pembahasannya berlainan. Filsafat Mazhab Qom tidak terdiri
atas epistemologi, ontologi, kosmologi dan sebagainya. Ia sejak semula membahas
wujud serta membagi menjadi dua; Al-wujud Az-zihni (eksistensi subjek,
mental-memorial) dan Al-wujud Al-khariji (eksistensi real,
objektif), lalu membagi wujud objektif
menjadi dua; Al-wujud Al-haqiqi (eksistensi faktual) dan Al-wujud
Al-I’tibari (eksistensi artifisial), hingga akhirnya membagi eksistensi
objektif real menjadi dua; terinderakan, yaitu benda, dan tak
terinderakan, yaitu non materi.
Tiga akademi filsafat Mazhab Qom
Thabathabai telah mempelopori semaraknya
diskusi dan perbincangan filsafat di Hawazah Qom, yang sebelumnya hanya
didominasi oleh para ulma tekstualis dari berbagai disiplin ilmu tradisional,
seperti ushul-ul fiqh dan fiqh. Ia telah ‘menternakkan’ puluhan bahkan ratusan
ulama dalam filsafat. Kini Hawzah Qom diramaikan oleh, paling tidak, enam akademi atau corak pemikiran khas, produk
Thabathabai, yang masing-masing memiliki pengaruh dan domainnya.
Akademi pertama adalah Rasionalisme, yang
hanya mengandalkan akal deduktif dalam telaah-telaahnya. Tokoh aliran ini
adalah Ayatullah Muammad Taqi Misbah Yazdi. Ia adalah salah satu murid
Thabathabai yang sangat produktif dan menguasai wacana-wwacana kontemporer.
Banyak kalangan yang menganganggapnya sebagai “Muthahhari part 2”. Karya-karya
dalam bidang filsafat banyak berisikan pandangan-pandangan kritikal atas
gurunya Thabathabai. Filsuf yang kurang mendukung pendekatan teosofik ini
sering dianggap sebagai ideolog Republik Islam saat ini. Ia mendirikan sebuah
lembaga studi keislaman yang cukup besar yang menjadi ladang pembiakan
sarjana-sarjana ulama intelektual dengan spesialisasi yang mempuni, seperti
Gholam Reza fayyazi, A. Khosro Panah, Ahmad Vaezi, Muhsen Gharavian dan
lainnya.
Akademi kedua, adalah Tekstualisme-Rasionalisme. Aliran
ini menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai
alat pembenarannya. Syeikh Mufid, Sayyid Murtazha Alamul-huda, Khajeh
Nasiruddin Thusi dan Allamah Hilli adalah tokoh-tokoh yang menjadi
tonggak-tonggak teologi atau tekstualisme rasionalisme Islam Syiah. (Falsafeh,
40). Tokohnya yang paling menonjol sekarang adalah ayatullah Nasher Makarem
Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Akademi ketiga adalah
Tekstualisme-Rasionalisme-Teosofisme (Al-mazhab Al-Isyraqi), yang
menggabungkan rasio, teks agama dan irfan. Ayatullah Javadi Amuli adalah
pemukanya saat ini.
Akademi keempat adalah Teosofisme (Al-mazhab
al-irfani). Aliran ini cenderung mengutamakan irfan atau emosi dalam
memahami realitas. Banyak ulama yang bisa dimasukkan dalam akademi ini, namun
yang paling mengemuka saat ini adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
Akademi kelima adalah rasionalisme-tektualisme (al-mazhab
al-Kalami). Yaitu aliran yang menjadikan rasio sebagai landasan lalu
mengkaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya, bukan sebaliknya.
Ayatullah Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari mungkin tokoh yang
bisa dimasukkan ke dalamnya.
Akademi keenam adalah Teosofisme-transendal (Al-hikmah
Al-Muta’aliyah, Mazhab Qom, Ash-shdra’iyah), yang didirikan oleh Mulla
Shadra dan dianut oleh hampir seluruh filsuf di kota suci Qom dewasa ini.
Aliran ini menggunakan rasio, emosi (dengan penyucian jiwa), ilmuniasi, dan
rasio.
Sebenarnya kata ‘Al-hikmah Al-muta’aliyah’ telah
digunakan oleh sejumlah filsuf sebelum Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dalam Al-Isyarat-nya. (falsafeh, M. Ali Gerami, 42-43).
Akademi keenam Rasionalisme-modernisme. Aliran ini diisi
oleh sejumlah filsuf Islam modern yang pernah menjadi murid Thabathbai, seperti
sayyid Husen Nasr dan Ayatullah Haeri Yazdi.
Mazhab Qom dan Sasaran Filsafat
Mulla Shadra membagi filsafat Al-hikmah
Al-muta’aliyahnya dalam empat rute perjalanan atau ngembaraan (Al-asfar
Al-arba’ah). Yaitu sebagai berikut:
- Perjalanan dari Al-khal dari Al-khalq (makhluk) ke Al-Haq (Tuhan atau Kebenaran). Dalam tahap ini pelaku perjalanan mempelajari hukum-hukum dalam filsafat (metafisika). Ia juga disebut dengan perjalanan dalam natur.
- Perjalanan dengan Alh-haq dalam Al-haq. Dalam tahap ini pelaku perjalanan membahas tema-tema Tauhid dan sifat-sifat Al-haq. Ia juga disebut dengan perjalanan dalam kesempurnaan Al-haq.
- Perjalanan dari Al-haq menuju Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap ini, pelaku perjalanan membahas perbuatan-perbuatan Tuhan. Ia juga disebut dengan ‘Penampakan ilahi (Tuhan) dalam segala sesuatu yang dipandangnya.
- Perjalanan dalam Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap pelaku perjalanan membahas jiwa dan Hari kebangkitan. (Falsafeh, 44-45).
Sasaran filsafat, menurut Mazhab Qom,
hanyalah wujud karena ia merupakan realitas yang ada pada segala sesuatu.
Sedangkan sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mahiyyah, merupakan ciri
pembeda antar segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan
unik. Kata Ibnu Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang
objek yang paling mulia.” (Al-mu’jam Al-falsafi, juz 2, hal. 160-164, Syarhul-Musthalahat
Al-falsafiyah, hal. 270-271, Al-falsafah Al-ulya, 32).
Definisi dan Macam-macam Fislafat
Filsafat telah didefinisikan sebagai
‘pengetahuan tentang realitas segala sesuatu’.
Namun definisi ini masih
diperdebatkan hingga kini. Filsafat, menurut Mazhab Qom, tidak terbagi. Ia
adalah sebuah fenomena rasional intelektual tunggal yang mengantarkan pada
realitas universal, yang merupakan titik temu setiap realitas. Karena itulah,
teologi Islam dan teologi Kristen tidak dapat dianggap sebagai bagian dari
filsafat, karena ia didasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibakukan.
Teologi atau ilmul-kalam hanyalah sebuah ilmu yang disusun untuk
merasionalisasi dan menjustifikasi keyakinan-keyakinan yang dipostulatkan,
yaitu agama tertentu.
WUJUD
Mengapa
mesti membahas ‘ke-ada-an’?
Ke-ada-an adalah
sesuatu yang pertama kali diketahui oleh setiap manusia, secara sadar atau
tidak. Bila kita tidak memahami ada secara benar, maka kita akan kesulitan
memahami segala sesuatu dan fenomena apapun di dunia. Jika kita telusuri
realitas atau hakikat setiap fenomena dan peristiwa, maka kita harus lebih dulu
mengenali landasan ke-ada-annya. Jika seseorang ingin menjadi meyakini atau
menolak keberadaan Tuhan, maka ia harus lebih dulu memahami ada dan tiada.
Seserang tidak bisa menjadi beragama, bila belum memahami ada dan tiada. Karena
itulah, kita perlu mempelajarinya, meski sulit dan mungkin tema-temanya
terkesan agak membosankan.
Kita sering
mencampura-dukkan ‘tidak ada’ dengan ‘tidak tampak’. Kita juga seing
menaganggap ‘pindah tempat’ sebagai ‘hilang’ atau lenyap. Sebagian besar
manusia membatasi ‘keberadaan’ pada benda. Hal itu karena kita belum memahami
apa itu ada dan tiada. Karenanya, marilah kita menjelajahi “peta keberadaan”
(ke-ada-an), yang disebut “ontologi”
dalam filsafat.
Ketiadaan atau
kenir-ada-an
Ketiadaan
adalah ketidak-sesuatan. Ia adalah kekosongan semata. Ia tidak mempunyai
realitas.(Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal.
340-341). Karenanya, ia tidak berbeda, karena yang berbeda dengan ketiadaan
bukanlah ketiadaan. Ia juga tidak dapat dikabarkan, karena yang bisa dikabarkan
hanyalah yang ada. (Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah,
348, Syarh Al-Mandhumah, 47).
Kendati
demikian para filsuf membagi ketiadaan menjadi dua;
- Ketiadaan sejati, yaitu ketiadaan yang mutlak.
- Ketiadaan relatif, yaitu ketiadaan yang dikaitkan dengan sisi-sisi tertentu seperti ketiadaan azali (eternal) dan ketiadaan temporal (aksidental) dengan relasi batas, demikian juga ketiadaan potensial dan ketiadaan aktual dan sebagainya. (Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, 1, 100, Ara’ Ahlil-Madinah Al-Fadhilah, 11, Al-Mausu’ah Al-Falsafaiyah, 204-205, Ilahiyat Asy-Syifa’ 125, Rasa’il Ikhwanush-Shafa, 3, 385, Tafsir ma Ba’da Ath-Thabi’ah, 1311, Kamus Filsafat, 1106).
Selanjutnya
istilah “ketiadaan” yang akan dibagi dalam beberapa versi pembagian di bawah
adalah identik dengan ketiadaan relatif, karena ketiadaan mutlak tidak bisa
dikabarkan apalagi dibagi.
Dua macam ketiadaan relatif
Ketiadaan
relatif terbagi dua;
1.
Ketiadaan pasti (Al-Adam Al-Azali). Yaitu ketidak-ada-an dengan relasi
ketiadaan sebab dan kepastian. Secara
simbolik ia disebut dengan “kemustahilan” (Al-imtina’, Al-istihalah,
impossibilitas).
2.
Ketiadaan
tidak pasti (Al-Adam Al-Imkani).
Yaitu ketiadaan dengan relasi keberadaan sebab dan ketidakpastian. Ia secara
simbolik disebut dengan “kemungkinan” (Al-imkan, possibilitas, probabiltas).
Sifat-sifat ketiadaan dan ‘tiada’
Sebagian flksuf Mazhab
Qom tidak memasukkan ‘ketiadan’ dan ‘tiada’ dalam pembahasan filsafat, karena,
menurut mereka, tema pembahasan filsafat adalah ke-ada-an dan ‘ada’. Namun
sebagian lain masih membahasnya karena dianggap sebagai pasangan ‘ke-ada-an’
dan ‘ada.
Berikut ini ciri-ciri
dan sifat ‘tiada’:
- Sebuah ‘tiada’ tidak berbeda dengan ‘tiada’ lainnya. Jika kita katakan, Plato tidak ada, maka berarti sama dengan ucapan kita “Samsul tidak ada”.
- Sebuah ‘tiada’ tidak memberikan dan tidak mendapatkan pengaruh objektif. Dengan kata lain, ‘tiada’ tidak mengalami aksi dan reaksi.
- ‘Tiada’ tidak dapat diulangi, karena pengulangan hanya akan bisa dilakukan terhadap sesuatu yang ada.(Elm e Kulli, 95-98).
Wujud atau Ke-ada-an
Ke-adaan atau eksistensi (Al-Wujud), meski tidak
bisa didefinisikan secara tepat, telah didefinisikan dengan bermacam cara.
Ke-ada-an mungkin bisa didefinisikan secara sederhana sebagai “adanya sesuatu”.
Pengeritan
“wujud” sangatlah gamblang (ekstemporal) sehingga tidak bisa diperantarai
dengan penjelasan apapun, baik dengan forma maupun dengan terma, sebagaimana
lazimnya dalam setiap pendefinisian. “Sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada
adalah sesuatu yang ada” atau “ia adalah sesuatu yang dapat dikabarkan.” (Bidayatul-Hikmah,
10, Al-falsafah Al-Ulya, 78,).
“Wujud”
adalah pengertian yang memiliki arti sama dalam setiap proposisinya. Mulla
Shadra mengatakan bahwa fakta tentang adanya kesamaan arti antar berbagai macam
esensi (Al-mahiyah, keapaan) adalah sesuatu yang nyaris apriori prima,
sebagaimana dikutip Thabatabai. (Nihayatul-hikmah,13, Hikmatul-
Isyraq, 182, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 35). Hal ini didukung
oleh sejumlah filsuf. (Al-Mabahtis Al-masyriqiyah, juz 1, hal. 18-22, Syarhul-Maqashid,
juz 1, hal. 61-62, Syarhul-Mawaqif, hal 90-92, Qawa’idul-Maram,
39, Kasyful-Murad, 24).
Jadi,
adakalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk sebuah pengertian
tentang “wujud”. Ia diperlakukan sama dengan pengertian-pengertian lainnya,
yaitu sebagai sesuatu yang konstruktif, artifisial atau I’tibari.
Dua macam pengertian “Wujud”
“Wujud”
sebagai sebuah pengertian, bukan realitas, terbagi dua;
1.
“Wujud” sebagai pengertian
umum. Yaitu arti umum dan aprior
yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada
setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya “manusia itu ada”,
“bulan itu ada”, “putih itu ada”.
2.
“Wujud” sebagai
pengertian khusus atau terikat. Yaitu
predikat yang dilekatkan atas sesuatu, misalnya “benda itu putih”, yang berarti
“benda yang ada itu berwarna putih”.
Jadi,
pengertian “wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek dalam realitas,
sedangkan pengertian “wujud yang terikat” adalah wujud predikat dalam setiap
premis. (Al-falsafah Al-Ulya, 80).
Hakikat “Wujud”
Ada
kalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk kepada realitasnya, bukan
pengertiannya. Realitas wujud sangatlah misterius dan tidak dapat dikenali,
karena sejumlah alasan kuat, antara lain, seandainya realitas objektif “wujud”
dapat diketahui, maka berarti realitas segala sesuatu yang kita ketahui harus
hadir dalam diri atau jiwa kita secara real bukan konseptual, sehingga bila
kita mengetahui benda tertentu, mobil misalnya, maka benda yang beroda empat
itu harus hadir dalam bentuk mobil, bukan gambarannya, dalam diri setiap yang
mengetahuinya, sedangkan itu tidak mungkin terjadi, karena pengetahuan adalah
hadirnya konsep tentang sesuatu yang real dalam diri. (Al-Falsafah Al-Ulya, 78).
Istilah “hakikat”
wujud berarti wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi objektif (realitas)
dan subjektif (konsep, ide). “Hakikat wujud” mengacu pada arti awal tentang
keberadaan secara mutlak dan umum.
Kesamaan arti “Wujud”
“Wujud” ketika diberlakukan sebagai predikat atas
setiap subjek hanya mempunyai satu arti (homonim) (Al-Isytirak Al-Ma’nawi).
Alasan-alasannya sebagai berikut:
Wujud
dapat dibagi dalam beberapa versi pembagian, seperti pembagian wujud menjadi
wujud pasti (wujud al-wajib) dan wujud mungkin (wujud al-mumkin), dan
pembagian wujud mungkin kepada wujud substansi (wujud Al-jauhar) dan
wujud aksiden (wujud Al-aradh), dan begitulah seterusnya.
Jika
wujud tidak mempunyai kesamaan arti, namun hanya mempunyai kesamaan kata dengan
keragaman arti karena keragaman subjek-subjeknya, niscaya artinya berubah
karena perubahan subjek-subjeknya.
Lawan
kontradiktif al-wujud (keberadaan) adalah al-adam (ketiadaan). Ketiadaan
memliki satu arti (homonim). Seandainya wujud tidak homonim, niscaya keduanya
tidak kontradiktif. (Bidayatul-Hikmah, 11).
Kritik
atas teori ‘Kesamaan arti’ dalam wujud
Abul-Hasan
Al-Asy’ari menganggap pengertian “wujud” memiliki kesamaan kata (Al-isytirak
al-lafdhi), bukan kesamaan arti. Jadi, menurut mereka, ‘ada’ dalam premis
‘Tuhan ada’ dan ‘Yusuf ada’, mislanya, tidaklah sama. (Syarhul-Mawaqif,
92, Nihayatul-Hikmah 13, Syarhul-Mandhumah, 16, Syarhul-Maqashid,
juz 1, hal. 61, Irsyad Ath-thalibin, 20). Sedangkan para filsuf Islam,
terutama para filsuf Mazhab Qom menganggap ‘wujud’ memberikan konotasi arti
yang sama.
Mazhab
Qom menolak pendapat ini karena alasan-alasan sebagai berikut;
1.
Kata “apakah” dalam
premis eksistensial homogen (Al-hilliyah Al-basithahi), seperti “apakah Budi
ada ataukah tidak?” , “apakah sungai ada ataukah tidak”, “apakah ibu ada
ataukah tidak” tidaklah berguna.
2.
Seandainya “wujud”
mempunyai kesamaan kata, bukan arti, maka kata “ada” tidak akan menunjukkan
arti tentang “ke-ada-an” sesuatu, namun ia akan mempunyai satu arti yang sama
dengan esensi segala sesuatu. Akibatnya, kita tidak akan mendapatkan jawaban
berbunyi “ada” dari premis eksistensil homogen tersebut di atas, karena jawaban
tersebut “ada” tidak harmonis dengan pertanyaannya. Karenanya, premis
eksistensial yang sederhana (al-hilliyah al-basithah atau premis yang diandaikan sebagai jawaban
atas ‘apakah’) ini menjadi tak berguna.
3.
Kadang kala kita
meyakini ke-ada-an (eksistensi, keberadaan, maujudiyat) sesuatu maujud
(entitas, maujud), namun kadang kala kita ragu tentang esensi (ke-apa-an)nya,
seperti ketika kita yakin tentang adanya sebuah bayangan, namun kita tidak tahu
secara pasti apakah itu; manusia ataukah binatang, dan kadang kala kita tahu
secara pasti esensi (ke-apa-an) sesuatu, seperti ketika kita mengerti tentang “kebetulan’
dan “nasib” yang berarti sesuatu, namun kita tidak tahu secara pasti apakah
kedua hal itu ada ataukah tidak. Eksistensi dan esensi tidak sama dan satu,
namun keduanya mempunyai hukum yang berbeda.
Kontroversi seputar orisinalitas wujud dan esensi
Manakah yang
lebih dulu, eksistensi ataukah esensi? Kita selalu membedakan dua pengertian
yang benar tentang apa-apa yang kita bicarakan: ke-ada-an (keberadaan,
eksistensi, Wujud) yang ada pada sesuatu dan ke-apa-an (esensi, Mahiyyah) yang
ada pada sesuatu. Misalnya, kita mengetahui bahwa manusia ada, pohon ada, dan
bilangan itu ada, namun masih-masing, meski sama-sama ada, mempunyai pengertian
yang berlainan.
Eksistensi (Al-Wujud, being) dalam metafisika
adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “siapa itu”. Ringkasnya, keberadaan
atau wujud adalah lawan dari ketiadaan (Al-Adam). Esensi (ke-apa-an, quaditas,
Al-Mahiyyah) adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “apa itu” yang ada dalam
substansi dan aksiden.
Hingga kini polemik tentang “esensikah yang lebih
dulu ataukah eksistensi” masih terus bergulir di kalangan para filsuf
metafisika. Ada beberapa aliran besar dalam ontologi yang berbeda pendapat
tentang orisinalitas eksistensi atau esensi.
Eksistensialisme
Yang kita maksud dengan eksistensialisme disini,
adalah eksistensialisme dalam ontologi bahkan ontologi Islam, Eksistensialisme
modern, yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan
bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berasal dari para filsuf Yunani dan
berkembang di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren Kierkegaard dan
Friedrich Nietzsche. (Kamus Filsafat, 185), juga bukan Eksistensialisme
ateistik, yang dipelopori oleh Jean
Paul Sartre yang menjadi cikal bakal Humanisme, (Kamus Teori, 63, Matafisika
124), karena buku ini hanya akan menyoroti filsafat Mazhab Qom.
Eksistensialisme (Mazhab Ashalatul-Wujud)
Para filsuf paripatetik dan Mazhab Qom , seperti
Ibnu Sina, Mulla Shadra, Sabzawari dan Thabathaba’i menegaskan
“ashalatul-wujud” (keasalan wujud) dan ketidak-asalan esensi (al-mahiyyah).
Salah satu alasannya, ialah apabila wujud bukanlah asal, maka adakah yang
mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Mereka menegaskan bahwa yang
mempunyai realitas objektif (waqi’iyah kharijiyah) adalah esksistensi, sedangkan
esensi adalah sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial (I’tibari).
Kaum paripatetik, seperti Bamhanyar dan Mazhab
Qom, seperti Mulla Sahdra, memastikan bahwa penolakan terhadap orisinalitas
wujud meniscayakan sikap agnosistik. (at-tahshil, 286, Al-asfar
Al-arba’ah, juz 1, hal. 1, Nihayatul-Hikmah, 16, Ma Ba’da
Ar-rusydiyah, 149), sebagaimana akan kita ketahui nanti.
Esensialisme (Mazhab Ashalatul-Mahiyyah)
Esensialisme iluminatif. Yaitu aliran dalam
ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului eksistensi, dan bahwa
sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah satu
alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas
objektif, dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud wujudnya itu pasti mempunyai
wujud, dan begitulah seterusnya.
Suhruwardi dan para pengikut iluminasionisme
menganggap esensi atau quaditas sebagai sesuatu yang real, sedangkan eksistensi
sebagai sesuatu yang bersifat memorial (dzihni) dan konstruktif.
Mulla Shadra dan Mazhab Qom, termasuk
Thabathabai, telah meberikan
bantahan-bantahan jitu terhadap argumen-argumen kaum esensialis, sebagaimana
akan kita ketahui nanti. Nihayatul-Hikmah, 14-15). (Post Averoisme, 149,
Al-asfar Al-Arba’ah, juz, hal. 39-40),
Dualisme I (Mazhab Ashlatultul-wujud wal-mahiyyah)
Yaitu aliran dalam ontologi yang konon menganggap
wujud dan esensi sebagai asal sekaligus. Para penganut dualisme juga tidak
berada dalam satu pandangan dan aliran.
Pendapat yang dikemukakan ‘secara malu-malu’ oleh
sejumlah guru besar filsafat di Hawzah Qom baru-baru ini cukup menggegerkan dan
mengundang kontroversi serta polemik dalam kuliah-kuliah dan jurnal-jurnal
filsafat di Iran.
Menurut mereka, seandainya wujud adalah
satu-satunya yang memiliki pengaruh-pengaruh eksternal dan objektif, padahal
wujud adalah realitas yang unik dan sederhana, maka apakah yang membedakan
antara ayam dan Agus, misalnya. Karena itulah, mereka mengakatan bahwa esensi
atau quiditas adalah pembeda antar entitas objektif. Itu berarti esensi, sebagaimana
eksistensi, memberikan pengaruh fundamental bagi realitas setiap entitas. (Syarhul-Mandhumah,
juz 2, hal. 171, Bidayatul-Hikmah, 13, Ushulul-Falsafah wal-Madzhab
Al-Waqi’i, jilid 3, Filsafat Islam, 58-59, Al-Asfar Al-arba’ah,
juz 1, hal. 39, Al-masya’ir, hal. 14, 37, Al-falsafah Al-Ulya,
80, dll).
Dualisme II (I’tibariyatul-wujud wal-mahiyah)
Ia adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa
eksistensi dan esensi adalah dua entitas artifisial (I’tibari) dan
keduanya tidak real. Aliran ini mesti dimasukkan dalam salah pandangan
asumstif, karena boleh jadi ada filsuf yang meyakininya.
Namun, pendapat terakhir ini meniscayakan
penolakan terhadap segala macam realitas objektif atau bernasib sama dengan
agnosisme dan skpetisisme Protagoras dan Berkeley. Pendapat ini ditolak oleh
Paripatetik, Mulla Sahdra dan para
filsuf Mazhab Qom. (Post Averoisme, Ma Ba’da Ar-Rusydiyah, 143, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 1, 66, Sharhul-Mandhumah, komentar Muthahhari, juz
1, 49).
Untuk memahami secara benar isu orisinalitas
eksistensi atau orisinalitas esensi ini, kita perlu mempelajari alasan kaum
esensialis dan kaum eksistensialis (dalam ontologi) ini.
Alasan-alasan Orisinalitas Esensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas (ashalah) eksistensi
(wujud) mengajukan sejumlah argumen. Antara lain sebagai berikut:
- Seandainya eksistensi (Al-wujud) adalah entitas (Al-Maujud), yakni sesuatu yang “berada”, maka berarti setiap wujud mempunyai sebuah wujud, dan wujud tersebut, karena sesuatu yang berada, pasti memiliki wujud, dan begitulah seterusnya. Karenanya, esensi-lah yang menjadi sesuatu yang “berada” dan real, demi menghindari paradoks suksesi karena eksistensi tidak mungkin menyandang eksistensi, maka pastilah penyandang eksistensi adalah esensi atau mahiyyah, sebab dalam gramatika arab, Al-mawjud berarti sesuatu yang diadakan, maka pasti ia (al-mawjud) berarti sesuatu yang bukan wujud namun menyandang wujud sehingga disebut “yang diadakan”.
- Seandainya wujud adalah “sesuatu yang menjadi ada” dengan sendirinya, tanpa selainnya, yaitu esensi, maka berarti setiap yang mempunyai wujud, termasuk entitas yang mungkin, adalah pasti ada dengan sendirinya. Karena itulah, wujud hanya bisa menjadi “sesuatu yang berada” apabila direalisasikan oleh esensi.
- Seandainya wujud menjadi “yang berada” secara real dengan sendirinya, sedangkan esensi menjadi “yang berada” dengan selain esensi, maka berarti pengertian “wujud” adalah pengertiian yang bermuatan kesamaan kata, bukan kesamaan art, sebab, ternyata wujud bagi wujud berbeda dengan wujud bagi esensi.
- Esensi adalah ciri pembeda antar semua yang berada atau entitas. Sedangkan wujud atau eksistensi adalah titik temu bagi setiap yang berada. Tanpa esensi, kita tidak akan pernah dapat membedakan setiap entitas atau maujud. (Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 39-44, 54-63, Nihayatul-Hikmah, Ahkamul-wujud, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 34. Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, bab Ahkamul-Wujud).
Alasan-alasan Orisinalitas Eksistensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas eksistensi mengajukan
sejumlah alasan kuat. Yaitu sebagai berikut:
1.
Esensi
atau quaiditas pada dasarnya tidak menolak untuk diberi predikat “ada” juga tidak dapat
menolak negasinya, “tiada”. Seandainya quiditas adalah eksistensi itu sendiri,
maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena menegasi inti atau zat
adalah mustahil. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan
“manusia tidak ada”. Lagi pula, quiditas memiliki ciri-ciri khas tertentu yang
tidak dimiliki oleh eksistensi. Karena itulah, pengertian “mahiyyah” atau
quiditas berbeda dengan pengertian “wujud”, dan bahwa pengertian “wujud”
merefleksikan realitas objektif, sedangkan quditas hanyalah pengertian yang
tidak memiliki realitas objektif, karena ia hanyalah sesuatu yang artifisial
atau konstruktif (I’tibari). Sabzawari mengatakan bahwa “wujud” adalah
predikat yang, secara konseptual,
melekat pada quiditas.
2.
Wujud
adalah benang merah antar segala sesuatu. Sedangkan quiditas atau esensi adalah
ciri pembeda antar segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu wujud) jelas
berbeda dengan yang khusus (yaitu quiditas).
3.
Sesuatu
disebut ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai
eksistensi. Quiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang
“wujud”. Itu berarti bahwa yang real dan objeltif hanyalah eksistensi. (Nihayatul-Hikmah,
15-17).
4.
Karena
wujud adalah sumber dan prinsip kebaikan dan kesempurnaan, maka tak pelak
wujud-lah yang orisinil. Bagaimana sesuatu yang ‘buatan’ (I’tibariyat)
menjadi prinsip dan sumber pengaruh real, kebaikan dan ksempurnaan. Alasan ini,
menurut Mehdi Haeri Yazdi, sepintas terkesan lemah karena terkesan ‘mushadarah
al al-mathlub”, sebab para pendukung orisinalitas esensi akan membantah dan
mengatakan bahwa wujud bukanlah sumber kebaikan dan ksempurnaan, bahkan setiap
kesempurnaan primer (kamal awwali) dan kesempurnaan sekunder (kamal
tsanawi) berasal dari esensi (mahiyah), sedangkan yang memilki
hakikat adalah esensi atau quiditas, bukan wujud. Namun ia buru-buru memberikan
justifikasi dengan mengatakan, bahwa alasan ini bisa didiskipsikan sebagai
berikut: Prinsip kesempurnaan dan kebaikan itu, dalam kenyataan, ada, tiada,
ataukah bukan ada dan bukan pula tiada, ataukah ada sekaligus tiada? Tentu tidak
mungkin bisa dikatakan bahwa prinsip kesempuraan adalah sesuatu yang ada dan
tiada sekaligus, karena ia meniscayakan pertemuan dua hal kontradiksi. Karena
itulah yang ada hanya dua pilihan; prinsip kebaikan adalah wujud (ke-ada-an)
ataukah adam (ketiadaan)? Karena ketiadaan tidak akan bisa menjadi
prinsip kesempurnaan, maka hanya wujud-lah yang menjadi prinsip kesempurnaan.
Itu berarti prinsip orisinalitas adalah wujud, bukan selain wujud. (Ilme
Kulli, Mehdi Haeri Yazdi, 23).
5.
Perbedaan
antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud
objektif memberikan pengaruh-pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud
subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan (Al-atsar
al-kharijiyah al-mutarattibah). ‘Matahari subjektif’ tidak memberikan
pengaruh pencahayaan, namun ‘matahari objektif’ dan ‘bulan objektif’ memberikan
pengaruh tersebut. Seandainya esensi (quiditas) orisinai, maka berarti ia harus
memberikan pengaruh-pengaruh objektif (Al-atsar al-kharijiyah) serta
pengaruh-pengerauh subjektif (Al-atsar Al-zihniyah). Karena berdasarkan
asumsi terbalik ini, esensi yang berada dalam subjek dan objek mesti selalu
memberikan pengaruhnya baik dalam dunia domain objek maupun dalam domain
subjek. Namun kenyataan empirik membuktikan sebaliknya.(Elm e Kulli, 24).
6.
Berkat
wujud, segala sesuatu yang semula netral antara ada dan tiada, menjadi ada.
Sedangkan esensi (mahiyah) pada dirinya adalah sesuatu yang netral, tiada ada
dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada
tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh
objektif. (Elm e Kulli, 24).
7.
Andaikan
wujud tidak orisinil (bukan sumber pengaruh objektif, mansya’ al-atsar),
maka kesatuan (al-wahdahi, unitas) dan kebersatuan (al-ittihad)
tidak akan pernah bisa terjadi. Akibatnya, tidak akan terjadi predikasi atau
kategorisasi (al-haml) antara subjek (al-maudhu’) dan predikat (Al-mahmul)
dalam setiap proposisi.
8.
Setiap
entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan
meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan (Al-sair Al-takamuli) (Elm
e Kulli, 26,27, Falsafeh, M. Ali Gerami, 82-83).
Bisa dikatakan bahwa sekarang hanya pendapat
orisinalitas wujud yang diterima, meski ada kecenderungan yang mengarah pada
upaya penafsiran ulang tentang orisinalitas eksistensi sekaligus esensi,
seperti pernah dilontarkan oleh filsuf muslim muda di Iran, Gholam Reza Fayyazi
dan Sayed Kamal Haidari. Namun, kedua pemikir muda tersebut terkesan
‘malu-malu’ menggagas penafsiran ulang terhadap dualisme ontologis tersebut,
karena apabila terbukti benar, maka, sebagai konsekuensi logisnya, bangunan
filsafat metafisika yang berdiri di atas prinsip orisinalitas eksistensi sejak
Mulla Shadra akan mengalami guncangan atau bahkan keruntuhan.
Karena itu, pembahasan berikut ini dipaparkan
berdasarkan prinsip orisinalitas eksistensi (Ashalah al-wujud).
Kontroversi seputar Pluralitas dan unitas wujud
Meski sama-sama menerima orisisnalitas eksistensi,
dalam menanggapi pertanyaan apakah hakikat wujud atau eksistensi (bukan
eksistensi objektif, maujud) itu tunggal, dua atau beragam, para filsuf
eksistensialis terbagi ke dalam beberapa
aliran besar.
Pluralisme
dalam ontologis
Para filsuf pra Mazhab Qom, terutama kaum
paripatetis, menganggap wujud sebagai realitas-realitas yang beragam. Kaum
Paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur berkeyakinan bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam,
mencakup Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain, menurut mereka, Tuhan
memiliki hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara total dengan hakikat
wujud setiap makhlukNya.
Monisme
dalam ontologi
Sedangkan sebagian filsuf Mazhab Qom, seperti
Mulla sahdra, Mirdamad dan Thabathabai menganggap wujud sebagai satu realitas.
Namun para penganut Monisme, yang meyakini unitas hakikat wujud,
terpecah menjadi beberapa aliran sebagai berikut;
Para
filsuf Mazhab Qum
Pendiri Mazhab Qom, Mulla Shadra, mengemukakan teori "Al-Wahdah fi
Ain Al-Katsrah", yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai
kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah
sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini
mengacu pada pendapat Mulla sahdra tentang pembagian wujud kepada mandiri
(mustaqil) dan bergantung (rabith).
Kaum
Sufi
Mereka berpendapat bahwa hakikat
wujud sejati dan “realitas” (wujud
objektif, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi
entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan
"Wahdatul Wujud wal Maujud". Dengan kata lain, mereka menganggap
Tuhan sebagai satu satunya hakikat “ke-ada-an” sekaligus realitas objektif dari
ke-ada-an atau “yang ada”. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis
fiktif
Al-Muhaqqiq
Ad-Dawani
Ia berpendapat, "Wujud sejati" hanya ada pada dzat Allah.
Sedangkan "Maujud sejati" mencakup makhluk-makhluk.
Sampai
sekarang polemik antara pendukung pluralitas dan singularitas realitas wujud
terus berkembang. Namun gagasan Mulla Shadra lebih kokoh terhadap setiap
keberatan filosofis yang pernah dilontarkan di kalangan para peminat filsafat
timur dan Islam terutama di Iran.
Alasan-alasan teori “Pluralitas realitas wujud’
Kaum
paripatetik dan para pengnut monisme beranggapan bahwa sesungguhnya
entitas-entitas objektif (al-maujudat al-ainiyah) adalah salah satu dari
beberapa asumsi sebagai berikut:
- Entitas-entitas itu semua adalah person-person atau anggota dari satu realitas, seperti Budi, Agus, dan Salim yang merupakan person-person bagi satu spesies ‘manusia’.
- Entitas-entitas itu semua memiliki spesies yang yang berbeda-beda namun terhimpun dalam satu genus, seperti anjing, sapi dan muhammad yang merupakan aneka spesies yang terhimpun dalam satu genus; binatang.
- Bahwa entitas-entitas itu semua adalah realitas-realitas yang yang saling berbeda secara substansial.
Pilihan pertama tertolak, menurut kaum
paripatetik, karena ia meniscayakan wujud sebagai universalia natural (al-kulli
ath-thabi’I), seperti manusia, yang tidak menjadi konkret (musyakhash)
tanpa dilekati dengan presikat-predikat yang signifikan dan mencolok. Namun,
berdasarkan asumsi klaim tentang pluralitas realitas setiap entitas, maka
prfedikat-predikat pembeda yang signifikan itu juga tidak akan efektif menjadi
pembeda selama predikat-predikat itu maujud, dan selama setiap maujud adalah
realitas atau hakikat yang berlainan.
Pilihan kedua jelas tertolak, karena ia
meniscayakan ketersusunan realitas (hakikat) wujud yang terdiri atas aspek
kesamaan (jihah al-isytirak) dan aspek kelainan (jihah imtiyaz).
Keniscayaan ini secara terang-terangan bertentangan dengan postulat
kesederhanaan atau ketidaktersusunan (basathah) hakikat wujud,
sebagaimana telah kita buktikan sebelumnya.
Kaum paripatetik dari alasan-alasan di
atas dan dari upaya pengguguran pilihan pertama dan kedua, ingin membuktikan
dukungannya atas pilihan ketiga, yaitu bahwa setiap entitas adalah realitas
yang berbeda dengan entitas-entitas lainnya. (Al-manhaj Al-jadid, M.
Taqi Mishbah Yazdi, 397-398).
Alasan-alasam teori ‘Unitas realitas
wujud’
Pendapat
yang dinisbahkan pada Mulla Shadra dan didukung oleh para filsuf Mazhab Qom ini
konon diilhami oleh keyakinan kebijakan Persia kuno, dan disempurnakannya
dengan sejumlah argumen. Pendapat ini dikenal dengan teori ‘al-wahdah fi ain
al-katsrah’ (kesatuan plural wujud). Maksudnya, Mulla Shadra berpendapat,
bahwa realitas-realitas wujud memiliki
titik kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain,
realitas-realitas wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak
meniscayakan ketersusunan sehingga tidak dapat diuraikan menjadi genus dan
defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya,
sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun
kualitas pencahayaannya berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu
gradual dan bertingkat-tingkat. (Al-manhaj Al-jadid, 399-405).
Gradasi “Wujud”
Bertolak dari pandangannya tentang unitas wujud
dalam gradasainya, Pendiri Teosofi transenedental, Shadrud-din Shirazi,
berpendapat, bahwa hakikat “wujud’ itu
sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing
tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih
sempurna dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, karena ia memliki
sifat berkembang, konsumtif dan
produktif.
Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari
ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, karena ia, selain memiliki sifat-sifat yang ada pada
tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, seperti
berperasaan, bergerak dan berkehendak.
Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan binatang
sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat
kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang
kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya adalah
cahaya.
Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini
keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno. (Shahrul-Mandhumah,
22-23, 43-44, juz 2, hal. 105, al-Asfar Al-Arba’ah, juz, 1, hal. 432,
Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid, 403-405, Nihayatul-Hikmah,
24-26).
Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak
berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan
tidak mandiri.
Sedangkan para penganut filsafat paripateik
beranggapan bahwa realitas wujud itu beragam atau prlural, masing-masing berlainan secara esensial, meski bersifat
sederhana. (Al-Asfar Al-Araba’ah, juz 1, hal. 36).
Trend pemikiran filsafat metafisika yang dianut
sekarang adalah unitas wujud yang gradual. Pendapat kaum paripatetis tentang pluralitas
wujud yang dikemukakan oleh para filsuf pra Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dan
Al-farabi, telah ditinggalkan dan hanya menjadi tema diskusi, karena apabila
realitas wujud itu beragam, maka niscaya ada titik temu atau aspek kesamaam
antar masing-masing wujud, padahal itu meniscayakan lenyapnya perbedaan antara
satu dan beragam.
Wujud subjektif dan wujud
objektif
Filsafat
Mazhab Qom membagi wujud secara umum menjadi dua:
1.
Eksistensi subjektif (Al-Wujud Adz-Dzihni). Yaitu keberadaan segala sesuatu
yang bergantung pada sensasi, persepsi
dan konsepsi manusia.
2.
Eksistensi objektif (Al-Wujud Al-Khariji). Yaitu keberadaan segala sesuatu
yang bukan sebagai produk konsepsi
manusia semata.
Antara entitas subjektif dan entitas objektif
Sesuatu entitas disebut
mempunyai eksistensi objektif apabila keberadaannya bukanlah produk dari
konsepsi dan sensasi manusia. Inilah eksistensi real dan sejati. Sudirman, yang
sedang berdiri di ujung jalan sana, misalnya, ada secara objektif baik kita
melihatnya maupun tidak. Eksistensi objektif Inilah yang disebut dengan
realitas, kenyataan, dan Al-waqi’. Sedangkan yang memiliki keberadaan objektif
disebut dengan maujud (entitas). Dengan kata lain, ada dua macam entitas atau
maujud, yaitu entitas sybjektif yang berupa konsep dan entitas objektif berupa
realitas.
Berdasarkan uraian diatas,
kita dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Ada kalanya eksistensi atau entitas subjektif (al-wujud
al-zihni) menjadi salah satu sebab bagi eksistensi dan entutas objektif,
seperti seseorang yang berpikir tentang suatu perbuatan lalu melakukannya. Ada
kalanya eksistensi dan entutas objektif menjadi sebab bagi eksistensi
subjektif, seperti gambar ‘rumah’ yang tercetak dalam memori seseorang yang
telah melihat realitas rumah itu.
2.
Entitas subjektif (al-maujud al-zihni)
bersumber dari subjek sebagaimana perbuatan bersumber dari pelakunya. Hal ini
berbeda dengan aksiden yang bergantung atau bersandar pada yang dilekatinya,
substansi, karena entitas subjektif bukanlah bukanlah salah kategori aktivitas
psikologis (kaif nafsani). Kategori ‘aktivitas psikologis’ yang
merupakan salah satu dari macam-macam akisden hanya akan berada dalam subjek
(substansi) yang dilekatinya. Sedangkan entutas subjektif (al-maujud
al-zihni) bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam subjek (zihn), karena
‘kebersemayaman’ (hulul) dalam sesuatu hanya akan terjadi apabila terlah ada
terlebih dahulu hubungan khusus antara ‘yang bersemayam’(al-ha^l)
dan ‘yang disemayami’ (al-mahall).
Selama hubungan khusus tersebut tidak ada, maka ‘kebersemayaman’ tidak akan
pernah terjadi. Sementara kebergantungan entitas subjektif pada subjek tidak
bergantung pada hubungan tersebut.
3.
‘Substansi’ dalam ‘entitas subjektif’ adalah
substansi secara eksistensial, dan tidak berubah menjadi akisden. Hal itu
karena substansi adalah sesuatu yang hanya akan ‘mengada’ sebagai subjek
(penyandang) itu sendiri, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah subjek
(sandangan). Aksiden juga demikian. Ia akan tetap sebagai aksiden, disandang
atau menjadi sandangan, meski berada
dalam entitas subjektif. Sedangkan ‘entitas subjektif’ –sebagai entitas
subjektif- (al-maujud al-zuhni) bukanlah ‘substansi’ (al-jauhar) dan
bukan pula ‘aksiden’ (al-arazh), karena pokok pembagian substansi dan aksiden
adalah quiditas (esensi, al-mahiyah) dengan memperhatikan relasi wujud
quiditas, yang merupakan sumber pengaruh-pengaruh (mansya’ al-atsar),
yaitu wujud objektif quiditas tersebut.
4.
Subjek (mental, al-zihn) adalah domain
pengertian-pengertian (al-mafahim). Sedangkan domain ekstensi-ekstensi (mashadiq,
manifestasi) adalah realitas objektif (fakta). Masing-masing mengikuti
hukum dan aturan-aturan yang khusus dan otonom sehingga tidak bisa
dicampur-adukkan. Pengertian atau konsep ‘mustahil’, misalnya, bukanlah
‘mustahil ada’, namun ekstensi (mishdaq) ‘mustahil’ adalah ‘mustahil ada’.
Anggapan bahwa entitas subjektif dan entitas objektif memiliki hukum dan
konsekuensi yang sama bahkan satu adalah salah. Bahkan tidak ada pertentangan
(tazhad) dan pergesekan (tazahum) antar entitas-entitas material. Mereka tidak
berbentuk (al-hajm), tidak berbobot (tsiqal), tidak bermasa, tidak bertempat
dan tidak menyandang sifat-sifat yang lazim disandang oleh setiap entitas
objektif.
5.
Penilaian bahwa entitas subjektif tidak ada dalam
subjek meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek, sedangkan penilaian bahwa
entitas objektif tidak ada dalam realitas (objek) tidak meniscayakan
ke-ada-annya dalam realitas. Karena itulah, pertemuan ‘dua kontradiktif’
mustahil (pasti tiada) dalam realitas objektif, sedangkan penafiannya (dua
kontradikstif tersebut) dalam subjek (benak) meniscayakan ke-ada-annya dalam
subjek.
6.
Entitas subjektif hanya memerlukan satu sebab,
yaitu subjek (zihn) semata, yang merupakan sebab efesien (al-illah
al-fa’ilah)-nya. Sedangkan entitas objektif (al-maujud al-khariji)
kadang kala memerlukan sejumlah sebab.
- Untuk menjadi ada, entitas subjektif tidak ‘memrlukan’ atau tidak didahului dengan kapasitas (al-qabiliyah). Sedangkan entitas objektif, terlebih dahulu, mesti berupa potensi atau memiliki potensi, sebelum meng-ada. Kalau tidak, maka ke-ada-annya mustahil.
- Entitas objektif tidak akan pernah bisa bersemayam (hulul) dalam subjek (mental), karena inti atau hakikatnya (hakikat eksistensi objektif) adalah realitas objektif dan sumber pengaruh-pengaruh objektif. Karenanya, ia mustahil menjadi sebuah entitas objektif dan kehilangan ‘status’-nya sebagai sumber pengaruh-pengaruh objektif. Andaikan entitas objektif diasumsikan dapat (berubah) menjadi entitas subjektif, maka itu berarti ia adalah entitas objektif dan bukan entitas objektif. Inilah yang disebut dengan inqilab. Renungkanlah! (Al-falsafah Al-ulya, 94).
WUJUD SUBJEKTIF
Para
filsuf muslim membagi quiditas-quditqas (Al-mahiyat) yang telah
mengenakan busana wujud dalam realitas memiliki wujud lain yang tidak
menyandang pengaruh-pengaruh objetif real. Wujud yang tidak memiliki
konsekuensi-konsekuensi real inilah yang disebut dengan wujud subjektif (Al-wujud
Adz-Dzihni), yaitu pengetahuan dan konsep kita tentang quiditas segala
sesuatu.
Sesuatu yang ada karena manusia mempersepsinya
disebut sesuatu yang ada secara konseptual. Eksistensi konseptual tak ubahnya
bayangan atau pantulan dari eksistensi real objektif. Gambar di benak kita
tentang Salim, misalnya, adalah sesuatu yang ada secara konseptual setelah
tidak lagi bertemu dan melihat sosok Salim yang ada secara real.
Eksistensi subjektif ini, dalam kamus filsafat
ontologi, disebut Ash-shurah (konsep, ide). Kata Ide (Idea) berasal dari
kata Yunani eidos yang semula berarti visi atau kontemplasi. (Kamus Filsafat,
297). Ide didefinisikan sebagai gambaran yang muncul sebagai pantulan dari
entitas real dan objektif. Sedangkan realitas didefinisikan sebagai entitas
objektif yang ada di luar subjek dengan pengaruh-pengaruhnya. Pemilik eksistensinya disebut maujud
(entitas) atau quiditas yang berwujud (Al-mahiyah Al-maujudah).
Ringkasnya, segala sesuatu mempunyai keberadaan
objektif dan keberadaan subjektif. Bedanya, keberadaan objektif menyandang
predikat-predikat material , seperti es objektif yang dingin, sedangan es yang
subjektif (yang ada dalam benak) kita tidak dingin.
Polemik seputar entitas subjektif
Isu tentang ada dan tidak adanya realitas telah
ditanggapi secara berbeda oleh para filsuf yang terpencar ke dalam berbagai
aliran filsafat ontologi epistemologi, seperti idealisme, realisme dan
dualisme.
Idealisme
Idealisme dapat dibagi ke dalam berbagai macam aliran, antara lain Idealisme Palto, Idealisme Fitche, Idealisme Berkeley, Idealisme Kant,
Idealisme Hegel, Idealisme T. Green, Idealisme Herbert Bradley, Idealisme
Schelling, Idealisme William T Harris
(1835-1909), Idealisme Borden Parken Bowne (1847-1910), Idealisme
Jonathan Edwards, Idealisme Bernad Bosan-quet yang dikenal sebagai hegelian, Idealisme Josiah Royce (1855-1916), seorag
hegelian, Idealisme James Edwin Creghton (1861-1924), Idealisme Henry
Bergson, Idealisme Hastings rashdall, Idealisme Ward, Idealisme Gentile,
Idealisme Fouilee, Idealisme
Paulsen. Ini semua tidak bertalian secara langsung dengan tema pokok buku ini.
Karenanya ia tidak perlu dibahas.
Namun, idealisme yang kami maksud di sini adalah aliran filsafat yang
menolak eksistensi realitas. Idealisme juga disebut dan disamakan dengan
mentalisme atau konseptualisme. Aliran ini beranggapan bahwa alam semesta
adalah penjelmaan pikiran. Untuk bereksistensi, realitas bergantung pada
pikiran. Hanya pikiran-lah yang ada. Aliran lain yang tidak terlalu berbeda
dengan idealisme adalah nominalisme. Ia adalah aliran yang menyatakan bahwa
universalia (konsep-konsep universal) bukanlah entitas-entitas subjektif dan
objektif. Ia hanya nama-nama dibuat. Para penganutnya antara lain adalah
William Ockham, Jean Buridan Thomas Hobbes dan David Hume. ((Kamus
Filsafat, 487, 300, , 724).
Kritik atas idealisme
Menurut, salah satu pionir mutakhir Mazhab Qom, Ayatullah Muammad Husein
Thabathabai, bila seorang idealis marah setelah ditampar, maka jawaban yang
patut diberikan ialah ‘perbuatan menampar hanyalah konsep dan ide, sebagaimana
anda yakini. Karenanya, anda tidak pernah marah, karena ia hanyalah sebuah ide,
bukan realitas.”
Hubungan antar sesama konsep (entitas subjektif)
Perhatikanlah hal-hal berikut; bunga, genap,
putih, manis, dan delapan. Apakah semuanya berkaitan? Tentu tidak, karena hanya
ada dua hubungan saja, antara dan delapan, dan antara bunga dengan putih. Dua
hubungan ini terpantul dalam benak kita dalam bentuk dua premis “angka delapan
(adalah) genap” dan “bunga (itu) putih”.
Karena ‘genap’ atau ‘manis’ atau ‘angka delapan’ tidak berhubungan
‘bunga’, karena ‘bunga’ atau ‘putih’ atau ‘manis’ tidak berhubungan dengan
‘angka delapan’, dan karena ‘putih’ atau ‘manis’ atau ‘genap’ tidak saling
berhubungan, maka tdak mungkin premis
yang terpantul dalam benak kita adalah, misalnya, “angka delapan (itu) putih”,
atau “genap itu manis”.
Lalu perhatikan lagi, apakah hubungan antara
‘bunga’ dan ‘putih’ menyerupai hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’?
Tentu tidak, hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’ adalah hubungan yang
tak dapat diputus dan dipisahkan. Sedangkan hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’
dapat diputuskan dan dipisahkan, karena kita bisa mengkonsepsikan ‘bunga’ tanpa
predikat ‘putih’ dan mengkonsepsikan ‘putih’ tanpa ‘bunga’ dalam kondisi dan
situasi tertentu. Itu berarti bahwa ada dua bentuk hubungan; ‘hubungan yang
niscaya’ (bil-zharurah), dan ‘hubungan yang tidak niscaya’ (la
bil-zharurah).
Dua hubungan niscaya
‘Hubungan niscaya’ terbagi dua;
- Hubungan niscaya eksistensial yang biasa disebut dengan (Al-wujub).
- Hubungan niscaya non eksistensial yang biasa disebut impossiblitas (Al-Imtina’). (Hasti Shenasi, 83-86).
Dua hubungan tidak niscaya
‘Hubungan tidak niscaya’ juga dapat dibagi dua;
- ‘hubungan tidak niscaya’ eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi ada.
- ‘Hubungan tidak niscaya’ non eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi tiada.
Tiga macam entitas Subjektif
(Pengertian, konsep)
Seacara klasik, konsep (entitas subjektif atau
entitas objektif artifisial) dapat
dibagi menjadi dua;
- Pasti ada (Al-wujub). Yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu yang tidak diakibatkan oleh sebab lain atau sesuatu yang ada secara pasti dan niscaya. Inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li dzatihi Dengan kata lain, ‘kepasti-ada-an’ adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
- Pasti tiada (Al-Imtina’). Yaitu kenir-ada-an yang tidak diakibatkan oleh sebab selain dirinya, atau ‘sesuatu’ yang tiada secara pasti dan niscaya. Deangan kata lain, kepasti-tiada-an adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
- Tidak pasti (Al-Imkan). Yaitu ke-ada-an sesuatu yang diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan ketiadaannya tidak pasti. inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li ghairihi. Dengan kata lain, ‘ketidak-pastian’ (Al-imkan) adalah bentuk hubungan tidak niscaya antara subjek dan predikat. (Hasti Shenasi, 83, Ta’liqah ala Asy-syifa’, 28, Al-Mabda’ wal- Ma’ad karya Mulla Shadra, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah, 427-428, Hakadza Nabda’, 223-224, Nihayatul-Hikmah, 55-56).
Sebagian
filsuf Mazhab Qom menolak definisi tentang ‘kepastian’ (azh-zharutrah)
dan ‘ketidakpastian’ (Al-imkan). Muthahhari, misalnya, mengatakan bahwa
keduanya sangat gambar, sehingga tidak memerlukan penjelasan. (Ushul e
Falsafeh va Realisme, sairi dar Adeleh e Itsbat e Wujud Khuda, 119).
Macam-macam ‘ketidakpastian’
Dalam
filsafat, terminologi ‘kemungkinan’ atau Al-imkan atau possibilitas
telah digunakan secara beragam. Untuk lebih dipahami secara jelas, berikut
penjelasannya.
1.
Kemungkinan umum (Al-imkan Al-am). Ia berarti ‘negasi terhadap kemestian (zharurah)
sisi yang berlawanan dengan premis’. Dengan kata lain, kemungkinan umum adalah
sesuatu yang bukan mustahil. Bila kita katakan; “Manusia adalah penulis” atau
“Hasan adalah orang kaya”, maka berati ‘ke-penulis-an’ dan ‘ke-kaya-an’ bagi
manusia dan hasan bukanlah sesuatu yang mustahil.
2.
Kemungkinan khusus (Al-imkan Al-khash). Ia berarti negasi kemestian dua pihak atau
sisi yang berlawanan dan yang berkesesuaian. Dengan kata lain, kemungkinan
khusus adalah gabungan dari dua macam kemungkinan umum. Bila dikatakan,
misalnya, “manusia adalah pemkir”, maka bahwa ia berpengetahuan tidaklah pasti,
dan bahwa ia tidak bodoh bukanlah sesuatu yang pasti pula. Inilah yang disebut
juga dengan ‘kemungkinan populer’.
3.
Kemungkinan lebih khusus (Al-imkan Al-akhas). Ia berarti negasi terhadap kemestian dalam
substansi, predikat dan waktu. Dengan kata lain, jika kita membandingkan sebuah
predikat (sifat) dengan zat (subjek penyandang) dan natur sebuah quditas
(mahiyah), maka kita akan menyimpulkan bahwa ‘segala bentuk afirmasi atau
keniscayaan antara natur dan prdikat
tersebut tidak ada sama sekali. Artinya, kemestian dalam substansi,
predikat dan waktu atas quiditas itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan
‘kemungkinan lebih khusus’.
4.
Kemungkinan Mendatang (Al-imkan Al-istiqbali). Ia berarti negasi terhadap kemestian
peristiwa yang belum terjadi. Namun, sebagian besar filsuf tidak menganggap
macam keempat ini sebagai kemungkinan yang logis, karena mungkin dan tidak
mungkin harus didasarkan pada kaidah kausalitas dan rangkainnya, bukan pada
keterjadiannya.
5.
Kemungkinan potensial (Al-imkan Al-isti’dadi). Penjelasan: Tidak diragukan lagi, bahwa
setiap entitas , berdasarkan hukum transformasi dan perubahan, memiliki potensi
dan kapasitas untuk mengalami perubahan substansial. Menjadi ‘manusia’ bagi
janin dalam perut ibu adalah sebuah posibilitas potensial. Jadi kemungkinan
kelima ini bertumpu pada dua relasi; aktus dan potesi.
6.
Kemungkinan faktual atau aktual
(Al-imkan Al-wuqu’i). Ia berarti
sesuatu yang tidak mustahil untuk diandaikan. Kadang kala kita menkonsepsikan
sesuatu , lalu tanpa disadarkan pada sebuah bukti dan alasan, kita segera
menganggapnya mustahil, karena, misalnya, bertentangan dengan prinsip non
kontradiksi. Namun kadang kala kita mengkonsepsikan sesuatu, namun akal tidak
secara mudah memutuskannya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi dan
sebaliknya.
7.
Kemungkinan eksistensial (Al-imkan Al-faqri).
Penjelasan: setiap entitas yang ‘tidak pasti’ dapat diurai secara
rasional menjadi dua; wujud (ke-ada-an) dan esensi (ke-apa-an, mahiyyah).
Masing-masing memiliki ciri dan hukum tersendiri. Kemungkin zati (Al-imkan
Az-zati) adalah negasi ke-ada-an dan ketiadaan dari ciri-ciri khas
ke-apa-an. Namun kemungkinan dalam entitas-entitas yang ‘tidak pasti’ berarti
ketergantungan secara zati pada prinsip pengada. Karena ia hanya memiliki
ketergantungan semata, maka hakikatnya adalah ketergantungan. Maujud-maujud
demikian pada hakikatnya tak ubahnya konsep-konsep tentang tentang harf dalam
bahasa Arab atau kata bantu dalam bahasa Indonesia, yang tidak memiliki arti
secara mandiri, kecuali bila berada di antara kalimat-kalimat yang memiliki
arti mandiri. Kata ‘di’ tidak berati sama sekali bila dibiarkan sendiri, namun
bila di diletakkan diantara kata ‘Muhammad’ dan ‘sekolah’, maka ia mempunyai
arti tertentu. Ini adalah temuan dari Pendiri mazhab Qom, Shadruddin Syirazi.
Menurutnya, ‘entitas ‘tidak pasti‘ tidaklah bergantung pada entitas ‘pasti
ada’, namun entitas tidak pasti itu sendiri adalah kebergantungan. (Al-asfar
Al-arba’ah, juz 2, hal. 286).
8.
Kemungkinan dibanding lain (Al-imkan bil-qiyas).
(Elm e
Kulli, M. Haeri Yazdi, 112-117, Nihayatul-Hikmah, 61-66).
Macam-macam Kepastian
Kepastian
(Azh-zharurah, Al-wujub) adalah kemustahilan tentang keterpisahan
antara dua hal. Sebagian filsuf mebagi tiiga sebagai berikut:
1.
Kepastian subjektif (Azh-zharurah Az-zatiyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya
predikat dari subjek (dalam premis) selama subjek tersebut ada, seperti
kemustahilan menegasi (mencabut) ukuran dari benda yang masih ada, atau
kemustahilan mengasi (mencabut) sesuatu dari diri sesuatu itu sendiri.
2.
Kepastian eternal (Azh-zharurah Al-azaliyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya
predikat dari subjek selamanya, seperti kemustahilan mengasi wujud dari sebuah
maujud yang azali (tak bermula), atau kemustahilan mencabut wujud dari wujud
itu sendiri.
3.
Kepastian predikatif (Azh-zharurah Al-washfiyah). Ia diartikan sebagai kemustahilan
terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) ketika subjek tersebut
menyandang sifat, seperti kemustahilan tidak bergeraknya jari pada saat tangan
menyandang sifat ‘menulis’. (Al-falsafah Al-ulya, 39-40).
Namun
Allamah Thabathabai menambahkan kepastian temporal (Azh-zharurah
Al-waqtiyah) sebagai macam keempat, seperti premis ‘setiap manusia pasti
bernafas sewaktu-waktu’. Namun, beliau juga mengatakan bahwa macam keempat ini
bermuara ke macam ketiga, kepastian predikatif. (Nihayatul-Hikmah, 60).
PENGETAHUAN
Epistemologi
adalah bidang filsafat yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan manusia.
Keyakinan atau teori apapun yang penah ada dalam benak setiap manusia bersembur
dari epistemologi. Epistemologi membahas definisi pengetahuan, macam-macam
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, batas-batas pengetahuan, dan proses terbentuknya
sebuah pengetahuan. Karena itulah, ia sangat perlu untuk dipelajari, terutama
bagi para pencari kebenaran. )Theory of Knowledge, Chiholm, P. 5).
Istilah
‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani ‘episteme’
yang berarti ‘pengetahuan’ (kwowledge) dan ‘logos’ yang berarti ‘teori’, dan
dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan ‘teori pengetahuan’.
Istilah
‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris digunakan kali pertama oleh J.F. Ferrier
dalam Intstitues of Metaphysics pada tahun 1854. Sedangkan yang pertama
kali menggunakannya dalam bahasa Jerman ‘Evkenntnistheorie’ adalah K. R. Reinhold. (The Dictionary of
Philosophy, ed, D.D. Runes, P. 94, Ma’refat Shenashi dini va Mo’asher, 28,
M. Taqi Fa’ali).
Sebenarnya para filsuf Mazhab Qom kurang setuju dengan pengedepanan
epistemologi atau filsafat pengetahuan atas ontologi atau filsafat keberadaan,
karena, beberapa alasan. Pertama, pengetahuan tidak akan bisa dibicarakan
sebelum ke-ada-an subjek pengetahu
dipastikan. Kedua, pengetahuan adalah salah satu dari bidang ontologi,
karena pengetahuan adalah entitas subjek yang merupakan pasangan bagi entitas
objektif atau realitas, realitas yang
terinderakan (al-waqi’ al-mahsus) dan realitas tak terinderakan (namun
ternalarkan), (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 151, Elme Huzhuri, M.
fana’ee Ashkevari, 19). Realitas ternalarkan (Al-waqi’ al-ma’qul) itu
bermacam dua; realitas tak terinderakan yang bersifat interval (alam
al-mitsal), seperti mimipi, dan realitas tak terinderakan yang bersifat
abstrak secara total.
Epistemologi adalah bidang filsafat yang secara
khusus membahas entitas subjektif (al-maujud al-zihni). Pengetahuan (Al-ilm)
adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif. Bahkan bila ditelusuri
lebih jauh, pengetahuan bukan hanya sebuah entitas subjektif, namun ia adalah
sebuah entitas objektif yang tak terinderakan. Pengetahuan yang merupakan
sebuah entitas objektif tak terinderakan tidak lagi disebut pengetahuan (Al-ilm)
namun disebut dengan Al-aql, yang berarti entitas abstrak yang tidak
menyandang sifat-sifat kebendaan. (Al-falsafah Al-ulya, 270-275,
Ashlul-ushul, 8, Al-masyari’ wal-mutharahat, juz 1, hal. 45, An Introduction
to Contemporary Epistemology, P. 1, The Encyclopedia of Philosophy, P.
63).
Alasan-alasan
yang dikemukakan para filsuf ketimuran tersebut sangat tepat. Namun, karena
‘ke-ada-an’ tidak akan pernah diyakini sebelum subjek mengetahuinya lebih dulu,
maka tema-tema pembahasan dalam buku ini mengikuti sistematika urutan modern
yang dimulai dengan epistemologi. Harap dimaklumi. Jadi, epistemologi, yang
disusun oleh para filsuf Barat, sebenarnya di mata para filksuf Mazhab Qom
tidak lebih dari sekedar filsafat wujud subjektif.
Dalam benak kita, sejak lahir hingga kini, telah terkumpul ribuan atau
bahkan jutaan konsep tentang berbagai
sesuatu yang pernah kita tangkap, seperti rumah yang kita lihat, aroma segar
parfum dari Paris, rasa sedap makanan di warung langganan dan sebagainya.
Namun, sebagian dari konsep-konsep itu ada yang benar dan sesuai dengan fakta,
ada yang salah dan tidak faktual, dan ada pula tidak bisa dianggap benar maupun
salah.
Apakah ketidaktahuan itu? Apakah pengetahuan itu?
Berapa macamnya? Berapa alat pengetahuan? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang
benar atau sesuai dengan realitas objektif? Bisakah memperoleh pengetahuan yang
benar? Dengan sarana apakah? Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan penting
yang dijawab dalam epistemologi.
Bagian dan isu pertama yang kita bahas adalah
“tindak mengetahui”, “subjek yang mengetahui”, dan “objek yang diketahui”.
Tanpa pemahaman yang jelas tentang peta dan rambu-rambu pengetahuan, maka
manusia (makhluk berakal budi) sulit bahkan mustahil dapat memasuki dan
menjelajahi dunia pengetahuan. Karenanya, tak pelak bagian ini harus menjadi
“garis start” bagi setiap pencari kebenaran dan kebijakan.
Ketidaktahuan dan kebodohan
Ketidaktahuan adalah lawan dari ‘ketahu-an’ atau
pengetahuan. Karenanya, kita perlu membahasnya meski secara singkat. Disebutkan
bahwa salah seorang filsuf atau pemikir Islam membagi manusia menjadi empat;
- ‘Manusia berpengetahuan’ yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
- ‘Manusia berpengetahuan’ yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
- Manusia tidak berpengetahuan yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia tidak berpengetahuan’.
- Manusia tidak berpengetahuan yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia yang tidak berpengetahuan.
Definisi ketidaktahuan
Ketidaktahuan atau kebodohan (Al-jahl) dapat diartikan
dengan ketiadaan atau ketakhadiran konsep suatu objek (dalam pengetahuan hushuli) dan
ketidakhadiran entitas immaterial sebuah objek (dalam pengetahuan hudhuri).
Distingsi ketidaktahuan
Ketidaktahuan dapat dibagi, berdasarkan peringkat, menjadi dua;
1.
kebodohan
kompleks (Al-Jahl Al-Murakkab). Yaitu ketidaktahuan yang tidak disadari
oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.
2.
Kebodohan
sederhana (Al-Jahl Al-Basith). Yaitu ketidaktahuan yang disadari oleh
‘subjek yang tidak mengetahui’.
Manusia yang bodoh secara kompleks (mengalami komplikasi kebodohan),
tidak akan pernah berpeluang untuk menjadi ‘manusia berpengetahuan’. Karena
itulah, pembahasan-pembahasan dalam buku ini hanya bisa diikuti oleh manusia
tidak tahu secara sederhana dan calon ‘manusia
berpengetahuan’.
Ke-tahu-an dan Pengetahuan
Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam
material, maka kita akan menemukan benda pertama terkecil di dalamnya, yang
disebut dengan atom atau partikel atau energi. Yang pasti, ada sebuah entitas material yang merupakan
asal muasal dari alam yang kompleks ini. Setiap entitas material di alam ini
adalah kumpulan dari atom-atom yang jumlahnya tak terkirakan.
Atom memiliki substansi dan ciri tertentu. Ada
entitas material tertentu yang memiliki ciri atom dan sekaligus menyandang
sifat-sifat substansial yang tidak ada dalam setiap entitas atomik atau materi.
Batu dapat dipandang sebagai benda, karena ia berada dalam ruang dan waktu,
dapat dipandang sebagai atom, karena benda terkecil adalah atom, dan dapat pula
dipandang sebagai benda padat, karena ciri kepadatannya yang khas, demikian
pula air yang merupakan benda atomik sekaligus benda yang menyandang sifat
cair, demikian pula gas, api atau ion.
Selain benda padat, cair dan gas, terdapat entitas
material padat, cair dan gas yang memiliki ciri-ciri khas lebih.
Tumbuh-tumbuhan dengan segala macamnya, daun, kembang, tangkai, pokok, buah,
biji dan sebagainya bukanlah sekedar benda padat, namun ia “berkembang” dan
“tumbuh”.
Di tengah tumbuh-tumbuhan, ada sekelompok entitas
yang merupakan benda bekembang sekaligus “berindera” dan “berperasaan”, yaitu
hewan atau binatang. Ia bergerak dengan kehendak dan nalurinya, makan, minum,
melakukan aktivitas seksual, menyusui anaknya dan sebagainya.
Di tengah hewan ada sekelompok hewan yang tidak
hanya berperasaan dan berindera, namun juga berakal (mempunyai akal).Dialah
manusia.
Definisi ‘Pengetahuan’
Apakah ‘tahu itu? Apakah pengetahuan itu? Apakah
subjek pengetahu itu? Apakah objek yang diketahui itu? Berapakah macam pengetahuan? Apakah alat pengetahuan
itu? Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan? Bagaimana membedakan antara
pengetahuan yang benar dan tidak benar? Apa hubungan antara pengetahuan yang
benar dan keyakinan? Pertanyaan-pertanyaan
ini sangat perlu untuk dijawab.
Pertama-tama kita perlu memahami bahwa istilah
“pengetahuan” yang kami gunakan disini bersifat umum, bukan hanya terbatas pada
pengetahuan yang kini lebih sering disebut dengan “ilmu pengetahuan” dan
“sains”. Pengetahuan yang kami bahas di sini adalah setiap konsep mental yang
lazim disebut “knowledge” dan “al-ma’rifah”.
Jika seseorang mengklaim “tahu” atau “berpengetahuan” dan berkata: “Saya tahu bahwa besok hujan akan
turun’, maka syarat-syarat apakah yang semestinya telah dipenuhinya, sehingga
kita dapat menganggapnya berhak mengaku dirinya berpengetahuan atau mengetahui?
Ada sekelompok filsuf muslim yang menganggap pengetahuan sebagai
sesuatu yang perlu didefinisikan meski mengakuinya sulit, sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Juwaini dan Al-Ghazali. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 67,
Nadhariyatul-Ma’rifah, 18, Al-Mustasfa, juz 1, hal 25). Sementara sekelompok
filsuf dan teolog lainnya, seperti Abubakr Al-baqilani (403 H) , Abul-hasan
al-asy’ari (260-324 H) Ibnu Faorak Al-Asy’ari (406) Al-Iji, Al-Fakhr Ar-Razi,
Sa’duddin At-taftazani, Ikhwan Ash-Shafa, Quthbuddin Asy-Syirazi, Abu Ali Sina
, telah memberikan beragam definisi
tentang pengetahuan. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 69-76, Ushulud-Din, 5,
Syarhul-maqashid, hal. 185-197, Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa, juz 1,
hal. 262, An-najah, Ibnu sina, 344, Durratut-taj Quthb
Asy-Syirazi, 65, Nadhariyatul-ma’rifah, 20-33, Asy-Syifa’ Kitabun-nafs,
50, At-ta’liqat, Ibnu Sina, hal. 69, 82, Asy-Syifa’, Al-Ilahiyat, 361,
AlIsyarat, juz 2, hal. 308). ).
Berdasarkan pengamatan Nasiruddin Thusi, perdebatan tajam dan
panjang tentang definisi pengetahuan, bukan karena ketakjelasannya, namun
semata-mata karena hakikatnya sangatlah gamblang. (Syarah Al-Isyarat
wat-Tanbihat 1/313)
Oleh karena itu, ada sekelompok filsuf yang menolak untuk memberikan
definisi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa, pengetahuan adalah sesuatu yang
sangat gamblang sehingga tidak perlu didefinisikan, sebagaimana pendapat
Al-Razi (543-606 H). Ia mengemukakan dua alasan
untuk itu. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 62 - 66, Nadhariyatul-Ma’rifah,
18).
Lebih dari
itu, Sebagian filsuf lain beranggapan bahwa pengetahuan mustahil didefinisikan.
Mereka mengingatkan bahwa pengetahuan adalah suatu hakikat yang dihayati dan
disaksikan langsung 0oleh batin manusia secara inheren. Adapun yang
disebut-sebut sebagai definisi pengetahuan, menurut mereka, tidak lebih dari upaya-upaya untuk memahami
dan menafsirkan penyaksian batin tersebut secara filosofis dan konseptual serta
menemukan cirri-ciri khususnya, seperti definisi “Pengetahuan yaitu hadirnya
yang diketahui (objek) pada jiwa pengetahu (subjek).”
Definisi
pengetahuan telah mendapat banyak kritik. Salah satu kritik tajam dilontarkan oleh Edmund Gettier yang dikutip
oleh Alvin Plantigna. (Elm e Hudhuri, Eshkevari 21, Ma’refat Shesnasyi, Ibrahimiyan 49, Al-Asfar Al-arba’ah, 3/278, dll)
Kontroversi seputar pengetahuan
Bagaimanakah pengetahuan itu? Para filsuf terpecah menjadi aliran besar
dalam epistemologi. Yaitu sebagai berikut:
Representasionisme
Sebagian besar filsuf, termasuk kaum idealis
seperti Josiah Royce (1855-1916) berpendapat bahwa mental manusia dalam konteks
persepsi, tidak cukup dengan sendirinya berhubungan dengan suatu objek. Ia
hanya akan bisa mengetahuinya lewat perantara, yaitu gambar yang ada pada
mental dari objek tersebut. John Stuart Mill (1806-1873), W. James (1842-1910)
dan Baldwin secara radikal mengatakan bahwa pengetahuan kita akan diri kita
sendiripun hushuli (hushuli) dan tidak aksiomatis (Vocabulaire Technique ef
Critique de la Wastiq.) Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi Gulam
ridha
Presentasionisme
Pendangan ini didukung oleh Perseptionisme dan neo
realisme yang dibidani oleh William Pepperell Montaque (1873-1955), sebagai
reaksi atas kritik-kritik Royce atas seperjuangannya; Empirisme Nominalistik
yang meyakini independensi setiap entitas, dan segala relasi yang kita cermati
di antara entitas mesti dipandang sebagai entitas mandiri pula.
Menurut mereka, mental manusia dengan sendirinya bisa
mengetahui langsung objek-objek pengetahuannya, tanpa perlu perantara gambar
apapun. Klaim ini dibubuhi dengan kritik balik Montaque atas Royce yang
dipandang oleh sebagian filsuf, seperti A.O. Lovejoy (1873-1962), G. Santayana
(1863-1952), C.A. Strong (1862-1940) sebagai sikap penyepelean terhadap royce.
Dengan cara ini, mereka menggalang barisan baru di dalam tubuh realisme yang
dikenal dengan Critical Realism of America.(The History of Philosophy, F.
Copleston 8/301,425-426, Farhang o. Stally brass-bullack 830-831)
Perbincangan di atas tidak tebatas pada sastra
filsafat barat anglo saxon, tetapi dua pandangan itu dapat kita saksikan di
dunia islam. Sadrul Mutaallihin yang dikenal juga dengan Mulla Shadra ( -1050
H)dengan penafsiran tipikal meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada
dasarnya diperoleh secara langsung dan hudhuri, kendati pada prima facie
(tinjauan awal) penegetahuan berperantara atau hushuli berikut pembagian
pengetahuan di atas tadi dianggap valid, sebagaimana yang diyakini oleh
filsuf-filsuf sebelumnya. (Al-Syawahid Ar-Rububiyah, Mulla Shadra).
Yang terpilih
Pendapat yang benar adalah bahwa pengetahuan (entitas ternalarkan) bermacam
dua; hushuli dan hudhuri, sebagaimana akan kita buktikan dalam satu satu bagian
dari pembahasan ini.
Pengetahuan hudhuri dan rehudhuri
Secara umum, semua pengetahuan pada mulanya
bermacam dua, dilihat dari proses kemunculannya dalam diri ‘manusia
berpengetahuan’.
- Pengetahuan hudhuri (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah). Ia dalah sesuatu yang hadir dalam diri atau diketahui secara kehadiran tanpa perantara apapun. (Nadhariyatul-Ma’rifah, 2I- 22).
- Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Ia adalah gambaran tentang sesuatu yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik (fisik). Pengetahuan kedua ini akan dibahas secara lebih rinci pada bagian berikutnya.
Pembagian ini bersifat deduktif rasional, sehingga
tidak akan pernah muncul lagi jenis ilmu ketiga selain ilmu hushuli dan
hudhuri. Penegasan ini didasarkan pada dua alasan sebagai berikut:
- Jika ada perantara antara subjek pengetahu (alim) dan objek yang diketahui (ma’lum), maka ia adalah pengetahuan hushuli. Jika tidak maka ia disebut pengetahuan hudhuri. (Amuzesye falsafeh, juz1, hal. 153, Ulume Payeh, 72)
- Kehadiran objek yang diketahui dalam diri subjek pengetahu hanya bisa dimengerti dalam salah satu dari dua asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa yang memasuki diri subjek pengetahu adalah ‘objek yang diketahui’ dengan quiditasnya semata. Dengan kata lain, yang ditangkap oleh subjek pengetahu adalah quiditas (ke-pa-an) objek semata. Asumsi kedua ialah bahwa yang memasuki diri ‘subjek pengetahu’ adalah ‘objek diketahui’ dengan eksistensinya (ke-ada-an)-nya. Dengan kata lain, yang hadir dalam diri alim adalah wujud objek tersebut.(Nehayatul-Hikmah, 237).
Pengetahuan yang bermuatan quiditas objek yang
diketahui adalah pengetahuan hushuli. Sedangkan pengetahuan yang berisikan
eksistensi objek yang diketahui adalah pengetahuan hudhuri.
Dengan demikian, karena selain quiditas (ke-apa-an)
dan selain eksistensi (ke-ada-an, wujud) hanyalah ketiadaan, maka pembagian dan
pembatasan pengetahuan pada hudhuri dan hushuli bersifat rasional dan deduktif,
bukan induktif. (Ulume Payeh, 72).
Manusia berpotensi untuk memperoleh dua macam
pengetahuan;
- pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah).
- pengetahuan hushuli, yang disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah).
Antara Pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli
Ada tiga
ciri perbedaan antara ilmu hudhuri (presentatif, persentif) dan ilmu hushuli
(hushuli, hushuli).
Ciri perbedaan pertama adalah ‘perantara’. Pengetahuan hudhuri adalah
pengetahuan yang hadir dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara. Sedangkan
pengetahuan hushuli adalah pengetahuan yang didapat oleh subjek pengetahu
dengan perantara. (Syarh Mandhumah, hikmah, 137, Ulume Payeh, 66,
67, Elm e Huzhuri, fana’I Ashkevari).
Ciri perbedaan kedua adalah ‘konsep’ atau gambaran yang merefleksikan
realitas objektif di luar subjek pengetahu. (Shenakht Shenasi dar Qur’an, Javadi
Amuli, 67, Sharh Manzhumah, 76, Hikmatul-Isyraq, 38, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 1, hal. 263, Nehayatul-Hikmah, 210, Amuzesh
Falasafeh, M. T. Mishbah Yazdi, 153, Nadhariyatul-Ma’rifah, Ja’far
Subhani, 48). Ciri kedua ini bisa dianggap sebagai pelengkap dan
penjelas ciri pertama, karena perantara pengetahuan hushuli adalah konsep yang
terpantul dalam benak subjek pengetahu dari realitas objektif.
Ciri ketiga adalah alat. Pengetahuan hudhuri tidak
memerlukan alat atau perangkat psikologis tertentu. Sedangkan pengetahuan
hushuli bergantung pada alat dan
perangkat tertentu, sebagaimana dikatakan Mutahhari. (Ushule Falsafeh va
Raveshe Realisme, juz 2, hal. 29-28).
PENGETAHUAN HUDHURI
Pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut
“pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah) adalah entitas immaterial
yang hadir dalam diri subjek yang immaterial pula, atau pengetahuan tanpa perantara. (Metafisika,
hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67,
hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).
Dua pilar Pengetahuan hudhuri
- (Objek) Yang diketahui tanpa perantara.
- (Subjek) yang mengetahui tanpa perantara.
Dengan dua pilar diatas, pengetahuan hudhuri tidak
bisa meleset. Karena kesalahan akan terjadi bilamana ada pemisah berupa konsep
antara pengetahu dan objek yang diketahui (Al-Manhaj Al-Jadid 1/175-176).
Bidang-bidang Pengetahuan hudhuri
Objek-objek pengetahuan hudhuri sangatlah sedikit,
namun ia merupakan cikal bakal dan sumber bagi pengetahuan-pengetahuan hushuli.
Ia terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan konseptual, dan pengetahuan
assentual.
Para filsuf menemukan beberapa ekstensi
pengetahuan hudhuri yang berbeda tingkat kualitas dan kejelasan satu sama
lainnya. Secara umum, pengetahuan hudhuri dapat dibagi menjadi dua:
1.
Pengetahuan
hudhuri sederhana. Yaitu
pengetahuan hudhuri pengetahu akan dirinya sendiri.
2.
Pengetahuan
hudhuri kompleks. Yaitu
pengetahuan manusia akan entitas dan objek selain dirinya.
Dua Pengetahuan hudhuri sederhana
Para ahli epistemologi Mereka menyebutkan dua macam pengetahuan
hudhuri yang subjek dan objeknya satu, yaitu;
- Pengetahuan Tuhan akan dzatnya
- Pengetahuan subjek atau diri (manusia hudhuri) akan dirinya
Macam-macam Pengetahuan hudhuri kompleks
Para ahli
epistemologi menyebutkan macam-macam pengetahuan hudhuri yang terdiri atas
subjek dan objek yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
- Pengetahuan sebab akan akibatnya.
- Pengetahuan akibat akan sebabnya
- Pengetahuan subjek akan gambar-gambar konseptual
- Pengetahuan subjek akan perbuatan-perbuatan dirinya
- Pengetahuan subjek kondisi psikologis emosionalnya.
- Pengetahuan subjek akan potensi-potensi dirinya.
(Ulume payeh, 82, M. Taqi Fa’ali, Nihayatul-Hikmah, Thabathabi,
299, Ilm-e-Huzuri, Fana’i esykevari 5-6, 29).
Gradasi Pengetahuan hudhuri
Perbedaan tingkat kejelasan diantara pengetahuan hudhuri bermuara pada
dua hal;
1.
Intensitas.
Semakin tinggi intensitas pengetahu tearhadap suatu objek, semakin jelas
pengetahuan hudhurinya.
2.
Eksistensi
pengetahu. Apabila kualitas dan tingkat eksistensinya tinggi, maka pengetahuan
hudhurinya kian sempurna. Sebaliknya, jiwa yang lemah akan diikuti oleh
kelemahan ilmu hudhurinya. Sedemikian lemahnya jiwa itu,terkadang ia
memungnkiri objek pengetahuan hudhurinya sendiri. Namun ia akan pulh kembali
dengan dibantu oleh meningkatnya intensitas terhadap objek tersebut .(Al-Manhaj
Al-Jadid, 1/177-179, Ma’refat e
Shenasi , ibrahimiyan 83-84, dll).
Mental (dzihn) manusia, sebagaimana mampu menangkap gambar atau konsep
dari objek-objek diluar (dirinya), ia juga dapat mencerap gambar atau konsep
dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri dan hudhuri,
lalu menganalisa dan menafsdirkannya secara konseptual dan hushuli. Oleh karena
itu, pengetahuan hudhuri selalu disertai pengetahuan husuli (hushuli).
Kendati pengetahuan hudhuri tidak mungkin meleset, namun karena terjadi
kerancuan dan pencampur-adukan antara pengetahuan hudhuri dan pemafsiran
konseptual/hushulinya yang bisa saja keliru, sehingga seringkali penafsiran
salah itu yang dianggap sebagai pengetahuan hudhurinya.
Ciri-ciri Pengetahuan hudhuri
Setelah mengikuti secara seksama pembahasan
seputar pengetahuan hudhuri, kita dapat menyimpulkan lima ciri khasnya sebagai
berikut:
1. Pengetahuan hudhuri tidak berperantara. Dengan
demikian jelaslah, bahwa objek yang diketahui secara hudruri adalah objek itu
sendiri dengan eksistensinya yang berdimensi intelektual immaterial.(al-ma’lum
al-ilmi), meski tidak memilki pengaruh, karena ia bukan objek (al-ma’lum
al-aini) yang memilki pengaruh. Dengan kata lain, seseorang yang menangkap
sesuatu di luar dirinya secara huduri akan merasakan kehadiran sesuatu itu
sebagaimana adanya, meski tidak memiliki pengaruh objektif. (Amuzesye
Falsafeh, M.T. Misbah yazdi, juz 2, pel. 49, Nadhariyeh Badahat, 76).
2.
Pengetahuan
hudhuri Bebas dari konsepsi (korespondensi, tashawwur,) dan bebas dari
assensi (verifikasi, tashdiq). Pengetahuan yang dibagi menjadi
konseptual dan assentual hanyalah jenis pengetahuan hushuli (hushuli, hushuli).
Karena, konsepsi dan assensi bergantung pada konsep atau gambaran yang muncul
di layar mental subjek pengetahu, maka pengetahuan yang sejak semula tidak
diperantarai oleh sesuatu apapun, termasuk konsep, tidak dapat dibagi menjadi
konseptual dan assentual. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 6, hal. 257, Hasyieh
Sabzawari).
3.
Pengetahuan hudhuri tidak dapat
dideskripsikan dipindahkan ke orang lain. Dengan kata lain, pengetahuan hudhuri
adalah pengetahuan yang personal dan spesial. Hanya dengan mukasyafah dan
dengan memasuki domain irfan (teosofi), seseorang akan mendapatkan
keburuntungan berupa pengetahuan hudhuri.
4.
Pengetahuan
hudhuri tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan, karena objek pengetahuannya
hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri. Sedangkan pengetahuan bisa salah dan
bisa meleset, karena objeknya bermacam dua; objek yang berhubungan dengan
subjek, berupa konsep (bil- dzat) dan objek yang diperoleh melalui
konsep (bil-aradh). Objek yang diperantarai konsep dapat meleset akibat
distorsi dan faltor-faktor konstekstual lainnya.
5.
Kondisi teosofis,
biasanya, tidak bertahan lama. Seseorang yang, berkat latihan spiritual
panjang, menikmati anugerah pengetahuan hudhuri, biasanya, mengalami degradasi,
fluktuasi dan kehilangan anugerahnya
apabila tidak konsisten dalam latihan tersebut. (Ulume Payeh, 80).
Sumber pengetahuan hudhuri
Sebenarnya pengetahuan hushuli dengan objek
substansial dan primer, yaitu konsep, dapat dianggap sebagai salah satu macam
pengetahuan hudhuri, karena konsep tersebut ‘hadir’ dalam diri subjek pengetahu
tanpa perantara konsep lain. Seandainya konsep dalam pengetahuan hushuli
memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan hushuli tidak akan pernah
diperoleh selamanya, karena konsep kedua yang menjadi perantara akan memerlukan
perantara konsep yang ketiga dan begitulah seterusnya.
Perlu diketahui pula, bahwa ontologi dan realisme sejati, sebagaimana
ditegaskan oleh Thabathabai, meyakini bahwa setiap entitas memiliki dua
eksistensi; eksistensi material, eksistensi immaterial, yaanmg terbagi dua;
ideal (mitsali) dan abstrak (mujarrad).
Realitas batu, misalnya, saat diketahui akan menampilkan eksistensi idealnya
berupa gambar gambar batu. Gambar ‘batu’ ini bukanlah sesuatu yang berbeda
dengan realitas batu di luar subjek pengetahu. Batu dan segala entitas memiliki
eksistensi material dengan berat, ukuran, warna, kedalaman dan atribut-atribut
kebendaannya. Batu juga memiliki eksistensi ideal dengan atribut-atribut
immaterial dan idealnya. ‘batu ideal’ dan ‘batu immaterial’ itulah yang hadir
dalam diri subjek pengetahu. Seandainya objek yang diketahui itu adalah
realitas dengan eksistensi materialnya, maka dirinya akan segera terbakar atau
kepanasan saat menangkap objek api material, Namun, karena yang kita tankap
adalah ‘api ideal’ atau ‘api immaterial’ misalnya, yang kita tangkap, maka diri
kita, sebagai subjek tidak ikut kebakaran, sebab ‘api immaterial’ tidak
memiliki pengaruh material, namun ia memiliki pengaruh immaterial.(Nihayatul-Hikmah,
294).
PENGETAHUAN HUSHULI
Pengetahuan hushuli, yang juga disebut pengetahuan
hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Adalah konsep yang diperoleh oleh
seseorang sembari menyadari dirinya sebagai subjek semata. (Metafisika, hal.
11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal.
70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).
Betapapun pengetahuan hudhuri tidak meleset, namun
ruangnya sangat sempit dan terbatas, sehingga ia tidak dapat dijadikan sebagai
penyelesai semua problema dalam pengetahuan. Hanya dengan mengandalkan
pengetahuan hudhuri, proses transformasi, komunikasi, dan persuasi tidak akan
berjalan, yang pada akhirnya sebagian besar pengetahuan tidak dapat dilahirkan,
selain penegetahuan tentang diri dan sejenisnya.. Karena itulah pengetahuan
hushuli sangat diperlukan (Al-manhaj Al-jadid, 176).
Tiga pilar pengetahuan hushuli
Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah)
terbentuk di atas tiga pilar;
- Pengetahu (Al-Mudrik)
- Yang diketahui (Al-Mudrak)
- Gambaran (Ash-Shurah) tentang sesuatu yang diketahui secara inheren.
Objek-objek pengetahuan hushuli
Objek pengetahuan hushuli bermacam dua;
1.
Objek substansial (al-ma’lum bil-zat). Yaitu konsep yang merefleksikan realitas
objektif dalam diri subjek pengetahu.
2.
Objek
aksidental (al-ma’lum
bil-aradh). Yaitu realitas objektif yang diperantarai oleh konsep.
Jika konsep yang ditangkap oleh subjek pengetahu
mengungkapkan realitasnya sebagaimana adanya, maka pengetahuan hushuli tersebut
dianggap sebagai benar. Jika tidak, maka ia adalah pengetahuan hushuli yang
meleset.
Sedangkan pengetahuan hudhuri, karena objeknya hanyalah satu, yaitu
realitas itu sendiri, maka ia segera dapat dipastikan benar. Ia tidak akan
pernah salah, karena yang hadir dalam diri subjek pengetahu hudhuri adalah
realitasnya, bukan gambar realitas. Oleh sebab itu, pengetahuan hudhuri abadi,
sakral dan terlindung dari distorsi, reduksi dan kesalahan lainnya.
Macam-macam Pengetahuan hushuli
Pengetahuan
hushuli dapat dibagi dengan beberapa versi pembagian. Karena banyaknya versi
pembagian, kita harus jeli memperhatikan asas pembagian dan alasan serta urutan
pembagiannya.
Pengetahuan
hushuli mengalami banyak pembagian dan penguraian, karena bidangnya sangat
luas. Pengetahuan hushuli dapat dibagi menjadi tashawwuri (konseptual) dan
tashdiqi, dengan bermacam pembagian yang merupakan turunannya. Pengetahuan
hushuli dapat pula dibagi menjadi badihi (ekstemporal) dan nazhari (non
ekstemporal, aposterior), dengan beragam pembagian yang bersumber darinya.
Pengetahuan hushuli reaktif dan aktif
Pengetahuan
husuli dapat dibagi dua;
1.
Pengetahuan hushuli reaktif (Al-ma’rifah al-infi’aliyah). Yaitu entitas konseptual
(pengetahuan) yang merupakan pantulan dari entitas objektif (realitas), seperti
pengetahuan tentang segala sesuatu yang berada di luar diri manusia.
2.
Pengetahuan hushuli aktif (Al-ma’rifah al-fi’liyah). Yaitu entitas konseptual yang menjadi
pemantul atau sebab bagi entitas objektif (realitas), seperti gambar sebuah
bangunan (dalam benak manusia) yang merupakan akibat dari konsepsi abstrak. (Al-falsafah
Al-ulya, 238, Al-hikmah Al-muta’aliyah, juz 3, hal. 382).
Pengetahuan hushuli potensial dan aktual
Pengetahuan
hushuli juga dapat dibagi dua;
- Pengetahuan hushuli potensial. Yaitu ...
- Pengetahuan hushuli aktual.
Pengetahuan hushuli umum dan rinci
- Pengetahuan hushuli umum (Al-ma’rifah Al-ijmaliyah).
- Pengetahuan hushuli rinci (Al-ma’rifah Al-tafshiliyah).
Pengetahuan hushuli konseptual dan assentual
Pengetahuan hushuli bermacam dua;
- Pengetahuan hushuli konseptual (Al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashawwuriyah). Yaitu pengetahuan yang bebas dari klaim/penilaian/penetapan (assertion), seperti konsep tentang Ali, keadilan,keadialan Ali, dll.
- Pengetahuan hushuli assentual (al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashdiqiyah). Yaitu pengetahuan yang disertai klaim/penetapan, baik afirmatif maupun negatif, seperti Ali seorang yang adil.
PENGETAHUAN HUSHULI KONSEPTUAL ATAU KONSEP
Pengetahuan
hushuli konseptual (disingkat konsep) dapat dibagi dengan beragam versi
pembagian, demikian pula pengetahuan hushuli assentual.
Dalam diri setiap manusia terdapat
gambaran-gambaran tentang warna, suara, masam, keras, aroma, lezat, nueri dan
sebagainya. Gambar-gambar semacam ini disebut dengan “arti-arti konseptual
sederhana” (simple).
Manusia juga mempunyai gambaran-gambaran yang
merupakan rangkaian dari dua atau lebih gambaran sederhana, seperti gambaran
tentang “putihnya kertas” dan “lezatnya makanan.” Yang kedua ini disebut dengan
“arti-arti konseptual tersusun” (kompleks).
Terdapat beberapa teori dan pendapat tentang sebab
dan proses kemunculan “pengetahuan konseptual” yang sederhana maupun yang
tersusun dalam benak manusia, teori pengingatan (idealisme Plato), teori
pencerahan (teori iluminasi), teori sensasi (sensasionalisme), teori
“penyerapan”, dan sebagainya.
Empat aspek konsepsi (konsep)
Konsepi atau konsep (tashawwur) dapat
dilihat dari empat sudut pandang sebagai berikut:
1.
Konsepsi
(konsep) mutlak. Yaitu
konsepsi tanpa kondisi dan syarat apapun, yang lazim disebut la bisyarthi
maqsamii. Dengan kata lain, konsepsi mutlak ini adalah konsep memorial yang
diperoleh setiap subjek pengetahu. Konsep macam pertama inilah yang disebut
ilmu atau pengetahuan dan didefinisikan oleh Al-hilli sebagai “munculnya
gambaran sesuatu dalam mental.” Konsep macam pertama ini bukanlah padanan
assent atau assensi (tashdiq).
2.
Konsepsi
(konsep) bebas syarat. Yaitu
konsep yang dilihat dari aspek keterbebasannya dari hukum dan penilaian, yang
lazim disebut la bi syarthi qismi.
3.
Konsepsi
(konsep) dengan relasi syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek
keterikatannya pada syarat bebas
dari penilaian atau hukum, yang lazim disebut Bi syarthi la. Konsep
ketiga ini disebut juga dengan tashawwur mujarrad (konsepsi abstrak).
4.
Konsepsi
bersyarat. Yaitu konsep
yang dilihat dengan syarat mengandung nilai dan hukum, yang lazim disebut bisyarthi
syai’. (Ulum e Payeh, nadhariyeh badahat, M. Taqi fa’ali, 96-98).
Empat Pengetahuan hushuli konseptual
Pengetahuan hushuli konseptual atau konsep, dilihat dari
muatannya, terbagi dua;
1.
Konsep
tunggal, seperti konsep
‘manusia’, ‘pohon’, ‘mobil’ dan sebagainya yang masing-masing adalah gambaran
yang tak terangkai.
2. Konsep plural, seperti ‘Rumah Ali’, ‘Mobil yang
Dua macam konsep plural atau terangkai
1.
Konsep
terangkai tidak sempurna, seperti
gambaran ‘Bila ia datang, maka‘ dan sebagainya.
2.
Konsep terangkai
sempurna
Dua macam konsep plural sempurna
1.
Konsep
terangkai yang konstruktif, seperti
jumlah kata yang berkonotasi perintah, pertanyaan dan pengharapan. Bila
seseorang berkata kepada temannya, “makanlah” maka ucapannya tidak akan pernah
diverifikasi secara faktual, karena kalimat tersebut bebas nilai atau bersifat
konseptual murni.
2.
Konsep
terangkai yang informatif, namun
pengucap dan konseptornya tidak menyertakan hukum di dalamnya. (Ulum e
Payeh, M. T. fa’ali, 100, 101).
Konsep universal dan parsial
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari cakupannya, terbagi
dua;
1.
Pengetahuan
hushuli konseptual universal atau Universalia. Yaitu pengetahuan hushuli yang tidak akan
berubah menski objeknya mengalami perubahan. Gambar atau konsep ‘rumah’, misalnya, dalam diri dan benak aristek atau tukang
bangunan saat membangunnya, tidak akan pernah berubah meski realitas dan objek
rumahnya berubah atau bahkan hancur.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial atau Partikularia.
Yaitu pengetahuan hushuli yang berubah karena ‘objek yang diketahui,-nya
mengalami perubahan. Pengetahuan saya melalui indera pandang tentang ‘gerak
Agus’ ketika ia sedang bergerak. Bila Agus tak lagi bergerak, maka pengetahuan
saya (tentang gerak Agus saat bergerak) akan berubah. Konsep tentang
“Socrates”, misalnya, yang hanya berlaku
atas realitas objektif tertentu yang pernah hidup di Yunai dan menjadi guru
Plato. (Al-Manhaj Al-Jadid, 186, Ususul-Falsafah, M.H. Thabathba’i dan
Muthahhari, juz, 218-220, Nihayatul-hikmah, 301, (Nihayatul-Hikmah, 304-305).
Tiga Partikularia
Pengetahuan hushuli konseptual parsial,
berdasarkan aspek sumber kemunculannya,
terbagi tiga;
1.
Perngetahuan
hushuli konseptual parsial sensual. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat penginderaan langsung dengan
objeknya yang ada di sekelilingnya, seperti konsep atau gambar telapak tangan
kiri yang tengah anda lihat dengan kasat mata atau anda raba dengan tangan
kanan.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial imajinatif. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat mengingat dan membayangkan
(fantasi) suatu objek yang etalh kita indera, seperti gambar atau konsep
telapak tangan kiri tadi saat kita merogoh kocek.Parsial imajinatif dalam terminologi D. Hume disebut
dengan idea, sedangkan parsial sensual disebut impresi.
3.
Pengetahuan
hushuli konseptual parsial intuitif. Yaitu konsep parsial yang muncul dari kondisi-kondisi emosional dan
perasaaan psikologis, seperti konsep tentang cinta, benci, jengkel, malu, dll.
Sebagian ahli
mengartikan parsial intuitif sebagai perasaan psikologis itu sendiri.
Namun, akan lebih tepat jika makna-makna itu digolongkan dalam pengetahuan
hudhuri. (Al-Manhaj Al-Jadid 1/188, Kasyful murad, al hilli 150, Ma’refat Shenasi, ibrahimiyan 98, Idrak hissi, M. T.
Faali, dll)
Dua Universalia
Pengetahuan hushuli konseptual universal bermacam
dua;
- Pengetahuan hushuli universal prima. Yaitu konsep universal yang jatuh setelah pertanyaan “apakah itu?”, dengan kata lain, ia menjelasakan keapaan atau esensi sesuatu. oleh karena itu, universal ini disebut juga dengan universal esensial. Ia biasa disebut dengan Al-ma’qul Al-awwali atau Al-ma’qul Al-mahawi.
- Pengetahuan hushuli universal sekunda. Yaitu universalia yang tidak berkaitan dengan pertanyaan ‘apakah’.
Tiga universalia prima (esensial)
Universalia prima atau universalia esensial adalah
konsep-konsep yang menentukan batas wujud esensi dan realitas segala sesuatu,
seperti genus dan defrensia bagi esensi spesies manusia. (Al-Manhaj Al-Jadid,
202-203).
Sebagian filsuf memasukkannya dalam himpunan
universalia-universalia sekunda. Konsep-konsep universal yang dibangun untuk
ke-apa-an atau quiditas atau esensi dapat dibagi tiga;
1. Universalia esensial yang didahului oleh partikularia-partikularia atau konsep-konsep parsial, seperti konsep
manusia, air, putih, kotak, cemas, dll.
2. Universalia esensial yang tidak didahului oleh
partikularia, seperti akal, forma, potensi,dll.
3. Universalia esensial yang tersebar di pelbagai
bidang sain.
Dua universalia sekunda (non esensial)
‘Pengetahuan hushuli konesptual universal sekunda’
ini ini terbagi dua;
- Universalia sekunda logis atau Universalia sekunda artifisial. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan sifat-sidat segala konsep di mental, seperti spesis, genus, definisi, proposisi atau universalia dan partikularia, atesenden dan konsekuen, dan sebagainya. Objek-objek ini hanya ada di mental. Istilah-istilah dalam logika dilahirkan dari sini. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-manthiqi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-manthiqiyah.
- Universalia sekunda eksistensial atau universalia filosofis ontologis. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan kenyataan atau hakikat sesuatu, baik yang ada atau tiada, serta sifat-sisat eksistensial ataupun non eksistensial, seperti konsep ada, tiada, mustahil, mungkin, niscaya, sebab, akibat, dll. Konsep universal ini biasanya muncul lewat pengamatan dan perbandingan yang dilakukan mental di antara konesep-konsep yang ada di dalammya. Istilah-istilah dalam metafisika dan ontologi adalah produk dari konsep-konsep ini. Oleh filsuf-filsuf abad pertengahan, universal ini populer dengan istilah Transendentalia. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-falsafi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-Falsafiyah. (Ma’qul e tsani, F. Esykevari, Ilm e Hudhuri, F. Esykevari pasal 6, Al-Manhaj Al-Jadid, Mausuah Al-Falsafah, A. Badawi, (Falsafatuna, hal. 66–67, Muhadharat, 64). (Falsafatuna, hal. 66–67, dll)
Universalia dalam filsafat Barat
Dunia filsafat Barat pernah mengalami kekacauan
luar biasa karena masing-masing filsuf menggunakan istilah-istilah khas yang
boleh jadi tidak digunakan oleh lainnya atau digunakan namun dengan pengertian
yang berbeda. Karena itulah, tidak sedikit orang yang kebingungan setiap kali
membaca karya filsuf tertentu. Puncak dari kekacauan ini adalah munculnya sejumlah filsuf modern, seperti Bertrand
Russel dalam bukunya Our Knowledge of the External (1914), Ludwig Wittgeinstein
dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus (1921), Alfred Ayer dan lainnya
yang berusaha “menertibkan” bahas filasafat dengan menciptakan aliran yang
dikenal dengan Atomisme Logis atau Filsafat Analitik atau Analitisme. (Kamus
Filsafat, 100-101, Filsafat Analitik, Kamus Logika, The Liang Gie, Falsafeh
ye Tahlili, Shadeq Larijani, 87).
Kekacauan ini nyaris tidak pernah terjadi dalam
dunia filsafat Timur, terutama Islam, karena mereka telah mempersiapkan
pendahuluan-pendahuluan sebelum memasuki tema-tema inti filsafat.
Kontroversi seputar universalia
Isu universailia merupakan polemik yang apling sengit
di sepanjang abad pertengahan. Ada sejumlah teori yang berkaitan dengannya;
Filsuf Muslim kontemporer, Prof. M. T. Misbah
Yazdi, menolak imbuhan “sekunder” pada universal filosofis, karena terkesan
adanya distorsi dan penyimpangan pada maknanya.
Pembagian di atas kali pertama dilakukan oleh Ibnu
Sina (373-427 H) lalu dikembangkan oleh generasi filsuf berikutnya. Berkat
penggunaan yang tepat terhadap setiap konsep universal di atas pada bidangnya
masing-masing, seperti universal logis dalam
ilmu logika, nyaris tidak terjadi kekacauan dan Fallacy Thnking dalam
koridor pemikiran filsafat islam, sebagaimana yang mewabah di filasat barat;
Anglo Saxon dan Kontinentalnya. Setiap filsuf menggunakan konsep-konsep tidak
dalam konteks, fungsi dan proporsi yang mestinya, sehingga kesalah fahaman,
menurut N. A. Whitehead (1861-1942) dan George Edward Moore, terus merebak dan
menjalar. Whitehead memvonis fenomena ini dengan “dogmatic Fallacy” (Adventures
of Ideas, N.A. Whitehead, terj. Parsi A
Guwahi 2/338, Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/487).
Sejatinya, ia gencar menyerang teori Asosiasi Hume
dalam menerjemahkan kausalitas. (Asle illiyyat, Qaramalaki 50,179). Maka, ia
bersama muridnya, Bartrand Russell (1872-1970) menyusun Principia
Mathematica. Sedangkan murid muridnya, Ludwig Wittgeinstein berusaha
menawarkan bahasa logika dan filsafat. Ia, Gilert Ryle (1900-1970) dan
filsuf-flsuf analitik lainnya membarasi filsafat sepojok upaya menjelaskan
(klarifikasi) konsep-konsep (Ma’qul tsanie, F. Esykevari 18-19, Kamus Filsafat
100-101, Encyclopedia of Phylosophy, What is phylosophy, Parkinson Terj.)
Realisme
mereka meyakini adanya serangkaian universalia.
Aliran ini terpecah kepada beberapa versi;
1. Platonisme atau Realisme logis
Berkat gagasan Socrates, plato meyakini bahwa
universalia-universalia tidak hanya ada dalam mental, bahkan ia adalah
entitas-entitas objektif di alam transendental, namun bersifat abstrak. Plato
menyebutnya Idea (archtypes). Oleh karena itu, universalia versi ini dekenal
dengan ide Platonik. Teori ini terus bergulir di tangan Plotinus (203-269 M)
dan dipertahankan gigih oleh St. Augustine (354-430 M) dengan interpretasi
sedikit berbeda (A History of Philosophy, F. Copleston, terj. Mujtabavi 1/181).
Teori ini seringkali dibenturkan dengan sejumlah konsep universal seperti; ketiadaan, kemustahilan
dan sekutu Tuhan yang tidak ada entitasnya di luar.
2. Filsafat Skolastik
Di balik penentangan Aristoteles (383-322 SM)
terhadap ide platonik, ia sependapat dengan Plato bahwa universalia bukan sekedar
konsep di mental. Ia menambahkan bahwa di dalam entitas-entitas objektif di
luar, terselubung suatu esensi universalia natural (Kulli Thabi’i). Dengan
ke-apa-an universal ini, Arestoteles menafsirkan eksistensi universalia diluar.
Seperti ke-apa-an kemanusiaan sebagai sebuah konsep universal yang ada di
mental, juga ada di luar secara objektif, hanya saja tidak mandiri sebagaimana
keyakinan platonisme, tetapi ada di luar bersama sejumlah objek-objek
estensialnya. Di abad prtengahan, Tomas Aguinus (1225-1274) dikenal sebagai
pengikut teori ini (A Histori of Phylosophy F. Copleston 1/247,346). Juga B.
Russell, G. E. Moore, dan G. F. Staut di akhir abad dua puluh (Mausuah
Al-Falsafah, Abdurahman Badawi, 2/268).
3. Para filsuf Muslim
Mereka mengembangakan teori aristotelian dan
menambahkan bahwa universalia ada secara objektif dan bersifat banyak sebanyak
afradnya (ekstensi), juga ada secara subjektif dan bersifat satu (Nihayatul
Hikmah 73, Syenakht e Shenasi dar Qur’an, Javadi amoli 109, dll). Hanya saja,
tambah mereka, teori itu perlu penyempurnaan, karena ia hanya menyinggung
konsep-konsep universal primer/esensial, sementara dua macam universal
klainnya; logis dan filosofis, tidak tersentuh dan sejalan dengan teiro itu,
segabagaimana yang nampakdalam bahasan-bahsan berikut nanti.
4. Konseptualisme
Menurut mereka, konsep-konsep universalia, dengan
interpretasi plato maupun muridnya dan hukama islam,tidak pernah ada. Tetapi,
ia juga bukan sekedar sebutan dan kata-kata tanpa makna. Universal adalah
produk netto mental. Teori ini pertama kali digagasoleh Peter Abelard
(1079-1142) dan dikuak kembali oleh john locke (1632-1704)
5. Nominalisme
Mazhab yang didirikan oleh guru Abelard, Rosaline ( -1125)
ini menyatakan bahwa universalia tak ubahnya hembusan nafas
(Flatus Vocis). Aliran ini kian deras megalir pada abad berikitnya dengan
kehadiran William Ockham (1300-1349). Menurutnya, konsep univesal tidak lebih
dari nama dan simbol untuk menghemat proses berfikir dan dialog. Teori ini
dilestarikan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), George Barkeley (1685-1753), B.
Spinoza (1632-1676) David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873).
Secara substansial, nominalisme tidak berbeda dengan Konseptualisme.
Nominalisme terbagi dua; Nominalisme Radikal, yang
juga disebut dengan Vokalisme, dan
Nominalisme Moderat, yaitu teori Resemblence yang menafsirkan
universalia sebagai konsep yang menunjukan kemiripan di antara sekelompok
objek.
6. Teori Imitasi
Teori ini menafsirkan universalia segbagai konsep
parsial yang samar dan pudar. Karena kesamarannya, ia bisa berlaku pada lebih
dari satu objek. Para filsuf ontologi dan teologi Islam menyebut teori ini
dengan ‘Syabah” (bayangan). Dan sejauh ini, hanya Henry Harclay, filsuf sezaman
dengan William Ockham, yang tercatat sebagai penganutnya (Al-Manhaj Al-Jadid
1/189, Nihayatul Hikmah 34, 75, Mausuah Al-Falsafah, abdurahman Badawi 2/469,
Makrtifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Faali 53-55, dll).
Dua pengetahuan hushuli konseptual
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari aspek
kualitasnya, terbagi dua;
1.
Pengetahuan
hushuli konseptual ekstemporal (apriori) (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah). Yaitu pernyataan-pernyataan
(premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti
pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti
tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat,
setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas.
Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.
Pengetahuan
hushuli konseptual non-ekstemporal (aposteriori) (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah). Yaitu pernyataan
(premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis)
ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula
dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada
dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang
tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.
Pengetahuan hushuli ada kalanya bersifat
konseptual sekaligus ekstemporal, seperti konsep kita tentang arti ‘sesuatu’
dan konsepsi kita tentang ‘wujud’. Ada kalanya pengetahuan hushuli bersifat
konseptual sekaligus non ekstemporal, seperti pengetahuan tentang konsep
"mendidihnya air bila suhunya dipanaskan hingga mencapai 100 derajat
celcius."
PENGETAHUAN HUSHULI ASSENTUAL ATAU PREMIS
Pengetahuan ini merupakan tema epistemologis
terpenting, khususnya dalam filsafat Barat. Bahkan, Epistemologi Kontemporer di
sana hanya menyoroti pengetahuan ini dan masalah-masalah yang betkaitan
dengannya, sebagaimana yang namoak dari karya-karya seperti Paul Edward dalam
The Encyclopedia of Philosophy, Jonathan Dansi dan E. Sosa dalam A Companion of
Epistemology atau bapak epistemologi kontemporer; Roderick M. Chisholm dalam
Theory of Knowledge.
Sedangkan para filsuf muslim beranggapan bahwa pengetahuan assentual tidak lebih besar
signifikansinya dengan pengetahuan konseptual, karena walau bagaimanapun, pengetahuan
assentual terbentuk dari pengetahuan konseptual.
George Edward Moore (1873-1958) pernah berpendapat
bahwa keruwetan terbesar dalam kajian-kajian falsafi berkaitan dengan
ketakjelasan dan ketakcermatan dalam menyusun kalim-klaim serta pencampuradukan
beberapa klaim menjadi satu (Contemporary philosophy, F. Copleston, hal. 18,
terj. Parsi A.A. Halabi)
Fenomena di atas, menurut M. Muthahhari, menyembul
dari chaos di antara konsep-konsep yang membentuk klaim-klaim tersebut. Beliau
menyimpulkan bahwa titik sentral kerumitan dalam perbincangan falsafi adalah
pengetahuan konseptualnya, bukan pada konteks pembuktian dan pengetahuan
assentual.
Ibnu Sina dalam Manthiq Al-Isyarat (hal.
215) membuktikan pengulangan analisa-analisa di atas lewat aphorisma “Idha
Iltabasat Tasawwur Iltabasat Tashdiiq” (Konsep yang kabur meniscayakan
kekaburan pengetahuan assentual)
Kontroversi seputar Pengetahuan Hushuli Assentual
Bisakah manusia memperoleh pengetahuan yang sesuai
dengan realitas? Ada tiga pilihan jawaban atas pertanyaan di atas.
Masing-masing jawaban memberikan konsekuensi fundamental dalam proses
permikiran manusia.
Sofisme (Agnosisme)
Jawaban pertama, diberikan oleh para penganut
Sophisme, seperti Protagoras of Abdera, Gorgias of Leontini, Prodicus od Ceos, Hippias
of Elis, Antiphon of Athens, Thrasymacus of Chalcedon, yang kelak disebut
sebagai penganut Agnosisme. Kelompok ini beranggapan bahwa manusia, karena
keterbatasannya, tidak mampu mengenal realitas, tidak bisa memperoleh
pengetahuan yang assentual, dan hanya menduga-duganya. (Filsafat Yunani, 102,
Alam Pikiran Yunani, Muhadharat, Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah,Dasar-dasar
Filsafat, 4.4, Usus Al-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’iy, 161, dll).
Kendati pada awalnya aliran ini lebih merupakan
gerakan kritis social yang lambat laun mengkristal sebagai siakap ilmiah yang
menghimpun sejumlah pandangan, mulai dari moderat seperti relativisme Protagoras hingga radikal seperti Georgias
(483-375 SM) yang menyatakan bahwa sesuatu (apapun) tidak ada. Jika ada
sesuatu, ia tidak bisa diketahui. Dan jika bisa diketahui, pengetahuan itu
tidak bisa disampaikan kepada orang lain. History of Philosophy, Federick
Copleston 1/112 terj. J. Mujtabavi)
Kritik atas Sophisme
Klaim sophis radikal seperti georgias,
menggugurkan klaim itu sendiri (self contradicte), berikit bembuktiannya.
Segala bentuk penolakan mutlak terhadap mungkinya pengetahuam meryupakan
bukti-bukti yang mempertegas, bukan sekedar kemungkinannya, bahkan keniscayaan
realitas pengetahuan itu, paling tidak pengetahuan sophis akan klaimnya
sendiri. Jika ia mengaku tidak pernah tahu akan klaimnya, maka tidak ada klaim
dan sikap penolakan. Disiani, jika ia memilih siakap ragu,maka ia memungkiri
dirinya sebagai sophis, sembari mengakui skeptitisisme.
H. Gomperz menuturkan bahwa sebagian menganggap
klaim georgias sebagai representasi nihilisme falsafi serius, dan pada saat
yang sama, sebagian menduga klaim itu sekedar jokinya.(tarekh falsafafah F.
Copleston 1/113)
Skeptisisme
Jawaban kedua diberikan oleh sejumlah filsuf Yunani
kuno, seperti Pyrrhon, Arsezilash, Cratylus, Carneades yang kelak dikenal
sebagai para pengikut Skpetisisme. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan
manusia untuk mengenal realitas adalah satu-satu sikap yang tepat. Mereka
beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah
siakap yang tepat. (Filsafat Yunani 228, alam pikiran Yunani Muhadarat fil
aqidah, Falsafatuna, Usus-Al falsafah 1/161, dll).
Secara etimologis, ia berasal dari bahasa Yunani
skepsis, pertimbangan atau
keraguan.(Kamus Filsafat 1017). Skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan
tokoh-tokoh, ke dalam beberapa aliran,
seperti skeptisisme Karneades, skeptisisme Cratilus, skeptisisme Georgias,
skeptisisme Descartes, skeptisisme Hume, skeptisisme Kant, skeptisisme Lock.
Secara historis,
skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan konsep-konsepnya, ke dalam beberapa
aliran sebagai berikut:
- Skeptisisme klasik. Ia terpecah kepada dua periade. Skeptisisme Akademika yang dipelopori oleh fisuf jebolan akademi Plato bernama Arselious (315-240 SM). Ia menafikan segala macam kriteria dan standar untuk memilah pengetahuan valid dari invalid. Porsi maksimal yang bisa diraih setiap orang hanya keyakianan-keyakianan yang tidak jelas kebenarannya.
- Skeptisisme Phyrronian. Adalah skeptisisme yang berpijak diatas pandangan-pandangan Pyrrhon (360-270SM). Menurut mereka , setiap orang memilliki pandangan masing-masing, dan kita tidak akan bisa tahu mana yang benar, karena masing-masing memiliki argumen yang sama validnya.
- Skeptisisme modern. Ia dirintis sejak munculnya karya-karya Sectus Empiricus dan cicero pada abad 16 dan permulaan abad 17 , hingga descartes (15 95-1650) mendeklarasikan evil spirit hypothesis atau Mauvais Genie (setan jahat) dan menyatakan bahwa keberadaan adalah diriku, keyakinanku dan setan yang mengajarkan keyakinan itu kepadaku. Skeptisisme modern semakin kokoh dengan The argument from experience yang dirumuskan Hume(1711-1776) dalam karyanya An Inqquiry Concerning Human Undertanding. Sebagian gagasan skeptis Hume, menurut pengakuan filsuf jerman Immanuel Kant, telah mengusik tidur lelapnya bersama Dogmatisme. Segera setelah itu iapun dikenal dengan Skeptisisme Kant.
- Skeptisisme kontemporer. Yaitu skeptisisme yang nampak jelas dari ide Googol dalam premis-premis skeptis Lehler, sebagai reinkarnasi evil spirit hypothesis Descartes.
Dua Skeptisisme
Skeptisisme, berdasarkan aspek motivasinya,
terbagi dua:
- Skeptisisme normatif/Metodis. Seperti skeptisisme descartes, Ahli-ahli fisika di jamannya identik dengan peramal, sedangkan dokter-dokter dipandang sebagai penyihir. Dari sini descartes berusaha memilah pengetahuan yang benar dari yang salah. Ia memuai dari sikap skeptis, yaitu Nihil esse certi (tidak ada keyakinan/kepastian), untukmenemukan suatu norma solid, sebagaimana yang terbingkai dalam Cogito Ergo Sum. Paul Foulquie menggolongkan Claude Bernard (1816-1878) ke dalam macam skeptis ini.
- Skeptisisme problematik atau skeptisisme deskriptif. Ia bermacam dua;
- Skeptisisme Global. Skeptisisime inil menyerang setiap kantong-kantong keyakinan dan segala bidang pengetahuan, tanpa ampun. Ia berhadapan dengan setiap manusia yang mengklaim tahu dan yakin.
- Skeptisisme Lokal, yaitu skeptisisme yang memperkarakan bidang-bidang pengetahuan tertentu, Antara lain
§
pengetahuan tentang nilai dan etika. Nietzsche (1844-) dalam “The Death of God”, misalnya, menolak nilai mutlak dan norma objektif moral
dan berbuntu pada nihilisme Pengetahuan tentang
hal-hal yang akan terjadi (future), seprti D. Hume.
§
Pengetahuan
tentang jiea dan mental orang alain (other mind),seperti Solipsisme.
§
Pengetahuan
inderawi (Skeptisisme perseptual), seperti descartes dan kant.
§
Pengetahuan
tentang doktrin dan ajaran agama, teologis dan metafifisis.(religius skeptis),
seperti positivisme, neo positivisme atau logical positivism, sebagaimana yang
dianut oleh anggota circle Viena (Wiener Kreis)
Skeptisisme
merupakan arus besar yang terpecah ke beberapa aliran seperti Agnotisisme,
Fallibilisme, Probabilisme Carneides (219-125), Pluralisme Falsafi,
Perspektivisme (Nietzsche, Ortega Y. Gasset (1883-1955), K. Ajdukiewicz)
Fideisme (Montaigne (1533-1592), B. Pascal (1623-1662) dll. (Metaphysique, P.
Foulquie, terj. Parsi, Y. Mahdawi, hal. 67-69, The Fontana Dictionary of Modern
Thought, Oliver Stally Brass-Allaen Ballock 208,terj parsi ..., Ma’rifat
Shenasi dini, Mausuah Al-falsafah, Abdurahman badawi, M.T. Fa’ali 330-332, A
History of Philosophy, F. Copleston 7/400, terj. Parsi Daryush Ashuri, Filsafat
Yunani, hal. 228, Alam Pikiran Yunani, Muhadaharat fil-Aqidah, Falsafatuna,
Ususul-Falsafah, juz, 161, Jurnal Qabasat Malcolm Norman, Ma’rifat Shenasi dini
wa muashir, M. T. Fa’ali, 117-118, Kamus Filasafat, 1017-1027, The History of
Philosophy, F. Copleston 7/395, Metaphysique, P. Fuolquie, terj. Parsi Yahya
Mahdawi, hal. 71).
Skeptisisme lokal selalu membawakan argumen atas
klaimnya yang acapkali berdampak luas, hingga berhulu pada justifikasi
skeptisisme global.
Kritik atas Skeptisisme
Para penganut filsafat skolastik dan Epicurian
telah membungkam para penganut Agnosisme dan skeptisisme dengan argumen-argumen
sangat kuat, karena secara real, manusia berpeluang untuk mengenal realitas,
memperoleh pengetahuan assentual, dan meraih kebenaran. (Muhadharat fil-Aqidah,
hal. 43) Berikut ini sejumlah kritik atas skpetisisme.
- Skeptsisime berargumentasi atas klaimnya. Argumentasi terdiri dari sejumlalah premis yang sudah mereka terima,seperti realitas kesalahan persepsi pada indera dan akal, realitas korelasi antara setiap entitas dan pengetahuan, realitas ikhtilaf di antara ilmu atau pemikir, tealitas fallacy dalam sillogisme (burhan), realitas prinsip Universalizability rumusan H. M. Hare, realitas evolusi dan dinamika, realitas ketergantungan setiap pengeatahuan kepada hukum universal (nomos), realitas mustahilnya menemukan hukum universal. Pendek kata, setiap skeptis hanya menghadapi sebuaah close question; ia menerima dan mengakui premis-premis argumentasi dan konklusinya, dengan demikian iamengetahui sejiumlah pengetahuan, ataukah menolak semua itu, maka tidak ada klaim skeptis disini.
- Sebagian skeptis berusaha untuk terikat dengan konsekuensi pertama, yaitu adanya pengetahuan tentang ptemis-premis dan konklusinya yang merupakan klaimya. Meski demikian, menurut mereka, a. adanya dua tiga pengetahuan tidak akan memberanguskan skeptisisme, bahkan sebaliknya, jumlah pengetahuan itu jusrtu menegaskan siakap skeptis terhadap hal-hal lainnya. Oleh karena itu, pengecualian pengetahuan-pengenguatahuan diatas merupakan penegakan skeptisisme. b. Jumlah kecil pengetahuan diatastidak akan bisa menuntaskan permasalahan epistimologis. C. Dengan kritik/jawaban itu, genderang skeptisisme masih bisa ditabuh, kendati setelah membetot konklusi. Dengan kata lain, jika saya tahu dan terima premis pertama dan kedua, niscaya saya skeptis dan tidak akan tahu apa-apa.inilah yang disebut dengan Doxastic paradox (paradox pengetahuan).
Jawab:
- Dengan mengakui paling tidak dua tiga pengeatahuan tersebut, pertanyaan tidak berhenti disini. Akar-akar pengetahuan itu akan merambat ke beberapa prinsip, seperti prinsip realitas,prinsip non kontradiksi prinsip kausalitas, prinsip identitas, dll. Maka jika diamati argumentasi beserta premis-premis mereka, akan kita temukan sejumlah prinsip tersebut.
- Masalahnya terfokus pada prinsip pengetahuan atau kemunkingkinan mengetahuai, bukan pada jumlahnya. Dengan demikian, format permaslahannya adalah berikut ini, “Kita mendapatkan pengetahuan dalam beberapa hal-sedikit taukah banyak-, dan dalam hal-hal lain kita ragu datau tidak tahu.”
Ada sejumlah aliran yang hampir sama secara
substansial dengan skeptisisme yaitu relativisme dan nihilisme. Menurut aliran
ini tidak hal-hal yang absolut. Sebagian orang menganggap relativisme adalah
nama lain dari skeptisisme atau subjektivisme. (Kamus Filsafat, 949). Aliran
ini dilawankan dengan Absolutisme dalam epistemologi, yang memastikan adanya
pengetahuan objektif dan absolut. (Kamus Teori, 1). Aliran ini secara
substansial tidak berbeda dengan dogmatisme atau truisme. Nihilisme adalah
istilah yang pertama kali diciptakan oleh Turgeneiv dalam politik dan teologi.
Salah satu prinsipnya dalam epistemologi adalah menolak setiap dasar kebenaran
yang objektif dan real. Albert Camus dan Nitzche disebut-sebut sebagai penganut
aliran ini (Kamus Filsafat, 712).
Dogmatisme, Truisme, Obyektivisme, Absolutisme
- Jawaban ketiga diberikan oleh para filsuf skolastik, yang dikenal sebagai penganut Dogmatisme. Dogmatisme sebagai aliran dalam filsafat bertentangan skeptisisme. Mereka memastikan bahwa manusia berpeluang untuk mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual dengan bukti-bukti tertentu. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 3, hal. 498-499, Filsafat Yunani, hal. 231, Muhadharat fil-Aqidah, Durus fil-Aqidah, Falasafatuna, (Nihayatul Hikmah, Thabathabai’ 254, Ma’refat Shenasi dini, M.T. Fa’ali, Ma’refat Shenasi, Hosein Zadeh, Kamus Filsafat, 173 dll).
Menurut Dogmatisme, pengetahuan yang benar
mengandung tiga unsur yang tak dapat dikurangi.
Tripartite pengetahuan hushuli assentual
Pengetahuan telah didefinisikan oleh para epistemolog dan kaum truis sebagai
kepercayaan yang benar dan terjustifikasi. Karenanya, kita dapat menyimpulkan
bahwa pengetahuan terdiri atas tiga unsur; kepercayaan, kebenaran, dan
justifikasi, dan menganggapnya cukup sehingga tidak perlu ditambah. Namun
sebagian epistemolog memasukkan ‘hubungan antara subjek dan objek’ sebagai
salah satu elemen dan menggeser elemen ‘kepercayaan’. Kepercayaan adalah
keniscayaan sikap dari terjalinnya
hubungan antara subjek pengetahuan dengan konsep yang ada dalam
benaknya.
Elemen
kesatu
Elemen pertama dan faktor penentu dalam pengetahuan adalah kepercayaan.
(The Theory of Knowledge, ed: L.P. Pojman PP, 499-555 and Hospers).
Pengetahuan, realitas dan justifikasi
berada dalam poros kepercayaan. Pengetahuan tanpa kepercayaan (keyakinan) tidaklah
mungkin. Kepercayaan, yang merupakan faktor penentu dan tolok ukur justifikasi,
adalah faktor penentu dan poros pengetahuan partikular. Kepercayaan, yang
disebut pula dengan subjective component of knowlegde, ini meniscayakan penangkalan terhadap ketidaktahuan
kompleks (al-jahl al-murakkab). (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser,
81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130, Commitment to
Truth, 21).
Esensi
‘kepercayaan’
Manusia, di hadapan setiap premis atau pernyataan, adalah manusia
sebagai berikut:
1. Menerima dan menjadi ‘manusia berkeyakinan’. Sikap ini
disebut dengan acceptance atau belief.
2. Menolak atau menentang dan menjadi ‘manusia penolak’ atau
‘manusia penentang’. Sikap ini disebut dengan disacceptance.
3. Tidak menerima sekaligus tidak menolak atau abstein. Sikap
ini disebut dengan withold.
4. Setiap premis mempunyai dua macam hubungan dan relasi;
relasi dengan subjek dan relasi dengan objek. Premis “bunga ini berwarna
merah’, misalnya, mempunyai hubungan dengan realitas objektif karena ia benar
atau salah. Ia juga berhubungan subjek atau pengetahu sedemikian rupa sehingga
bila hubungan subjektif ini tidak diperhatikan dan dilibatkan, maka pengetahuan
tidak akan pernah muncul. (Ma’refat Shenasi Dini va Moasher, M.T. Fa’ali, 160,
An Introduction to Philosophical Analysis, PP, 10 – 18 and Chisholm, R.M.
Theory of Knowledge, P. 6 A Companion to
Epistemology, PP. 35, 48, 70).
‘Pecaya bahwa’ dan ‘percaya kepada’
Samakah arti “saya percaya padamu” dengan “saya percaya bahwa
perkataanmu benar dan sesuai dengan kenyataan” sehingga bisa diubah dan
dipindah sesuka hati?
Reduksionisme, sebagaimana Thomas Aquinas, memperbolehkan reduksi
dan pemindahan. John Hick menolak reduksi. Sedangkan Pires menganmbil jalan
ketiga dengan berpendapat bahwa sebagaian dari macam-macam kepercayaan
proposisional dapat direduksi dan diganti menjadi ‘kepercayaan psikologis’.
‘Percaya bahwa’ adalah sikap percaya yang secara orisinal (semula,
bil-ashalah) mengacu pada premis dan secara tidak orisinal (bil-taba’)
mengacu pada sesuatu yang diungkapkan oleh premis, bukan premis itu sendiri.
Premis “saya percaya bahwa Tuhan ada” mengacu secara orisinal dan primer pada
premis “Tuhan ada” dan secara sekunder mengacu pada “ke-ada-an Tuhan”. Namun
kepercayaan tidak selalu berkonotasi arti demikian. Bila suatu saat kita
ucapkan “saya percaya pada anda’, maka ‘kepercayaan’ dalam premis terakhir ini
bebrarti “saya mempercayai anda’ atau ‘saya mengandalkan anda’ atau ‘saya
mantap dengan anda’ yang bukanlah bagian dari pengetahuan. Yang menjadi bagian
dari pengetahuan adalah ‘kepercayaan proposisional’ bukan ‘kepercayaan
psikologis’. (Ma’rifat Shenashi Dini va Muashe, 160).
Premis dan kata rangkai
Telah kita ketahui bahwa ‘kepercayaan’ epistemologis hanya
berkaitan dan mengacu pada proposisi. Kepercayaan dapat diungkapkan dengan tiga
terminologi pernyataan (statement), proposisi (keputusan) dan kata rangkai
(sentence).
Proposisi atau
pernyataan, berdasarkan muatannya, terbagi dua;
1.
Proposisi
minor (Al-Qadhiyyah
Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang memuat partikularia yang hendak
diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui inferensi (penalaran,
Al-Istidlal)., seperti “besi adalah tambang’.
2.
Proposisi
mayor (Al-Qadhiyyah
Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi dasar universal yang diterapkan
atas partikularia untuk diketahui nilai (validitas)-nya melalui inferensi
silogisme (deduksi), seperti “semua besi adalah tambang unsur homogen”.
Proposisi,
ditinjau dari sisi bentuk, terbagi menjadi dua;
- Proposisi Predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah). Yaitu proposisi yang terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi predikatif, predikat mengafirmasi atau menegasi subjek.
Proposisi predikatif juga didefinisikan sebagai premis yang
mengafirmasikan atau mengasikan berlakunya sesuatu (predikat) atas sesuatu yang
lain.
Contoh: “Budiman
adalah sopir” dan “Agus bukanlah jenderal”.
“Plato adalah
seorang filsuf”, “Bambang bukanlah filsuf”.
- Proposisi hipotetik (Al-Qadhiyah Asy-Syarthiyyah). Yaitu proposisi yang muatannya menjadi syarat bagi muatan proposisi lainnya.
Contoh: “Bila
matahari terbit, siang akan tiba”.
Proposisi dan
seluk beluknya akan dibahas secara lebih terinci dalam bagian lain dari buku
ini.
Elemen kedua
Elemen
kedua adalah kebenaran. Pengetahuan yang benar juga memiliki dimensi hubungan
antara subjek dengan objek yang di’wakili’ oleh konsep yang tertayang dalam
benak subjek. Adanya kebenaran atau realitas faktual meniscayakan penangkalan
terhadap ‘ketidatahuan sederhana’. Inilah yang dimaksud dengan ‘hubungan
objektif’ atau objective component of
knowledge,
Sebelum bertanya manakah yang real atau keyakinan
manakah yang benar, kita harus lebih dahulu bertanya, apakah kebenaran itu?
Apakah kebenaran itu? Bagaimana memilah pengetahuan yang benar dari yang salah?
Dua pertanyaan ini secara substansial berbeda.
Pertanyaan pertama bertalian dengan kebenaran, sementara kedua berkaitan dengan
norma (criterion) kebenaran.
Secara umum, para filsuf terbagi dalam dua aliran
besar;
1.
Subjektivisme.
Yaitu aliran sekelompok filsuf yang menjadikan subjek sebagai penentu
kebenaran. Aliran ini membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan
keadaannya sendiri. (Kamus Filsafat, 1046).
2.
Objektivisme.
Yaitu aliran sekelompok filsuf lain yang menjadikan objek sebagai penentu
kebenaran suatu pengetahuan. Ia meyakini bahwa nilai pengetahuan diukur oleh
objek yang tidak tergantung pada subjek. (kamus Filsafat, 734)
Aliran-aliran dalam objektivisme
Para penganut objektivisme terbagi dalam berbagai
aliran dan teori;
- Pragmatisme dan utilitarianisme
Para filsuf Eropa seperti Charles sanders Pierce,
William James, dan John Dewey menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai standar
kebenaran atau pengetahuan assentual.
Pragmatisme (Pragmatic Thoery of truth) adalah
gagasan yang diprakarsai oleh filosof-filosof beken pragmatisme: Charles S.
Pierce (1839-1914), William James (1872-1970), John Dewey (1859-1952) dan Scott
Schiller (1864-1937). Menurut mereka, pengetahuan yang sesuai dengan fakta
belum bisa dianggap benar, sebagaimana klaim teori korespondensi, karena masih
tersisa satu pertanyaan; apakah kesesuaian dengan fakta berdampak pada
kehidupan praktis seseorang? Mereka menegaskan bahwa pengetahuan dinyatakan
benar ketika menguntungkan dalam konteks pengamalan.
Oleh karena itu, kebenaran identik dengan
aktualisasi praktis yang menguntungkan. Bahkan nada ekstrim sebagian pragmatis
menyatakan bahwa apabila suatu pengetahuan dapat memenuhi/ memuaskan hasrat dan
kebutuhan hidup seseorang, maka ia adalah benar.
Kendati demikian, W. James dalam beberapa
statemennya cenderung mendukung teori koherensi
yang digandrungi oleh generasi mutakhir. (Ma’rifat Shenasi – Ibrahimian,
Ma’rifat Shenasi – M. Hosein Zadeh, Jurnal hauzah va danesygahno: 4 – Muhsin
Javadi, Mairifat Shenasi Dini va Mu’ashir – M.T. Fa’alli, La Philosophis
Contempripaine en Europe- I.M. Bochenshi hal: 198 terjemah Arab Izzat Qarni)
- Korespondensionisme atau Teori Korespondensi
Aliran ini menyatakan bahwa kebenaran adalah
pengetahuan (assentual) yang sesuai dengan fakta. Dan sebaliknya, pengetahuan
assentual dianggap salah ketika tidak sesuai dengan fakta. Menurut teori
korenspondensi, esensi kebenaran berpijak di atas tiga pilar:
- Gambar subjektif berupa pengetahuan asentual
- Fakta, yaitu objek (mahki) dari gambar subjektif
- Relasi (Nisbah) antara gambar subjektif dan fakta, yaitu kesesuaian.
Sebagaian besar filsuf, sejak Plato dan Farabi
hingga J. Haspers dan G. R. Fayyadhi, menganut teori di atas. Kendati demikian,
mereka berselisih dalam spesifikasi penjabarannya, seiring dengan pendangan dan
bangunan filsafat (Noutic Structure) masing-masing. Dari sini, muncullah
Korespondensi ala Locke, Russell, Wittgeinstein, R. K. Popper, A.
Tarski hingga S. Kripke (Ma’refat Shenasi Dini wa Mu’ashir, Fa’ali, Jurnal
Hauzah wa Doneyghah, NO. 6, Nadharieh Shidq, Asfar 1/20, Tahshil, Bahmaniyar,
hal.262, dll). August Comte, pendiri Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan
dianggap sebagai sesuai dengan kenyataan apabila terjadi keserasian pikiran
dalam mental. Pandangan ini dikenal dengan ‘teori korespodensi’ atau Al-intiza’.
(Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah, Muhadharat Fil-Aqidah, hal. 39-42, Ususul-Falsafah,
juz, 164-165, Commitment to Truth, M. Fanaei Eshkevari, 15, dll.)
3. Koherensionisme atau Teori Koherensi
Coheren dalam bahasa Inggris dan cohaerre dalam latin berarti melekat, tetap
menyatu, bersatu. (Kamus Filsafat, 470).
Teori koherensi merupakan sebuah teori tentang
kebenaran yang bersifat neo-positivis, bahwa kebenaran didasarkan pada harmoni
internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Pada dasarnya, teori
ini dan selainnya merupakan reaksi-reaksi dari sejumlah filsuf yang tidak mampu
menjawab kritik-kritik atas teori Korespondensi. Teori koherensi banyak
direkrut oleh kaum Idealis serta sebagian Rasionalis seperti; G. Leibniz dan B.
Spinoza (Az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.104, Commitment to Truth, M. F.
Eshkevari, 16).
Di dunia filsafat kontemporer, para penganut kaum
Positivisme logis seperti; Otto Neurath, Carnap
dan C. Hampel gigih mengembangkannya, kendati pelopor mereka Moritz
Schlick (1882-1936) mempertahankan teoti Korespondensi. (Paul Edwaard, D.W.
Hamlin hal. 120, Kamus Filsafat, 470). Ketimbang mengamati suatu pengetahuan
dengan faktanya, mereka membandingkan pengetahuan tersebut dengan seluruh
pengetahuan lainnya.
Di sini, pengetahuan dinyatakan benar selama tidak
berbenturan dengan keuTuhan sistem pemikiran (notic structure) yang terbentuk
dari serangkaian pengetahuan-pengetahuan yang sudah diterimanya sebagai
kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran suatu pengetahuan adalah keserasiannya
dsengan serangkaian pengetahuan yang telah dinyatakan benar. Misalkan jika kita
perhatikan sepotong kayu dalam air begelombang dengan kasat mata, kita
melihatnya zigzag. Namun jika kita pegang kayu itu pada saat yang sama kita
mendapatkannya lurus.
Disini kita mengklaim kebenaran indera raba dan
menilai indera pandang sebagai salah.
Mengapa? Karena pengetahuan( sence data)
yang bersumber dari indera raba
serasi dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya,
yang berbeda dengan pengetahuan dari indera pandang yang bertabrakan
dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki.
Teori koherensi secara logis berujung pada gradasi
kebenaran (degrees theory of truth) yaitu teori yang menyatakan bahwa kebenaran
suatu pengetahuan berderajat, seiring dengan tingkat relevansinya dengan
pengetahuan-pengetahuan lain. Dampaknya, logika matematik kehilangan
determinasi dan keniscayaannya.
Pada dasarnya teori koherensi menempatkan
kebenaran atau kesalahan sebagai predikat untuk sejumlah pengetahuan yang
membentuk suatu sistem pemikiran, tidak untuk setiap unitnya. Dengan demikian,
teori berpijak pada premis holisme yang dirumuskan oleh Willard Van Orman Quine
(1908- ).
Singkatnya, kebenaran menurut teori koherensi adalah harmoni pengetahuan
assentual dengan sistem pemikiran seseorang. (Sejarah Epistemologi, 93, edisi
Parsi, D. W. Hamlyn, editor Paul Edward, The Enclopedia of Philosophi,
Epistemologi Agama dan Modern, 194, M. Taqi Fa’ali).
4. Relativisme
Ia adalah teori atau aliran yang muncul seiring
dengn kemunculan kaum shophis. Tokoh populer mereka, Protoguras (481-411 SM),
mengatakan bahwa manusia adalah totalitas kebenaran. Ia menguraikan bahwa
kebenaran adalah apa saja yang menurut anda atau saya benar(A Histori of
philosophy – F. Copleston 1 hal: 106 terjemah Farsi Mujtabav, Commitment to
Truth, 24)
“Man – the Measure” protogorian ini dapat kita
saksikan pada sebagian pengikut pragmatisme seperti F.C. Scott Schiller dalam
alirannya yang dapat disebut Humanistic Voluntarism (Mausu’ah Falsafah –
Abdurrahman Badawi 2 hal: 24, La. Philosophie Contemropaine en Europe – I.M.
Bochenshi hal: 198 terj Arab Izzat Qarni)
Hal serupa disampaikan oleh sebagian dan
mengatakan bahwa pengetahuan adalah akibat dari interaksi organ perseptor
dengan alam luar (obje di luar). (Lihat Falsafatuna, Muhammad Baqir Shadr hal.
142-143, Nihayatul Hikmah, hal.
255, Nadhariyatul Ma’rifah, hal.227-228).
Teori ini sendiri mesti dianggap salah karena
mengkritik teori sebelumnya, Korespondensi. Sebagaimana dilontarkan Bertrand
Russell, bahwa semua kisah-kisah fiktif dari mulai Spielberg dan novel-novel
Shakespeare sampai telenovela dan srimulat dikatakan benar oleh teori ini.
(Jurnal Kalam Islami no: 34 Arzesy-e Syenakht, Khusru Panah, Ma’rifat Shenasi-e
Dini wa Mu’ashir, Muhammad Taqi Fa’alli, Ma’rifat Shenasi Muhammad Taqi Zadeh).
Empat aliran di atas akan kita bahas secara kritis lalu kita tentukan
salah satu sebagai pendapat terpilih.
Kritik atas Pragmatisme
teori ini problematis (Self Contradiction) karena
klaimnya “kebenaran adalah keuntungan praktis” merupakan pengetahuan teoritikal
murni. Teori ini meniscayakan relativisme subyektif atau waktu, karena bisa
saja suatu pengetahuan bermanfaat untuk seseorang pada waktu tertentu, pada
saat yang sama ia membahayakan orang lain.
Implikasi yang paling dahsyat dari teori pragmatis
adalah bahwa keputusan final dalam setiap pertikaian ada di tangan penguasa
(Power), kendati tanpa keadilan. Teori ini berpengaruh besar dalam kebangkitan
filsafat evolusi dan struggle of survival Nietzche
Teori ini kabur, karena tidak menjelaskan secara devinitif dan tuntas
makna untung dan manfaat, apakah sebatas jasmani atau juga rohani, duniawi atau
juga ukhrawi.
Kritik atas Korespondensionisme
Teori ini mendapat banyak kritik. Antara lain dua
keritik sebagai berikut:
Kritik
pertama:
Kekaburan
makna kesesuaian (muthabaqah). Jika kesesuaian identik dengan kesamaan ketat
dan sempurna (corresponden to) sebagaimana tafsiran Wiitgeinstein, maka
pengetahuan assentual kita tentang “Kotak di sebelah kanan lingkaran” tidak
benar, karena ia tidak sesuai dengan fakta yang tidak lebih dari dua fariabel,
yaitu o . Pada fakta ini tidak ada
fariabel “di sebelah kanan”.
Jika kesesuian atau keharmonisan (al-muthabaqah) berarti kemiripan
(corresponden with), sebagaimana klaim Alston, maka pada dasarnya tidak ada
kesamaan di sini (serupa tapi tak sama). Lagi pula, sulit mengukur kemiripan
antara pengetahuan dan faktanya (Problems & theories of Philosophy, K.
Ajdukiewicz, hal. 36, terj parsi. M. Buzurgmehr).
Bantahan
Kritik pertama ini dibantah oleh para pendukunganya. Mereka mengatakan
bahwa pengetahuan adalah wujud abstrak/inmaterial. Karenanya, ia dan
kesesuiannya dengan faktanya tidak bisa dipandang dengan perspektif empiris
yang konotasinya one to one, atau dengan ukuran seperti; agak, hampir dll.
Karenanya, adalah salah jika kita
memandang “sebelah kanan” sebagai fariabel faktual dan objektif yang mandiri, atau mengukur tingkat kemiripan
suatu pengetauahn dengan faktanya. Kesesuaian adalah penampakan dan
penyingkapan sempurna pengetahuan akan fakta. Dengan kata, lain setiap entitas
memiliki dua dimensi atau hakikat; wujud yang objektif dengan semua
pengaruh-pengaruh objektifnya, seperti panas bagi api dan dingin bagi es, dan
wujud subjektif yang tidak memiliki pengaruh-pengaruh real, selain pemahaman.
Nah wujud kedua atau dimensi kedua dari wujud entitas api itulah, misalnya,
yang hadir dalam layar beak kita, tanpa pengaruh objetifnya, yaitu panas,
sehingga dirinya tidak ikut menjadi panas saat mengkonsepsikannya.
Kritik kedua
Teori Korespondensi mentah dalam mengklarifikasi kebenaran
pengetahuan assentual matematik (methematic proposition), subjektif dan
pengetahuan assentual tentang ketiadaan, sepeti ‘hantu itu tiada’, yang semuanya tidak memiliki fakta
real.
Dengan kata lain, pilar kedua dari teori ini tidak
ada dalam proposisi-proposisi semacam itu (Philosophy Scientifique, Filician
Challaye, hal. 161, terj. Parsi. Y. Mahdawi)
Bantahan
Fakta di sini mencakup segala yang ada di luar,
seperti proposisi empirik, maupun di mental seperti; proposisi matematik dan
subjektif. Fakta haruslah sesuai dengan konteks suatu pengetahuan. Meski
Socrates tidak ada di luar, namun ia dalam kontekspengetahuan “Socrates meneguk
cawan racun” ada dan berfakta. Makna fakta di atas dikenal oleh para filsuf muslim
dengan istilah Nafsul Amr (Nihayatul Hikmah, hal. 15, Syarah Mandhumah, Mulla
Hadi Sabzawari)
Kritik atas Koherensionisme
Teori ini, “nampaknya”, berhasil mendefinisikan kebenaran pengetahuan
untuk sebuah sistem pemikiran, namun jika ada beberapa sistem pemikiran yang
masing-masing memiliki keserasian di antara unit-unit pengetahuannya, seperti
teori-teori geometrik Oglides, teori Lobatschewesky ( 1793-1856) dan teori
Riemann (1826-1866) maka teoti ini gagal dalam menjelaskan apalagi
menentukannya.
berdasarkan teori Koherensi, setiap pengetahuan kritis yang
menjungkirbalikkan sebuah sistem seperti yang dialami oleh Immanuel Kant yang
terjaga dari tidur lelapnya bersama mimpi dogmatisme akibat kritik skeptis
Humem, mesti dianggap salah. Dampaknya, tidak ada alasan untuk berdiskusi
Kritik atas Relativisme
Apakah pengetahuan assentual (faktual) bersifat relatif ataukah absolut?
Pertanyan yang juga sangat penting ini sering
dilontarkan dalam epistemologi. Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak
realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah
penganut relativisme. Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa
esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan
waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang
sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara
yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut
mereka, bersifat relatif.
Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah
bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu
yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti
ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual
dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai
dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan
masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191, Commmitment to
Truth, 25).
Apakah realitas mengalami proses evolusi dan dinamika? Bila sebuah
proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan
realitas objektif, maka ia (realitas
yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga
menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?
Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah
murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau
propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi
filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah
satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin
benar”.
Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang
dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia
materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan
adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.
Selain empat teori di atas, ada sejumlah upaya
dari kalangan filosof kontemporer dalam menawarkan alternatif lain seperti
teori Quine, teori Assertifve Redondancy; karya F.P. Ramsey (1852-1916) teori
reformasi garapan P.F. Stawson, teori Semantik rumusan Alfred Tarski
(1902-1983) dll.
Ada pula upaya mutakhir untuk mengkompromikan tiga teori pertama
seperti yang dicoba oleh Brian Carr dalam An Encyclopedia of philosophy edisi
G.H.R. Parkinson 1989. Ia beranggapan bahwa toeri Koherensi dapat diterapkan
dalam bidang-bidang logika dan metematika sementara teori korespondensi berlaku
dalam kajian-kajian empiris dan sains.
Sebagian orang menolak Relativisme karena, menurut mereka,
merelatifkan semua pengetahuan meniscayakan penolakan terhahap setiap realitas,
termasuk pengetahuan tentang kerelatifan semua pengetahuan, yang dilontarkan
dan diyakini para pendukung relativisme.
Ada juga yang menolak Relativisme epistemologis ini karena,
melatifkan pengetahuan berarti meyakini, paling tidak, sebuah pengetahuan, yaitu bahwa hukum tentang relativitas itu
mutlak.
Elemen ketiga
Elemen ketiga dalam pengetahuan assentual adalah
‘justifikasi’ (At-Tawjih). Justifikasi,
menangkal tebakan atau ramalan yang mujur (lucky guess). Jadi, andaikan
saya meramal atau menebak bahwa “Ali ada di balik dinding”, dan memang ternyata
demikian, maka berarti ucapan ini memenuhi dua syarat; kepercayaan dan
kebenaran, namun ia tidak memenuhi syarat ketiga. Karenanya, ia tidak bisa
dianggap sebagai pengetahuan. Tiga elemen, kepercayaan, kebenaran dan
justifikasi inilah yang dijadikan
sebagai definsi tradisional pengetahuan
assentual atau pengetahuan yang benar, bahkan pengetahuan secara umum, oleh Plato. tradisional. (Ma’refat Shenasi
dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130).
Batas Pengetahuan hushuli assentual
Manusia secara naluriah didorong oleh rasa ingin
tahu. Dengan bekal pengetahuan (hushuli, hushuli), sebagaimana telah
dijelaskan diatas, manusia berpeluang
untuk menyingkap realitas di luar dirinya. Bahkan sebagian besar manusia ingin
mengetahui segala sesuatu dan ingin memiliki pengetahuan yang mutlak.
Mungkinkah itu? Apakah pengetahuan manusia terbatas ataukah tidak?
Jawabannya bisa kita temukan pada sebagian isi
pembahasan tentang skeptisisme lokal
diatas, dengan berbagai versinya. Secara implikatif, mereka (kaum skeptis)
mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. Kesimpulan serupa seringkali
diungkapkan oleh kaum urafa Islam, bahwa ada serangkaian hakikat yang tidak
dapat disentuh oleh ketajaman akal, terlebih indera manusia. Para hukama islam
menambahkan bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat dan entitas wajibul wujud. (Jurnal Shadra no.
18, Tasawwur wa Tashdiq, M. T Fa’ali). Hingga kini, tidak ada seorangpun yang
berani mengklaim sebaliknya.
Alat-alat pengetahuan hushuli assentual
Setelah memastikan bahwa manusia dapat mengenal
realitas dan berpengetahuan, meski terbatas, dengan alat apakah manusia dapat
mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual? Untuk mengetahui segala
sesuatu, manusia memerlukan alat dan sarana tertentu untuk dapat melakukan dan
menjalin hubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, yaitu indera, rasio
dan emosi.
Berikut ini adalah tiga aliran besar dalam
epistemologi yang memberikan tiga jawaban berbeda.
Empirisme
Ia berasal dari Yunani empiria, empeiros, dan dalam Latin experientia
(pengalaman). Ia semula adalah sensasionalisme yang menganggap indera sebagai
alat pengukur validitas, kemudian dikembangkan oleh sejumlah filsuf seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), John Stuart Mill, John Locke ((1632-1704), dan
August Comte (1798-1857), menjadi positivisme.
Empirisme
atau Sensasionalisme yang populer dikalangan filsuf Anglo Saxon, beranggapan bahwa mental manusia bak lembaran
putih (tabula rasa) yang bisa menerima berbagai gambar setelah indera
berhubungan dengan objek-objek di luar. Benang merah Empirisme
tergulung/terlilit di penggalan statemen latin Locke, “Nihil est in intellectu
quad non prius fuerit in sensu” (Tidak ada sesuatupun di benak/mental yang
sebelumnya tidak pernah ada pada indera) (az Bruno to Kant, Syarafuddin
Khurasani hal.121).
Aliran-aliran dalam empirisme
Empirisme terbagi kepada tiga versi:
a. Condillac (1715-1780), Positivisme
dan Neo Pesitivisme yang menganggap indera eksoterik sebagai sumber sejati
pengetahuan-pengetahuan konseptual.
b. G. Barkeley (1685-1753) membatasi
indera pada indera esoteric dan pengalaman-pengalaman batin.
c. John Locke (1632-1703) dan David Hume
memangdang indera dengan dua sisinya; esoteric dan eksoterik (Des Suorces de La
Connaissance et de I’ignorance, R. K. Poper, terj. Parsi Abbas Bagiri, hal. 7)
Ada dua penafsiran tentang proses kemunculan konsep-konsep universal;
- Bahwa konsep-konsep universal adalah konsep-konsep parsial yang sudah berubah akibat ulah akal.
- Bahwa Kemunculan konsep-konsep itu dimediasi oleh konsep-konsep parsial. (1 & 2 Lihat falsafatuna, Al-Manhaj Al-Jadid, nadzariyatul ma’rifah, dll.).
Implikasi perubahan konsep parsial menjadi konsep
universal adalah hilangnya keadaaan sebelumnya, yaitu konsep parsial, sementara
kita dapatkan ia (konsep parsial) tetap ada dengan kemuncualan konsep
universal. Mediasi konsep parsial
bagi kemunculan konsep universal hanya
berlaku dan bias dinikmati oleh sebagian konsep universal preimer/esensial,
sebagaimana dalam uraian berikut nanti.
Dasar-dasar Pemikiran Empirisme
Paham Empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf
Inggris, John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685- 1753), dan David Hume
(1711-1776). Mereka berusaha melacak setiap proposisi sampai pada hal-hal yang
dapat dialami secara inderawi. Memang kelahiran empirisme dalam rangka
menentang pendapat rasionalisme ayang didasarkan atas pengetahuan intuitif dan
kepastian yang bersifat apriori, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahwa
barang sesuatu sungguh-sungguh ada dalam keadaan yang sesungguhnya yang
meliputi kenyataan tertentu.
Paham empirisme tampaknya diilhami oleh filsafat
Aristoteles (384-322 SM) yang mengemukakan pendapatnya bahwa pengetahuan
terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk yang
berada di luar diri diserap oleh subjek yang meninggalkan bekas-bekas dalam
kehidupan bathinnya. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indera.
Pendapat yang demikian itu ditegaskan pula oleh Thomas Aquinas (1225-1274)
salah seorang penganut di abad pertengahan yang mengemukakan bahwa "…
tiada sesuatu yang dapat masuk ke dalam akal yang tidak dapat ditangkap oleh
indera". Dari kedua pendapat itulah tampak bagaimana pengaruh peran indera
dalam hubungannya dengan proses mengetahui. Pandangan yang demikian mempengaruhi
pemikiran yang menolak kemampuan akal atau rasio seperti dikemukakan oleh
Descartes. (Kamus Filsafat, 197-198)
Kritik atas Empirisme
Indera hanya menangkap realitas sebagai gambaran
yang ditransfer ke dalam benak. Indera tidak dapat memastikan apakah gambaran
itu nyata atau palsu, seperti jalan beraspal di bawah terik matahari yang
ditangkap oleh indera sebagai genanagan air yang bergerak.
Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber
tunggal bagi pengetahuan assentual berarti pengakuan terhadap hukum sebab
akibat. Sedangkan hukum atau hubungan kausal tersebut tidak terinderakan.
Artinya, tanpa meyakini adanya hubungan kausal antara indera dan gambaran yang
ditangkapnya, kaum empiris tidak akan pernah memperoleh pengetahuan assentual.
Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber
tunggal bagi pengetahuan assentual bersifat apriori dan tak berdasar atau
berdasar pada indera itu sendiri.
Jika klaim mereka bahwa indera tidak berdasarkan
rasio, maka sumbernya tentu indera itu sendiri atau bukan indera dan bukan
rasio. Jika sumber indera adalah indera, maka ia akan meniumbulkan konseuensi
irasional yang lazim disebut “tasalsul” atau suksesi. Jika indera tak bersumber
dan tak berdasar, maka klaim kaum empiris pantas diabaikan, karena tak
berdasar. Jika sumber indera adalah rasio, maka berarti mereka bukan lagi
penganut empirisme dan bukan penganut materialisme.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kaum empiris juga
menggunakan metode rasional, karena induksi, analogi dan silogisme merupakan
elemen-elemen dalam metode inferensi rasional.
Emosionalisme
Ia adalah sebuah aliran dalam epistemologi yang
mengutamakan hati dan perasaan sebagai alat penyingkap realitas. Para tokoh
sufi muslim seperti Al-Ghazali atau tokoh mistik Eropa seperti Henri Bergson
sangat mengandalkannya.
Emosionalisme atau moralisme atau mistikisme tidak
hanya dianut oleh para filsuf muslim, namun ia telah berkembang di barat dan
eropa khususnya. Henri Bergson (1805-1941) beranggapan bahwa pengetahuan
assentual (yang sesuai dengan kenyataan objektif) adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan hati. Menurut filsuf perancis ini, akal bukanlah alat untuk
menembus atau mengenal realitas, namun ia hanya menciptakan kontak praktis
dengan realitas objektif. (Ususul-Falsafah, juz, 212).
Sebagian penganut emaosionalisme disebut dengan
mistisisme. Istilah ini berasal dari kata musters dalam bahasa Latin (orang
yang mencarei rahasia kenyataan). Ia berasal dari agama-agama misteri Yunani,
yang pertama kali dipakai oleh Dionisius Areopagita, yaitu metode untuk
mendekati Tuhan yang sama sekali tidak transenden. (Kamus Filsafat, 653).
Sebagian juga menyebut emosionalisme dengan trasendentalisme meyakini
keunggulan intuisi atau yang rohani atas yang empiris dan inderwi. (Kamus
Filsafat, 1123).
Salah satu teori penganut emosionalisme mengatakan
mengatakan bahwa pengetahuan mistik (Al-kasyf) hanya dapat diperoleh setelah
jiwa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Substansinya utuh.
- Bersih dari kotoran (sumber-sumber keburukan)
- Berkonsentrasi ke alam abstrak
- Bebas dari fanatisme dan sikap ikut-ikutan
- Menyusun premis-premis yang tepat guna mencapai konklusi dengan urutan yang telah ditentukan dan berdasarkan syarat-syarat yang tela-h ditetapkan. (Nadhariyatul-ma’rifah, 180).
Para ahli irfan praktis menjelaskannya dengan cara
yang lebih mudah. Disebutkan, ada tiga sumber keburukan yang menjadi kendala
jiwa untuk memperoleh pengetahuan mistiik yang sering disebut dengan kasyf
(penyingkapan) dan syuhud (penyaksian).
Tiga sumber keburukan itu ialah Kezaliman. Secara
kebahasaan, Adh-Dhulm (kezaliman) mempunyai yang arti sama dengan Adh-Dhalm
(kegelapan). Secara etimologis, ia diartikan atau didefinisikan sebagai “tidak
meletakkan sesuatu (material atau immaterial) pada tempatnya yang lazim”.
Kezaliman berdimensi dua; intelektual (konseptual,
teoritis), dan aktual (praktis). Kezaliman konseptual (intelektual) adalah
membenarkan sesuatu yang tidak benar, mengiayakan pernyataan yang keliru, dan
sebagainya. Sedangkan kezaliman praktis adalah tidak melakukan sesuatu yang semestinya
dilakukan. Kezaliman praktis mempunyai dua dimensi; yaitu kezaliman terhadap
diri sendiri (kezaliman praktis individual), dan kezaliman terhadap orang lain
(kezaliman praktis sosial).
Sumber kedua adalah kekafiran. Secara kebahasaan,
Al-Kufr berarti “menutupi”, namun dalam khazanah Islam, ia diartikan sebagai
“menolak, menentang”.
Kekufuran, dilihat dari objek dan sasarannya, bisa
dibagi menjadi dua; kekafiran positif (terpuji) dan kekafiran negatif
(tercela).
Sumber keburukan ketiga adalah kefasikan.
Kefasikan (Al-Fisq) didefinisikan sebagai “penyimpangan dari kebenaran dan
kebaikan”. Karena itulah, para ahli irfan dan akhlaq memasukkan maksiat dalam
kategori penyimpangan psikologis atau abnormalitas. (Mabail-Ma’rifah,
Nadhariyatul-Ma’rifah 179-182).
Sebagian dari tokoh mistikisme Islam mencantumkan
tiga syarat untuk memperoleh pengetahuan assentual yang disebut dengan
Al-Haqiqah itu.
Sampai sekarang belum ditemukan kriteria-kriteria
baku tentang “hati yang jernih”, sehingga tak mengherankan bila jumlah aliran
dalam mistikisme lebih banyak dan saling bertentangan. (Al-Irfan Al-Islami,
Al-Irfan, Mabanil-Ma’rifah dll).
Kritik atas Emosionalisme
Klaim kaum mistis bahwa hati adalah alat yang
paling tapat untuk mengenal fakta dan realitas belum tentu salah. Namun, hati
di luar wilayah bahasa, sehingga ia hanya dapat dialami dan dirasakan. Ia tidak
dapat dirumuskan dan dideteksi ketepatan dan kekeliruannya.
Spritualitas atau gnostika sejati tidak akan
pernah dapat diraih tanpa menyembah dan mentaati Allah. Untuk menyembah dan
mentaaati Allah, ma’rifah atau pengetahuan akan Allah merupakan syarat mutlak.
Pengengetahuan inilah yang memerlukan rasio. (Al-Manhaj Al-Jadid, 125).
Untuk mengidentifikasi bahwa kasyf seseorang
sebagai benar, tak pelak akal dan norma agama diperlukan (Al-Manhaj Al-Jadid,
ibid).
Rasionalisme
Yaitu aliran yang dianut para filsuf kontinental.
Mereka menganggap bahwa asal usul pengetahuan konseptual, khususnya
universalia, adalah akal. Akal dalam terminologi mereka adalah suatu daya
perceptual/kognitif selain indera.
Konsep-konsep yang diperoleh sebelum kontak inderawi dan empirik (a priori) berasal dari
daya tersebut. Rene Descartes (1596-1650) menempatkan konsep-konsep seperti;
Tuhan, satu, gerak dan konsep-konsep matematik ke dalam konsep-konsaep a priori
yang bersifat kodrati (innate), yaitu produk kodrat akal (ratio)manusia.
Sementara Immanuel Kant (1724-1804) meyakini adanya serangkaian konsep-konsep
sejak awal penciptaan akal manusia, seperti dalam diagram 12 kategorinya.
Dalam pada itu, Laibniz (1646-1716) secara frontal
menolak analogi mental manusia dengan tabula rasa. Ia mengedit dan mengurut
alfabet benang merah Empirisme yang tergulung di penggalan latin locke itu,
lalu menyambungnya dengan tulisan imbuhan
“nisi intellectus ipse” (kecuali akal itu sendiri) (az Bruno to Kant, S.
Khurasani, hal.151, Al-Manhaj Al-Jadid, Falsafatuna, dll.)
Aliran-aliran dalam rasionalisme
Aliran ini telah berkembang dan terpecah ke dalam
sub-sub aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme Descartes (1596-1650),
rasionalisme Liebniz (1646-1716), rasionalisme Spinoza (1623-1677),
rasionalisme-kritisisme Kant (724-1804), rasionalisme kritis Karl R. Popper,
(bahwa pengetahuan ilmialah manapun bersifat hipotetis dan diterima sejauh
belum dipersalahkan, rasionalisme Al-Farabi, rasionalisme Ibnu Sina yang
dikenal dengan paripatetisme, rasionalisme Ibnu Rusyd, dan rasionalisme Mulla
shadra.
Aliran yang mirip atau bahkan boleh sama dengan
rasionalisme adalah intelektualisme. Namun, menurut sebagian penulis buku
filsafat, intelektualisme menendakan keunggulan roh dan akal budi, tanpa
sekaligus membatasinya hanya pada konsep-konsep dan pemikiran diskursif yang
pantas bagi akal budi manusia.
Dalam filsafat kuno, intelektualisme diwakili oleh
Elea dan kaum Platonis. Dalam filsafat modern, intelektualisme dilawankan
dengan sensasionalisme yang timpang. Descartes dan Spinoza juga dianggap
sebagai penganutnya.
Dasar Pemikiran Rasionalisme
Aksioma dasar yang dipakai untuk membangun
rasionalisme diturunkan dari gagasan (ide) yang menurut anggapannya adalah
jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Akal manusia mempunyai kemampuan
untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak
mempelajarinya lewat pengalaman. (Yuyun Sumantri, 1978, Dasar-dasar filsafat,
8.2, Kamus Filsafat, 931, ibid 358)
Berpangkal tolak pada aksioma dasar itu, sistem
berpikir yang dipakai adalah deduksi, yaitu berpikir dari hal-hal yang umum
menuju hal-hal yang bersifat khusus. (ibid).
Rasio atau akal secara kebahasaan (Arab) berasal
dari kata aqala yang berarti “mengikat” agar tidak lepas kendali. Lawannya
adalah “kebodohan” (Al-jahl), yaitu tidak melakukan perbuatan yang semestinya
dilakukan, karena tidak tahu atau karena didominasi oleh kepentingan. Ia juga
lawan dari “kegilaan” (Al-Junun). (Al-Manthiq Al-Islami, 144).
Kritik atas Rasionalisme
Sekedar merujuk de dalam mental, kita tidak
menemukan konsep-konsep semacam itu sejak awal.
Akan terbuktikan bahwa konsep-konsaep yang mereka
sebut sebagai produk kodrat akal berpangkal pada sumber tertentu. Mereka akan
menghadapi kebuntuan ketika beranjak ke dalam konteks penerapan konsep-konsaep
itu pada faktanya. Sebuah konsep inasial (produk akal) bagaimana berkonotasi
dan sesuai dengan fakta objektif?
Descartes dan Spinoza (1632-1766) berusaha lari
dari kritik di atas, dengan berteduh dibawah dinding rapuh teologi. Descartes
mengatakan bahwa Tuhan maha bijaksana. Dia bukan penipu, maka Dia tidak akan
membekali akal dan mental kita dengan konsep-konsep dusta yang tak berfakta.
Oleh karena itu, lanjut Spinoza, konsep-konsep itu pasti dan selalu benar.
Kesalahan hanya akan terjadi akibat kebebasan manusia. (Principia philosophiae,
rene Descartes hal. 60 terj. Parsi Az Bruno ta Kant, dll)
Dinding teologi ini rapuh, karena dibangun di atas
fondasi epistemologis yang tidak teraduk
matang. Sekali lagi, bagaimana konsep Tuhan, bijaksana, tipu, maha dan
selainnya berfakta atau sesuai dengan fakta? Apalagi seperti bijaksana dan tipu
bukan berupa konsep-konsep inasual.
3.Teori Rekoleksi
Plato menyatakan bahwa konsep-konsep parsial
(pistis-eikasia) diperoleh lewaat indera. Pengetaaahuan ini tidaak lebih daari
dugaan (doxa). Pengetahuann sejati (episteme) adaalah universalia yang disadari
dengan pengingatan kembali, yaitu dengan mempersepsi objek-objek di luar,
karena jiwa pada dasaarnya sudaah mengetahuinya di alam transcendental (idea)
(A History of Philosophy, F. Copleston J.1 pasal 19 terj. parsi, Mujtabawi,
Falsafatuna 52-61, dll).
4.Para filsuf muslim
Berdasarkan uraian-uraian konsep parsial daan
universal, mereka menganalisa bahwa konsep universal logis diperoleh berkat
pengamatan akal atas konsep-konsep selainnya. Sedaangkan universal esensial
muncul berkat aksi akal menyoroti perbedaaan-perbedaaan di antara konsep-konsep
parsial imajinatif, lalu mengabstaksikan dan menyisihkan perbedaaan-perbedaan
itu, hingga menemukan kesatuan yang berlaku pada setiap konsep-konsep
imajinatif tersebut.
Sementara konsep universal filosofis diperoleh
lewat perbandingan dan pengamatan relasi-relasi di antara konsep-konsep parsial
imajinatif. Adapun konsep imajinatif itu sendiri nmuncul dari pengingatan
mental akan konsep-konsep sensual. Dan yang terakhir ini, pada gilirannya,
muncul lewat indera eksoterik atau esoterik (pengetahuan hudhuri).
Dengan demikian, mereka mempertegas aphorisma
abadi Arestoteles, “Man faqada hissan faqad faqada ilman”.(Rasail Falsafi,
Allamah Thaba’thabai, hal. , Hikmatul
Isyraq, Syuhrawardi, hal 278, dll)
Persepsi mental melewati beberapa tahap sebagai berikut:
Pertama adalah tahap persepsi inderawi. Yaitu
hubungan langsung indera dengan suatu objek (eksternal atau internal). Kedua
adalah tahap persepsi imajinatif.
Apabila hubungan indera itu terputus,
saat kita memejamkan mata, misalnya,
maka seketika konsep itu berada dalam
daya persepsi lain, yaitu imajinasi atau intuisi jika dari indera
esoterik.
Dibandingkan dengan tahapan pertama, konsep
imajinatif daan intuitif tidak lagi perlu hadir objeknya langsung daalam skala
jangkauan indera, kendati ketiganya sama-sama berupa parsial dan tidak bebas
dari sifat-sifat khusus fisikal objeknya.
Ketiga adalah tahap persepsi rasional. Di sini mental
mengabstraksi dan menyapu bersih cirri-ciri khusus dari konsep imajinatif dan
intuitif, hingga menemukan kesatuan di antaranya. Dengan demkian, mental
mendapatkan konsep universal. Pada tahapan ini, tidak adaa lagi batang hidung
konsep parsial.
Berdasarkan tahapan ini pula, terbukti adanya daya
persepsi selain indera, imajinasi dan intuisi; daya yang berurusan dengan
universalia. Mereka menyebutnya dengan akal.
(Idrak e Hessi, M.T. Fa’ali, Ma’refat
Shenasi, M. Hosein Zadeh, Amuzesh e Aqa’id, Mohsen Gharawiyan,
bagian epistemology, falsafatuna, dll).
Mazhab Qom tidak membedakan antara persepsi
sensual dan persepsi imajinatif, karena menurutnya, ada dan tiadanya objek di
sekitar indera tidak berdampak terhadap perbedaan apapun pada dua konsep
tersebut. Oleh karena itu, beliau meringkas persepsi mental pada dua tahap;
tahap inderawi plus imajinatif dan tahapan rasional (Al-asfar juz3, hal. 362
komentar Allamah).
`
Uraian di atas dikenal dengan Teori Tajrid wa
Taqsyir (abstraksi) yang umum diterima oleh kalangan filsuf muslim sejak
Arestoteles melontarkannya. Teori ini juga nampak jelas dalam analisa John
Locke (Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/376) hingga lahirlah Hikmah
Muta’aliyah, inovasi Sadrul Mutaallihin dalam Enseklopedia falsafi; Al asfar Al
arba’ah. Di dalamnya beliau merumuskan
Teori Ta’ali (transendentalia, transendensi); teori yang menyelaraskan dan mengakselerasikan tahapan-tahapan persepsi
dengan strata-strata eksistensi jiwa (nafs), yaitu strata pengindera, strata
pengingat dan strata penalar. Setiap derajat jiwa menciptakan konsep
masing-masing. Oleh karena itu, relasi
antara konsep dan jiwa berupa
penciptaan/emanasi (shuduri atau faydh), berbeda dengan teori tajrid wa taqsyir
yang menekankan pengendapan (hululi/panteistik) dan jiwa bersifat pasif.
Dalam ungkapan lain, saat organ indera berhubungan
dengan suatu objek, jiwa pengindera menciptakan konsep yang sesuai denga objek
itu. Lalu jiwa pada derajat yang lebih tinggi, yaitu pengingat, menciptakan
konsep yang sesuai dengan konsep ciptaan/emanasi jiwa pengindera. Pada derajat
yang paling tinggi (jiwa penalar) menciptakan konsep yang sesuai konsep
ciptaan/emanasi derajat pengingat.
Teori ini dilandasi oleh beberapa premis
(presupposition) filosofis seperti; Ashalatul Wujud, Jasmaniyatul Huduht
Ruhaniyatul Baqa’, Nafs fi Wahdatiha Kulul Quwa, harakah Jauhari daan tiga alam
objektif. (Idrak Hissi, Fa’ali, pasal 3, Al-asfar 3, hal. 360,435, Syash hal wa
Arae Mulla Sadra, J. Asytiyani hal. 123-164, dll)
Teori At-tajrid wa At-taqsyir (abstraksi)
dan teori At-ta’ali (transensensi), kendati ada perbedaan, keduanya
sepakat bahwa tahapan-tahapan persepsi bersifat vertical, berbeda dengan
Fakhrurrazi yang menjabarkannya secara horizontal. (Idrak e Hisssi, T.Faali, pasal 3)
Proses vertikal dalam tahapan-tahapan persepsi
dimulai dari partikularia (yang parsial)
ke universalia (yang general). Sebaliknya, dalam induksi/sillogisme tahapan
berfikir bergerak dari universal ke parsial.
Adanya sekumpulan konsep yang diperoleh tanpa
andil indera, sebagaimana klaim Empirisme. Namun, konsep itu juga bukan
keniscayaan kodrat akal manusia, sebagaimana klaim Rasionalisme, atau
pengingatan kembali sebagaimana teori Rekolaksi Platonian.
Tiga tahapan versi teori Tajrid wa Taqsyir
hanya berlaku pada universalia esensial.
Sedangkan universal filosofis, kendati melalui dua tahapan pertama, namun pada
tahapan ketiga; persepsi rasiaonal, akal
melakukan perbandingan terhadap konsep
imajinatif atau sensual, lalu mencermati nisbah/relasi di antara keduanya dari
aspek atau perspektif terentu, kemudian mengabstarksikan ciri-ciri khusus
keduanya. Misalnya, asumsikan “berfikir”
dan “jiwa pemikir” sebagai dua konsep intuitif yang diperoleh dari pengetahuan
hudhuri, seraya membandingkan dan mencermati nisbah atau relasi antara keduanya
dari aspek kejadiannya, maka kita akan kita mendemukan ketergantungan realitas berfikir pada wujud sang
pemikir.
Ini berarti
kita temukan tiga konsep baru; yang bergantung (berfikir), yang
digantungi/tempat bergantung (sang pemikir) dan relasi unik antar keduanya,
yaitu ketergantungan eksistensial/real.
Lalu, kita mengabstraksikan dan menyisihkan fariabel-fariabel
pembeda/ciri-ciri khusus yang ada pada tiga konsep tersebut, seperti berfikir
dan sang pemikir. Maka, yang tesisa adalah yang bergantung yang biasa kita
sebut dengan akibat, yang digantungi; yang biasa kita sebut dengan sebab, dan
ketergantungan yang dikenal dengan kasalitas. Dengan demikian, kita telah
mendapatkan tiga konsep baru, sebab, akibat dan kausalitas yang biasa
berlaku pada selain “berfikir” dan
“pemikir” yang memiliki relasi demikian.
Dari aspek dan perspektif lain, kita biasa
menemukan konsep universal filosofis lain dari berfikir dan pemikir, seperti
konsep awal, akhir, niscaya, mungkin,
dan sebagainya (Nihayatul Hikmah, Thabathabai hal. 257, Ma’qul e Tsani,
F.Esykevari hal. 226-230).
Sedangkan ‘universal logis’ tidak bisa diperoleh
hanya dengan tiga tahapan persepsi itu. Mental mesti beranjak dari tahapan
ketiga dengan mengamati konsep-konsep yang ada pada semua tahapan sebelumnya;
parsial maupun universal, lalu muncullah konsep-konsep universal yang
menjelaskan sifat-sifat konsep-konsep di tahapan-tahapan tersebut, seperti
pengamatan mental terhadap konsep
manusia (universal esensial) lalu mendapatkannya bisa berlaku atas Budi, Agus dan Luluk dan lainnya. Keberlakuan ini adalah suatu sifat untuk
konsep manusia yang disebut dengan istilah universal.(Ma’qul Tsani, F.
esykevari, hal. 204).
Kini sampailah kita pada tahap keempat; yaitu tahap produksi
konsep-konsep universal logis.
Syarat-syarat Pengetahuan hushuli Assentual
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang
yang hendak meraih pengetahuan assentual adalah sebagai berikut;
1.
Talenta
(Bakat). Yaitu sebuah potensi inheren dalam diri setiap orang agar cara yang
ditempuhnya jitu secara intelektual dan aktual. Evaluasi biasanya dapat
menyingkap dan mengukur kebaradaan potensi pada seseorang untuk melakukan
sebuah pencarian atau penelitian.
2.
Intelektualitas.
Yaitu kemampuan untuk berfikir secara ilmiah. Syarat ini dapat dipenuhi dengan
berlatih melakukan kritik ilmiah. Evaluasi juga dapat mengukur apakah seseorang
memiliki karakter dan mentalitas ilmiah.
3.
Wawasan
ilmiah. Yaitu penguasaan ilmiah terhadap subjek yang hendak dipelajari, atau,
minimal, minat dan perhatian secara memadai terhadap tema yang akan dibahas.
4.
Kejujuran
dalam Mengutip. Yaitu sikap moral yang dapat mengontrol diri agar tidak
menambah atau mengurangi, mendistorsi, dan mereduksi keterangan atau pendapat
yang akan dikemukakan berkenaan dengan tema yang akan dibahas.
5.
Transparansi
dan Keterusterangan. Yaitu bersikap terbuka dalam mengutara-kan pendapat,
karena peneliti adalah pencari kebenaran.
6.
Objektivitas.
Yaitu tidak menyisipkan kepentingan atau pertimbangan individual dan subjektif
dalam mengutarakan pendapat, namun semata-mata karena substansi realnya.
7.
Kejelasan.
Yaitu bahwa peneliti dan pencari kebenaran harus mempunyai tujuan yang jelas,
langkah-langkah yang jelas, dan kesimpulan-kesimpulan yang signifikan.
8.
Metodologi
(Sistematika). Yaitu, bahwa pencari kebenaran atau peneliti hendaknya berpegang
pada sebuah metode ilmiah dalam melakukan penelitian atau pencarian.
9.
Moralitas.
Yaitu, bahwa setiap peneliti dan pencari kebenaran hendaknya menyandang
kesabaran, ketekunan atau ketelatenan, penghormatan terhadap pendapat orang
lain, baik benar maupun salah, sederhana maupun berbobot, rendah hati dan tidak
pongah atau sok pintar. (Ushulul-Bahts, 341-343, Kasyfudh-Dhunun,
1/35-36).
Peringkat-peringkat pengetahuan hushuli assentual
Pengetahuan husuli dapat dibagi, berdasarkan
entensitas kulaitasnya, menjadi tiga:
- Pengetahuan hushuli assentual yang diragukan.
- Pengetahuan hushuli assentual yang diduga.
- Pengetahuan hushuli assentual yang dipastikan atau diyakini.
Sifat-sifat pengetahuan hushuli assentual
Ada beberapa pertanyaan penting berkenaan dengan
pengetahuan asentual atau realitas secara umum, yaitu sebagai berikut:
- Pengetahaun assentual permanen atau temporal?
Pertanyaan yang sangat penting ini telah mengundang bermacam jawaban.
Para filsuf modern melancarkan kritik tajam terhadap penganut logika klasik
karena alasan ini. Para filsuf modern yang telah bersepakat untuk meyakini
adanya perubahan dalam realitas objektif dan material, menganggap realitas
sebagai sesuatu yang dinamis dan temporal, seperti realitas historis yang telah
berlalu, realitas matematik yang sejak semula tidak memiliki realitas objektif,
rallitas psikis yang senantiasa berubah-ubah.
Sebenarnya realitas itu bersifat permanen sekaligus temporal. Bahwa
Socrates adalah murid Plato pada abad keempat SM adalah realitas historis yang
telah berlalu, namun ke-muridan- Aristo bagi Plato adalah fakta yang permanen.
- Pengetahuan assentual absolut atau relatif?
Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini
adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme.
Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala
sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu
yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga
boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang
berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka,
bersifat relatif.
Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah
bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu
yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti
ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual
dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan
realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah
relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191).
- Pengetahuan assentual dinamis atau statis?
Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau
sesuai dengan realitas objektif, maka ia
(realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan
berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?
Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah
murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau
propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi
filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah
satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin
benar”.
Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang
dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia
materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan
adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.
Cara Memperoleh Pengetahuan hushuli assentual
Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan
assentual (faktual, Al-Ma’rifah Al-Yaqiniyah, At-Tashdiqiyah) dan pengetahuan
non assentual (tidak faktual, Al-Ma’rifah Al-Kadzibah)?
Rasionalisme telah menawarkan kiat menghindari
kesalahan berfikir dan pengetahuan invalid,
yaitu logika. Aristoteles telah berjasa bagi umat manusia dengan membuat
sistematika berfikir, yang lazim disebut dengan logika klasik atau logika
aristotelian. Pada masa-masa selanjutnya, sejumlah filsuf mengkritik logika
klasik dan memperkenalkan logika modern, seperti logika modern Descates
(Cartesian), logika Hegelian (Dilalektika), dan logika Kantian (Kritisisme).
Namun, bila dikaji lebih dalam, mereka sebenarnya tidak membuat sistematika
yang baru. (Ususul-Falsafah, juz, 171).
Manfaat Pengetahuan hushuli assentual
Dengan bekal pengetahuan rehudhuri assentual, akal
dapat memainkan lima peran sebagai berikut:
- Menghadapi problema (yang belum diketahui).
- Mengenali jenis (macam) problema tersebut
- Berpindah dari problema tersebut ke sebagian data pengetahuan yang telah tersimpan dalam memorinya.
- Bergerak di antara data pengetahuan tersebut untuk diperiksa, dan memadukan antara data tersebut dengan problema yang sesuai dengannya guna menyelesaikannya.
- Berpindah dari data yang telah dipadukannya dengan kesimpulan yang diharapkan. (Ushulul-Bahts)
Elemen-elemen Pengetahuan hushuli Assentual
Pengetahuan assentual terdiri dari empat pilar:
- Subjek
- Predikat
- Nisbah (kopula) antara subjek dan predikat, seperti adalah, yaitu, ialah, dll.
- Ketetapan (Penetapan).
Pada dasarnya, substansi assentual terletak pada
pilar ke empat. Tanpa itu, ia kembali berupa konseptual, seperti pada contoh
keadilan Ali (Ma’rifat Shenasi, H. Ibrahimiyyan, hal. 95, Ma’rifat Syenassyi,
M. Hosein Zadeh, hal. , Al-Manhaj Al-Jadid, hal 1/186).
Dua pengetahuan hushuli assentual
Sebagaimana pengetahuan (hushuli) konseptual,
pengetahuan (hushuli) assentual, berdasarkan muatan proposisinya, terbagi dua:
- Pengetahuan assentual ekstemporal (badihi, aksiomatis), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh tanpa pembuktian
- Pengetahuan assentual non ekstemporal (nazhari), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh dengan pembuktian/pengetahuan asentual lainnya.
Selain
dapat dibagi menjadi konseptual (tashawwuri) dan assentual (tashdiqi),
pengetahuan hushuli juga dapat
dibagi menjadi badihi dan nadhari. Masing-masing bagian juga terbagi ke dalam
beberapa bagian, berdasarkan asas pembagian yang berbeda-beda.
Pengetahuan
hushuli dapat dibagi berdasarkan butuh dan tidaknya pada bukti, terbagi
dua;
1.
Pengetahuan
hushuli ekstemporal konseptual
atau apriori konseptual (Al-Ma’rifah
Al-Badihiyah Al-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis)
yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan
“semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak
bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap
manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian
mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.
Pengetahuan
hushuli non-ekstemporal atau aposteriori
konseptual (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah At-tashawwuriyah). Yaitu
pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan
pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya,
seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan
karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia
tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan
sebagai konsep yang perlu didefinisikan.
PENGETAHUAN HUSHULI EKSTEMPORAL
Dua macam Pengetahuan hushuli ekstemporal
Pengetahuan hushuli ekstemporal (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah
Al-Badihiyah), baik konseptual maupun assentual, dilihat dari aspek
kualitas isinya terbagi dua;
- Pengetahuan ekstemporal prima (Al-Badihiyah Al-Awwaliyah).
- Pengetahuan ekstemporal sekunda (Al-badihiyah Al-tasnawiyah)
Pengetahuan hushuli ekstemporal prima
Pengetahuan ekstemporal primer adalah bahan baku
“pembuktian langsung”, atau sebuah atau beberapa pernyataan pasti benar yang
menjadi cikal bakal dan dasar bagi setiap pernyataan ekstemporal sekunder
(kedua) dan setiap pernyataan premis non-ekstemporal.
Pernyataan (premis) ekstemporal primer meliputi
dua hukum, hukum non kontadiksi dan hukum kausalitas.
Sedangkan pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
meliputi banyak pengetahuan yang telah dipastikan validitasnya berdasarkan
pembuktian yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal prima.
Hukum Non-kotradiksi
Yaitu pengetahuan atau pernyataan bahwa “dua hal
yang berkontradiksi tidak bertemu”,
yang lazim disebut “hukum kontradiksi” atau "hukum non kontradiksi"
(At-Tanaqudh),
Hukum ini merupakan postulat aksiomatis yang disepakati oleh
setiap manusia, secara sadar dan tidak.
Untuk memahaminya, kita perlu menyoroti pengertian
“kontradiksi” dan pengertian “bertemu” yang terkandung dalam hukum tersebut.
Setelah kita mengkaji wacana dialektika secara kritis.
Definisi “Kontradiksi”
Ia adalah pertentangan mutual antara sesuatu yang
afirmatif dan negatif.
Marx dan para pengikutnya menolak hukum non
kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi
kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang
dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya potensia dan aktus dalam setiap
entitas.
Definisi “bertemu”
Ada sembilan kesatuan (al-wahdah, unitas)
yang seluruhnya merupakan syarat dalam paradoks kontradiksi, yaitu sebagai
berikut:
- Unitas subjek
- Unitas predikat
- Unitas tempat
- Unitas waktu
- Unitas relasi
- Unitas potensia dan aktus
- Unitas ‘seluruh’ dan ‘sebagian’
- Unitas kondisi (syarat)
- Unitas predikasi (penyandangan, Al-haml), yang merupakan tambahan dari Mulla Shadra. (Muhadharat fil-Aqidah, 120, dll).
Masalah kontradiksi atau inversi dan sarat-syaratnya akan dibahas secara rinci
dalam logika.
Hukum Sebab-akibat
Yaitu pernyataan “setiap yang mungkin pasti
membutuhkan sebab”, yang lazim disebut hukum kausalitas (Qanun Al-Illiyah).
Pengetahuan
hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan ekstemporal kedua (Al-badihiyat Al-tsanawiyah) adalah
pengetahuan-pengetahuan gamblang yang lahir dari pengetahuan-pengetahuan
ekstemporal primer, seperti pengetahuan bahwa “angka 1 lebih kecil dari angka
2.
Lima
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunder terbagi
menjadi lima;
- Pengetahuan ekstemporal sekunda sensual (Al-musyahadat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir atau batin, seperti penilaian (kesimpulan) bahwa matahari bersinar, api panas dan sebagainya, yang dipastikan oleh akal dengan bantuan indera lahir, pengetahuan kita tentang nyeri dan lapar yang ditangkap oleh akal dengan perantara indera batin.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda eksperimental (At-Tajribiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir yang dilakukan berulang kali.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda popular (Al-Mutawatirat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang bersemayam dalam benak secara kuat sehingga tidak mungkin akan diusik oleh setitikpun keraguan terhadap isinya karena diyakini oleh banyak orang, sehingga sulit dipercaya bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, seperti pengetahuan tentang adanya sebuah kota bernama Isfahan di Iran.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda inspiratif (Al-Hadsiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara insting, seperti pengetahuan kita bahwa cahaya bulan diperoleh dari matahari.
- Pengetahuan ekstemporal sekunda intuitif (Al-Fithriyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara premis itu sendiri, seperti pengetahuan bahwa dua adalah seperlima dari sepuluh. (Nadhariyatul-ma’rifah 40-42, Hasyiyah tahdzibul-Manthiq, hal. 111, Al-jauhar An-nadhith, hal. 200-202).
Disebutkan bahwa sebagian muhaqqiq tidak
memasukkan pengetahuan-pengetahuan badihi tsanawi (ekstemporal sekunder)
diatas sebagai ekstemporal. Kaum rasionalis menganggap seluruh premis empiris
bergantung pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer. Karena itulah,
pengetahuan ekstemporal sejati hanyalah yang primer atau yang biasa disebut
dengan Al-badihiyat Al-awwaliyat, Usus Al-Falsafah, Thababa’i dan
Muthahhari, 126).
Dua Penafsiran tentang “Badihi”
Para filsuf dan ahli logika memaknakan “tanpa
pembuktian” yang terdapat diakhir definisi pengetahuan badihi dengan dua
pengertian:
- ‘Tanpa pembuktian’ ialah tanpa “perlu” pembuktian (Al mantiq, M. R. Muzhaffar, hal. 16, Nihayatul Hikmah, harhalatul aqil wal Ma’qul, dll)
- ‘Tanpa pembuktian’ ialah “tidak mungkin” dibuktikan. Dengan demikian, jika pengetahuan assentual badihi hendak dibuktikan (dengan pengetahuan assentual lainnya) niscaya berakhir pada dua implikasi absurd; sirklus dan tasalsul (suksesi). Oleh karena itu, pengetahuan badihi mustahil dibuktikan.
Dasar-dasar klaim ekstemporalitas
Teori ‘ekstemporalitas’ (Nazhariyah al-badahah)
berdiri di atas beberapa fondasi sebagai berikut:
- Teori ini membagi rangakaian pengetahuan-pengetahuan manusia menjadi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan badihi (ekstemporal, aprior), sedangkan bagian kedua adalah pengetahuan nazhari (non ekstemporal, aposterior).
- Pengetahuan-pengetahuan badihi terbagi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan ekstemporal primer (Al-badihiyat al-awwaliyah). Bagian kedua adalah pengetahuan ekstemporal sekunder yang terbagi lima atau enam. Pengetahuan badihi mencakup pengetahuan subjektif dan objektif.
- Pengetahuan badihi tidak mengalami kekeliruan. Seandainya pengetahuan badihi bisa salah, padahal ia sumber semua pengetahuan manusia, maka kebenaran semua pengetahuan manusia tidak bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan manusia bermacam dua; pengetahuan yang bisa keliru, yaitu pengetahuan aposterior (Al-kasbiyat) dan pengetahuan yang tidak bisa keliru, yaitu pengetahuan aprior (Al-badihiyat)(Ulum e Payeh, 205).
Ciri-ciri Pengetahuan ekstemporal
Pengetahuan badihi dapat dikenali beradasarkan
ciri-ciri khasnya.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak meleset atau keliru.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi secara kuantitatif sedikit, namun memiliki urgensi sangat besar.
- Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak memelukan justifikasi dan pembenaran, bahkan ia merupakan bahan dan alat justifikasi bagi pengetahuan-pengetahuan manusia yang aposterior.(Ulum e Payeh, 209).
PENGETAHUAN HUSHULI NON EKSTEMPORAL
Pengetahuan hushuli non ekstemporal adalah
pengetahuan yang validitasnya membutuhkan justifikasi dan pembuktian, seperti
‘kurang minum dapat mengggangu ginjal’.
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal
Pengetahuan
hushuli non ekstemporal, dapat pula dibagi berdasarkan aspek bebas dan tidak
besanya dari nilai kebenaran, dapat diabagi dua;
1.
Pengetahuan
hushuli non esktemporal assentual, seperti pengetahuan seorang ahli metalurgi
bahwa "logam akan memuai jika dipanaskan".
2.
Pengetahuan hushuli
non ekstemporal konseptual, seperti premis ‘ada seseorang berkepala lima di
Nikaragua’
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal konseptual
(Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashawwuriyah) terbagi dua;
- Terma (Al-Had) sempurna dan tidak sempurna
- Forma (Ar-Rasm) sempurna dan tidak sempurna.
Dua
pengetahuan hushuli non ekstemporal assentual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal assentual (Al-Ma’rifah
Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashdiqiyah) terbagi tiga;
1.
Pengetahuan
hushuli non ekstemporal-assentual deduktif (At-Tashdiqiyah
Al-Qiyasiyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari
premis universal (general) ke premis parsial (personal), sebagaimana akan
diterangkan.
2.
Pengetahuan
non ekstemporal-assentual induktif (At-Tashdiqiyah Al-Istiqra’iyah).
Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial
(personal) ke premis universal (general).
Logika modern, sebagaimana dicetuskan oleh Stuart
Mill, juga dilengkapi dengan “lima cara” yang merupakan tata cara melakukan
induksi.
Induksi bisa menjadi dasar yang valid, terlepas
dari deduksi, sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Baqir Shadr.
(Mudzakkiratul-Manthiq, Al-Usus Al-Manthiqiyyah lil-Istiqra, 17-23).
- Pengetahuan non ekstemporal-assentual analogis (At-Tashdiqiyah At-Tamtsiliyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial ke premis parsial.
2. Kontroversi seputar ekstemporal dan non ekstemporal Yaitu Para filsuf dan ahli logika berselisih pendapat dalam melacak kriteria atau norma aksiomatika suatu konsep dan membedakannya dari konsep spekulatif.
Pendapat Descartes
Perceptio clara et distincta (jelas dan berbeda)
adalah upaya Descartes dalam mengakhiri pelacakan di atas. Ia memandang
pengetahuan konseptual pada tiga macam:
- Konsep rasional (innate) yang lahir dari kodrat akal, seperti konsep Tuhan, satu, gerak, dll.
- Konsep sensual (adventitae) yang muncul dari hubungan indera dengan entitas di luar.
- Konsep fiksial imajinatif (factitae) yang muncul berkat daya khayal mental, seperti Centaur (makhluk fiktif dalam legenda Yunani kuno, sama dengan buraq dalam sastra muslimin).
Descartes menilai bahwa norma di atas ditemukan
pada konsep-konsep macam pertama, sedangkan
dua macam konsep lainnya; sensual dan fiksial, tidak jelas dan tidak
berbeda/istimewa, karena konsep fiksial tidak memiliki fakta objektif,
sementara konsep sensual tidak pasti
sesuai dengan faktanya. (Ma’rifat e Shenasyi, M. Hosein Zadeh, hal. 33, Ma’qul
e Stani, Fanai’ Esykevari, hal. 142, dll)
Kritik atas Descartes
Norma itu sendiri tidak jelas; apakah pengertian
dan batasan jelas dan berbeda dengan
tidak jelas dan tidak berbeda. Kritik-kritik atas Rasionalisme dan konsep-konsep innate yang tesebut sebelumnya
memberangus norma ini secara prinsipal.
Pendapat Ibnu Sina
Ia mengatakan bahwa konsep-konsep seperti ada,
sesuatu dan satu tidak bisa diperjelas dan didefinisikan oleh konsep apapun.
Konsep-konsep itu jelas dengan sendirinya, karena mutlak dan melipet segala
sesuatu. Teori ini dikenal dengan Al-a’ammiyah atau holitas. (Asy-syifa’
fil- Ilahiyyat, Ibnu Sina hal. 29, Ilmu Kulli Mahdi Haeri Yazdi, hal.
18, dll).
Pendapat M.T Misbah Yazdi
Ayatullah M. T. Misbah Yazdi dan filsuf
kontemporer lainnya serta A.C. Ewing berpendapat bahwa konsep yang diperoleh
melalui persepsi langsung (hudhuri) adalah aksiomatis. Hanya saja,
mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan
‘prsepsi langsung’ itu.
Ayatullah Misbah Yazdi mengidentikannya dengan
pengetahuan hudhuri, sedangkan Ewing memandangnya lebih luas, hingga mencakup
pengetahuan hushuli sensual (sense data), sebagaimana yang dianut oleh
Persepsionisme, seperti Thomas Reid (1710-1796), octave Hamelin (1856-1907),
Victor Cousin (1792-1867), Arthur Schopenhauer (1788-1860), Herbert Spencer
(1820-1903) dan Henri Bergson (1859-1941) (Manhaj jaded, Foundamental questions
of fhilosophy, Ewing hal. 97,107 terj. parsi S. Yusuf Stani, Vicabulaire
Technique et Critique de La philaosophie, Andre Lalande, hal.564, terj. parsi
Gulam ridha Wastiq, dll).
Pendapat Mutahhari
Simplisitas (Basathah) adalah pandangan mutakhir
yang diusulkan Syahid M. Muthahhari (1338 HQ-1358HS) dalam beberapa diskursus
falsafinya. Beliau menjelaskan bahwa
pwndefinisian suatu konsep adalah penguraiannya kepada unsure kesamaan (genus)
dan unsure Keistimewaan (diferentia). Jika suatu konsep tidak memiliki unsure,
dengan kata lain; sederhana (simple) maka ia tidak bisa didefinisikan dan
berhak menyandang gelar badihi (Syarah Al-Mandhumah, M. Muthahhari, terj. Arab.
M. Wahbi 1/26).Descartes di sebagian
statemennya dalam Principia Philosophiae mendukung norma ini.
Pendapat Jawadi Amuli dan Mehdi Haeri Yazdi
Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Mahdi Haeri
Yazdi (1923-1998) Mengembalikan seluruh konsep-konsep;badihi dan nadharinya,
kepada satu induk konsep, yaitu konsep ada (wujud). Menurut mereka, puncak
konsep-konsep badihi adalah konsep ada. M. Haeri Yazdi berargumen bahwa
definisi logis apapun menggunakan genus, dan ia (genus) pada akhirnya
didefinisikan jauhar (substansi) atau aradh (aksiden), sedangkan keduanya
didefinisikan oleh konsep ada; substansi adalah wujud esensi yang tidak pada
suatu objek, dan aksiden adalah wujud
esensi yang ada pada suatu objek.
Dengan demikian, bangunan pengetahuan konseptual
secara analogis serupa dengan hirarki realitas. Di sini, kedudukan konsep sejajar dengan entitas Wajibul Wujud. Ia
jelas dengan sendirinya, sementara Wajibul Wujud ada dengan sendirinya (Rahiq
Makhtum, Jawadi Amuli, Ilmu Kulli, M. Haeri . Yazdi, Ilmu Hudhuri edisi Parsi,
F. Esykevari, dll)
Pendapat Al-Fakhrul-Razi
Fakhrurrazi, Imamul Musyakkikin, meyakini bahwa
semua pengetahuan konseptual adalah badihi (Ganjineh Kherad, M. Hadawi Tehrani,
hal. 1/222) Sebaliknya, John Stuart Mill (1806-1873), William James (1842-1910)
dan Baldwin bersepakat bahwa seluruh
pengetahuan manusia, termasuk akan dirinya, bersifat nadhari (Vocabulaire
Technique et Critique de La Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi
G. R. Wastiqq).
Kedua klaim di atas tertolak dengan validnya aksi
definisi. Lain dari itu, dengan introspeksi mental sejenak, kita akan menemukan
serangkaian konsep yang pada mulanya samar, lalu menjadi jelas berkat definisi.
Dan segala definisi pasti berakhir sebagaiman pada poin di bawah ini.
Konsep-konsep nadhari hanya bisa didefinisikan
dengan konsep-konsep badihi. Anggapan bahwa konsep-konsep badihi masih perlu
didefinisikan adalah invalid, karena akan terjadi tasalsul (degresi/suksesi)
yang pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan konsep yang jelas dan
definitive. Dengan kata lain, segala pendefinisian mesti berhulu pada stop
place (klimaks mata rantai) yang dikuasai konsep-konsep badihi. Descartes
pernah menyitir bahwa upaya para filsuf untuk mendefinisikan konsep-konsep
badihi hanya memupuk kekaburannya (Principia philosophia, R. Descartes, terj.
Parsi M. Shani’ie, hal. 45).
Kebadihian dan ekstempralitas suatu konsep tidak berarti tidak memerlukan
penjelasan. Meski, penjelasan yang dimaksu di sini adalah penyadaran (akan
hal-hal yang sudah jelas namun terlalaikan) (Rahiq Makhtum, Jawadi
Amuli, 1/177, Asy-syifa’, Ilahiyyat, Ibnu Sina, hal.29, dll).
Logika
Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari
epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia dipisahkan
dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.
EKSISTENSI OBJEKTIF
Maujud objektif, sebagaimana telah dijelaskan,
adalah wujud itu sebagai wujud, yang merupakan realitas universal segala
sesuati.
Mazhab Qom membagi wujud objektif atau realitas
menjadi dua; entitas obhjektif sejati dan entitas objektif artifisial .
Sebenarnya, entitas objektif buatan ini bukanlah
entitas objektif sejati karena ia tidak memiliki eksistensi real objektif.
Sebenarnya ia adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif.
ENTITAS OBJEKTIF BUATAN
Entitas objektif buatan (Al-waqi’ Al-I’tibari)
adalah maujud subjektif yang diasumsikan
(diandaikan, dianggap) sebagai realitas objektif.
Ciri-ciri ‘Maujud (objektif) buatan’
Entitas buatan (Al-maujud Al-I’tibari)
memiliki sejumlah ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
- Entitas buatan bisa diletakkan dan dicabut.
- Entitas buatan mengalami perubahan dan perpindahan
- Entitas-entitas buatan tidak berbenturan dan bertentangan. Dengan lain bermacam entitas buatan dapat berkumpul dalam satu wadah.
- Hal-hal sejati tidak mesti diterapkan atas hal-hal buatan, karena domain ‘entitas buatan’ berbeda dengan domain ‘entitas sejati’.
- Sesuatu yang mustahil dalam hal-hal sejati menjadi mungkin dalam hal-hal buatan.
- Entitas buatan adalah akibat dari dua sebab; material dan efesien.
- Entitas buatan dapat diciptakan dan diadakan pihak yang berkompeten membuatnya. (Al-Falsafah Al-ulya, 100-101)
Para filsuf ontologi menyebutkan sejumlah contoh
maujud tak hakiki (entitas artifisial, al-maujud al-I’tibari), yang
masing-masing memiliki pengaruh secara khusus,sebagai berikut:
- Posesi atau kepemilikan.
- Pasangan
- Jabatan dan tugas
- Tanah Air dan negara
- Mata uang dan alat taransaksi
- Kelompok-kelompok
- Lencana dan simbol
- Tanda dan rambu-rambu
- Pakaian dan makanan
- Kemenangan dan kekalahan dalam perang
- Kebersihan dan kekotoran
- Ritus dan upacara-upacara keagamaan
- Tradisi dan kultur
- Permainan dan perlombaan
- Ucapan dan bahasa
- Tulisan dan garis
- Satir, pribahasa
- Pujian dan celaan
- Kekaguman dan cinta berlebihan
- Kontrak dan tranasaksi-transaksi
- Perjanjian dan perundingan antar negara (Ushul al-falsafah, juz 1, hal. 251, Al-falsafah Al-ulya, 99-100).
Dua Macam maujud objektif buatan
Manusia hidup dalam berbagai kelompok masyarakat.
Karena itulah mereka menggunakan bahasa sebagai media berkomunikasi dan
berinteraksi antar mereka. Karenanya Maqzhab qom membagi entitas objektif buatan (yang sebenarnya sama
dengan entutas subjektif) menjadi dua;
1.
Eksistensi (entitas subjektif) tekstual atau redakasional (Al-Wujud Al-Katbi). Yaitu
ke-ber-ada-an simbolik berupa tulisan dengan garis-garis dan titik yang
membentuk huruf tertentu sebagai sebagai pengganti wujud objektif benda yang
kita inginkn. Contohnya, ketika kita menyebut benda objektif yang selalu
digunkan sebagai tempat makan, kita memberinya eksistensi simbolik berupa bunyi
dengan sebutan “piring” ( p i r i n g) agar tidak harus menghadirkan “piring
objektif” setiap saat kita mengingat
atau memikirkannya.
2.
Eksistensi (entitas subjektif) verbal (Al-Wujud Al-Lafdhi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik
berupa suara sebagai pengganti benda objektif
ketika kita menginginkannya.
ENTITAS OBJEKTIF SEJATI
Entitas objektif sejati (Al-Waqi’ Al-Haqiqi). Adalah maujud
objektif yang mempunyai efek eksternal.
Wujud sejati atau entitas hakiki terbagi dua;
1. Maujud yang memiliki ke-ada-an mandiri (Al-wujud Al-mustaqil), disingkat ‘maujud mandiri’.
2.
Maujud
yang memiliki ke-ada-an yang tidak
mandiri (Al-wujud
Al-rabith), disingkat ‘maujud tidak mandiri’.
Untuk bergantung pada wujud mandiri, wujud tak
mandiri tidak memerlukan adanya penghubung beruapa wujud ketiga. Artinya, ada
suatu ikatan atau relasi di antara kedua wujud tersebut, namun tidak berupa
wujud lain yang menjadi perantara. Seandainya hubungan wujud tak mandiri dengan wujud mandiri
diperantartai oleh wujud lain, maka ia
(wujud ketiga yang diasumsikan sebagai perantara tersebut), karena berupa wujud
yang tak mandiri, memerlukan wujud keempat yang juga tidak mendiri sebagai
penghubung, dan begitulah
seterusnya. Hubungan atau rabth (bukan
wujud ketiga yang menjadi penghubung atau rabith) ada dalam dua wujud
tersebut; mandiri dan tak mandiri. (Nihayatul-Hikmah, 38, Wujud
Rabith wa Mustaqil, 234).
Mulla Sahdra membagi entitas entitas atau realitas
sejati menjadi dua sebagai berikut:
1.
Entitas
objektif hakiki mandiri. Yaitu
realitas yang menjadi substansi eksistensial.
2.
Entitas
objektif hakiki tidak mandiri. Yaitu realitas yang menjadi predikat pada substansi eksistensial.
Dua Macam ‘maujud sejati tak mandiri’
‘Maujud bergantung’ bermacam dua;
- Maujud atau entitas bergantung yang berdiri di antara dua sisi, yang disebut dengan Al-Wujud Al-Maquli, seperti wujud relasi-relasi (Al-Idhafat wa An-Nisab).
- Maujud Wujud bergantung yang berdiri pada satu sisi semata, yang disebut dengan Al-wujud Al-Ma’luli, seperti wujud ‘akibat’ bila dikaitkan dengan sebabnya.
Entitas atau realitas yang memiliki wujud mandiri
wujud mandiri hanyalah satu yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima, sedangkan
wujud selainNya hanyalah ‘wujud bergantung’ atau relatif.
Dua macam ‘maujud (objektif sejati) mandiri’
Ada dua maujud yang memiliki wujud mandiri terbagi dua;
1. Wujud mandiri yang ada dengan sendirinya atau untuk dirinya. Yaitu wujud yang menegasi ketiadaan
dari quiditasnya sendiri, seperti spesies-spesies substansial yang meliputi
manusia, kuda dan sebagainya.
2. Wujud mandiri yang ada untuk selain dirinya. Yaitu yang menegasi ketiadaan dari
quiditasnya juga menegasi ketiadaan dari sesuatu yang lain, atau menolak
ketiadaan yang melekat atas quiditas dirinya, seperti wujud ‘sebab’, seperti
wujud ‘ilmu’ yang menolak ketiadaan (ketiadaan ilmu) dari dirinya juga menolak
kebodohann yang merupakan ketiadaan yang melekat atas penyandangnya (substansi
yang menyandang ilmu, Budi, mislanya). (Nihayatul-Hikmah, 40, Al-Falsafah
Al-Ulya, 90).
Mujud (objektif sejati) dinamis dan statis
Entitas
objektif juga dapat dibagi dua;
- Entitas bergerak (dinamis, Al-mawjud Al-Mutaharrik).
- Entitas menetap (statis, al-mawjud As-sakin).
Sebagaimana
telah kita ketahui sebelumnya, kaum materialis
dialektik beranggapan bahwa gerak, dengan semua ragamnya, adalah akibat
dari kontradiksi internal dalam setiap benda. (An-nazhariyah al-maddiyah
fil-ma’rifah, 92). Sedangkan kaum, spiritualis membagi setiap entitas
menjadi dua; entitas bergerak (dinamis, muajud mutaharrik) dan entitas
statis (maujud tsabit).
Definisi ‘gerak’
Gerak
telah dididefinsikan dengan beberapa macam.
1. Definisi kaum spiritualis, yaitu perpindahan dari potensi ke aksi secara
bertahap. Kaitan ‘bertahap’ ditambahkan dalam definisi ini demi mengeluarkan
perpindahan secara drastis satu kali. Namun definisi ini bermasalah, karena ia
tidak mencakup gerak vertikal degradatif (Al-harakah ath-thuliyah
an-nuzuliyah).
2. Definisi kaum materialis, yaitu pertentangan internal antara
materi-materi alam. (Teori Materialisme dalam pengetahuan, Roger Garaudy, 92).
Dua macam gerak
Gerak juga
terbagi dua;
- Gerak vertikal.
- Gerak horisontal.
Dua macam gerak vertikal
Gerak
vertikal bermacam dua;
- Gerak vertikal menanjak atau promosional atau transendental (Al-harakah Althulliyah Al-shu’udiyah. Yaitu yaitu gerak menuju kesempurnaan, seperti ‘keberkembangan’ dalam raga-raga yang berkembang, atau proses kesempurnaan intelektual dan moral manusia. Dengan kata lain, gerak promosional transendental adalah gerak eksistensial sebuah ‘entitas bergerak’. Gerak demikian adalah semata-mata keberadaan yang ditimpali dengan keberadaan.
- Gerak vertikal menurun (Al-harakah Al-Thuliyah Al-nuzuliyah). Yaitu gerak menuju kekurangan atau degradasi ke belakang dan ke bawah.
Gerak
demikian adalah ketiadaan yang ditimpali dengan ketiadaan sebelumnya.
Lawan
‘gerak degradasional’ adalah
‘kebertinggalan’ atau stagnasi (as-sukun)yang berarti kelestarian dalam
kesempurnaan yang telah tercapai, karena ia ketiadaan tiada, yang berarti
keberadaan.
Gerak horizontal
Pasangan
‘gerak vertikal’ adalah ‘gerak menyamping’ atau gerak horizontal. Ia adalah
pergerakan dari suatu situasi ke situasi lain yang masing-masing sama atau
sejajar dalam kualitas kesempurnaan, sehingga pergerakan tersebut tidak
meniscayakan kekurangan maupun kesempurnaan, seperti gerak transportatif (al-harakah
al-intiqaliyah) atau gerak posisional (al-harakah al-wazh’iyah).
Gerak
semacam ini hakikatnya adalah ketiadaan yang berseiring dengan ketiadaan atau
‘pemakaian’ dan ‘pelepasan’ (lubs wa khul’).
Lawannya
adalah stagnasi (as-sukun) yang tidak mengalami ‘pemakaian’ (keberadaan)
dan sekaligus ‘pelepasan’ (ketiadaan).
Gerak
horizontal adalah gerak non eksistensial (fuqdan) dan eksistensial (wujdan).
(al-falsafah Al-ulya, 191, 193).
Gerak berantara dan gerak tak berantara
Para ahli
ontologi membagi gerak, dari aspek isinya, menjadi dua;
1.
Gerak berantara atau perperantara (Al-harakah
At-tawasuthiyah). Yaitu entitas yang berada antara awal dan akhir, sehingga
apabila diandaikan ia berada di salah satu dari batas-batas jarak yang
ditempuhnya, ia tidak berada di batas sebelumnya dan tidak juga berada di batas
setelahnya. Itu berarti ‘ke-berantara-an’ adalah sesuatu yang ada secara
objektif, karena ia adalah tetap dan tidak mengalami kebaharuan (pembaruan) dan
tidak berjenjang. Kerbaruan (At-tajaddud) dan keberjenjangan (At-tadarruj)
dilihat dari sisi relasi-relasi yang secara bersusulan berhubungan dengan
setiap batas jarak yang ditempuh. Relasi-relasi (An-nisab) di luar
‘keberantaraan’ (At-tawassuth), ia sederhana, tidak terbagi dan tidak
mempunyai bagian.
2.
Gerak tak berantara (Al-harakah Al-qath’iyah). Yaitu entitas yang yang dibayangkan
berupa garis memanjang dan bersambung sebagai akibat dari gerak berantara.
Garis tersebut kian bertambah setiap saat. Ia adalah ukuran yang mengalir dan
tidak stabil (sayyal ghairu qar), seperti garis yang memajang (memuai)
dari turunnya tetesan hujan yang turun dari langit. (Al-falsafah Al-ulya, 193).
Elemen-elemen gerak
Gerak
terdiri atas enam elemen yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai berikut:
- Penggerak. Karena gerak adalah hakikat yang relatif (berkaitan dengan sesuatu di luar dirinya), maka berarti gerak berada di antara dua pihak; pihak pemberi gerak (penggerak, al-muharrik), dan pihak penerima gerak (yang bergerak, al-mutaharrik). Karena gerak adalah sebuah fenomena kosmologis, maka ia tidak akan ada tanpa sebab efesien (sebab pelaku, al-illah al-fa’ilah). Penggerak adalah kausa efesien bagi gerak, meski bukan kausa sempurna (al-illah at-tammah).
- Yang bergerak. Ia juga disebut sebagai ‘subjek gerak’. Karena gerak adalah predikat yang melekat pada sesuatu, dan karena sifat adalah hakikat yang tidak bisa berdiri sendiri, maka gerak tidak akan ada tanpa pelaku gerak (al-mutaharrik).
- Titik awal atau titik mula (al-mabda’). Karena gerak, sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebuah predikat bagi sesuatu, maka ia pasti didahului dengan ketiadaan. Ketiadaannya terjadi dalam salah satu dari dua proses; Pertama, dirinya (gerak) tiada ketika subjeknya (subjek gerak) ada. Kedua, gerak tiada ketika subjeknya tiada. Itu berarti gerak bermula. Ketika gerak akan ada atau bermula, maka berarti gerak berprinsip.
- Titik akhir. Yaitu menjadi titik pemberhentian gerak. Begitu gerak berakhir, maka seketika terjadi atau bermula-lah stagnasi (as-sukun). Ada kalanya titik awal (al-mabda’) dan titik akhir (al-muntaha) bertemu dalam sebagian gerak, sebagaimana dalam gerak-gerak siklus.
- Pola gerak (ath-thariq). Cara gerak terdiri atas kategori-ketegori, yang apabila ia beragam maka beragam pula geraknya. Apabila kategorinya kualitatif, maka gerak terjadi secara kualitatif. Apabila kategorinya kuantitatif, maka gerak terjadi secara kuantitatif.
- Waktu gerak. Karena gerak adalah entitas kosmik yang tidak tetap, dan karena kontak terus menerus harus selalu ada dalam entitas-entitas kosmik tersebut, maka gerak termasuk salah satu dari macam-macam ukuran, dan karena ukuran bisa dibagi, maka ia memelukan pengukur. Pengukur gerak adalah waktu. Karenanya, setiap gerak bermasa selalu.
Kausa efesien gerak
Kausa
efesien (sebab pelaku) gerak bermacam tiga;
- Sebab pelaku natural (al-illah al-fa’ilah ath-thabi’iyah). Yaitu penggerak yang merupakan karakteristik ‘sesuatu yang bergerak’ yang tak berperasaan.
- Sebab pelaku instingtif (al-illah al-fa’ilah al-iradiyah). Yaitu kehendak yang menjadi penyebab gerak.
- Sebab pelaku determinan (al-illah al-fa’ilah al-qasriyah). Yaitu sesuatu di luar subjek yang menjadi penyebab gerak. (al-falsafah Al-ulya, 191, 193)
Gerak dan kategori-kategori
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kategori secara umum dapat dibagi dua; aksiden-aksiden yang
berjumlah sembilan dan sebuah substansi. Berdasarkan kaitannya dengan gerak,
seluruh kategori (Al-maqulat) dapat dibagi tiga bagian.
Bagian
pertama terdiri atas kategori-kategori yang mengalami gerak. Yaitu kuantitas (al-kam) seperti pertumbuhan,
kategori kualitas (Al-kaif) seperti gerah dari merah muda ke merah tua,
kategori posisi (Al-wazh’) seperti gerak dari posisi berdiri ke posisi
duduk, kategori tempat (Al-ain) seperti pergi dan kembali.
Bagian
kedua terdiri atas kategori-kategori yang tidak mengalami gerak. Yaitu aksi (Al-fi’l), kategori reaksi (Al-infi’al),
kategori waktu (Mata), kategori relasi (Al-izhafah), dan kategori
pemilikan (Al-jidah).
Bagian
ketiga adalah ketegori yang diperselisihkan, yaitu substansi.
Para
filsuf kuno beranggapan bahwa substansi tergolong kategori yang tidak mengalami
gerak, sebab substansi meniscayakan
lenyapnya subjek gerak, yaitu ‘yang bergerak’, karena ‘yang bergerak’ dalam
semua kategori yang mengalami gerak adalah substansi. Seandainya substansi
menjadi rute gerak, maka niscaya gerak terjadi atau menjadi ada tanpa ada ‘yang
bergerak’ sebagai subjeknya, pahal itu mustahil, karena rute gerak substansial
adalah substansi sendiri, bukan lainnya. (Al-falsafah Al-ulya, 201-203).
Sedangkan
Mulla Shadra beranggapan bahwa substansi mengalami gerak. Itulah sebabnya, ia
dikenal karena panadangannya yang spektakuler tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah
Al-jawhariyahi). Gerak substansial sangat perlu untuk diketahui.
Gerak Substansial
Gerak
substansial, yang dimaksud Mulla shadra, adalah adalah perjalanan (perpindahan)
dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute
bagi diri substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut.
Jadi, yang bergerak (Al-mutahharik) dalam semua macam gerak adalah
substansi, bukan selainnya. Contohnya adalah gerak yang dialami makanan.
Asumsikan bahwa substansi yang dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat,
ia bergerak menuju kesempurnaan ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan
substansi berkembang. Ia melanjutkan prosesnya dan menanjak dalam
peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai peringkat tertinggi. Tahap
berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang merupakan gerak
dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan menjadi
substansi insani. Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari
sperma ke binatang adalah gerak substansial. (Al-falsafah Al-ulya, 202-206).
Subjek ‘Gerak’
Subjek
gerak substansial adalah subjek yang mengalami segala macam gerak lainnya,
yaitu substansi (Al-jauhar). Hanya saja, subjek yang mengalami
gerak-gerak lainnya adalah substansi berupa spesies yang tertentu (juahar
nau’i mutasyakhkhish), sedangkan subjek gerak substansial adalah substansi
berupa genus yang telah dibatasi oleh spesies dan person (speisies dan person
dalam terminologi filsafat, bukan biologi dan ilmu alam. Substansi genusual
tersebut bergerak dalam spesies-spesies yang berada dalam himpunannya (himpunan
genus tersebut). Jadi, subjek yang bergerak adalah substansi (Al-mutaharrik),
dan rute geraknya juga substansi.
Maujud
objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud
objektif juga terbagi dua;
1. Entitas bermula (hadits). Yaitu maujud yang didahului oleh
ketiadaan atau ke-ada-an sesuatu lain.
2. Entitas tak bermula (qadim, azali). Yaitu maujud yang tidak
bermula dari ketiadaan dan tidak didahului oleh wujud selain dirinya.
Tiga
‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud
objektif hadits terbagi tiga;
- Entitas bermula dengan kebermulaan waktu (hadits zamani).
- Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
- Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).
(Al-falsafah
Al-ulya, 215-223, Nihayatul-hikmah, 276-2790).
Dua
macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas
non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1. Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu
kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2. Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu
kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari
ketiadaan.
Maujud objektif ‘Mendahului’, ‘Didahului’, dan ‘Beriringan’
Mazhab Qom membagi enntitas objektif sejati menjadi
tiga;
- Entitas mendahului (Al-maujud Ak-mutaqaddim).
- Entitas didahului (Al-maujud Al-mutaakhkhir).
- Entitas beringinan (Al-maujud Al-muqarin). (Al-falsafah Al-ulya, 211-214, Nihayatul-hikmah, 279-281).
Keterdahuluan
Arena ‘keterdahuluan’ sebenarnya cukup sehingga meliputi
wujud objektif sejati dan objektif buatan. Karena itulah ia bermacam-macam. Antara lain sebagai berikut:
1. Keterdahuluan berdasarkan aspek ‘keunggulan’ (At-taqaddum
wa At-ta’akhkhur bisy-syaraf), seperti keterdahuluan ‘yang kuat’ atas ‘yang
lemah’.
2. Keterdahuluan berdasarkan aspek kewajaran (At-taqaddum
wa At-ta’akhkhur bil-thab’i), seperti kausa tidak sempurna atas akibat.
3. Keterdahuluan berdasarkan aspek kesebaban (At-taqaddum
wa At-ta’akhkhur bil-illiyah), seperti keterdahuluan kausa sempurna atas
akibatnya.
4. Keterdahuluan substansial (A-taqaddum wa
At-ta’akhkkhur Al-jauhari), seperti keterdahuluan genus dan defernsia
(kategori pembeda) atas spesies (An-naw’).
5.
Keterdahuluan
berdasarkan aspek kesejatian (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-haqiqah), seperti
keterdahuluan wujud (ke-ada-an) atas quiditas (ke-apa-an atau mahiyah).
6.
Keterdahuluan
berdasarkan urutan momentum (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur Ad-dahri),
seperti keterdahuluan penciptaaan atas alam. (Elm e Kulli, 130-131,
Entitas ‘hidup’ dan entitas ‘tidak hidup’
Entitas atau setiap sesuatu yang memiliki ke-ada-aan
objektif bermacam dua;
- Entitas hidup.
- Entitas ‘tidak hidup’
(Al-falsafah Al-ulya, 225-227, Al-asfar
Al-arba’ah, juz 6, hal. 416, Nihayatul-hikmah, ).
Entitas (objektif sejati) sensual dan entitas non sensual
Dalam pembagian terakhir, Mazhab Qum mebagi setiap
entitas objektif menjadi dua;
- Entitas terinderakan (Al-maujud Al-mahsus), yang lazim disebut Al-maujud Al-maujud Al-maddi. Ia disebut juga dengan materi, lebih tepatnya adalah raga. Sebagian orang menyebutnya alam.
- Entitas ternalarkan atau entitas tak terinderakan, yang lazim disebut Al-maujud Al-ma’qul atau Al-maujud Al-mujarrad. Ia disebut juga dengan non materi. (Al-falsafah Al-ulya, 229-230).
Salah satu
dari entitas tak terinderakan adalah pengetahuan. Para filsuf ontologi Islam
menganggap pengetahuan sebagai sebuah maujud yang abstrak, dan karenanya ia tak
terpisahkan dari ontologi. Inilah salah satu dari ciri pembeda antara filsafat
Islam, terutama filsafat Mazhab Qom, dan filsafat Barat.
ENTITAS OBJEKTIF TERINDERAKAN
Apabila
ke-ada-an telah dibedakan dari ketiadaan, dan
ke-apa-an telah dibedakan dari ke-ada-an, maka tibalah saatnya kita
mempertanyakan apakah ‘yang ada’ itu hanyalah ‘yang berbenda’ (terinderakan)
ataukah ‘yang ada’ bermacam dua; ‘berbenda’ (terinderakan) dan tidak berbenda
(ternalarkan)?
Antara Ontologi,
Kosmologi, dan Epistemologi
Kini kita meninggalkan wacana ontologi atau metafisika murni dan
memesuki wacana kosmologi. Pada
hakikatnya, kosmologi merupakan salah satu bagian atau turunan dari
ontologi. Namun karena sangat luas, dan demi mengikuti sistematika yang telah
dibakukan oleh dunia Barat, maka kita memisahkannya dari ontologi.
Secara tradisional, kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang
bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya,
penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu,
ruang, dan kausalitas. Tugas kosmologi mungkin dapat dibedakan dari tugas
ontologi oleh suatu perbedaan tingkat. Analisis kosmologi mencoba mencari apa
yang berlaku bagi dunia ini, dan analisis ontologis berusaha mencari
hubungan-hubungan dan pembedaan-pembedaan yang kiranya berlaku dalam dunia mana
pun juga. Barat memisahkan filsafat tentang materi dan alam semesta dari
ontologi.
Dalam filasafat Mazhab Qom, epistemologi juga
bukan bagian yang terpisahkan dari ontologi atau ‘filsafat pertama’, karena
bidang ontologi meliputi entitas tak terinderakan. Salah satunya adalah al-aql
(intelek). Itulah sebabnya, kosmologi dan epistemologi tidak dipelajari
sebagai bidang filsafat tersendiri, meski dewasa ini ada sejumlah filsuf Mazhab
Qom mulai ikut-ikutan memisahkannya dari ontologi.
Materi Metafisika dan Logika
Mazhab Qom
Perlu
diketahui bahwa materia dalam ontologi tidaklah sama dengan materi atau benda
dalam kosmologi. Materia dalam ontologi tidak berbentuk benda, karena ia
sebenarnya tidak akan ada tanpa forma. Sedangkan materi dalam kosmologi,
terutama dalam filsafat Barat adalah raga, yang merupakan gabungan dari forma
(yang memberikan aktualitas) dan potensia atau materia (yang hanya menerima
aktualitas). Oleh sebab itu kita menyebutnya ‘materia’ dalam ontologi dan
‘materi’ dalam kosmologi. Al-Falsafah Al-Ulya, 159).
Materi dalam Fisika modern lebih cocok dengan Al-jism atau raga
dalam ontologi dan kosmologi Mazhab Qom. Yaitu substansi yang merupakan
gabungan dari Al-maddah (materi)
dan Ash-shurah (forma). Sedangkan Al-maddah (yang juga
diterjemahkan matter oleh para penjerjemah yang kurang mendalami
filsafat Islam), dalam filsafat Islam, adalah
sesuatu (ma’na) yang menyandang forma (shurah). Ia tidak berbentuk,
karena ia hanyalah potensi semata. Ia tidak akan pernah ada (sebagai maddah)
sebelum memperoleh foma (ash-shurah) yang memberinya aktualitas (Al-fi’liyah).
(At-Thashil, 587). Hal inilah yang kerap menimbulkan kerancuan.
Materi (Mawad
Al-qadhiyah) dalam epistemologi, atau dalam filsafat eksistensi subjektif
Islam, juga tidak sama dengan pengertian materi dalam ontologi (filsafat
eksistensi objektif) dan kosmologi. Materi dalam epistemologi dan logika Islam
adalah bahan-bahan yang mengisi proposisi atau pernyataan, sebagai pasangan
dari forma.
Raga dalam
Ontologi Mazhab Qom
Raga adalah substansi yang memiliki tiga dimensi.
(Syarhul-Mawaqif, 351). Raga (Al-jim) adalah sesuatu yang
dikenali dengan indera. (Tafsir Ma ba’da ath-thabi’ah, 1476).
Agar dapat membedakan raga dan non raga, kita
perlu mengenali ciri-ciri khas materi sebagai berikut:
- Ia berada dalam tiga dimensi dan terdiri atas tiga garis bersiku.
- Ia terinderakan.
- Ia mengisi ruang.
- Ia memanjang dalam tiga arah.
- Ia berakhir dan terbatas.
- Ia berbobot.
- Ia bertempat.
- Ia bermasa.
- Ia berada dalam posisi tertentu.
- Ia dapat dibagi secara natural maupun rasional. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139-140, Al-falsafah Al-ulya, 170-177).
Materi dan raga adalah sebuah substansi yang merupakan
gabungan dari dua partikal substansial, yaitu materi
’Materi’ dalam Fisika
Pengertian ‘materi’ ini sekurang-kurangnya dapat
dipisahkan menjadi dua kelompok pengertian yang mencakup pengertian ‘materi’
yang dikemukakan sebelum berkembangnya ilmu fisika modern dan pengertian yang
dikemukakan setelah berkembangnya ilmu fisika modern.
Materi adalah setiap entitas padat, cair dan gas
atau ion yang dapat diinderakan. Sebenarnya, definisi ini tidaklah sempurna,
karena ia hanya menunjukkan ciri-ciri khas benda. (Fisika Modern, 7, Kamus
Filsafat, 586-587).
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah
materi (matter) ini menjadi populer terutama pada masa skolastik, setelah
Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Beliau
mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda.
Yang dimaksudkan dengan materi prima (prime matter) atau hyle adalah
potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian positif apapun. Hyle atau
materia prima ini akan merupakan barang sesuatu tertentu yang bereksistensi
dengan cara bersatu dengan bentuk atau morph. Gabungan antara hyle dan morph
inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai mislanya saja emas, preak,
atau yang lainnya. Dan gabungan antara hyle dan morph sebagai bentuk
substansial (bentuk yang menyebabkan barang sesuatu menjadi barang sesuatu
tertentu) yang demikian ini digolongkannya sebagai materia sekunda. (Rudolf
Allers, 1975).
Dewasa ini pengertian materi pada umumnya
diartikan semakna seperti yang dimakudkan Thomas Aquinas sebagai materia
sekunda tersebut. Herndaknya dimaklumi bahwa selama ini para filsuf belum
mempunyai pendapat yang sama mengenai signifikansi dari materi atau benda
material ini. Oleh karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every
thing that is, is material.” (Setiap sesuatu apapun yang ada itu bersifat
material) selama ini masih mempunyai cakupan arti yang bermakna ganda.
Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka
kemudian materi atau benda material tersebut didefinisikan sebagai peradaan
yang terdiri dari bagian-bagian proses yang mencakup berbagi kualitas fisis.
Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan waktu, ukuran, bentuk,
kealaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan listrik, gerak
(spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness).
Daftar kualitas fisis tersebut masih bersifat
terbuka bagi penambahan, namun yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa
semuanya itu terdiri atas berbagai ciri yang merupakan objek ilmu fisika.
(Keith Campell, 1967).
Secara singkat, sifat-sifat fisis tersebut dapat
diungkapkan sebagai: sifat publik, sifat dapat dikontrol, non mental, alami,
atau tercerap indera.
Pernyataan-pertanyaan seperti “apa yang terhitung
sebagai suatu peradaan fisis?” dan “apa yang terhitung sebagai milik dari
kebanyakan peradaan fisis tersebut?” tidaklah dikemukakan jawabannya yang
pasti. Konsekuensi dari kenyataan tersebut, jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan: “apakah suatu benda material tersebut?” dan “apakah yang
dimaksudkan oleh materialisme dengan ‘materi’ tersebut?” juga tidak mendapatkan
jawaban-jawaban yang pasti pula. Yang jelas, dapatlah dikemukakan bahwa
kesadaran, ketertujuan, aspirasi, dan kecakapan mencerap atu mengindera
tidaklah tergolong kualitas materi tersebut.
Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas,
uraian Louis Kattsoff (1953) yang mengkaitkan pengertian materi dengan
pengertian evolusi yang akan dikutip berikut ini perlu dimengerti dengan baik.
“Istilah pokok yang melandasi ajaran materialisme
adalah ‘materi’. Isitilah pokok yang melukiskan perkembangan ialah ‘evolusi’.
Materialisme modern menolak pengertian mengenai atom-atom yang bersifat keras.
Sebagai penggantinya digunakan istilah-istilah seperti ‘relasi’, ‘pola’,
‘proses’, dan ‘tingkatan’.
Jika orang mempertanyakan apakah yang dimaksud
dengan istilah ‘materi’, jawabannya mungkin berupa pengertian-pengertian
kelestarian, sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang
dan waktu. Dikatakan bahwa istilah ‘materi’ hendaknya dipakai untuk hal-hal
yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun yang bersifat
mikroskopis. Dan inilah hal-hal yang bersifat lestari dalam kerangka ruang dan
waktu.
Dikatakan pula bahwa pelbagai tingkatan kenyataan
perkembangan melalui proses yang rumit yang berasal dari materi dalam
tingkatannya yang lebih rendah. Meski demikian, pada hakekatnya evolusi
merupakan pemolaan kembali, suatu penyusunan yang baru dan yang lebih
berliku-liku dari materi. Dalam hal ini tidak ada hal-hal lain yang terrsangkut.”
Berdasarkan penelitian sain, telah diketahui bahwa
materi dan energi adalah dua forma bagi satu kuantitas fisik, yang apabila
muncul sejumlah energi, maka kemunculannya sama dengan perubahan materi dalam
jumlah yang sama, demikian sebaliknya. Atas dasar penemuan ini, maka
sifat-sifat padat, cair dan gas, mengisi ruang dan sebagainya hanyalah aksieden-aksiden yang baru melekat
benda.
Materialisme, Spiritualisme dan Dualisme
Klaim bahwa indera adalah alat satu-satunya bagi
pengetahuan assentual memberikan konsekuensi fundamental, yaitu materialisme.
Sedangkan klaim bahwa hati adalah adalah alat yang paling tepat untuk menangkap
realitas memberikan konsekuensi spiritualisme atau dualisme.
Menanggapi ada dan tidak adanya entitas dan
realitas di balik materi, para penganut realisme terbagi dalam tiga aliran
besar;
1.
Materialisme.
Yaitu aliran yang mengklaim bahwa materi tidak bermula dan tidak berakhir.
Semula pandangan ini dicetuskan oleh Heraklitos (480-576 SM) yang berkata:
“alam hanya satu, tidak diciptakan Tuhan atau manusia manapun. Ia telah, sedang
dan akan ada serta hidup selamanya. Ia akan menyala dan padam selalau sesuai
dengan norma-norma pasti”.
2.
Spiritualisme.
Yaitu aliran yang menolak keberadaan
materi dan hanya meyakini keberadaan spirit absolut, dan bahwa manusia dan
roh-roh terbatas lainnya adalah produkNya. Aliran ini berpandangan bahwa
realitas terakhir, yang mendasari realitas adalah roh. (Kamus Filsafat, 1035,
Kamus Teori, 106, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah).
Dalam perkembangan sejarahnya, immaterialisme atau
idealisme mengalami perubahan dan berpencar-pencar, seperti immaterialisme
Berkeley (Kamus teori, 108, Kamus Logika The Liang Gie).
Dualisme.
Yaitu aliran yang meyakini adanya dua macam realitas; realitas material dan
realitas spiritual, dan menganggap keberadaan realitas spiritual lebih utama
dan mulia dari realitas material. (Kamus Filsafat, 173-174, Pengantar Filsafat,
73-74).
Materialisme
Menurut pendapat Harold H. Titus dan kawan-kawan
(1984, hlm. 293), pengertian ‘materialisme’ sekurang-kurangnya dapat diderkati
lewat dua definisi sebagai berikut:
- Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran (consciousness) termasuk di dalamnya segala segala proses psikis merupakan bentuk dari materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisis.
- Materialisme merupakan suatu doktrin alam semesta yang beranggapan bahwa dunia ini dapat ditafsirkan seluruhnya dengan ilmu kealaman.
Sebenarnya istilah ‘materialisme’ tidak hanya
menunjuk pada teori dan doktrin seperti yang dikemukakan oleh Titus tersebut
diatas. Secara luas pengertian dari ‘meterialisme’ pernah dikemukakan oleh
Morris T. Keeton (1975) yang dalam garis besarnya antara lain mencakup
signifikansi arti sebagai di bawah ini.
Prinsip-prinsip Materialisme
“Materialisme” adalah suatu proposisi mengenai
yang ada (the existent) atau yang nyata (the real) yang menyatakan:
- bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah materi;
- bahwa materi pendukung yang utama atau fundamental dari alam semesta;
atomisme
- bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah entitas, proses, atau isi yang terindera;
- bahwa alam semesta tidaklah diatur oleh intelejensi, maksud, atau sebab-sebab yang bertujuan;
- bahwa entitas-entitas, proses-proses, ataupun kejadian-kejadian mental disebabkan semata-mata oleh entitas-entitas, proses-proses, atau kejadian-kejadian yang bersifat material;
Pengertian “Materialisme”
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan tentang yang ada atau yang nyata yang menyatakan:
- bahwa setiap hal dapat dijeaskan melalui artian-artian materi dalam geraknya, atau materi dan energi, atau materi bersahaja;
- bahwa segala perbedaan kualitatif dapat direduksikan kepada perbedaan-perbedaan kuantitatif;
- bahwa satu-satunya objek ilmu yang dapat diselidiki adalah yang fisis atau yang bersifat material.
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai nilai yang menyatakan: bahwa kesejahteraan, kepuasan-kepuasan ragawi, kenikmatan-kenikmatan inderawi, atau semacamnya merupakan atau satu-satunya nilai atau nilai paling tinggi yang dapat diusahakan atau dicapai oleh manusia.
- ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan dari sejarah manusia yang menyatakan: bahwa tindakan-tindakan manusia dan perubahan kebudayaan manusia ditentukan semata-mata atau sebagian besar oleh faktor-faktor ekonomi (determinisme ekonomi).
- ‘Materialisme’ adalah suatu sikap, postulat, hipoteisis, pembenaran, asumsi, atau tendensi, yang menyokong salah satu dari proposisi-proposisi yang tersebut diatas.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah
‘materialisme’ dimakudkan menunjuk pada materialisme ekstrim yang pengertiannya
cenderung sesuai dengan signifikansi arti dari istilah ‘materialisme’ seperti
yang dikemukakan oleh Keeton.
Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat yang
menyolok di antara penganutnya (seperti yang akan diterangkan di bawah), namun
ada sejumlah pendirian di bidang ontologi yang merupakan kesatuan pendapat dari
materialisme dewasa ini. Roy Wood Sellars mengungkapkan pendirian di bidang
ontologi dari materialisme itu sebagai berikut. (Kattsoff, 1953).
Pengertian yang jelas mengenai materi dapat
diperoleh berdasarkan sejumlah kategori yang ditetapkan secara empiris, seperti
yang dihubungkan, eksistensi, kegiatan sebab-akibat, yang dihubungkan dengan
fakta-fakta empiris yang terinci mengenai struktur, gerak-gerik dan kapasitas
keruangan tertentu. Kategori-kategori semacam ini diperoleh dengan cara
pemahaman akali terhadap cerapan indera dan kesadaran-diri.
Materialisme yang sudah dewasa tidak bersifat
reduktif (mengembalikan segala sesuatu kepada satu jenis substansi saja) dan
tidak akan bersifat mekanis atomistis.
Alam semesta, menurut materialisme, adalah abadi,
dan sebagai suatu keutuhan tidak mengarah secara lurus kepada suatu
tujuan tertentu.
Budi seperti halnya pada satuan fisis adalah
memiliki sejumlah kategori fisis dan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan dan
kemampuan-kemampuan dari diri yang organis pada tingkat fungsi otak.
Substansi-substansi material atau kesinambungan-kesinambungan yang bersifat
material terjadi dan rusak dalam arangka kelestarian peradaan yang bersifat
material secara intrinsik.Kesadaran merupakan suatu sekat kualitatif yang di
dalamnya manusia berpartisipasi sesuai dengan fungsinya.
Secara umum materialisme adalah sebutan bagi
sekelompok doktrin mengenai sifat dasar dunia yang mengemukakan bahwa materi
menduduki posisi primer dan budi atau jiwa berkedudukan sekunder, tergantung
pada materi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Materialisme yang ekstrim
menyatakan bahwa dunia nyata ini terdiri atas benda-benda material yang beragam
dalam keadaan saling berhubungan, dan tiada hal lainnya apapun.
Sedangkan dalil utama materialisme mencakup:
Pertama: ”Everiything that is, is material”
(Barang sesuatu apapun yang ada bersifat material).
Kedua: “Barang sesuatu apapun yang dapat ditangkap
, dapat dijelaskan dengan berlandaskan pada hukum-hukum yang hanya melibatkan
anteseden-anteseden kondisi-kondisi fisis”. (Keith Campbell, 1967).
Evolusi dalam Materialisme
Sebagaimana disebutkan diatas, materialisme telah
mengalami perubahan-perubahan substansial seiring dengan perkembangan zaman dan
bertambahnya penemuan-penemuan baru dalam dunia fisika.
Materialisme Klasik
Di Athena Epicurus (342-270 SM) mendirikan sebuah
sekolah yang mengajarkan materialisme sebagai satu-satunya landasan untuk hidup
yang baik, suatu hidup yang cerah dan tenang, bebas dari ketahyulan. Tafsir
keliru dari etika ajarannya itu mengakibatkan Epicurus tergolong sebagai tokoh
materialisme klasik yang paling terkenal.
Ia menerima landasan idea dalam “Great diakosmos”
tetapi memberikan suatu modifikasi mengenai asal mula dunia. Menurutnya,
atom-atom yang jumlahnya tak terhingga berjaTuhan melalui ruang yang tak
terbatas luasnya. Selanjutnya ada dua konstruksi dari sistem Epicurus: (Keith
Campbell, 1967).
Atom-atom yang lebih berat dan lebih cepat
kadang-kadang secara tidak langsung menghantam atom-atom yang lebih ringan dan
lebih lambat, mengakibatkannya menjadi berkecepatan yang menyimpang dan lebih
rendah. Semua atom berjaTuhan dalam kecepatan yang seragam, dan
penyimpangan-penyimpangan awal dari gerak vertikal yang sejajar terjadi secara
tanpa dapat tanpa dijelaskan.
Apun sebabnya, penyimpangan-penyimpangan posisi
tersebut mengakibatkan bertambahnya benturan dan penyimpangan dan terbentuknya
pusaran-pusaran. Dari pusaran-pusaran ini, tersusunlah atom-atom. Jumlah atom
dalam peristiwa di atas tak terbatas, sehingga penyusunan atom dapat selalu
dapat terjadi pada setiap kejadian. Dunia dengan badan-badan benda hidup
organis yang menakjubkan ini, hanyalah merupakan satu di antara susunan-susunan
tak teralakkan yang tak terbatas jumlahnya yang menjadi arah jatuh dari
atom-atom yang abadi itu.
Materialisme kuno dijabarkan oleh Epicurus dan
Louseep, murid Demokritos dan Nosivan. Epicurus mengatakan, alam pada asalnya
adalah substansi-substansi atau atom-atom yang tak dapat diinderakan, dan
karena padat atau kerasnya, ia tidak dapat dibagi. Sedangkan menurut Loseep,
keberagaman alam disebabkan oleh berhimpunnya sejumlah atom. Setiap ragam
(spesies) tersebut akan lenyap bila bagian-bagiannya lenyap. (Al-Falsafah
Al-Yunaniyah, 88, 90, 92, Muhadharat, 176-178, dll).
Kelemahan-kelemahannya:
Interpretasi keberagaman alam sebagai tarik
menarik antara sesama spesies serupa meniscayakan pengakuan akan adanya sesuatu
yang non bendawi yang menarik sesuatu serupa ke arah serupanya yang lain.
Konseuensi ini bertentangan dengan materialisme.
Asumsi bahwa atom tidak dapat dibagi karena
kepadatan dan kekerasannya, sebagaimana pendapat demokritos, secara rasional
tidak tertutup kemungkinan ia dapat disusun dari beberapa unsur yang lebih
lembut, selama ia mempunyai bentuk geometris.
Karena kelemahan-kelemahan di atas, Epicurus dan
para epicurian merevisi materialisme kuno dengan beberapa pandangan baru.
Epicurianisme beranggapan bahwa atom-atom bergerak bukan akibat dorongan
eksternal, karena, sebagai kausa prima alam, ia tidak membutuhkan apapun. (Ar-Rihlah
Al-Yunaniyah, 274-275, Al-Falsafah Al-Yunaniyah, dll).
Lalu, bagaimana ia dapat bergerak tanpa ada sebab
eksternal? Epicurus menjawab, dalam setiap ada secara pre-eternal (azali)
terdapat gerak yang merupakan bagian dari substansinya yang tak akan pernah
berpisah, karena setiap atom mengandung bobot berat yang dapat menggerakkannya
secara vertikal dari atas ke bawah dalam kehampaan yang tak berhingga, selama
tidak diselewengkan arahnya oleh suatu sebab eksternal. (Muhadharat,
178-180).
Secara ilmiah, telah terbukti bahwa kehampaan yang
diasumsikan sebagai ruang berenang atom-atom adalah kemustahilan, dan anggapan
bahwa atom-atom bersifat sederhana (homogen, tak dapat dibagi) adalah salah.
(Falsafatuna, 122-123, Ar-Rihlah Al-Madrasiyah, 274-276, Muhadharat, 181).
Dengan demikian, jelaslah kebingungan para
penganut materialisme kuno dalam menyelesaikan problema “asal usul alam”.
Materialisme Mekanik
Pada permulaan era modern, kaum materialis, dengan
berijak pada teori fifika Newton, menginterpretasikan munculnya gejala-gejala
alam berdasarkan gerak mekanik , bahwa setiap gerak adalah akibat dari suatu
kekuatan penggerak tertentu yang memasuki benda bergerak dari luar. Inilah yang
disebut dengan Materialisme Mekanik.
Dari hasil perenungan para filsuf kita telah
memperoleh warisan berupa dua tafsir yang berbeda tentang dunia. Tafsir yang
pertama adalah cara berpikir yang terungkap dalam karya-karya Pythagoras,
PLato, dan Aristoteles, yang berpandangna bahwa keteraturan dunia ini
disebabkan oleh adanya budi (mind) dan tujuan (purpose). Tafsir lainnya
berpendapat bahwa alam ini dapat dijelaskan hanya sebagai gerak. Aktivitas
kejiwaan hany merupakan gerak- atom-atom yang sangat halus dan labil. Tafsir
seperti ini terungkap dalam uraian atomisme kuantitatifnya Demokritus yang
merupakan karya sistematis pertama dari materialisme mekanis. Dan pandangan
yang sama telah dikembangkan lebih lanjut oleh Epicurus dan Lucretius.
Setelah Descartes (1596-1650), yang mengakui
adanya hal-hal yang tidak bersifat kebendaan, menggunakan konsep-konsep mekanis
dalam menafsirkan dunia fisis, Thomas Hobbes (1588-1679) telah melangkah lebih
jauh lagi dengan menyajikan suatu aliran materialisme yang mekanis sepenuhnya.
Hidup digambarkannya sebagai gerak dalam budi dan merupakan sistem syarat.
Kemudian dalam abad ini kebanyakan para fisiolog, biolog, dan psikolog,
menggunakan tafsir fisis dan mekanis dalam menjelaskan gejala hidup dan
manusia.
Menurut pandangan materialisme mekanis,
satu-satunya dunia yang dapat diketahui
adalah dunia yang tercerap oleh indera. Bagi mereka semua fenomena dapat
dijelaskan melalui cara-cara seperti yang dipakai oleh ilmu-ilmu kealaman;
dengan demikian konsep mekanisme, determinisme, dan hukum alam, mempunyai
aplikasi universal. Budi dan aktivitas-aktivitasnya merupakan behavior
(keperilakukan benda hidup). Dengan demikian psikologi merupakan penyelidikan
tentang perilaku, sehingga otak maupun kesadaran dijelaskan sebagai
tindakan-tindakan otot, syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Dan segala proses
tersebut dapat dijelaskan dengan fisika dan ilmu kimia. Sedangkan nilai dan
hal-hal yang ideal hanya bersifat subyektif bagi situasi dan hubungan-hubungan
fisis yang tertentu.
Perubahan yang terjadi pada atom maupun pada
manusia dianggap sebagai bersifat kepastian, dan tercakup dalam rangkaian sebab
akibat yang bersifat sempurna dan tertutup. Rangkaian kausalitas ini tidak
memerlukan landasan ide dalam bentuk tujuan (purpose), tetapi semata-mata dapat
dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu kealaman.
Mekanisme atau materialisme mekanis merupakan
doktrin yang menyatakan bahwa alam diatur oleh hukum alam, yang jika
data-datanya terkumpul dengan lengkap, hukum alam tersebut dapat dituangkan
dalam bentuk-bentuk matematika. Ini merupakan suatu bentuk pandangan metafisis
yang memperluas cakupan konsep mesin untuk diberlakukan terhadap segala proses
yang organis maupun bukan organis yang semuanya dianggapnya bersifat mekanis.
Banyak filsuf berpandapat bahwa sebab-sebab
mekanis dapat dipergunakan ilmu untuk menjelaskan segala sesuatunya, maka
kepercayaan terhadap Tuhan dan tujuan alam sudah tidak relevan lagi. Lebih dari
itu, hidup hanya merupakan proses fisiologis adan hanya mempunyai arti
fisiologis. Di samping itu, berhubung mekanisme percayabahwa segala aktivitas hanya
mengikuti hukum alam fisis, dan bahwa gerak stimulus dan respons dalam sistem
syaraf itu bersifat otomatis dan mekanis, maka kesadaran terpaksa harus
dianggap hanya sebagai fenomena yang menyertai proses badanlah atau emanasi
otak (ephiphenomenal), sedangkan fikiran hanya merupakan gerak otak atau
perkataan yang tak terucapkan (subvocal speech). Manusia berada dalam keadaan
terkondisi dalam melakukan reaksi terhadap obyek-obyek yang merupakan acuan
dari perkataan termaksud.
Dengan demikian jelaslah bahwa pandangan mekanisme
ini mengandung suatu determinisme serta bertentangan dengan kebebasan memilih
dan bertindak.
Materialisme mekanis menarik dan sangat
berpengaruh karena kesederhanaan pandangannya. Seperti halnya pada pnadangan
realisme yang naif, bagi pandangan ini yang nyata hanyalah hal-hal yang dapat
tercerap indera secara langsung atau melalui alat verifikasi eksperimental.
Cerapan indera merupakan ukuran kebenaran. Dan dengan menerima pendekatan yang
demikian ini, orang merasa terbatas dari banyak problema tentang kenyataan yang
telah beradab-abad membingungkan dirinya.
Usaha untuk memenuhi kebuTuhan pokok untuk hidup,
seperi makanan, pakaian dan perumahan, merupakan problema yang selalu ada dan
dihadapi oleh setiap orang. Fakta bahwa benda fisis sangat menentukan dan
mutlak bagi kelangsungan hidup manusia amat mengesankan hati seorang
materialis. Baertolak dari ini orang lalu beranggapan bahwa benda-benda
material merupakan satu-satunya yang nyata dalam kehidupan, dan bahwa hal-hal
yang immaterial bersandar pada hal-hal yang material. Dengan demikian mudahlah
difahami bahwa orang lalu mudah bergeser untuk tertarik dan terpengaruh oleh
pandangan filsafat yang menganggap bahwa hanya benda-bendalah yang nyata. (Durus fil Aqidah Al-islamiyah, 143, Muhadharat
180-182, dll).
Materialisme Dialektik
Runtuhnya materialisme
mekanik mendorong para pengikut materialisme untuk berusaha mencari sebab lain
untuk menginterpretasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam alam ini, atau
minimal, berusaha menginterpretasikan sebagian gerak secara dinamik, agar dapat
berasumsi (baca:berfantasi) tentang adanya semacam dinamisme subjektif
(inheren) dalam benda.
Materialisme dialektik timbul
dari perjuangan sosial sebagai akibat dari revolusi industri. Pandangan ini
sangat erat kaitannya dengan Karl Marx (1820-1895), terutama dalam menuliskan
dasar-dasar pikirannya dalam buku-buku: “Die hellige familie (1845),
Communistisch Manifest (1848), National Ekonomie und Philosophie (1844), dan
Das Kapital (1867).
Dengan mengadopsi teori
idealisme Hegel yang idealis dan teori materi-nya Feurbach, dua tokoh pendiri
Materialisme dialektik Marx dan Engels, menganggap pertentangan internal dalam
setiap gejala material sebagai penyebab gerak. Di samping meyakini
prinsip-prinsip materialisme (keabadian, pre-eternitas materi) dan
ketidak-terciptaannya, serta gerak general dan interaksi antar gejala-gejala,
mereka mengetengahkan tiga prinsip untuk menginterpretasikan
(mengargumentasikan) asumsi-asumsi mereka. (Tarikhul-Falsafah, 274-278,
Dasar-dasar Filsafat Marxisme, terj. Arab, , 232-233, Das Capital
terjemahan Arab juz 1, hal. 29, Filsafat Materialisme dan Idealisme dalam
filsafat, terj. Arab, 83).
Marx dipengaruhi oleh Hegel
dan Feurbach. Ia mendapat pengaruh Hegel tentang metode dialektik dan pendapat
tentang hubungan erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Sedangkan dari
Feurbach ia mendapat pengaruh mengenai kecenderungan untuk menerangkan hal-hal
yang bersifat kedanan, dan juga mengenai pengarahan minat terhadap manusia yang
hidup dalam masyarakatnya.
Hegel (1770-1831) seorang
idealis Jerman yang tulisannya mempengaruhi Marx itu beranggapan bahwa alam ini
merupakan suatu proses menggelarnya pikiran-pikiran (ide). Dari ide ini
kemudian timbullah proses alam, organisme, sejarah manusia, dan kelembagaan
masyarakat. Pikiran atau jiwa merupakan esensi alam, sehingga lebih nyata
diabanding dengan materi. Marx membalikkan filsafat idealisme Hegel dengan
menyatakan bahwa yang utama bukanlah jiwa atau ide melainkan materi.
Meski menolak idealisme
Hegel, Marx dan Engels menerima secara total metodologi filsafatnya. Menurut
Hegel, alam ini selalu dalam proses perkembangan yang bersifat dialektis.
Artinya, ia beranggapan bahwa perubahan-perubahan ini selalu berlangsung
melalui tahp-tahap afirmasi, atau tesis, negasi atau antiteisi, dan pada
akhirnya sampai kepada integrasi atau sintesis (Titus, dkk, 1984, Durus,
144, Muhadharat, 180-182, AR-Rihlah Al-Madrasiyah, 276-278, Falsafatuna,
122-123).
Materialisme dialektik adalah
suatu tipe dari materialisme. Aliran ini mempunyai banyak kesamaan dengan
materialisme mekanik atau mekanisme. Pengaruh materialisme dialektik lebih
banyak ditentukan oleh daya tarik metode dialektik yang diterapkan guna
menganalisis perubahan sosial dan perkembangan masyarakat.
Metode dialektik Marx sangat
menarik bagi kelompok sosial yang tertindas dan berusaha untuk melepaskan diri
dari kemiskinan. Hal ini terbukti dari fakta-fakta sejarah yang memicu
tercetusnya revolusi menjelang berdirinya lembaga pemerintahan atau
negara-lembaga pemerintahan atau negara blok komunis yang menjadikan komunisme
sebagai ideologi resmi, seperti di Rusia dan RRC. Pandangan Marx telah
dikembangkan dengan berbagai macam interpretasi oleh Lenin, Stalin, Mao Tse
Tung, dan terakhir oleh Marcuse, Habermas, Gramcy dan Gidens. (Harold H. Titus,
1984, Dasar-dasar Filsafat, 11.43, Muhadharat fil Aqidah, 186-188).
Klaim
pertama
Kaum materialis dialektik
beranggapan bahwa, karena realitas alam material adalah energi dengan bentuknya
yang bermacam-macam, sedangkan energi global bagi sebuah sistem yang terpencil
dapat mempertahankan dirinya secara penuh, dan bila energi tersebut sembunyi
dengan salah satu cara, maka ia akan kembali muncul dalam kuantitas tang sama
dalam bentuk yang lain. Itu artinya energi tidak akan lenyap dan tidak akan
bermula dari ketiadaan. Kaum materialis dialektik mengklaim telah berhasil
membuktikan bahwa setiap kerja mekanik dan setiap energi eletrik, magnetik dan
kimiawi mampu untuk berubah secara total menjadi sebuah panas dalam prosentase
dan ukuran yang tetap. Inilah yang disebut dengan prinsip keseimbangan
Bantahan
Materialisme dialektik juga
mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Hukum tentang
“prinsip pertama termo-dinamisme” tidak mengantarkan kita kepada (tidak
meniscayakan) “keabadian materi”. Ia hanya membuktikan bahwa energi saat
berubah, kuantitasnya tidak berkurang.
Klaim
kedua
Klaim bahwa materi tidak akan
lenyap bertentangan dengan hukum “prinsip kedua tentang termo dinamisme” yang telah
dihasilkan oleh Lord Calvin. Menurutnya, “evolusi alam berjalan menuju
satu-satunya arah. Dan itu tidak lain adalah kehinggan yang possible.”
Para ahli fisika modern telah
mengajukan sejumlah bantahan terhadap maslah ini (Muhadharat, 197-199). Sedangkan
pendapat bahwa alam berbentuk siklus, mengecil kemudian membesar (memanjang)
kemudian kembali, dan mengecil lagi, dajn begitulah seterusnya, adalah pendapat
yang tidak berdasar, dan hanyalah sebuah remalan (dugaan), bukan pendapat
ilmiah.
Bantahan
Materi
dalam pengertian umum bermacam dua; materi atomik dan energi-energi. Atom-atom
terdiri atas lebih dari seratus elemen, dan mungkin berlipat ganda berkat
kemajuan sain dan ditemukannya elemen-elemen lain yang hingga sekerang terus
terjadi. Sedangkan energi-energi juga terdiri atas energi panas, energi cahaya,
energi listrik, energi suara, energi mikanik, dan energi dinamik. Dari sisi
lain, atom-atom berubah menjadi energi-energi, sebagaimana yang terjadi dalam
sebagian elemen yang memancarkan cahaya gama, yaitu gelombang berenergi tinggi
tidak bermuatan dan bermassa, seperti penghancuran uranium dengan proton atau
neotron yang melahirkan sebuah energi besar.
Elemen-elemen atomik juga
berubah menjadi elemen-elemen atomik lain, dan energi berubah dari satu macam
ke macam energi lain, seperti perubahan energi kimia dari energi dinamik ke
energi panas, dan dari energi panas ke gerak, seperti mesin mobil saat
menghabiskan minyak atau bahan bakar akibat tekanan.
Energi mekanik juga berubah
menjadi energi listrik, seperti pemanfaatan banjir atau air terjun yang diatur
sehingga menciptakan energi listrik. Demikian pula sebaliknya, energi listrik
berubah menjdi energi mekanik, seperti pemanfaat daya listrik untuk dijadikan
sebagai pembangkit. Energi listrik juga berubah menjadi energi panas, seperti
alat pemanas yang digerakkan oleh listrik. Energi listrik juga berubah menjadi
kimia, yaitu ketika aliran listrik membagi air dalam dua unsur. Energi kimia
juga bisa berubah menjadi energi listrik atau energi panas, seperti baterei
listrik dan pembakaran arang.
Dari perubahan-perubahan yang
dialami oleh materi dan energi, dan dari ketersusunan materi dari unsur-unsur
di dalamnya itulah, maka kita berkesimpulan secara tegas bahwa semua yang ada
di alam material ini merupakan entitas yang kompleks (tersusun, murakkab).
Setiap entitas (maujud) yang tersusun pasti bermula dan berakhir dengan
ketiadaan. (Allah Yatajalla fi Ashril-Ilm, 21-25, Hiwar bainal Ilahiyyin wal
Maddiyyin, 66, Muhadharat 199-203, An-Nadhariyah Al-maddiyah fil-ma’rifah, 92,
Durus fil- Aqidah Al-Islamiyah, Falsafatuna, 247, dll.)
Gerak
menurut Materialisme dan Spiritualisme
Materi itu berada dalam gerak
dan perkembangan terus menerus. Materi juga membutuhkan sebab yang
menggerakkannya. Materialisme dialektik
tidak mengakui adanya penggerak di luar gerak. Ia tidak mengakui dualitas
antara materi yang bergerak dan sebab gerak. Ia menganggap materi itu sendiri
sebagai sebab gerak, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Sedangkan spiritualisme atau
filsafat metafisika memastikan adanya sebab garak di luar materi, karena
menurutnya, materi kosong dari tingkat-tingkat penyempurnaan yang dicapai
melalui tahap-tahap perkembangan dan gerak, dan tidak mengandung apapun selain
gerak dan kapasitas untuk tingkat-tingkat penyempurnaan ini. Itu berarti, gerak
memerlukan sebab selain dirinya, dialah Tuhan sang Pencipta. (Falsafatuna, 248).
Ini menyangkut masalah gerak dalam kosmologi. Gerak dalam ontologi telah
dibahas sebelumnya.
Klaim
ketiga
Materialisme
dialektik telah diagunakan oleh Marx dan Engels, sahabatnya, untuk menciptakan
faham komunisme atau Marxisme. Aliran ini terdiri atas dua pandangan pokok;
materialisme dialektik dan materialisme historis yang diterapkan oleh Marrx
untuk menganalisis realitas masyarakat yang terbagi ke dalam kelas proletar
yang tertindas dan kaum kapiltalis, feodalis dan borjuis yang rakus.
Bantahan
Para filsuf kontemporer
alumnus Mazhab Qom menetapkan sembilan (9) kesatuan (unitas) yang harus
dipenuhi agar kontradiksi terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.
Kesatuan subjek (maudhu’), seperti “Ali
adalah siswa” dan “Ali bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila subjeknya
berlainan, seperti “Ali adalah siswa” dan “Ahmad bukanlah siswa”
2.
Kesatuan predikat
(Al-Mahmul), seperti “Zaki adalah siswa” dan “ Zaki bukanlah siswa”. Inversi
tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti “Zaki adalah siswa” dan “Zaki
bukanlah guru”.
3.
Kesatuan waktu, seperti “matahari terbit di
siang hari” dan “matahari tidak terbit pada waktu siang”. Inversi tidak terjadi
bila waktunya berlainan , seperti “matahari terbit pada waktu malam” dan
“matahari tidak terbit saat malam”.
4.
Kesatuan tempat, seperti “matahari terbit di
timur” dan “matahari tidak terbit di timur”. Inversi tidak terjadi bila masanya
berlainan, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di
barat”.
5.
Kesatuan aktus (aksi) dan potensi,
seperti “bayi itu adalah sarjana secara aktual” dan “bayi itu bukanlah sarjana
secara aktual”. Inversi tidak terjadi bila potensi dan aktusnya berlainan,
seperti “bayi itu sarjana secara potensial” dan “bayi itu bukanlah sarjana
secara aktual”.
6.
Kesatuan partikularia dan universalia
(bagian dan himpunan), seperti “udara seluruh Indonesia sejuk” dan “udara
seluruh Indonesia tidak sejuk”. Inversi tidak terjadi bila partikularia dan
universalianya berlainan, seperti “udara sebagian Indonesia sejuk” dan ‘udara
sebagian Indonesia tidak sejuk’.
7.
Kesatuan kondisi (syarat), seperti “siswa itu
lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila rajin”. Inversi tidak
terjadi bila kondisinya berlainan, seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan
“siswa itu tidak lulus apabila malas”.
8.
Kesatuan relasi, seperti “4 adalah separuh
dibanding (bagi) 8” dan “4 bukanlah separuh dibanding (bagi) 8”. Inversi tidak
terjadi apabila relasinya berlainan, seperti “4 adalah separuh bagi 8’ dan “4
bukanlah separuh bagi 10’. (Muhadharat).
9.
Kesatuan predikasi
Materialisme melakukan
kesalahan besar ketika menganggap setiap perbedaan sebagai kontradiksi arau
dialek antara positif dan negatif. (Mao Tse Thung about contradiction, 13,
Materialisme Dialektik dan Materialisme historik, hal. 17, cet. 2, terj. Bahasa
Arab, Pokok-pokok Filsafat Marxisme, 106-107). Ia mencontohkan menyerang dan
bertahan, maju dan mundur, menang dan kalah sebagai kontradiksi, padahal itu
semua bukan fenomena kontradiksi. (Mao Tse Thung abaout Contradiction, 14 –
15).
Marx dan para pengikutnya
menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan
entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena
ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya perpindahan dari
potensia dan aktus dalam setiap entitas. Para filsuf muslim dan Timur telah
menyebutkan sembilan syarat kesatuan dalam kontradiksi, antara lain kesatuan predikat,
kesatuan subjek, kesatuan tempat, kesatuan waktu, kesatuan relasi, kesatuan
potensi dan aksi, kesatuan predikasi, dan sebagainya (Muhadharat fil-Aqidah,
120, dll).
Akhirnya, materialisme
dialektik mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Meski
demikian, ironisnya, banyak pemuda Islam yang merasa bangga menganut sosialisme
atau komunisme, yang merupakan bayi prematur dari materialisme dialektik.
Maujud objektif tunggal dan beragam
Dengan mempertimbangkan pluralisme Ibnu Sina dan
monisme Mulla Shadra, kita dapat membagi maujud menjadi dua;
- Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid).
- Maujud beragam (Al-maujud Al-katsir)
Namun,
karena pandangan Mulla Shadra terasa lebih kuat dan didukung oleh para filsuf
Islam, seperti Thabathabai, Muthahhari, Jawadi Amuli dan M. T. Mishbah yazdi,
maka ontologi yang akan kita bahas selanjutnya mengacu pada monisme Mulla
Sahdra.
Dua
Maujud tunggal
Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid) terbagi
dua;
1.
Maujud
tunggal sejati (Al-maujud al-wahid al-haqiqi). Yaitu maujud yang tidak
terbagi.
2.
Maujud
tunggal tak sejati (Al-maujud al-wahid ghair al-haqiqi). Yaitu maujud
yang dapat dibagi, seperti Agus dan Budi, yang bersatu dalam kemanusiaan, namun
terbagi dua. (Al-Falsafah Al-Ulya, 102,
Elm e Kulli, 139-141).
Dua Maujud tunggal sejati
Maujud tunggal sejati bermacam dua;
- Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah Al-haqqah). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan kesatuan (ketunggalan) itu sendiri, seperti hakikat murni sesuatu yang tidak ada sesuatu itu yang tidak bisa digandakan maupun diulang.
- Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan tidak sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah ghairil-Haqqah (satu). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan sebuah substansi yang menyandang sifat ‘satu’ (tunggal).
Dua Maujud tunggal tidak sejati
Entitas
tunggal tidak sejati terbagi dua;
1.
Satu ‘tidak sejati’ secara
khusus (Al-wahid ghairul-haqiqi
bil-khusush). Yaitu satu dalam pengertian bilangan, yang merupakan pokok
bilangan angka apabila diulang.
2.
Satu ‘tidak sejati’ secara umum (Al-wahid ghairul haqiqi bil-umum).
Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara khusus’
Ada dua
macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1. ‘Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus’ yang dapat dibagi,
seperti ukuran.
2. Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus yang tidak dapat dibagi. Yaitu ketika dilihat sebagai: a) sebuah substansi
(batang) yang secara singular menyandang
sifat ‘satu’ ; b) sebuah sifat ‘satu’ yang secara singular disandang oleh sebuah substansi. Titik, misalnya.
Dua
Maujud tunggal tidak sejati ‘secara umum’
Ada dua
macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1. Sebagai sebuah konsep, seperti ‘manusia’ bila dipandang sebagai sebuah
(satu) spesies (wahid nau’i), atau ‘binatang’ bila dipandang sebagai satu genus
(wahid jinsi), atau seperti ‘yang berjalan’ bila dipandang sebagai satu
predikat (wahid aradhi).
2. Sebagai wujud yang sangat luas, seperti hakikat ‘wujud’ yang meliputi
semua alam keberadaan.
Maujud objektif aktual dan
maujud potensial
Aktus
(aktualitas, Al-fi’liyah) adalah forma sesuatu yang membuatnya (sesuatu
itu) memberikan pengaruh-pengaruh. Ia adalah wujud sesuatu itu sendiri, seperti
ke-pohon-an pohon. Aktualitas adalah sifat bagi sesuatu dalam perspektif
kekinian.
Potensia
adalah forma sesuatu yang memungkinkannya untuk menjadi sesuatu yang lain,
seperti sifat yang disandang oleh bibit yang memungkinkannya menjadi potensi
secara potensial. Ia adalah sifat bagi sesuatu dalam koneks masa depan.
Maujud
juga dapat dibagi dua;
- Maujud potensial
- Maujud aktual
Karena
eksistensi aktualitas sangatlah nyata, maka yang perlu dibuktikan adalah
eksistensi potensi yang merupakan pasangannya. Berikut alasan-alasannya:
1. Sangatlah gamblang bahwa terbentuknya sebuah sifat dalam biji yang membuatnya
menjadi pohon di kemudian hari, namun batu tidak memilikinya. Manusia juga
demikian. Ia berpotensi untuk menjadi berpengetahuan (pengetahu) dan penulis,
sedangkan besi tidak memilikinya. Ada beberapa sifat yang tidak dimiliki besi,
namun manusia memilikinya, dan sebaliknya.
Jadi, entitas potensial memang sesuatu yang real.
2. Terjadinya perubahan dan tranformasi dialami oleh setiap entitas kosmik.
Tanpa adanya potensi dan kapasitas (al-quwwah wa al-qabiliyah),
perubahan tidak akan pernah terjadi dalam alam.
3. Gerak adalah sebuah fenomena kosmik, yang berdiri di atas ketiadaan
sekaligus ke-ada-an (Al-fuqdan wa Al-wujudan), ketiadaan yang memiliki
potensia namun tidak memiliki aktus. Seandainya entitas yang bergerak (Al-mutahharik)
tidak mengandung potensi untuk bergerak, maka ia tidak akan pernah bergerak.
Kesimpulan:
Setiap
entitas kosmik menyandang dua sifat; potensialitas (Al-qabiliyah) dan
aktualitas (Al-fi’liyah).
Potensi
bermacam dua;
- Potensialitas menanjak (transenden, Al-quwwah Ash-sha’idah), yaitu potensi yang telah menjadi aktual.
- Potensialitas menurun (immanen, Al-quwwah An-nazilah), yaitu potensi yang belum teraktualkan. (Al-Falsafah al-Ulua, 109-111, Nihayatul-Hikmah, 250-253, ).
Maujud ‘sebab’ dan maujud ‘akibat’
Entitas
atau maujud dapat juga dibagi dua;
- Entitas yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi selain dirinya, yang lazim disebut kausa atau al-illah.
- Entitas yang memerlukan selain dirinya untuk menjadi ‘berada’. (Nihayatul-Hikmah, 202, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 2, hal. 127, Al-falsafah Al-ulya, 113).
Penolakan terhadap Kausalitas
Ada sejumlah filsuf Barat yang menyatakan
penolakan terhadap prinsip kausalitas. Mereka mengajukan sejumlah alasan.
- Penolakan David Hume
David adalah salah filsuf Barat yang melancarkan
kritik tajam atas prinsip kausalitas.menurutnya, prinisp kausalitas tidak
diketahui melalui penalaran melainkan
pengalaman. Pengetahuan orang tentang adanya hubungan kausalitas didapatkan
dari kebiasaan melihat peristiwa tertentu (peristiwa A) selalu diikuti oleh
peristiwa lain (peristiwa B). karena seorang telah mengamati berulang kali di
masa lampau suatu objek akan menghasilkan akibat tertentu, maka ia dapat
mengharapkan di masa depan objek yang sama menghasilkan akibat yang sama. Ia
menolak hukum kausalitas dengan beranggapan bahwa tidak ada hubungan
sebab-akibat antar gejala-gejala dan entitas alam, karena yang terjadi hanyalah
susul menyusul.
- Penolakan Bertrand Russell
Bertrand Russell juga menolak hukum sebab akibat
dengan beranggapan, bahwa apabila setiap entitas dan sesuatu adalah akibat dari
suatu sebab, maka berarti Tuhan juga akibat dari suatu sebab, karena ia adalah
sesuatu. Bertrand Russell mencampurkan adukkan antara “pasti ada”, “pasti
tiada”, dan “tidak pasti”. Hanya entitas atau sesuatu yang “tidak pasti ada dan
tidak pasti tiada”-lah yang merupakan akibat dari suatu sebab”. (Usus
Al-Falsaf, Thbathaba’ & Mutahhari, 210 dll.)
Kritik atas Penolakan Kausalitas
David dan para pengikutnya lupa bahwa
susul-menyusul tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya hubungan kausal.
Pendapat Hume meniscayakan keraguan total terhadap setiap premis. (The
Empiricist, 324, Muhadharat, 95-101, dll).
Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengajukan sebuah
pertanyaan menarik kepada orang-orang yang menolak hukum kausalitas; “Jika menurut
anda hukum kausalitas adalah produk akal, maka dengan alasan apakah anda
memastikan keberadaan realitas objektif yang telah menjadi sebab?”
(Ususul-Falsafah, juz, 210).
Emanuel kant juga menentang David mengenai
penolakan terhadap kausalitas. Menurutnya, kausalitas memang tidak ditemukan
dalam pengalaman manusia, namun demikian, keputusan (hukum) tersebut juga bukan
sekedar hasil kebiasaan manusia melihat dua peristiwa terjadi berurutan dalam
waktu. (Matinya Metafisika Barat, Donny gahral Adian, 40-41).
Para filsuf Mazhab Qom membantah kritik David Hume
dan para penolak prinsip kausalitas. Menurut mereka, sebenarnya penolakan
terhadap prinsip kausalitas dapat diringkas dalam sebuah premis ‘pengetahuan
tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- adalah
mustahil’. Kalau premis tersebut kita
ubah menjadi kontra premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan
–tanpa saling berhubungan- tidaklah mustahil’, maka bagaimanakah Hume menyikapinya?
Jika ia menganggap kontra premis ini benar, maka berarti ia telah menggugurkan
pendapatnya. Jika menganggapnya salah, maka kita tanya dengan dasar apakah ia
menyalahkannya? Jika ia menyalahkannya dengan argumentasi langusng, maka
berarti ia meyakini argumen (yang digunakannya) itu sebagai sebab bagi gugurnya
kontra premis diatas. Jika ia menyalahkan kontra premis tersebut dengan
argumentasi tidak langsung, maka ia harus, sesuai dengan kaidah logika,
menjustifikasi premis pertama yang diklaimnya (bukan kontra premis) dengan
argumen. Jika ia menggunakan argumen untuk mendukung klaim premisnya, maka ia
berarti mengakui adanya hubungan kausal antara argumen dan kebenaran klaimnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum non
kontradiksi dan hukum sebab akibat adalah dasar bagi pengetahuan rasional,
empiris, dan mistik. (Metafisika, 156 dan 84, Falsafatu Hume baina asdy-syak
wal-I’tiqad, 180, Muhadharat, 100-101).
Urgensi menerima hukum kausalitas
Hukum ini
sangat penting dan fundamental, terutama dalam bidang epistemologi. Hal itu
karena beberapa alasan sebagai berikut:
- Pengakuan terhadap hukum kausalitas merupakan landasan bagi pembuktian eksistensi realitas material, bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan penolakan terhadapnya meniscayakan keraguan mutlak dan kebodohan.
- Seandainya eksistensi materi bisa dibuktikan tanpa berlandaskan hukum kausalitas, maka pengetahuan akan materi hanyalah pengetahuan sederhana. Hal itu karena ilmu pengetahuan, sepereti fisika, kimia, biologi dan sebagainya, mengandalkan observasi sensual terhadap patikal-partikal tertentu berulang kali. Dengan kata lain, sain mengandalkan pengalaman. Generalisasi hukum empiris berdasarkan hukum kausalitas. Tanpa dilandasai hukum kausalitas, generalisasi hukum empiris tidak akan pernah bisa terjadi.
- Penolakan terhadap hukum kausalitas meniscayakan penerimaan atasnya. Renungkanlah! (Muhadharat, 138-141). Prinsip kausalitas adalah dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam segala bidang pemikiran manusia. Ini karena pemaparan dengan bukti tentang sesuatu berarti bahwa jika bukti itu benar, maka adalah sebab bagi mengetahui sesuatu itulah yang merupakan objek pemaparan. Ketika kita membuktikan suatu kebenaran tertentu dengan eksperimen ilmiah atau dengan suatu hukum filsafat atau dengan persepsi inderawi sederhana, sebenarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum) keniscayaan, tentu kita tidak dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita membuang hukum-hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya sebab-sebab tertentu bagi setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan antara bukti yang kita sandari dan kebenaran yang kita usahakan mendapatkannya dengan bukti ini. Tetapi kemungkinan bahwa bukti itu benar tanpa memandu ke hasil yang dikehendaki, karena hubungan kausal antara bukti dan hasil, antara sebab dan akibat, itu telah terputus.
Demikianlah,
menjadi jelas bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya prinsip
kausalitas. Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk
menolak prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan,
juga berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari
prinsip tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujjah tertentu, tidaklah melakukan
usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujjah yang mereka sandari itu
adalah sebab yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi
hal itu sendiri adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu. (Falsafatuna, 211, Muhadharat, 138-141).
Hubungan sebab dan akibat
Hubungan
antara sebab dan akibatnya adalah hubungan eksistensial real (objektif).
Bila hubungan tersebut terjalin, maka
ke-ada-an akibat menjadi pasti,
ke-ada-an sebab memastikan ke-ada-an akibatnya , dan ketiadaan sebab
juga memastikan ketiadaan akibatnya.
Sedangkan
para filsuf Barat, seperti David Hume, menganggap hubungan kausalitas sebagai
hubungan konseptual subjektif, tidak objektif. (Muhadharat, 142, Falsafatu
Hume baina Al-syak wa Al-I’tiqad, Dr. M. Fathi Asy-Syunaithi, Al-falsafah
Al-ulya, 113, Nihayatul-Hikmah, 201).
Kausa sempurna dan kausa tidak sempurna
Sebab
bermacam dua;
1.
Sebab sempurna (Al-illah At-tammah). Yaitu sebab yang selamanya menjadi
penyebab keberadaan seluruh akibatnya, sehingga ia tidak ada, maka akibatnya
pun seketika tidak ada. Keberadaan kausa sempurna meniscayakan keberadaan
akibatnya. Ketiadaannya juga meniscayakan ketiadaan akibatnya.
2.
Sebab tidak sempurna (Al-illah An-naqishah). Yaitu sebab yang hanya menjadi sebab
dalam salah satu aspek keberadaan akibat. Keberadaan kausa tidak sempurna tidak
meniscayakan keberadaan akibatnya. Namun ketiadaannya meniscayakan ketiadaan
akibatnya. (Nihayatul-hikmah, 204, Al-falsafah Al-Ulya, 115).
Sebab singular dan sebab plural
Sebab juga
dapat dibagi dua;
- Sebab singular. Yaitu sebab bagi satu akibat.
- Sebab plural. Yaitu beberapa kausa bagi satu akibat, seperti panas yang merupakan akibat dari serangkaian sebab; matahari, panas, gerak dan sebagainya.
Sebab sederhana dan kausa kompleks
Sebab juga
dapat dibagi dua;
- Sebab sederhana (Al-illah Al-basithah). Yaitu kausa yang tidak terangkai
- Sebab tersusun (Al-illah Al-murakkabah). Yaitu kausa yang terangkai dari beberapa bagian.
Ada
kalanya sebab sempurna itu sederhana dan ada kalanya terrangkai. (Al-falsafah
Al-ulya, 116).
Sebab eksternal dan sebab internal
Sebab juga
terbagi dua;
1.
Sebab eksternal. Yaitu sebab yang ada di luar subjek (diri) akibat, yang disebut dengan
sebab keberadaan (Illatul-wujud).
2.
Sebab internal. Yaitu sebab yang ada dalam diri akibat, yang disebut dengan sebab
elementer. (Illatul-qiwam).(Al-falsafah Al-ulya, 117, Al-Asfar
Al-arba’ah, juz 2, hal. 126, Nihayatul-Hikmah, 205).
Sebab dekat dan sebab jauh
Sebab juga
dapat dibagi dua;
1.
Sebab dekat (Al-illah Al-qaribah). Yaitu kausa yang secara langsung
berhubungan dengan akibat.
2.
Sebab jauh (Al-illah Al-ba’idah). Yaitu kausa yang berhubungan dengan
akibat dengan perantara sebab lain.
Empat macam sebab
Ada empat macam sebab, menurut
Aristoteles dan para filksuf Mazhab Qom;
1.
Sebab
material (Al-Illah
Al-Maddiyah), seperti batu,
pasir dan semen untuk rumah.
2.
Sebab
formal (Al-Illah
Ash-Shuriyah), seperti gambar “rumah” yang akan dibangun dalam benak
arsitek atau pemilik.
3.
Sebab
efesien (Al-Illah
Al-Fa’ilah), seperti tukang dan kuli bangunan yang akan bekerja membangun
rumah.
4.
Sebab
final (Al-Illah
Al-Gha’iyah), yaitu seperti tujuan
dibangunannya rumah. (Asl e Illiyat, Dr. Qadardan M., 57-64, Kamus Filsafat, 194-195, Nihayatul-Hikmah, 201-216)
Macam-macam sebab pelaku
Kausa efersien (Al-illah Al-fa’iliyah, Al-illah
Al-fa’ilah sebab pelaku) terbagi banyak. Yaitu sebagai berikut:
- Al-Fa’il bil-thba’i (pelaku natural). Yaitu pelaku yang menciptakan perbuatan (berbuat, bertindak), namun tidak menyadari perbuatannya, seperti api yang ‘menghangatkan’.
- Al-fa’il bil-qasr (pelaku natural determinan). Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan tidak menyadarinya, namun bertentangan dengan naturnya, seperti batu yang terbang ke atas, karena dilemparkan.
- Al-fa’il bil-jabri (pelaku terpaksa). Yaitu pelaku yang mengetahui (menyadari) perbuatannya namun tidak menghendakinya, seperti perbuatan yang dilakukan seseorang akibat penindasan atau tekanan orang lain.
- Al-Fa’il bil-ridha (pelaku dengan sukarela). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya serta menghendakinya. Pengetahuan detail (Alilm At-tafshili)-nya adalah (akan perbuatan tersebut) adalah perbuatan itu sendiri dalam kenyataannya.
- Al-fa’il bil-qashd (pelaku dengan rencana). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya dan menghendakinya, namun pengetahuan detail-nya mendahului perbuatannya karena faktor lain, seperti perbuatan manusia yang bersifat ikhtiari.
- Al-fa’il bil-inayah. Yaitu pelaku yang telah mengetahui secara detail akan perbuatannya sebelum perbuatan itu sendiri, dan pengetahuannya adalah sesuatu di luar dirinya, dan bahwa pengetahuannya tersebut adalah penyebab bagi terjadinya perbuatannya, seperti seseorang di atas pucuk tebing yang membayangkan akan jatuh lalu jatuh karena membayangkannya.
- Al-fa’il bil-tajalli. Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan mengetahuinya secara detail, bahkan pengetahuan detailnya (tentang perbuatan tersebut) tidak lain adalah pengetahuan umum pelaku tentang dirinya, seperti pengetahuan detail Allah tentang segala sesuatu yang merupakan pengetahuan detail.
- Al-fa’il bil-taskhir. Yaitu pelaku yang mana ia (pelaku sendiri) dan perbuatannya adalah untuk atau miliki pelaku lain, seperti daya atau potensi-potensi natural dan hewaniyang diciptakan dan untuk jiwa manusia.
Thabatabai menganggap sebagian dari sembilan sebab
efesien di atas tidak perlu dimandirikan secara terpisah, karena, menurutnya,
ada pelaku yang bila dicermati masuk dalam kategori pelaku lainnya, seperti
Ál-fail bil-inayah, yang semestinya masuk dalam kelompok Al-fa’il bil-qashd,
demikian pula Al-fa’il bil-jabr (pelaku terpaksa), yang sejatinya tidak keluar
dari Al-fa’il bil-qashd, karena pelakunya, kendati dipaksa, melakukannya dengan
ikhtiar. (Nihayatul-hikmah, 222-224, Al-falsafah al-ulya, 119, Syarh
Al-Isyarat, juz 3, hal. 11-12, Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal.
191-194, Syarhul-mushtathalahat al-falsafiyah, 261-265).
Dalam filsafat modern, sebab terbagi tiga;
1.
Sebab
imanen. Yaitu kondisi
internal yang menghasilkan perubahan, seperti kehendak dalam diri seseorang
yang menyebabkan gerakan.
2.
Sebab
instrumental. Yaitu sebab
medium yang masih membutuhkan sebab yang lebih tinggi. Ia adalah sub bagian
dari sebab efesien, seperti mobil yang merupakan alat yang menggerakkan
seseorang yang berkehendak.
3.
Sebab
transenden. Yaitu kondisis
eksternal yang menghasilkan perubahan pada sebuah benda, seperti air yang
menyebebkan tanaman menjadi subur. (Kamus Filsafat, 970-971).
Ciri-ciri dan sifat “Wujud”
Para filsuf penganut Ashalatul-Wujud
menyebutkan sejumlah ciri khas hakikat
“wujud”. Antara lain sebagai berikut:
- Hakikat “wujud” adalah sederhana (basith), tidak kompleks, bahkan realitas adalah satu-satunya yang sederhana dan tak tersusun.
Alasan-alasannya sebagai berikut:
·
Seandainya
hakikat “wujud” kompleks atau tersusun, maka pasti ia terdiri atas beberapa
bagian. Tentu, (setiap) bagian tersebut berupa wujud atau bukan wujud.
Seandainya bagian tersebut bukanlah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari
“wujud” (yang diasumsikan tersusun dari beberapa bagian itu), karena selain
wujud atau ketiadaan, sedangkan ke-ada-an tidak dapat dikombinasikan dengan
kenir-adaan. Sebaliknya, jika bagian
tersebut adalah wujud, maka berarti ia
bukanlah bagian dari “wujud”, karena ia adalah wujud itu sendiri, bukan bagian
darinya.
·
Sesuatu
yang diasumsikan sebagai bagian dari wujud itu hanya bisa mengambil salah satu
dari tiga sifat sebagai berikut; a) menjadi titik kesamaan antara realitas
wujud dengan selainnya; b) menjadi ciri
khas bagi realitas wujud itu sendiri. Pilihan pertama tertolak, karena tidak ada
sesuatu selain realitas wujud, sehingga setiap kali ada sesuatu yang
diasumsikan sebagai bagian dari realitas wujud, maka seketika ia menjadi
realitas itu sendiri semata.
2. Pilihan kedua juga tertolak, karena sesuatu disebut sebagai bagian
apabila ia memiliki ciri khas yang membedakannnya dari yang lain. Karena
realitas wujud tidak terdiri atas bagian-bagian yang sama, maka ia juga tidak
terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai ciri khas. Itu berarti
bahwa realitas wujud adalah sederhana dan tidak terdiri atas bagian-bagian.
Apabila realitas wujud tidak memiliki bagian yang sama, maka ia tidak mempunyai
genus dan materia (potensi). Apabila
hakikat wujud tidak mempunyai bagian
yang khusus, maka ia tidak mempunyai deferentia (fashl) dan forma. Jadi,
realitas wujud bersifat sangat sederhana (basith).
Apabila realitas
wujud tidak mempunyai genus dan
defrensia, maka ia bukanlah quiditas (mahiyah), karena quiditas
adalah gabungan dari genus dan deferensia. Apabila realitas wujud tidak beresensi
atau mempunyai quiditas, maka hakikat “wujud” itu adalah dirinya sendiri
semata. Karena realitas wujud bukanlah quiditas, maka ia tidak menyandang
sifat-sifat quiditas, seperti universal, partikulari, genus, deferensia,
substansi, dan aksiden.
- Hakikat “wujud” tidak mempunyai lawan (dhidd), karena lawan bagi sesuatu adalah sesuatu yang lain atau yang kedua, yang berbeda secara esensial atau berdasarkan quiditasnya, padahal tidak ada sesuatu selain realitas wujud, bahkan setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai selain dari realitas wujud adalah wujud itu sendiri. Karena realitas wujud tidak mempunyai quiditas atau esensi, maka ia tidak mempunyai lawan atau rival, sebab perbedaan dan keberlainan antar dua hal disebab oleh quiditas atau esensi (mahiyah).
- Hakikat “wujud” tidak mempunyai kembaran atau padanan, sebab sesuatu disebut sebagai padanan atau kembaran itu bukanlah sesuatu yang dikembarinya itu sendiri. Dengan kata lain, dua sesuatu yang mirip atau sama harus berlainan. Kalau tidak, keduanya bukanlah dua, namun satu.
- Hakikat “wujud’ bukanlah akibat dari suatu sebab. Artinya, ia ada dengan sendirinya yang secara otomatis menolak kenir-ada-an dari dirinya.
- Sifat-sifat kesempurnaan seperti “hidup” dan lainnya adalah berasal dari hakikat “wujud”, bukan dari selain dirinya. Seandainya sifat-sifat kesempurnaan tersebut tidak berasal dari realitas wujud, maka berarti sifat-sifat tersebut nir-ada. (Al-falsafah Al-Ulya, 86, Nihayatul-Hikmah)
Realisme atau Dualisme
Aliran, yang oleh sebagian kalangan diidentikkan
dengan monisme atau materialisme radikal, ini meyakini adanya realitas
saja, dan menolak eksistensi konsep.
Realisme Islam mestinya lebih tepat jika disebut
dengan Dualisme, karena ia meyakini
adanya dua maujud; objektif (real) dan
subjektif (ideal). (Hakadza Nabda’, 2227-231, )
Tiga
macam maujud objektif
Entitas
objektif bermacam dua;
- Substansi (Al-Jauhar).
- Aksiden (Al-Arazh).
- Daya (Al-thaqah). (Al-falsafah Al-Ulya, Reza Shadr, 159, Sharh Al-Manzhumah, Sabzawari, juz 2, hal. 462-463).
Tiga macam maujud batangan (substansial)
Substansi
terbagi tiga;
- Entitas ragawi atau raga (Al-Jism). Yaitu
- Entitas potensial atau entitas material atau potensia (Al-Maddah). Yaitu
- Entitas formal atau entitas aktual atau forma (Al-shurah). Yaitu
Ciri-ciri khas maujud ragawi
(‘raga’)
Para filsuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah ciri khas yang
diasandang oleh materi atau ‘raga’ (al-jism) sebagai berikut disertai
dengan alasan-alasannya.
- Raga dapat dibagi.
- Raga dapat melebur dengan raga lainnya
- Raga terbatas.
- Rateri dan raga berbobot.
- Raga bertempat
- Raga bermasa.
- Raga berarah.(Al-Falsafah Al-Ulya, 160-168).
Dua macam maujud aksidental (sandangan)
1.
Aksiden-aksiden relatif. Yaitu aksiden yang bergantung pada relasi. (Al-a’razh Al-nisbiyah),
seperti
2.
Aksiden-aksiden non relatif. Yaitu aksiden yang tidak bergantung pada relasi, seperti kategori
kuantitas (Al-kam) dan kulaitas (Al-kaif). (Al-Falsafah
Al-Ulya, 178, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 4, hal. 10).
Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud
juga terbagi dua;
- Entitas bermula (hadits)
- Entitas tak bermula (qadim, azali).
Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud hadits
terbagi tiga;
- Entitas bermula dengan kebermulaan eaktu (hadits zamani).
- Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
- Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).
Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas
non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1. Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu
kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2. Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu
kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari
ketiadaan.
ENTITAS OBJEKTIF TAK TERINDERAKAN
Pengertian “non materi” (spirit)
Realitas abstrak atau non-materi (Al-mujarrad) adalah setiap sesuatu yang
sama sekali tidak menyandang ciri-ciri benda. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, 139).
Pendahuluan
Objek atau
sasaran pengetahuan, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, adalah
realitas objektif. Realitas objektif dalam ontologi Islam, sebagaimana
disebutkan oleh Thabatabai, bermacam tiga sebagai berikut:
- Realitas material. Yaitu realitas yang merupakan gabungan dari materi dan potensi, yang lazim disebut dengan alam al-maddah wal-quwwah).
- Realitas immaterial.
Dua maujud non bendawi
Realitas
immaterial, dalam ontologi Timur dan islam, bermacam dua;
- Realitas interval atau realitas ideal. Yaitu realitas immaterial yang memberikan pengaruh-pengaruh material, seperti bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya, yang lazim disebut alam al-barzarkh dan alam al-mitsal.
- Realitas abstrak. Yaitu realitas immaterial yang tidak memberikan pengaruh-pengaruh material sama sekali, yang lazim disebut dengan alam at-tajarrud, alam al-aql atau alam al-uqul al-mujarradah.
Relasi antar realitas-realitas
Tiga
realitas atau tiga alam (al-awalim al-tsalatsah) tersebut diatas
berkaitan secara vertikal. Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling
dekat dengan kausa prima atau prinsip pertama (al-mabda’ al-awwal)
adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki oleh realitas interval atau
realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah realitas
material, yang merupakan domain kekuarangan, keburukan dan ketidakpastian. (Nihayatul-Hikmah,
302-304).
Dengan
demikian, kita dapat membagi spirit atau immateri menjadi dua; immateri
interval dan immateri abstrak. Sebagian filsuf cenderung menyebut realitas
immaterial interval dengan entitas (realitas) immanen dan menyebut realitas
immaterial abstrak dengan transenden.
Ciri-ciri istimewa entitas abstrak
Realitas
immaterial, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan
kemuliaan dan kesempurnaan, memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut:
- Setiap entitas abstrak pasti adalah pengetahuan (al-Aql).
- Setiap entitas abstrak pasti adalah subjek pengetahu (al-aqil).
- Setiap entitas abstrak pasti adalah objek yang diketahui (al-ma’qul).
Dengan ungkapan lain, maujud abstrak adalah maujud
yang dapat dikenali, mengenali dan menjadi pengenalan itu sendiri.
Kebersatuan (Unitas) Aqil dan Ma’qul
Mulla shadra mengajukan sebuah pandangan baru
dalam epistemologi sekaligus ontologi, yaitu ‘kebersatuan aqil (subjek
pengetahuan) dan ma’qul (objek pengetahuan). Pandangannya dalam
diringkas dalam item-item sebagai berikut:
- Objek penalaran (al-ma’qul) itu adalah objek yang diketahui secara langsung (al-ma’lum bil-zat). Sedangkan aql atau pengetahuan adalah gambar intelektual (ash-shurah al-ilmiah) yang berada dalam benak. Karena gambar tersebut diketahui (atau menjadi objek pengetahuan), maka ia adalah sesuatu yang bersifat aktual, bukan potensial, karena ‘keterketahuan’ atau posisinya sebagai objek pengetahuan (al-ma’lumiyah) merupakan predikat bagi sesuatu dalam konteks afirmasi atau penetapa (maqam al-itsbat). Realitas objektif adalah objek pengetahuan tidak langsung (al-ma’lum bil-arazh). Sedangkan objek pengetahuan langsung (al-ma’lum biz-zat), yaitu konsep, adalah entitas yang abstrak dan kosong dari sifat-sifat material dan bebas dari potensi.
Seandainya konsep tidak bebas dari materia murni(al-hayula)
dan kosong dari potensia, maka ia tidak akan menjadi arti secara aktual. Dan
seandainya pengetahuan atau konsep itu bertempat dalam anggota raga, maka
niscaya konsep terdiri atas potensia dan materia.
Konsep, sebagai entitas immaterial, tidak
mengalami perubahan, karenma perubahan hanya dialami oleh entitas yang
mengandung potensia. Karena konsep atau pengetahuan tidak mengandung potensia,
maka ia adalah aktus murni. Maka pengetahuan adalah proses mengabstraksi atau
mengentas sesuatu yang abstrak dari realitas objektif yang kongkret. (Nihayatul-Hikmah,
317-318, Al-asfar Al-arba’ah, juz 3, hal. 323-324, Al-falsafah
Al-ulya, 242-243).
- ‘Ke-berpengetahuan’ (Al-aqiliyah) adalah predikat aktual (bukan potensial) dan entitas yang tidak mengandung potensi sama sekali. Pengetahuan tidak lain hanyalah kehadiran entitas aktual dalam entitas aktual lainnya.
- Yang dimaksud dengan ‘unitas’ (al-ittihad) antara subjek pengetahuan (al-aqil)dan objek pengetahuan (al-ma’qul) ialah bahwa satu entitas menjadi ekstensi (manifestasi) dari dua pengertian. ‘Subjek pengetahuan’ (yang mengetahui) dan ‘objek pengetahuan’ (yang diketahui) adalah dua pengertian atau quiditas (al-mahiyyah) yang terpantul dari satu realitas, demikian pula quiditas ketiga ‘pengetahuan’ (al-aql).
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua pengetahuan,
pada hakikatnya, adalah kehadiran, termasuk pengetahuan-pengetahuan hushuli (al-ma’rifah
al-husuliya) atau paling tidak, bersumber dari pengetahuan hudhuri (al-ma’rifah
al-husuliyah).(Nihayatul-Hikmah, 318-319, Al-falsafah al-ulya, 344-345).
Macam-macam entitas immaterial
Para filsuf menyebutkan sejumlah entitas abstrak
atau ‘objek pengetahuan’ (al-ma’qul), seperti kefahaman (al-fahm),
Al-hifzh (kehafalan), pengenalan
(al-aql).
Antara Al-ilm dan al-aql
Khusus mengenai al-aql, perlu diketahui
bahwa kata ‘aql’ berbeda dengan pengetahuan atau al-ilm, karena al-ilm
adalah entitas subjektif (al-mawjud az-zihni), sedangkan al-aql
adalah entitas objektif (al-mawjud al-khariji).
Empat tahap ‘entitas abstrak’
Entitas
objektif abstrak, lazim disebut dengan
Ál-aql, yang merupakan wadah pengetahuan, melewati empat tahap sebagai berikut;
1.
Al-aql Al-huyulani. Yaitu tahap
ketika jiwa bebas dari semua entitas-entitas ‘ternalarkan’ atau entitas tak
terinderakan, baik yang ekstemporal maupun yang non ekstemporal. Tahap ini
adalah tahap persiapan untuk meraih pengetahuan badihi dan non badihi.
2.
Al-Aql bil-malakah. Yaitu tahap ketika jiwa telah meraih pengetahuan-pengetahuan
(entitas-entitas tak terinderakan) badihi, baik yang masih konseptual maupun
yang telah menjadi assentual.
3.
Al-aql bil-fi’l. Yaitu
tahap ketika jiwa telah memproduksi pengetahuan-pengetahuan non ekstemporal
(aposterior) dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal yang telah ia peroleh
sebelumnya. Pada tahap ini entitas immaterial abstrak mulai menyingkap sesuatu
yang sebelum tidak ia ketahui.
4.
Al-aql Al-mustafad. Yaitu tahap tertinggi ketika entitas abstrak (Al-aql) telah
melakukan penyimpulan (Al-istintaj) dari sejumlah
pengetahuan-pengetahuan badihi dan non badihi yang ada dalam dirinya. (Al-Falsafah Al-ulya, 241, Syarhul-Mawaqif, juz 6, hal. 43).
‘Abstrak’ filosofis dan ‘abstrak’ populis
Perlu diketahui pula, bahwa kata ‘abstrak’ telah
dikonsumsi secara liar oleh kalangan di luar filsafat sehingga mengalami
distrosi dan reduksi substansial dalam pengertiannya. Kini ‘abstrak’ telah
dipahami secara populer dan secara non akademik sebagai sesuatu yang tidak
jelas, tak bermakna dan kabur. Tentu fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran materialisme yang menolak eksistensi realitas non material,
sebagaimana perkatan “it s doesn’t matter” (itu bukanlah benda yang diartikan
“tidak ada’ atau ‘sepele’) dalam percakapan Inggris populer, demikian juga kata
‘fakta’ dan ‘realitas’ atau ‘kenyataan’ yang telah diadopsi secara tidak fair
untuk arti yang menyimpang dari pengertian substansialnya dan artikan sebagai
‘fakta empiris’, realitas material‘ dan ‘kenyataan yang terinderakan’.
Tuhan
Sebab
perdana entitas-entitas material dan immaterial adalah entitas immaterial
transendental yang merupakan sumber keberadaan. Umat manusia sejak hadir di
atas pentas sejarah hingga kini telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai
dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan
itu. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord
atau God. Dialah Tuhan Maha Sempurna.
Manusia dan Tuhan
Eksistensi
Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan
maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas
yang diasumsikan sebagai produk entitas yang maha seempurna dan maha bijaksana
deengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai
akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil
penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan.
Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa
acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, gamang dan diliputi kerisauan akan kemungkinan-kemungkinan
yang tak dapat diprediksi.
Masalah
ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia
dan mnejadi bahan pemikirannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk
mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian dari fitrah
atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan
keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat
fitri.(Maqalat e Falsafai, intisharat Hikmat, juz 2, hal. 231, Khoda Shenasi falsafi, 19, ).
Argumen kausal
dan argumen efektual
Dalam filsafat
Mazhab Qom, ada dua macam pola pembuktian keberadaan tuhan yang bertumpu pada
prinsip kausalitas:
1.
Al-burhan
Al-Limmi (argumen kausal).
Yaitu pola pembuktian dari sebab ke
akibat-akibatnya.
2.
Al-burhan
Al-inni (argumen
efektual). Yaitu pola pembuktian dari akibat ke sebabnya.
Dua argumen
efektual
Burhan inni bermacam dua. Para filsuf berselisih pendapat
tentang manakah yang meniscayakan keyakinan;
burhan limmi ataukah burhan
inni. Polemik seputar dua metode pembuktian ini cukup panjang dan hangat
hingga sekarang. (Sairi dar adelleh e isbat e wujud e, 32).
Para filsuf membagi argumen-argumen menjadi
beberapa bagian. Bagian pertama adalah arguemn-argumen yang terdiri atas
rangkaian padu elemen subjek pembukti, elemen cara pembuktian dan elemen tujuan
pembuktian menjadi satu. Bagian kedua adalah pembuktian yang hanya terdiri atas
rangkaian padu dua elemen; pelaku pembuktian dan cara pembuktian, sedangkan
elemen tujuan pembuktian terpisah. Bagian ketiga adalah pembuktian yang terdiri
atas rangkaian padu elemen cara pembuktian dan tujuan pembuktian.
Argumen ‘ketidakpastian’ (burhan al-imkan),
argumen ‘kebermulaan’ (burhan al-huduts), argumen ‘gerak’ (burhan
al-harakah), dan argumen ‘keteraturan’ (burhan al-nadhm, annizham)
termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat
argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu.
Salah cara pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah
‘pengetahuan akan jiwa’. Yaitu bahwa manusia dengan pengembaran subjektif dan
perenungan dalam diri, melalui pengetahuan hushuli, akan dapat membuktikan
keberadaan Tuhan. Dalam pembuktian demikian, cara pembuktian dan pelaku
pembuktian menjadi satu, sedangkan tujuan pembuktian terpisah. Mulla Shadra menganggap
argumen ‘ash-shiqqin’ sebagai argumen bagian ketiga. Menurutnya, inilah argumen
yang paling mulia dan kokoh. (Al-asfar Al-arba’ah, juz, 6, hal. 13, Sayri
dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 34).
Sejumlah filsuf, seperti Ibnu Sina dalam At-ta’liqat, menolak pembuktian keberadaan Tuhan, karena,
menurutnya, ke-ada-an Tuhan hanya bisa dibuktikan dari diriNya sendiri. Dengan
kata lain, menurut Ibnu Sina, keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui secara
hushuli atau dengan mengandalkan pengetahuan hushuli).(Amuzesy e Falsafeh, M.
T. Yazdi, juz 2, hal. 329).
Namun pendapat ini dibantah oleh banyak filsuf
dengan sejumlah argumen dan justifikasi. Salah satu justifikasi menyimpulkan
bahwa, boleh jadi, yang dimaksud tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan
data husuli adalah bahwa zat Tuhan (wujud aini) Tuhan tidak dapat
dibuktikan secara husuli. (Amuzesy e Falsafeh, juz 2, hal. 332, Sayri
dar adelleh, 37).
Para filksuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah
argumen dan bukti. Antara sebagai berikut:
- Argumen “fitrah’;
- Argumen ‘keteraturan’;
- Argumen ‘kepemanduan’. Muthahhari menganggap argumen ini sebagai argumen yang terpisah dari argumen ‘keteraturan’. (Usul e falsafeh va Ravesy e Realisme, juz 5, hal. 48,49).
- Argumen ‘kebermulaan raga. Argumen ini digunakan oleh para teolog (mutakkalimun) (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 44-47)
- Argumen ‘gerak’.
- Argumen ‘kebermulaan spirit (jiwa). Argumen ini dikemukakan oleh para filsuf kosmologi. (ibid).
- Argumen ‘ketidakpastian dan kepastian’. Ibnu Sina dan Suhruwardi masing-masing memberikan pola penjelasan yang berbeda. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 26-37, Usul e Falsafeh va Ravesy e realisme, juz 5, hal. 61, 80, 81, Al-isyarat, juz 3, butir 4, Sayri dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 41).
- Argumen ‘sebab dan akibat’;
- Argumen ash-shiddiqin’.
Tapi dalam lembaran ini kita hanya akan
menyebutkan ima bukti dan inferensi.
Bukti ‘Fitrah’
Sepantasnyalah
‘bukti fitrah’ didahulukan atas bukti-bukti lainnya karena, ia bertumpu pada
kedalaman jiwa manusia dan dasar pijakannya bersifat presentatif (hudhuri).
Namun sebagian filsuf dan teolog mengutamakan bukti ‘shiddiqin’.
Terminologi ‘Fitrah’
Kata
‘fitrah’ (al-fithrarh) secara gramatis mengikuti pola (wazan) fi’lah
yang dalam b ahasa Arab mengandung konotasi perbuatan yang mengikuti perbuatan
tertentu lainnya, seperti ia duduk seperti duduknya (jilsah) seorang pangeran.
Ia berasal dari kata kerja ‘fathara’ yang semula berarti ‘menciptakan’ dan
‘membuat’ seseuatu yang sebelum tidak ada. Dalam surah Ar-Rum (ayat30), kata ini telah digunakan untuk arti
menciptakan.
Yang
dimaksud dengan ‘fitrah Allah’ dalam ayat tersebut ialah bahwa keberagamaan dan kecenderungan pada
agama adalah sesuatu yang natural dan wajar. Artinya, Tuhan telah menciptakan
manusia sedemikian rupa sehingga ia senantiasa cenderung untuk beragama.
Istilah-istilah ‘Fitrah’
Kata
‘fitrah’ dan derifasinya telah digunakan untuk arti yang berlainan. Antara lain
sebagai berikut:
1.
‘Proposisi-proposisi fitriah’
dalam logika. Ia didefinisikan sebagai premis
Antara Fitrah, natur (thabi’ah), dan insting (gharizah)
Bukti ‘Keteraturan’ (argumen teleologis).
Definisi keteraturan
Melalui bukti keteraturan, kita dapat membuktikan dua hal; ke-ada-an
Tuhan dan pengetahuan Tuhan.
Sistem alam
Ada keharmonisan antar setiap bagian mengantarkan kepada kesimpulan
tentang adanya tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon,
atau keseimbangan antara kehidupan pohon dan hewan. Bukti ketursunan terdiri
atas proposisi sensual (inderawi) dan proposisi rasional (akali).
Proposisi pertama:
Ada sebuah sistem yang mengatur fenomena-fenomena natural yang dikenal
oleh manusia melalui penginderaan eksoteris (lahiriah) atau dengan bantuan
alat-alat dan metode-metode ilmiah.
Proposisi kedua:
Akal menemukan suatu keharmonisan dan sistem yang mengatur alam itulah,
akal secara ekstemporal memastikan tentang ada suatu kekuatan yang pandai
secara sempurna yang mengendalikannya. Akal juga memastikan bahwa keteraturan
ini mustahil terjadi secara kebetulan tanpa sebab di baliknya.
Proposisi baru:
Alam ini tersusun dengan baik. Jika ia tidak
tertata rapi, maka mustahil kita menganggapnya sebagai sesuatu yang indah.
Jadi, ada susunan atau rangkaian-rangkaian yang kita anggap sebagai suatu
keindahan, keteraturan, dan lain sebagainya. Sesuatu mustahil sekonyong-konyong
menjadi teratur tanpa ada yang mengaturnya.
Konklusi:
Karena itulah, pasti ada yang mengatur, dan yang
mengatur itu pasti tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana yang diatur. Dari
situ kita simak adanya sesuatu yang dahsyat, yang tak bermula dan tak berakhir,
yang pasti, dan yang memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya sehingga dapat
mengatur alam yang begitu indah dan menakjubkan. Maka dapat kita simpulkan akan
adanya Tuhan, Allah, God, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu berkesimpulan
tentang adanya sesuatu yang memiliki kekuatan yang tidak ada keterbatasan.
Bukti ‘gerak’
Segala sesuatu yang ada dalam alam ini bergerak,
dari atom ke benda padat, dari benda padat ke benda hidup, dan ke bumi
seluruhnya, kemudian ke angkasa, dan akhirnya ke seluruh galaksi. Sain modern
menegaskan bahwa di dalam alam ini tidak sesuatu yang disebut dengan “diam”,
bahwa alam selalu dalam gerak. Berdasarkan prinsip kausalitas, tidak mungkin
sesuatu bergerak dengan sendirinya tanpa digerakkan oleh suatu penggerak atau
penyebab gerak, karena sesuatu yang tidak mempunyai tidak dapat memberikan
gerak.
Atas dasar itulah, bila materi dengan aneka
macamnya bergerak, maka septutnya kita menanyakan siapakah penggeraknya.
Pertanyaan tentang penggerak ini akan terus berkumandang selama segala sesuatu
yang ada di alam materi ini bergerak.
Kaum materialis menghubungkan evolusi dalam materi
dengan gerak subjektif dalam materi dan dengan pertentangan internal di
dalamnya, sebagimana telah dijelaskan dan dibantah pada bagian sebelumnya. Kaum
materialis harus menjawab dua pertanyaan besar berikut ini (yang sudah pasti
tidak dapat dijawabnya dengan teori materialisme):
Siapakah yang memberikan gerak kepada materi pertama?
Siapakah yang memberikan gerak kepada massa material?
Bukti ‘Evolusi’. Bukti dan argumen ini dikemukakan oleh Mohammad Baqir
Ash-Shadr, filsuf terbesar muslim di penghujung abad 20. Bukti ini terdiri atas
tiga proposisi sebagai berikut:
Proposisi pertama:
“Setiap peristiwa pasti mempunyai sebab yang menjadi sumber
keberadaannya. “
Proposisi ini bersifat aksiomatis atau apriori (sangat gamblang). Setiap
orang yang berakal sehat dan sadar pasti membenarkan isinya.
Proposisi kedua:
“Setiap ditemukan selisih tingkat kekuatan antara
sesuatu dan lainnya, maka tidak mungkin sesuatu berada pada tingkat
kesempurnaan dan isi yang lebih rendah menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu
yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.
Proposisi ini juga bersifat aksiomatif (badihi)
yang bisa segera dipastikan kebenaran isinya oleh setiap orang yang berakal
sehat dan sadar.
Proposisi ketiga:
“Materi dalam evolusi atau perkembangannya yang
berkelanjutan mengambil bermacam bentuk dalam tingkat evolusinya.”
Salah satu unsur dari air tidak mempunyai
kehidupan merupakan salah satu bentuk keberadaan materi. Amipa dianggap sebagai
hewan micro yang hanya mempunyai sal sel merupakan salah satu bentuk keberadaan
materi yang lebih banyak perkembangannya. Sedangkan manusia , sebagai benda
hidup berindera dan berakal, dianggap sebagai bentuk tertinggi dari entitas
dalam alam ini.
Konklusi:
“Adanya tingkat-tingkat kesempurnaan dalam keberadaan materi di alam ini
menunjukkan adanya sebab atau kausa yang sempurna di baliknya.”(Allah
yatajalla, 41, Mujaz fi Ushuliddin, 42-45, Allah Yatajalla, 54, Kubra
Al-yaqiniyat Al-kauniyah, 105, Jurnal Paramadina, vol. 1, no. 2, 1999, Adeleh e
itsbat wujud e Khoda, Mohsen Gharavian, 19-20, Khoda Shenasi Falsafi, Mohsen
javadi, 18-21, dll).
Teori ‘kebetulan’
Bukti Kebermulaan
Kebermulaan
atau Al-huduts, secara etimologis, adalah sifat yang disandang oleh sesuatu
yang bermula dari ketiadaan atau bermula dari sesuatu yang lain. Contoh sesuatu
yang bermula dari ketaiadaan adalah “asal muasal alam” -atom atau energi-,
sebagaimana telah terukti. Contoh sesuatu yang bermula dari sesuatu yang lain
adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh entitas-entitas (maujud-maujud)
material. Manusia, misalnya, ada dari sesuatu yang bukan manusia berupa
sel-sel.
Lawan dari
kebermulaan atau Al-huduts adalah ketidakbermulaan atau Al-azaliyah, yaitu
sifat yang disandang oleh sesuatu yang tidak bermula dari ketiadaan, dan tidak
berasal (bermula) dari sesuatu yang lain.
Ciri-ciri
azali dan hadits adalah sebagai berikut:Azali adalah sesuatu yang sederhana
(basith, simple, homogen), sedangkan hadits adalah sesuatu yang tersusun
(murakkb, kompleks, heterogen, himpunan).
Karena
setiap “yang tersusun” terdiri atas beberapa bagian yang merupakan sebab bagi
terbentuk “sesuatu yang tersusun”, maka keberadaan setiap “yang tersusun”
bermula dari sesuatu yang lain, yaitu bagian-bagiannya. Kesimpulannya, ialah
bahwa setiap “yang tersusun” pastilah sesuatu yang hadits. (Metafisika, Lorens
Bagus, i36-145, Ontologi, Anton Bekker, Muhadharat, 162-163, Bidayatul-Hikmah,
Allah bainal Azaliyah wal Huduts, Al-ilahiyat, dll.).
Sedangkan
“sesuatu yang bermula” ada kalanya bersifat basith dan ada kalanya bersifat
murakkab (Muhadharat fil Aqidah, 164).
Setiap yang “tak bermula” (Azali) tidak memerlukan kepada selain dirinya
untuk menjadi ada. Seandainya ia bermula, maka berart ia bukanlah azli. Karena
ia tidak bermula, maka ia tidak pernah tiada. Karena tidak pernah tiada, maka
ia tidak memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada. (Muhadharat, 164 dll).
Sedangkan hadits, karena keberadaannya bermula dari ketiadaan, memerlukan
kepada selian dirinya untuk menjadi ada.
Setiap yang azali pastilah abadi (tidak berakhir), sedangkan hadits
berpotensi untuk musnah.
Karena setiap yang azali tidak memelukan selain dirinya untuk menjadi
ada, maka ia bukanlah sesuatu yang “mungkin”. Karena azali bukanlah sesuatu
yang “mungkin”, maka ia pastilah sesuatu yang wajib ada. Karena ia “wajib ada”,
maka ia tidak akan pernah musnah (abadi).
Sedangkan hadits, karena memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada, adalah
sesuatu yang “mungkin”. Karena ia bersifat “mungkin”, maka ia bisa musnah
seketika apabila hubungannya dengan sebab pengadanya terputus.
Setiap yang azali tidak berubah, sedangkan sesuatu yang hadits berpotensi
untuk berubah.
Perubahan terjadi dalam tiga kondisi sebagai berikut:
- Perubahan yang terjadi karena salah satu bagian atau salah satu sifatnya mengalami perubahan, dengan diganti ataupun tidak.
- Perubahan yang terjadi karena bertambahnya salah satu bagian atau salah satu sifat yang disandannya. Perubahan pertama dan kedua di atas tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali, karena ia meniscayakan ketersusunan yang merupakan salah satu ciri khas sesuatu yang hadits.
- Perubahan yang terjadi karena realitas sesuatu yang basith berganti menjadi realitas basith yang lain. Perubahan demikian juga meniscayakan ketiadaan sebuah realitas yang disusul oleh keberadaan baru realitas lain. Perubahan ketiga ini juga tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali karena ketidakbermulaannya dari ketiadaan atau dari sesuatu yang lain.
Inilah penjelasan singkat tentang bukti kebermulaan yang lazim diseebut
argumen a novitate mundi. Kesimpulan, pasti ada sesuatu yang tak bermula
dan tak berakhir. Para ahli menyebutnya “Kausa Prima”, yaitu suatu kekuatan
yang sempurna, tidak bermula dan tidak berakhir, yang kita identifikasi dengan
nama Tuhan, Sang yang, God, dan lain sebagainya. (Al-ilahiyat, hal. 39 – 42,
Muhadharat fil-Aqidah, hal. 221, Allah bainAl-iman wAl-ilhad, hal. 133, Durus
fil-Aqidah dll.)
Bukti ketidakpastian
Ciri-ciri ‘pasti ada’
Ada beberapa ciri khas ‘entitas wajib’ li
zatih. Antara lain sebagai berikut:
1. EkisistensiNya tidak membutuhkan hubungan dengan
selain diriNya. Seandainya keberadaanNya berhubungan dengan selain diriNya,
maka ia pasti lenyap saat hubungan tersebut lenyap.
2. Eksistensinya sederhana. Seandainya tersusun, maka
nisacaya ia bergantung pada bagian-bagiannya dan berhubungan dengannya.
Bagian-bagian –sebagai bagian- bukanlah himpunannya –sebagai himpunan-.
Seandainya bergantung pada selain diriNya, maka ia adalah sesuatu yang mungkin,
bukan wajib.
3. Ia bukanlah raga (jism), karena raga
terdiri atas beberapa bagian, sedangkan ketersusunan meniscayakan
ketidakpastian, sebagaimana disebutkan dalam ciri kedua diatas.
4. Ia bukanlah predikat yang melekat pada substansi,
seperti warna dan bentuk, karena predikat hanya ada apabila ada substansi yang
menyandangnya.
5. Ia tidak berubah, sebab perubahan hanya akan
terjadi dengan pengurangan atau penambahan baik dalam substansi maupun dalam
sifat-sifatnya.
6. Ia tidak berbilang, karena keterbilangan
meniscayakan ketersusunan.(Muhadharat, 228-229).
Ciri-ciri “Yang Tidak Pasti”
- Berposisi netral antara ada dan tiada. Ia tidak akan mengada atau meniada tanpa sebab. Seandainya sesuatu yang mungkin mengada secara objektif tanpa sebab, maka ia wajib, bukan mungkin. Seandainya ia meniada secara objektif tanpa sebab, maka berarti ia mustahil (pasti tiada).
- Kelanggengan wujud sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan wujud sesuatu yang menjadi sebabnya. Dan kelanggengan ketiadaan sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan ketiadaan sebabnya. Seandainya tidak memerlukan dan tidak bergantung pada kelanggengan sebabnya, maka berarti ia dapat mengada tanpa bergantung pada sebab, padahal ia bukanlah wajib dan bukan pula mustahil. (Muhadharat, 224-225).
Ciri-ciri “Yang Pasti Tiada”
‘Sesuatu yang pasti tiada’ adalah yang tidak
menyandang ciri-ciri sesuatu yang wajib dan ciri-ciri sesuatu yang mungkin,
seperti ia tidak memerlukan sebab bagi ketiadaannya.
Secara etimologis, possibilitas (Al-imkan, ketidakpastian) adalah sifat
sesuatu yang, menurut hukum akal sehat, berada pada posisi netral antara ada
dan tiada. Lawan dari ketidakpastian atau kemungkinan adalah “kepastian ada”
(Al-wujub) dan “kepastian tiada”(Al-imtina’).
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘Pasti ada’ adalah entitas
yang ada dengan sendirinya. Para teolog
dan filsuf ontologi menyebutnya ‘wajib’.
‘Pasti tiada’, sebagaima juga telah kita ketahui, adalah ‘sesuatu’ yang
tiada dengan sendirinya, yang lazim disebut al-mumtani’ atau al-mustahil.
Sedangkan ‘tidak pasti’ adalah ‘sesuatu’ yang bisa ada dan bisa tiada akibat
dari sesuatu selain dirinya, yang lazim disebut al-mumkin.
Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak akan pernah bisa disilangkan
atau campurkan. Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘yang tidak pasti’ (al-mumkin)
netral antara ada dan tiada, bergantung pada eksistensi dan kelanjutan
eksistensi sebab pengada atau peniadanya. Bila ia condong ke sisi keberadaan,
maka berarti sesuatu yang wajib (pasti ada). Bila ia condong ke sisi ketiadaan,
maka berarti ia sesuatu yang pasti tiada (pasti tiada).
Ciri-ciri khas “yang pasti ada” juga telah kita ketahui sebelumnya,
antara lain ialah bahwa keberadaannya tidak memerlukan hubungan apapun dengan
selain dirinya. Jika keberadaannya bergantung pada selain dirinya, maka niscaya
musnah bila hubungan ketergantungannya terputus, dan seketika ia menjadi “tidak
pasti”. Sesuatu yang ‘pasti ada’ tidak akan butuh kepada sesuatu untuk memastikan
keberadaan dirinya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya juga, ‘pasti tiada’ tidak butuh
kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya. Dan yang
ketiga, tidak pasti, artinya dia butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk
memastikan keberadaan, dan dia butuh sesuatu selain dirinya untuk memastikan
ketiadaan dirinya, jelasnya untuk ada dan tiada, dia butuh kapada sesuatu yang
diluar dirinya, selain dari dirinya.
Alam sebagai ‘tidak pasti’
Lalu, apakah alam ini pasti ada dengan sendirinya,
ataukah pasti tiada dengan sendirinya, ataukah tidak past? Jika alam pasti
tiada dengan sendirinya, maka tidak perlu kita bahas. Untuk apa menghabiskan
waktu dalam membahas sesuatu yang pasti tiada! Jika alam pasti ada dengan
sendirinya, berarti alam ini menciptakan dirinya sendiri. Jika alam menciptakan
dirinya sendiri, berarti sebelumnya dia tidak ada baru dia menciptakan dirinya,
dia memastikan dirinya. Jika alam ini ada dengan sendirinya berarti dia harus
menyandang sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap Wajib, yaitu tak bermula dan
tak berakhir, tidak mengalami perubahan, tak tersusun, dan semua sifat-sifat
yang menentang kebermulaan, keberakhiran, perubahan, serta ketidakpastian.
Setelah kita ketahui bahwa ternyata alam ini
tersusun, berarti dia bergantung kepada susunan-susunannya, jika dia bergantung
kepada susunan-susunannya, berarti keberadaan dirinya dipastikan oleh sesuatu
selain dirinya. Artinya, dia pasti ada itu karena adanya susunan-susunan itu,
dan yang pasti susunan-susunan itu bukan dari dirinya. Berarti alam ini bukan
wajib. Jika ia tidak pasti ada dan tidak pasti tiada, maka alam ini tidak
pasti. Artinya, untuk menjadi ada, dia butuh kepada selain alam, dan untuk
tiada dia juga butuh kepada selain alam. Kesimpulannya, ada sesuatu yang yang
pasti ada dengan sendirinya.
Seandainya yang menciptakan alam yang tidak pasti
ini – sesuatu yang tidak pasti, maka sama hukumnya dengan alam, bahwa ia
membutuhkan selain dirinya yang menciptakan. Seandainya yang menciptakannya
juga tidak wajib, meka niscaya ia bergantung kepada sesuatu yang sebelumnya.
Begitulah seterusnya sampai kita, mau atau tidak, harus berhenti pada suatu
kesimpulan, bahwa ada satu titik akhir yang menciptakan alam, sebuah sebab yang
tidak bergantung kepada sesuatu diluar dirinya, atau sebelum dirinya.
(Al-Ilahiyat, hal. 33-37, Muhadharat, hal. 224-232, dll.)
Sifat-sifat Tuhan
Karena Tuhan adalah wujud yang sempurna dalam
segalanya, maka Ia tentu menyandang semua sifat kesempurnaan, seperti
pengetahuan (Al-ilm) dan kekuasaan
(Al-qudrah). Ketika dikatakan bahwa Tuhan menyandang sifat ‘kuasa’, maka
yang dimaksud ialah bahwa Ia kesempurnaan itu sendiri. Jadi, menurut para
filsuf ontologi, penyandangan (Al-ittishaf) tidak berarti ada sebuah
subjek sebagai entitas dengan eksistensi tersendiri dan ada sebuah predikat
sebagai sebuah entitas dengan eksistensi tersendiri yang terangkai dalam
substansi tuhan, namun ia berarti bahwa Tuhan Allah SWT tidak mungkin kosong
dari kesempurnaan apapun.
Dua kelompok sifat Tuhan
Sifat dapat dibagi menjadi dua;
1. Sifat afirmatif (Ash-shifah Ast-stubutiyah),
yaitu predikat yang mengandung arti afirmastif seperti ‘berkuasa’ dan
‘berpengetahuan’.
2. Sifat negatif (Ash-shifah As-salbiyah),
yaitu predikat yang mengandung arti negatif, atau sifat yang menegasi
negasi kesempurnaan, yang bermuara pada
arti kesempurnaan, seperti ‘tidak lemah’.
Dua sifat afirmatif Tuhan
Sifat-sifat afirmatif dapat dibagi dua;
- Sifat-sifat afirmatif sejati (Ash-shifah Ast-tsubutiyah Al-haqiqiyah), yaitu sifat yang tidak bergantung pada relasi antar subjek dan selainnya, seperti ‘hidup’.
- Sifat-sifat afirmatif relatif (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-idhafiyah), yaitu sifat-sifat yang bergantung pada relasi, seperti ‘mengetahui’ dan ‘berkuasa’.
Dua sifat negatif Tuhan
Sifat-sifat afirmatif sejati dapat dibagi dua;
1. Sifat-sifat afirmatif sejati murni (Ash-sifah
Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah Al-mahdhah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati
yang sama sekali tidak bertumpu pada relasi baik dengan subjek maupun dengan
lawan subjek, seperti sifat ‘hidup’.
2. Sifat-sifat afirmatif sejati yang tidak murni (Ash-shifah
Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah dzatu Idhafah), yaitu sifat-sifat afirmatif
sejati yang dari sisi tertentu berkaitan dengan selain subjek penyandang,
seperti sifat ‘pencipta’ (yang menciptakan).
Sifat subjektif dan sifat non subjektif Tuhan
Sifat-sifat juga dapat dibagi dua;
1. Sifat-sifat subjektif (Shifat Az-zat),
yaitu sifat yang dapat disimpulkan dari subjek
semata, tanpa mengikutsertakan sesuatu selain subjek penyandang. Ia
disebut dengan ‘sifat-sifat zat Tuhan’.
2. Sifat-sifat non subjektif (Asifat Al-fi’l),
yaitu sifat yang disimpulkan dari subjek dan pasangannya. Namun, karena selain
Tuhan tidak ada, maka relasi zat Tuhan hanyalah perbuatannya. Oleh sebab itu,
sifat-sifat macam kedua ini hanya bisa disebut dengan ‘sifat-sifat perbuatan
Tuhan’. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 120-118, Syarhul-Mandhumah,
157, Nihayatul-Hikmah, 345).
Sifat-sifat subjektif Tuhan
Para filsuf berselisih pendapat tentang
sifat-sifat subjektif (Ash-shifat Az-zatiyah). Sebagian besar filsuf
muslim, seperti Zabrawari dan Mullah Shadra,
beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah inti zat Tuhan, dan
bahwa masing-masing merupakan inti atau zat bagi lainnya.. Para teolog Asya’riyah,
seperti At-Taftazani, Asy-Syahristani dan Al-Iji, beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu
adalah arti-arti dari luar zatNya yang melekat dan bersifat qadim (tak
bermula) karena zat yang dilekatinya qadim. Para teolog Mu’tazilah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyandangan zat Tuhan atasz sifat,
mengetahui, misalnya, ialah bahwa zat Tuhan berpengetahuan, dan bahwa yang
dimaksud dengan Tuhan bersifat ‘kuasa’ ialah bahwa zatNya berkuasa. (Syarhul-Mawaqif,
479, Syarhul-Maqashid, juz 2, hal. 72, Al-Asfar Al-arba’ah, juz
6, hal. 133, juz 6, 145, Syarhul-Manzhumah, hal 157-159, (Syarhul-Maqshid,
juz 2, hal. 72, Syarhul-Mawaqif, 479-480, Al-milal wa An-nihal, juz
2, hal. 95. Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 109-110, Al-farq
bainal-Firaq, 78, Nihayatul-Hikmah, 346-349, Al-falsafah Al-ulya, 322-325).
Thabathabai dan para filsuf Mazhab Qom mendukung
pendapat pertama, karena alasan-alasan sebagai berikut:
- Seandainya sifat adalah sesuatu yang melekat kemudian pada zat penyandang, maka berarti penyandang adalah sebuah entitas tersendiri dan sifat adalah sebuah entitas tersendiri. Seandainya sifat-sifat Tuhan adalah suatu imbuhan pada zatNya, maka berarti ia membutuhkan sebuah zat sendiri untuk menjadi ada, karena sifat yang berupa imbuhan pada zat membutuhkan sebab untuk menjadi ada dan ia mustahil menjadi ada dengan sendirinya, padahal tiada sebab bagi sifat tersebut selain zat itu sendiri, karena jika sifat itu membutuhkan sebab selain zat Tuhan, maka hal meniscayakan negasi terhadap wujub (kepastian), karena ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang tidak membutuhkan lainnya. Maka seandainya zat adalah sebab bagi sifat, maka berarti zat telah memilikinya lebih dahulu, sehingga tidak perlu melekat kemudian padaNya.
- Seandainya zat ‘yang pasti ada’ tidak memiliki sejak semula klesempurnaan (yang merupakan esensi dari sifat-sifat tersebut), maka berarti zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidaklah memilikinya, padahal Ia adalah zat yang sempurna.
- Seandainya sifat tersebut melekat kemudian pada zat, maka sifat itu berupa esensi atau eksistensi. Padahal ia bukanlah esensi (mahiyyah) karena esensi adalah sesuatu ‘yang tidak pasti’ (mumkin) , sedangkan sifat-sifat pada sesuatu ‘yang pasti ada’ mestilah bersifat ‘pasti ada’ pula, dan telah dibuktikan bahwa sesuatu yang pasti ada secara substansial (Al-wajib bil-zati) adalah sesuatu yang pasti ada dari segala aspek (wajib min jami’ al-jihat). Karena ia bukanlah esensi (mahiyyah), maka ia pasti berupa eksistensi semata (wujud mahdh), karena eksistensi semata adalah inti zat ‘yang pasti ada’, dan keduanya (eksistensi murni dan zat sesuatu ‘yang pasti ada’) tidak berbeda.
- Seandainya sifat-sifat tersebut berupa imbuhan (za’idahi) pada zat, maka berarti zat ‘yang pasti ada’ itu pada mulanya tidaklah sempurna. Akibatnya, zat ‘yang pasti ada’ adalah gabungan dari ‘ke-ada-an’ (Al-wujud) dan ketiadaan (Al-adami), sedangkan itu adalah konsekuensi yang mustahil, karena meniscayakan pertemuan dua hal yang kontradiktif (ijtima’ an-naqidhaini). Kekosongan dari sifat kesempurnaan (ash-sifah Al-kamaliyah) adalah ketiadaan itu sendiri. Lagi pula, telah terbukti bahwa zat ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang sederhana (basithi) atau tidak tersusun, sedangkan ketersusunan zat dari ke-ada-an dan ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil.
- Seandainya sifat tersebut berupa imbuhan, maka berarti ia (sifat) adalah sesuatu yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin), karena telah ditetapkan secara rasional bahwa sesuatu ‘yang pasti ada’ (Al-wajibi) tidaklah berbilang (istihalah ta’addud al-wajib), maka berarti keberadaan sifat-sifat yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin) adalah mustahil menjadi ada tanpa sebab, karena sebab bagi ke-ada-an entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’ adalah zat ‘yang pasti ada’ tersebut. Padahal berdasarkan asumsi awal, zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) semula tidak memilikinya. (Al-falsafah Al-ulya, 323-325, Nihayatul-hikmah, 346-347).
Kritik atas Asy’ariyah
Asy’ariyah beranggapan bahwa sifat-sifat
subjektif, yang konon berjumlah 7, yaitu al-hayah (hidup), Al-ilm (mengetahui,
berpengetahuan), Al-qudrah (kuasa), As-sam’u, (mendengar), Al-bashar,
(melihat), al-iradah
(berkehendak), dan Al-kalam (berbicara), adalah entitas-entitas
yang melekat pada zat Tuhan. (Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 95).
Seandainya sifat-sifat subjektif ini adalah
entitas-entitas wajib (yang tidak membutuhkan sebab pengada), maka berarti ada
8 entitas ‘yang pasti ada’ yang tidak diakibatkan oleh sebab apapun. Seadangkan
hal ini bertentangan dengan bukti-bukti keesaan ‘yang pasti ada’.
Seandainya sifat-sifat subjektif tersebut
membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat adalah sebabnya, maka
berarti zat tersebut lebih dahulu ada sebelum sifat-sifat tersebut, dan berarti
sifat-sifat itu semula kosong pada zat, serta berarti zat Tuhan kosong dari
kesempurnaan.
Seandainya sifat-sifat subjektif membutuhkan sebab
untuk menjadi ada, dan seandainya zat bukanlah sebabnya, maka berarti
sifat-sifat itu menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan suatu sebab yang ‘tidak
pasti ada’, karena yang pasti ada hanyalah zat Tuhan. Itu berarti pula bahwa
Tuhan menjadi sempurna karena sesuatu selain zatNya.
Kritik atas Mu’tazilah
Mu’tazilah beranggapan bahwa zat hanyalah
mengganti peran sifat, sehingga tuhan tidak berkuasa atau menyandang sifat
‘kuasa’., dan bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat apapun.
Seandainya zat Tuhan kosong dari sifat-sifat,
sedangkan sifat-sifat itu adalah kesempurnaan, maka berarti zat Tuhan kosong
dari kesempurnaan, padahal wujudNya dalah sempurna. (Nihayatul-Hikmah, 348-349).
Sifat-sifat non subjektif Tuhan
Para filsuf Mazhab Qom berpendapat bahwa sifat-sifat yang disandangkan pada zat Tuhan
dengan mengikutkan relasi dengan selain zat, seperti ‘mencupta’ atau
‘kepenciptaan’ dalan lainnya yang terhimpun dalam sifat Al-qimumiyah,
memang berupa ‘imbuhan’ dari luar zatNya. Alasannya ialah bahwa menetapnya
sifat-sifat tersebut pada zat Tuhan dilihat sebagai perbuatan-perbuatan yang
memang muncul atau dilakukan setelah zat ada lebih dulu, karenanya sifat-sifat
tersebut muncul kemudian dan disimpulkan dari perbuatan-perbuatanNya.
Sifat-sifat non subjektif (Ash-shifat
Al-fi’liyah) ini ada pada zat Tuhan, namun tidak bisa dilihat dari sisi
kebermulaan dan dan ke-kemudian-annya, sehingga meniscayakan terjadinya
perubahan dalam zatNya, namun dari sisi bahwa setaip segala sesuatu yang
merupakan kesempurnaan pasti ada padaNya. (Al-falsafah Al-ulya, 324, Nihayatul-Hikmah,
350, 349, Syarhul-Mandhumah, 157-158, Hasti shenasi Islami,
240-242).
Sifat ‘Berpengetahuan’ Tuhan
Salah satu sifat-sifat subjektif atau sifat-sifat
kesempurnaan (Ash-shifat Al-kamaliyah) Tuhan adalah ‘mengetahui’. Tuhan
mengetahui zatNya dan mengetahui selain zatNya. Para filsuf mazhab Qom
berpendapat bahwa setiap entitas abstrak (al-mujarrad) mempunyai
pengetahuan (Al-ilm) dengan zatnya, dan bahwa pengetahuannya adalah
adalah inti zatnya sendiri. Karena
pengetahuan tidak lain hanyalah sebuah kehadiran ‘sesuatu’ dalam diri sesuatu lain, dan karena Tuhan adalah
entitas sederhana dan tunggal sejati, terbebas dari materi dan potensi, maka
zat Tuhan mengetahui zatNya sendiri dengan zatNya.
SelainNya, baik entitas abstrak maupun konkret,
adalah akibat-akibat yang bermuara pada zatnya yang tak berhingga baik dengan
perantara ataupun tidak, adalah maujud-maujud yang hanya memiliki wujud
bergantung (wujud rabith) yang bersemayam dalam diri pada tingkatan
paling rendah, dan diketahuiNya secara hudhuri.
‘Mengetahui
diriNya’
Tuhan memiliki pengetahuan hudhuri tentang zatnya
dengan zatNya sendiri. Alasan-alasannya sebagai berikut:
- Entitas yang ‘pasti ada’ (Al-wajib) adalah entitas yang bersih dari potensi dan tidak tersusun. Karena pengetahuan tidak lain adalah sebuah kehadiran sesuatu pada sesuatu, maka pengetahuan Tuhan tentang zatNya adalah kehadiran zatNya pada zatNya sendiri. Jadi, Tuhan mengetahui tentang zatNya dengan zatNya dalam zatNya. Seandainya sesuatu ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidak mengetahui zatNya, maka berarti ia tidak sempurna, sedangkan itu adalah mustahil bagiNya.
- Seandainya sifat ‘mengetahui’ bukan bagian dari zat Tuhan, maka berarti ia semula tidak mengetahui diriNya
‘Mengetahui selain diriNya’
Sesuatu ‘yang pasti ada’ mengetahui selain dirinya, yang merupakan akibat-akibat dari
wujudNya. Alasan-alasannya sebagai berikut:
1. “Yang pasti ada’ mengetahui zatNya, dan bahwa
zatNya adalah sebab bagi wujud selainNya, dan bahwa mengetahui sebab berarti
mengetahui akibatnya dengan tingkatan yang lebih utama, dan bahwa sebab adalah
terma (batas) sempurna bagi akibat, sedangkan akibat adalah batas tidak
sempurna (kurang) bagi sebab. Karenanya, ‘Yang pasti ada’ (Tuhan) mengetahui
selainNya, karena Ia mengetahui zatNya sendiri.
2. Seandainya “Yang pasti ada’ tidak mengetahui
selain diriNya, maka berati ia tidak sempurna.
3. Pengetahuan “Yang pasti ada’ tentang selain
diriNya adalah sesuatu mungkin dengan arti yang umum atau ‘tidak lah mustahil’,
sebab seandainya pengetahuan tentang selainNya mustahil, maka wujud selainNya
adalah mustahil, demikian pula pengetahuan tentangnya juga menjadi mustahil.
Padahal sesuatu menjadi mustahil karena tidak ada sebabnya. Karena tidak ada
yang mustahil bagi ‘Yang pasti ada’ (Tuhan), maka pengetahuan tentang selainNya
ada pada zatNya. . (Al-falsafah Al-ulya, 328-329, Nihayatul-Hikmah,
350-351).
Tema pengetahuan Tuhan ini sangat
luas dan ditanggapi secara berbeda oleh sejumlah aliran filsuf dan teolog.
Karenanya, ia tidak bisa diterangkan secara detail dalam buku pengantar ini. (Al-asfar
Al-arba’ah, juz 6, hal. 180-181, 228).
Peringkat-peringkat ‘ Mengetahui’
Para
filsuf Mazhab Qom, sejak Ibnu Sina kemudian Mulla shadra hingga Thabathaba, Al-inayah,
Al-qadha’ dan Al-qadar adalah sifat-sifat yang terhimpun dalam sifat
‘mengetahui’. (Al-ilm).
Al-Inayah
Ia adalah sifat gambaran ilmu yang menjadi sebab bagi adanya objek pengetahuan (Al-ma’lum) yang tidak lain adalah perbuatan (Al-fi’l). Menurut mereka, pengetahuan rinci (Al-ilm At-tafshili) Tuhan akan segala sesuatu adalah inti zatNya, yang merupakan sebab bagi ke-ada-an segala sesuatu tersebut dengan segala kekhasannya. Jadi, Allah memiliki inayah akan ciptaan-ciptaanNya.
Al-qadha’
Ia diartikan sebagai tindakan menciptakan relasi niscaya dan meniscayakan (nisbah zharuriyah mujibah) antara subjek dan predikat (dalam sebuah premis), seperti keputusan hakim “Saya putuskan bahwa harta (sengketa) itu milik Agus”, misalnya. Setiap sesuatu bila tidak diniscayakan (dipastikan) maka tidak akan ada. Setiap entitas mustahil menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan oleh ‘yang pasti ada dengan sendirinya’., dan rangkaian sebab akan kembali kepada sebab yang pasti ada dengan sendirinya. Karena Ia adalah sebab pemasti ke-ada-an setiap akibat.
Entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’ dengan sistem penataannya yang sangat
sempurna, dalam tingkatan wujud Tuhan, adalah perbuatanNya, sehingga setiap
perbuatan yang meniscayakan adalah qadha’ dan keputusanNya.
Dua
Macam Qadha’
Para filsuf mazhab Qom membagi qadha’ menjadi dua;
- Qadha’ yang merupakan sifat subjektif (Qadha’ dzati) di luar subjek ‘pengetahu’ (Al-alim).
- Qadha’ yang merupakan sifat non subjektif (Qadha’ fi’li) yang berada dalam diri subjek.
Al-Qadar
Ia adalah batas atau jumlah
atau yang ada pada sifat atau pengaruh-pengaruh sesuatu. Sedangkan At-taqdir
adalah penentuan konseptual yang berlaku atas sifat-sifat dan pengaruh
sesuatu yang disusul dengan perbuatan berdasarkan sebab-sebab dan sarana-sarana
yang tersedia, seperti penjahit yang menentukan (melakukan taqdir, pengukuran)
kain yang akan dijahitnya dalam ukuran baju kemudian ia melakukannya.
Secara singkat, Mazhab Qom menerangkan bahwa taqdir adalah
pengukuran ilmiah yang disusul dengan tindakan baik berkenaan dengan esensi
maupun zat, baik sifat-sifat maupun efek-efeknya. (Nihayatul-Hikmah, 358).
Sifat ‘Berkuasa’ Tuhan
Al-qudrah adalah sifat bagi sesuatu yang bertindak
bila menghendakinya, dan tidak bertindak bila tidak menghendakinya.
Komentar
Posting Komentar