Filsafat Islam Mazhab QOM



FILSAFAT MAZHAB QOM

Oleh :
Junait, S.Pd., M.Si.

Banyak kalangan, terutama para tokoh yang diresmikan sebagai intelektual di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat, memandang Hawzah Ilmiyeh Qom dengan sebelah mata. Hal itu, boleh jadi, karena mereka tidak mampu menangkap dinamika intelektual yang terus berlangsung disana, atau karena mereka tidak menyelami ruhnya.

Qom adalah sebuah kota yang tak pernah mati, tapi bukan karena lampu-lampu kota dan mobil. Qom bagai benua lain atau planet lain, dengan pola kehidupan sosial yang unik, bahkan terkesan stagnan, bagi orang luar. Sebagian besar pedang kaki lima yang menggelar dagangan di trotoar di sana tidak menjual vcd bajakan atau makanan, tapi buku dan alat-alat tulis. Jumlah penerbit dan toko buku atau persewaan kaset dan cd pelajaran mirip dengan wartel atau tempat persewaan vcd di kota-kota di Indonesia. Sekolah dan pusat-pusat kajian serta perpustakaan di kota itu tak ubahnya mal-mal di Jakarta dan Surabaya.  Jalan-jalan kota itu ramai dan padat oleh pejalan kaki yang sebagian bersorban bukan karena menghindari perkelahian antar pelajar atau atau kerusushan, tapi saling mengejar waktu kuliah-kuliah yang diisi oleh guru besar-guru besar dalam bidang filsafat, teologi, teosofi, hermenetika agama, ushul fiqh dan sebagainya. Transaksi dan interaksi sosial di sana hanya bersifat intelektual dan spiritual. ‘Qom is Planet of The Wisdom’. Di situlah Filsafat Mazhab Qom berdiri megah dan mewah.

Filsafat Mazhab Qom atau filsasat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah adalah sebuah sistem pemikiran falsafi yang dibangun oleh Shadruddin Asy-syirazi,  dilanjutkan oleh Sabzawari, Mirdamad dan disempurnakan oleh Muhammad Husein Thabathabai.

 ‘Kebijaksanaan yang melambung’ atau Al-hikmah Al-muta’aliyah bukanlah akumulasi dari pendapat-pendapat dan filsafat-filsafat kuno. Ia adalah sebuah sistem pemikiran filsafat yang berdiri di atas konsepsi Islam Syiah yang paling rapi (radu=komplit). Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah telah melakukan sebuah revolusi pemikiran filsafat yang hingga kini masih terasa gaungnya. Ia telah mengakhiri masa kejayaan filsafat Al-Falsafah Al-Masysya’iyah yang merupakan adaptasi dari neo-Platonisme Yunani. Mulla Sahdra telah mempersembahkan sebuah konsep filsafat yang diambil dari sumber-sumber orisinil Islam, terutama Islam Syiah.

Teosofi trasendental telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tak bisa dibantah. Ia mendobrak dunia filsafat metafisika dengan konsep orisinalitas wujud (Ashalatul-Wujud) dan menggugurkan klaim orisinialitas esensi (Ashalatul-mahiyyah)-nya Shuhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim pluraitas wujud-nya Ibnu Sina dan para pendukung Filsafat Paripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual (Al-wahdah fi ain Al-katsrah) dan gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (Al-wujud Al-mustaqil) dan ‘Wujud bergantung” (Al-wujud Ar-rabith). Shadrul-Muta’allihin (Penghulu para teis) ini juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah Al-jawhariyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek akal dan objek akal (Ittihad Aqil wa Ma’qul). Mullla Shadra juga memberikan kritik-kritik tajam atas para teolog, tak terkecuali para teolog Syiah, seperti Khajeh Nasruddin Ath-Thusi, Al-Fadhil Miqdad, dan lainnya.  (Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 61)

Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah dikembangkan oleh Mulla Hadi Sabzawari. Meski tidak memberikan gagasan-gagasan baru, ia dinilai berhasil memberikan penjelasan, komentar bahkan kritik tentang gagasan-gagasan baru Mulla Shadra dengan karyanya yang sangat monumental Syarhul-Mandhumah. Ia adalah filsuf yang mengalami masa transisi intelektual besar-besaran dari trend filsafat Ibnu Sina ke trend filsafat Mulla Shadra. 

Filsafat mazhab Qom mencapai kesempurnaannya di tangan Allamah M. Husein Thabathabai. Ulama ini rela mengorbankan karier fiqh sehingga tidak menjadi marja’ atau menyandang gelar Ayatullah Al-uzhma sebagaimana rekan-rekan semasanya, demi menekuni bidang filsafat yang pada mulanya kurang populer dan terkesan ‘aneh’ di kalangan hawzah Najaf dan Qom. Ia berhasil mendirikan sebuah akademi tradisional yang mengajarkan filsafat Al-Hikmah Al-Muta’aliyah di saat akademi tradisional (Al-Bahts Al-Kharij) lainnya mengajarkan teknik-teknik penyimpulan hukum (Ijtihad). Thabathabai mencetak puluhan filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika intelektual Hawzah Qom bahkan menjadi pionir-pionir Revolusi Islam Iran, seperti Muthahhari, Behesyti, Javadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, M. T. Mishbah Yazdi, Mehdi Heri Yazdi, M. Taqi Ja’fari, Syed, Hossein Nasr dan sebagainya.
Berkat kegigihan dan ketulusannya, filsafat di Hawzah Qom dan Iran kini telah menyetarai fiqh dan Ushulul-Fiqh, sebagai mata pelajaran untuk pelajar pemula (Muqaddimat), untuk pelajar menengah (Suthuh), dan untuk pelajar lanjutan atas (Bahtsul-Kharij). Bukunya Bidayatul-Hikmah dan Nihayatul-Hikmah kini dijadikan sebagai buku pelajaran resmi Hawzah dalam filsafat sebelum Syarhul-mandhumah karya Mulla Sabzawari dan Al-asfar Al-arba’ah-nya Mulla Shadra. 
Filasat Mazhab Qom tidak bisa disamakan dengan filsafat lainnya, apalagi filsafat Barat. Filsafat Mazhab Qom hanya membahas wujud sebagai wujud. Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi, misalnya Filsafat dalam arti umum (wujud) dan Filsafat dalam arti khusus (Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran, bukan karena objek pembahasannya berlainan. Filsafat Mazhab Qom tidak terdiri atas epistemologi, ontologi, kosmologi dan sebagainya. Ia sejak semula membahas wujud serta membagi menjadi dua; Al-wujud Az-zihni (eksistensi subjek, mental-memorial) dan Al-wujud Al-khariji (eksistensi real, objektif),  lalu membagi wujud objektif menjadi dua; Al-wujud Al-haqiqi (eksistensi faktual) dan Al-wujud Al-I’tibari (eksistensi artifisial), hingga akhirnya membagi eksistensi objektif real menjadi dua; terinderakan, yaitu benda, dan tak terinderakan, yaitu non materi.
Tiga akademi filsafat Mazhab Qom
Thabathabai telah mempelopori semaraknya diskusi dan perbincangan filsafat di Hawazah Qom, yang sebelumnya hanya didominasi oleh para ulma tekstualis dari berbagai disiplin ilmu tradisional, seperti ushul-ul fiqh dan fiqh. Ia telah ‘menternakkan’ puluhan bahkan ratusan ulama dalam filsafat. Kini Hawzah Qom diramaikan oleh,  paling tidak, enam  akademi atau corak pemikiran khas, produk Thabathabai, yang masing-masing memiliki pengaruh dan domainnya.
Akademi pertama adalah Rasionalisme, yang hanya mengandalkan akal deduktif dalam telaah-telaahnya. Tokoh aliran ini adalah Ayatullah Muammad Taqi Misbah Yazdi. Ia adalah salah satu murid Thabathabai yang sangat produktif dan menguasai wacana-wwacana kontemporer. Banyak kalangan yang menganganggapnya sebagai “Muthahhari part 2”. Karya-karya dalam bidang filsafat banyak berisikan pandangan-pandangan kritikal atas gurunya Thabathabai. Filsuf yang kurang mendukung pendekatan teosofik ini sering dianggap sebagai ideolog Republik Islam saat ini. Ia mendirikan sebuah lembaga studi keislaman yang cukup besar yang menjadi ladang pembiakan sarjana-sarjana ulama intelektual dengan spesialisasi yang mempuni, seperti Gholam Reza fayyazi, A. Khosro Panah, Ahmad Vaezi, Muhsen Gharavian dan lainnya.
Akademi kedua, adalah Tekstualisme-Rasionalisme. Aliran ini menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pembenarannya. Syeikh Mufid, Sayyid Murtazha Alamul-huda, Khajeh Nasiruddin Thusi dan Allamah Hilli adalah tokoh-tokoh yang menjadi tonggak-tonggak teologi atau tekstualisme rasionalisme Islam Syiah. (Falsafeh, 40). Tokohnya yang paling menonjol sekarang adalah ayatullah Nasher Makarem Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Akademi ketiga adalah Tekstualisme-Rasionalisme-Teosofisme (Al-mazhab Al-Isyraqi), yang menggabungkan rasio, teks agama dan irfan. Ayatullah Javadi Amuli adalah pemukanya saat ini.
Akademi keempat adalah Teosofisme (Al-mazhab al-irfani). Aliran ini cenderung mengutamakan irfan atau emosi dalam memahami realitas. Banyak ulama yang bisa dimasukkan dalam akademi ini, namun yang paling mengemuka saat ini adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
Akademi kelima adalah rasionalisme-tektualisme (al-mazhab al-Kalami). Yaitu aliran yang menjadikan rasio sebagai landasan lalu mengkaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya, bukan sebaliknya. Ayatullah Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari mungkin tokoh yang bisa dimasukkan ke dalamnya.
Akademi keenam adalah Teosofisme-transendal (Al-hikmah Al-Muta’aliyah, Mazhab Qom, Ash-shdra’iyah), yang didirikan oleh Mulla Shadra dan dianut oleh hampir seluruh filsuf di kota suci Qom dewasa ini. Aliran ini menggunakan rasio, emosi (dengan penyucian jiwa), ilmuniasi, dan rasio.
Sebenarnya kata ‘Al-hikmah Al-muta’aliyah’ telah digunakan oleh sejumlah filsuf sebelum Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dalam Al-Isyarat-nya.   (falsafeh, M. Ali Gerami, 42-43).
Akademi keenam Rasionalisme-modernisme. Aliran ini diisi oleh sejumlah filsuf Islam modern yang pernah menjadi murid Thabathbai, seperti sayyid Husen Nasr dan Ayatullah Haeri Yazdi. 
Mazhab Qom dan Sasaran Filsafat
Mulla Shadra membagi filsafat Al-hikmah Al-muta’aliyahnya dalam empat rute perjalanan atau ngembaraan (Al-asfar Al-arba’ah). Yaitu sebagai berikut:
  1. Perjalanan dari Al-khal dari Al-khalq (makhluk) ke Al-Haq (Tuhan atau Kebenaran). Dalam tahap ini pelaku perjalanan mempelajari hukum-hukum dalam filsafat (metafisika). Ia juga disebut dengan perjalanan dalam natur.
  2. Perjalanan dengan Alh-haq dalam Al-haq. Dalam tahap ini pelaku perjalanan membahas tema-tema Tauhid dan sifat-sifat Al-haq. Ia juga disebut dengan perjalanan dalam kesempurnaan Al-haq.
  3. Perjalanan dari Al-haq menuju Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap ini, pelaku perjalanan membahas perbuatan-perbuatan Tuhan. Ia juga disebut dengan ‘Penampakan ilahi (Tuhan) dalam segala sesuatu yang dipandangnya.
  4. Perjalanan dalam Al-khalq dengan Al-haq. Dalam tahap pelaku perjalanan membahas jiwa dan Hari kebangkitan. (Falsafeh, 44-45).
Sasaran filsafat, menurut Mazhab Qom, hanyalah wujud karena ia merupakan realitas yang ada pada segala sesuatu. Sedangkan sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mahiyyah, merupakan ciri pembeda antar segala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan unik. Kata Ibnu Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang objek yang paling mulia.” (Al-mu’jam Al-falsafi, juz 2, hal. 160-164, Syarhul-Musthalahat Al-falsafiyah, hal. 270-271, Al-falsafah Al-ulya, 32).
Definisi dan Macam-macam Fislafat
Filsafat telah didefinisikan sebagai ‘pengetahuan tentang realitas segala sesuatu’.  Namun  definisi ini masih diperdebatkan hingga kini. Filsafat, menurut Mazhab Qom, tidak terbagi. Ia adalah sebuah fenomena rasional intelektual tunggal yang mengantarkan pada realitas universal, yang merupakan titik temu setiap realitas. Karena itulah, teologi Islam dan teologi Kristen tidak dapat dianggap sebagai bagian dari filsafat, karena ia didasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibakukan. Teologi atau ilmul-kalam hanyalah sebuah ilmu yang disusun untuk merasionalisasi dan menjustifikasi keyakinan-keyakinan yang dipostulatkan, yaitu agama tertentu.






WUJUD



Mengapa mesti membahas ‘ke-ada-an’?
Ke-ada-an adalah sesuatu yang pertama kali diketahui oleh setiap manusia, secara sadar atau tidak. Bila kita tidak memahami ada secara benar, maka kita akan kesulitan memahami segala sesuatu dan fenomena apapun di dunia. Jika kita telusuri realitas atau hakikat setiap fenomena dan peristiwa, maka kita harus lebih dulu mengenali landasan ke-ada-annya. Jika seseorang ingin menjadi meyakini atau menolak keberadaan Tuhan, maka ia harus lebih dulu memahami ada dan tiada. Seserang tidak bisa menjadi beragama, bila belum memahami ada dan tiada. Karena itulah, kita perlu mempelajarinya, meski sulit dan mungkin tema-temanya terkesan agak membosankan.

Kita sering mencampura-dukkan ‘tidak ada’ dengan ‘tidak tampak’. Kita juga seing menaganggap ‘pindah tempat’ sebagai ‘hilang’ atau lenyap. Sebagian besar manusia membatasi ‘keberadaan’ pada benda. Hal itu karena kita belum memahami apa itu ada dan tiada. Karenanya, marilah kita menjelajahi “peta keberadaan” (ke-ada-an), yang disebut “ontologi”  dalam filsafat.

Ketiadaan atau kenir-ada-an
Ketiadaan adalah ketidak-sesuatan. Ia adalah kekosongan semata. Ia tidak mempunyai realitas.(Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 340-341). Karenanya, ia tidak berbeda, karena yang berbeda dengan ketiadaan bukanlah ketiadaan. Ia juga tidak dapat dikabarkan, karena yang bisa dikabarkan hanyalah yang ada. (Nihayatul-Hikmah, 28, Al-Asfar Al-arba’ah, 348, Syarh Al-Mandhumah, 47).

Kendati demikian para filsuf membagi ketiadaan menjadi dua;
  1. Ketiadaan sejati, yaitu ketiadaan yang mutlak.
  2. Ketiadaan relatif, yaitu ketiadaan yang dikaitkan dengan sisi-sisi tertentu seperti ketiadaan azali (eternal) dan ketiadaan temporal (aksidental) dengan relasi batas, demikian juga ketiadaan potensial dan ketiadaan aktual dan sebagainya. (Nihayatul-Hikmah, 28,  Al-Mabahits Al-Masyriqiyah, 1, 100, Ara’ Ahlil-Madinah Al-Fadhilah, 11, Al-Mausu’ah Al-Falsafaiyah, 204-205, Ilahiyat Asy-Syifa’ 125, Rasa’il Ikhwanush-Shafa, 3, 385, Tafsir ma Ba’da Ath-Thabi’ah, 1311, Kamus Filsafat, 1106).

Selanjutnya istilah “ketiadaan” yang akan dibagi dalam beberapa versi pembagian di bawah adalah identik dengan ketiadaan relatif, karena ketiadaan mutlak tidak bisa dikabarkan apalagi dibagi.

Dua macam ketiadaan relatif
Ketiadaan relatif terbagi dua;
1.    Ketiadaan pasti (Al-Adam Al-Azali). Yaitu ketidak-ada-an dengan relasi ketiadaan sebab dan kepastian.  Secara simbolik ia disebut dengan “kemustahilan” (Al-imtina’, Al-istihalah, impossibilitas).
2.    Ketiadaan tidak pasti (Al-Adam Al-Imkani). Yaitu ketiadaan dengan relasi keberadaan sebab dan ketidakpastian. Ia secara simbolik disebut dengan “kemungkinan” (Al-imkan, possibilitas, probabiltas).

Sifat-sifat ketiadaan dan ‘tiada’
Sebagian flksuf Mazhab Qom tidak memasukkan ‘ketiadan’ dan ‘tiada’ dalam pembahasan filsafat, karena, menurut mereka, tema pembahasan filsafat adalah ke-ada-an dan ‘ada’. Namun sebagian lain masih membahasnya karena dianggap sebagai pasangan ‘ke-ada-an’ dan ‘ada.

Berikut ini ciri-ciri dan sifat ‘tiada’:
  1. Sebuah ‘tiada’ tidak berbeda dengan ‘tiada’ lainnya. Jika kita katakan, Plato tidak ada, maka berarti sama dengan ucapan kita “Samsul tidak ada”.
  2. Sebuah ‘tiada’ tidak memberikan dan tidak mendapatkan pengaruh objektif. Dengan kata lain, ‘tiada’ tidak mengalami aksi dan reaksi.
  3. ‘Tiada’ tidak dapat diulangi, karena pengulangan hanya akan bisa dilakukan terhadap sesuatu yang ada.(Elm e Kulli, 95-98).

Wujud atau Ke-ada-an
Ke-adaan atau eksistensi (Al-Wujud), meski tidak bisa didefinisikan secara tepat, telah didefinisikan dengan bermacam cara. Ke-ada-an mungkin bisa didefinisikan secara sederhana sebagai “adanya sesuatu”.

Pengeritan “wujud” sangatlah gamblang (ekstemporal) sehingga tidak bisa diperantarai dengan penjelasan apapun, baik dengan forma maupun dengan terma, sebagaimana lazimnya dalam setiap pendefinisian. “Sesuatu yang ada sebagai sesuatu yang ada adalah sesuatu yang ada” atau “ia adalah sesuatu yang dapat dikabarkan.” (Bidayatul-Hikmah, 10, Al-falsafah Al-Ulya, 78,).

“Wujud” adalah pengertian yang memiliki arti sama dalam setiap proposisinya. Mulla Shadra mengatakan bahwa fakta tentang adanya kesamaan arti antar berbagai macam esensi (Al-mahiyah, keapaan) adalah sesuatu yang nyaris apriori prima, sebagaimana dikutip Thabatabai. (Nihayatul-hikmah,13, Hikmatul- Isyraq, 182, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 35). Hal ini didukung oleh sejumlah filsuf. (Al-Mabahtis Al-masyriqiyah, juz 1, hal. 18-22, Syarhul-Maqashid, juz 1, hal. 61-62, Syarhul-Mawaqif, hal 90-92, Qawa’idul-Maram, 39, Kasyful-Murad, 24).

Jadi, adakalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk sebuah pengertian tentang “wujud”. Ia diperlakukan sama dengan pengertian-pengertian lainnya, yaitu sebagai sesuatu yang konstruktif, artifisial atau I’tibari.

Dua macam pengertian “Wujud”
“Wujud” sebagai sebuah pengertian, bukan realitas, terbagi dua;
1.    “Wujud” sebagai pengertian umum. Yaitu arti umum dan aprior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada setiap quiditas atau esensi (mahiyyah), misalnya “manusia itu ada”, “bulan itu ada”, “putih itu ada”.
2.    “Wujud” sebagai pengertian khusus atau terikat. Yaitu predikat yang dilekatkan atas sesuatu, misalnya “benda itu putih”, yang berarti “benda yang ada itu berwarna putih”.

Jadi, pengertian “wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek dalam realitas, sedangkan pengertian “wujud yang terikat” adalah wujud predikat dalam setiap premis.  (Al-falsafah Al-Ulya, 80).

Hakikat “Wujud”
Ada kalanya kata “wujud” digunakan hanya untuk menunjuk kepada realitasnya, bukan pengertiannya. Realitas wujud sangatlah misterius dan tidak dapat dikenali, karena sejumlah alasan kuat, antara lain, seandainya realitas objektif “wujud” dapat diketahui, maka berarti realitas segala sesuatu yang kita ketahui harus hadir dalam diri atau jiwa kita secara real bukan konseptual, sehingga bila kita mengetahui benda tertentu, mobil misalnya, maka benda yang beroda empat itu harus hadir dalam bentuk mobil, bukan gambarannya, dalam diri setiap yang mengetahuinya, sedangkan itu tidak mungkin terjadi, karena pengetahuan adalah hadirnya konsep tentang sesuatu yang real dalam diri. (Al-Falsafah Al-Ulya, 78).

Istilah “hakikat” wujud berarti wujud sebagai hakikat sebelum dibagi menjadi objektif (realitas) dan subjektif (konsep, ide). “Hakikat wujud” mengacu pada arti awal tentang keberadaan secara mutlak dan umum.

Kesamaan arti “Wujud”
“Wujud” ketika diberlakukan sebagai predikat atas setiap subjek hanya mempunyai satu arti (homonim) (Al-Isytirak Al-Ma’nawi). Alasan-alasannya sebagai berikut:

Wujud dapat dibagi dalam beberapa versi pembagian, seperti pembagian wujud menjadi wujud pasti (wujud al-wajib) dan wujud mungkin (wujud al-mumkin), dan pembagian wujud mungkin kepada wujud substansi (wujud Al-jauhar) dan wujud aksiden (wujud Al-aradh), dan begitulah seterusnya.
Jika wujud tidak mempunyai kesamaan arti, namun hanya mempunyai kesamaan kata dengan keragaman arti karena keragaman subjek-subjeknya, niscaya artinya berubah karena perubahan subjek-subjeknya.
Lawan kontradiktif al-wujud (keberadaan) adalah al-adam (ketiadaan). Ketiadaan memliki satu arti (homonim). Seandainya wujud tidak homonim, niscaya keduanya tidak kontradiktif. (Bidayatul-Hikmah, 11).

Kritik atas teori ‘Kesamaan arti’ dalam wujud
Abul-Hasan Al-Asy’ari menganggap pengertian “wujud” memiliki kesamaan kata (Al-isytirak al-lafdhi), bukan kesamaan arti. Jadi, menurut mereka, ‘ada’ dalam premis ‘Tuhan ada’ dan ‘Yusuf ada’, mislanya, tidaklah sama. (Syarhul-Mawaqif, 92, Nihayatul-Hikmah 13, Syarhul-Mandhumah, 16, Syarhul-Maqashid, juz 1, hal. 61, Irsyad Ath-thalibin, 20). Sedangkan para filsuf Islam, terutama para filsuf Mazhab Qom menganggap ‘wujud’ memberikan konotasi arti yang sama.

Mazhab Qom menolak pendapat ini karena alasan-alasan sebagai berikut;
1.    Kata “apakah” dalam premis eksistensial homogen (Al-hilliyah Al-basithahi), seperti “apakah Budi ada ataukah tidak?” , “apakah sungai ada ataukah tidak”, “apakah ibu ada ataukah tidak” tidaklah berguna.
2.    Seandainya “wujud” mempunyai kesamaan kata, bukan arti, maka kata “ada” tidak akan menunjukkan arti tentang “ke-ada-an” sesuatu, namun ia akan mempunyai satu arti yang sama dengan esensi segala sesuatu. Akibatnya, kita tidak akan mendapatkan jawaban berbunyi “ada” dari premis eksistensil homogen tersebut di atas, karena jawaban tersebut “ada” tidak harmonis dengan pertanyaannya. Karenanya, premis eksistensial yang sederhana (al-hilliyah al-basithah  atau premis yang diandaikan sebagai jawaban atas ‘apakah’) ini menjadi tak berguna.
3.    Kadang kala kita meyakini ke-ada-an (eksistensi, keberadaan, maujudiyat) sesuatu maujud (entitas, maujud), namun kadang kala kita ragu tentang esensi (ke-apa-an)nya, seperti ketika kita yakin tentang adanya sebuah bayangan, namun kita tidak tahu secara pasti apakah itu; manusia ataukah binatang, dan kadang kala kita tahu secara pasti esensi (ke-apa-an) sesuatu, seperti ketika kita mengerti tentang “kebetulan’ dan “nasib” yang berarti sesuatu, namun kita tidak tahu secara pasti apakah kedua hal itu ada ataukah tidak. Eksistensi dan esensi tidak sama dan satu, namun keduanya mempunyai hukum yang berbeda.

 

Kontroversi seputar orisinalitas wujud dan  esensi

Manakah yang lebih dulu, eksistensi ataukah esensi? Kita selalu membedakan dua pengertian yang benar tentang apa-apa yang kita bicarakan: ke-ada-an (keberadaan, eksistensi, Wujud) yang ada pada sesuatu dan ke-apa-an (esensi, Mahiyyah) yang ada pada sesuatu. Misalnya, kita mengetahui bahwa manusia ada, pohon ada, dan bilangan itu ada, namun masih-masing, meski sama-sama ada, mempunyai pengertian yang berlainan.

Eksistensi (Al-Wujud, being) dalam metafisika adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “siapa itu”. Ringkasnya, keberadaan atau wujud adalah lawan dari ketiadaan (Al-Adam). Esensi (ke-apa-an, quaditas, Al-Mahiyyah) adalah ungkapan jawaban atas pertanyaan “apa itu” yang ada dalam substansi dan aksiden.

Hingga kini polemik tentang “esensikah yang lebih dulu ataukah eksistensi” masih terus bergulir di kalangan para filsuf metafisika. Ada beberapa aliran besar dalam ontologi yang berbeda pendapat tentang orisinalitas eksistensi atau esensi.

Eksistensialisme
Yang kita maksud dengan eksistensialisme disini, adalah eksistensialisme dalam ontologi bahkan ontologi Islam, Eksistensialisme modern, yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan bahwa eksistensi mendahului esensi, yang berasal dari para filsuf Yunani dan berkembang di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. (Kamus Filsafat, 185), juga bukan Eksistensialisme ateistik,  yang dipelopori oleh Jean Paul Sartre yang menjadi cikal bakal Humanisme, (Kamus Teori, 63, Matafisika 124), karena buku ini hanya akan menyoroti filsafat Mazhab Qom.

Eksistensialisme (Mazhab Ashalatul-Wujud)
Para filsuf paripatetik dan Mazhab Qom , seperti Ibnu Sina, Mulla Shadra, Sabzawari dan Thabathaba’i menegaskan “ashalatul-wujud” (keasalan wujud) dan ketidak-asalan esensi (al-mahiyyah). Salah satu alasannya, ialah apabila wujud bukanlah asal, maka adakah yang mengeluarkan esensi dari kenetralan, selain wujud. Mereka menegaskan bahwa yang mempunyai realitas objektif (waqi’iyah kharijiyah) adalah esksistensi, sedangkan esensi adalah sesuatu yang subjektif, konstruktif dan artifisial (I’tibari).

Kaum paripatetik, seperti Bamhanyar dan Mazhab Qom, seperti Mulla Sahdra, memastikan bahwa penolakan terhadap orisinalitas wujud meniscayakan sikap agnosistik. (at-tahshil, 286, Al-asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 1, Nihayatul-Hikmah, 16, Ma Ba’da Ar-rusydiyah, 149), sebagaimana akan kita ketahui nanti.

Esensialisme (Mazhab Ashalatul-Mahiyyah)
Esensialisme iluminatif. Yaitu aliran dalam ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului eksistensi, dan bahwa sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah satu alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas objektif, dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud wujudnya itu pasti mempunyai wujud, dan begitulah seterusnya.

Suhruwardi dan para pengikut iluminasionisme menganggap esensi atau quaditas sebagai sesuatu yang real, sedangkan eksistensi sebagai sesuatu yang bersifat memorial (dzihni) dan konstruktif.

Mulla Shadra dan Mazhab Qom, termasuk Thabathabai,  telah meberikan bantahan-bantahan jitu terhadap argumen-argumen kaum esensialis, sebagaimana akan kita ketahui nanti. Nihayatul-Hikmah, 14-15). (Post Averoisme, 149, Al-asfar Al-Arba’ah, juz, hal. 39-40),

Dualisme I (Mazhab Ashlatultul-wujud wal-mahiyyah)
Yaitu aliran dalam ontologi yang konon menganggap wujud dan esensi sebagai asal sekaligus. Para penganut dualisme juga tidak berada dalam satu pandangan dan aliran.

Pendapat yang dikemukakan ‘secara malu-malu’ oleh sejumlah guru besar filsafat di Hawzah Qom baru-baru ini cukup menggegerkan dan mengundang kontroversi serta polemik dalam kuliah-kuliah dan jurnal-jurnal filsafat di Iran.

Menurut mereka, seandainya wujud adalah satu-satunya yang memiliki pengaruh-pengaruh eksternal dan objektif, padahal wujud adalah realitas yang unik dan sederhana, maka apakah yang membedakan antara ayam dan Agus, misalnya. Karena itulah, mereka mengakatan bahwa esensi atau quiditas adalah pembeda antar entitas objektif. Itu berarti esensi, sebagaimana eksistensi, memberikan pengaruh fundamental bagi realitas setiap entitas. (Syarhul-Mandhumah, juz 2, hal. 171, Bidayatul-Hikmah, 13, Ushulul-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’i, jilid 3, Filsafat Islam, 58-59, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 39, Al-masya’ir, hal. 14, 37, Al-falsafah Al-Ulya, 80, dll).

Dualisme II (I’tibariyatul-wujud wal-mahiyah)
Ia adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa eksistensi dan esensi adalah dua entitas artifisial (I’tibari) dan keduanya tidak real. Aliran ini mesti dimasukkan dalam salah pandangan asumstif, karena boleh jadi ada filsuf yang meyakininya.

Namun, pendapat terakhir ini meniscayakan penolakan terhadap segala macam realitas objektif atau bernasib sama dengan agnosisme dan skpetisisme Protagoras dan Berkeley. Pendapat ini ditolak oleh Paripatetik,  Mulla Sahdra dan para filsuf Mazhab Qom. (Post Averoisme, Ma Ba’da Ar-Rusydiyah, 143, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, 66, Sharhul-Mandhumah, komentar Muthahhari, juz 1, 49).

Untuk memahami secara benar isu orisinalitas eksistensi atau orisinalitas esensi ini, kita perlu mempelajari alasan kaum esensialis dan kaum eksistensialis (dalam ontologi) ini.

Alasan-alasan Orisinalitas Esensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas (ashalah) eksistensi (wujud) mengajukan sejumlah argumen. Antara lain sebagai berikut:
  1. Seandainya eksistensi (Al-wujud) adalah entitas (Al-Maujud), yakni sesuatu yang “berada”, maka berarti setiap wujud mempunyai sebuah wujud, dan wujud tersebut, karena sesuatu yang berada, pasti memiliki wujud, dan begitulah seterusnya. Karenanya, esensi-lah yang menjadi sesuatu yang “berada” dan real, demi menghindari paradoks suksesi karena eksistensi tidak mungkin menyandang eksistensi, maka pastilah penyandang eksistensi adalah esensi atau mahiyyah, sebab dalam gramatika arab, Al-mawjud berarti sesuatu yang diadakan, maka pasti ia (al-mawjud) berarti sesuatu yang bukan wujud namun menyandang wujud sehingga disebut “yang diadakan”.
  2. Seandainya wujud adalah “sesuatu yang menjadi ada” dengan sendirinya, tanpa selainnya, yaitu esensi, maka berarti setiap yang mempunyai wujud, termasuk entitas yang mungkin,  adalah pasti ada dengan sendirinya. Karena itulah, wujud hanya bisa menjadi “sesuatu yang berada” apabila direalisasikan oleh esensi.
  3. Seandainya wujud menjadi “yang berada” secara real dengan sendirinya, sedangkan esensi menjadi “yang berada” dengan selain esensi, maka berarti pengertian “wujud” adalah pengertiian yang bermuatan kesamaan kata, bukan kesamaan art, sebab, ternyata wujud bagi wujud berbeda dengan wujud bagi esensi.
  4. Esensi adalah ciri pembeda antar semua yang berada atau entitas. Sedangkan wujud atau eksistensi adalah titik temu bagi setiap yang berada. Tanpa esensi, kita tidak akan pernah dapat membedakan setiap entitas atau maujud. (Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 1, hal. 39-44, 54-63, Nihayatul-Hikmah, Ahkamul-wujud, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 34. Nihayatul-Hikmah, komentar MT. Mishbah Yazdi, hal. 35, bab Ahkamul-Wujud).

Alasan-alasan Orisinalitas Eksistensi
Para filsuf yang meyakini orisinalitas eksistensi mengajukan sejumlah alasan kuat. Yaitu sebagai berikut:
1.    Esensi atau quaiditas pada dasarnya tidak menolak untuk  diberi predikat “ada” juga tidak dapat menolak negasinya, “tiada”. Seandainya quiditas adalah eksistensi itu sendiri, maka tidak dapat “ditiadakan” atau dinegasikan, karena menegasi inti atau zat adalah mustahil. Karena itulah benar bila kita katakan “manusia ada” dan “manusia tidak ada”. Lagi pula, quiditas memiliki ciri-ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh eksistensi. Karena itulah, pengertian “mahiyyah” atau quiditas berbeda dengan pengertian “wujud”, dan bahwa pengertian “wujud” merefleksikan realitas objektif, sedangkan quditas hanyalah pengertian yang tidak memiliki realitas objektif, karena ia hanyalah sesuatu yang artifisial atau konstruktif (I’tibari). Sabzawari mengatakan bahwa “wujud” adalah predikat yang, secara konseptual,  melekat pada quiditas.
2.    Wujud adalah benang merah antar segala sesuatu. Sedangkan quiditas atau esensi adalah ciri pembeda antar segala sesuatu. Sesuatu yang sama (yaitu wujud) jelas berbeda dengan yang khusus (yaitu quiditas).
3.    Sesuatu disebut ashil (memiliki realitas objektif) apabila ia mempunyai eksistensi. Quiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang “wujud”. Itu berarti bahwa yang real dan objeltif hanyalah eksistensi. (Nihayatul-Hikmah, 15-17).
4.    Karena wujud adalah sumber dan prinsip kebaikan dan kesempurnaan, maka tak pelak wujud-lah yang orisinil. Bagaimana sesuatu yang ‘buatan’ (I’tibariyat) menjadi prinsip dan sumber pengaruh real, kebaikan dan ksempurnaan. Alasan ini, menurut Mehdi Haeri Yazdi, sepintas terkesan lemah karena terkesan ‘mushadarah al al-mathlub”, sebab para pendukung orisinalitas esensi akan membantah dan mengatakan bahwa wujud bukanlah sumber kebaikan dan ksempurnaan, bahkan setiap kesempurnaan primer (kamal awwali) dan kesempurnaan sekunder (kamal tsanawi) berasal dari esensi (mahiyah), sedangkan yang memilki hakikat adalah esensi atau quiditas, bukan wujud. Namun ia buru-buru memberikan justifikasi dengan mengatakan, bahwa alasan ini bisa didiskipsikan sebagai berikut: Prinsip kesempurnaan dan kebaikan itu, dalam kenyataan, ada, tiada, ataukah bukan ada dan bukan pula tiada, ataukah ada sekaligus tiada? Tentu tidak mungkin bisa dikatakan bahwa prinsip kesempuraan adalah sesuatu yang ada dan tiada sekaligus, karena ia meniscayakan pertemuan dua hal kontradiksi. Karena itulah yang ada hanya dua pilihan; prinsip kebaikan adalah wujud (ke-ada-an) ataukah adam (ketiadaan)? Karena ketiadaan tidak akan bisa menjadi prinsip kesempurnaan, maka hanya wujud-lah yang menjadi prinsip kesempurnaan. Itu berarti prinsip orisinalitas adalah wujud, bukan selain wujud. (Ilme Kulli, Mehdi Haeri Yazdi, 23).
5.    Perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah bahwa maujud objektif memberikan pengaruh-pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan (Al-atsar al-kharijiyah al-mutarattibah). ‘Matahari subjektif’ tidak memberikan pengaruh pencahayaan, namun ‘matahari objektif’ dan ‘bulan objektif’ memberikan pengaruh tersebut. Seandainya esensi (quiditas) orisinai, maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif (Al-atsar al-kharijiyah) serta pengaruh-pengerauh subjektif (Al-atsar Al-zihniyah). Karena berdasarkan asumsi terbalik ini, esensi yang berada dalam subjek dan objek mesti selalu memberikan pengaruhnya baik dalam dunia domain objek maupun dalam domain subjek. Namun kenyataan empirik membuktikan sebaliknya.(Elm e Kulli, 24).
6.    Berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral antara ada dan tiada, menjadi ada. Sedangkan esensi (mahiyah) pada dirinya adalah sesuatu yang netral, tiada ada dan tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada, dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. (Elm e Kulli, 24).
7.    Andaikan wujud tidak orisinil (bukan sumber pengaruh objektif, mansya’ al-atsar), maka kesatuan (al-wahdahi, unitas) dan kebersatuan (al-ittihad) tidak akan pernah bisa terjadi. Akibatnya, tidak akan terjadi predikasi atau kategorisasi (al-haml) antara subjek (al-maudhu’) dan predikat (Al-mahmul) dalam setiap proposisi.
8.    Setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan. Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan (Al-sair Al-takamuli) (Elm e Kulli, 26,27, Falsafeh, M. Ali Gerami, 82-83).

Bisa dikatakan bahwa sekarang hanya pendapat orisinalitas wujud yang diterima, meski ada kecenderungan yang mengarah pada upaya penafsiran ulang tentang orisinalitas eksistensi sekaligus esensi, seperti pernah dilontarkan oleh filsuf muslim muda di Iran, Gholam Reza Fayyazi dan Sayed Kamal Haidari. Namun, kedua pemikir muda tersebut terkesan ‘malu-malu’ menggagas penafsiran ulang terhadap dualisme ontologis tersebut, karena apabila terbukti benar, maka, sebagai konsekuensi logisnya, bangunan filsafat metafisika yang berdiri di atas prinsip orisinalitas eksistensi sejak Mulla Shadra akan mengalami guncangan atau bahkan keruntuhan.

Karena itu, pembahasan berikut ini dipaparkan berdasarkan prinsip orisinalitas eksistensi (Ashalah al-wujud).

Kontroversi seputar Pluralitas dan unitas wujud
Meski sama-sama menerima orisisnalitas eksistensi, dalam menanggapi pertanyaan apakah hakikat wujud atau eksistensi (bukan eksistensi objektif, maujud) itu tunggal, dua atau beragam, para filsuf eksistensialis  terbagi ke dalam beberapa aliran besar.   

Pluralisme dalam ontologis
Para filsuf pra Mazhab Qom, terutama kaum paripatetis, menganggap wujud sebagai realitas-realitas yang beragam. Kaum Paripatetis dan sebagian besar kaum rasionalis Timur berkeyakinan  bahwa hakikat wujud (bukan maujud) beragam, mencakup Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain, menurut mereka, Tuhan memiliki hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara total dengan hakikat wujud  setiap makhlukNya.

Monisme dalam ontologi
Sedangkan sebagian filsuf Mazhab Qom, seperti Mulla sahdra, Mirdamad dan Thabathabai menganggap wujud sebagai satu realitas.

Namun para penganut Monisme, yang meyakini unitas hakikat wujud, terpecah menjadi beberapa aliran sebagai berikut;

Para filsuf Mazhab Qum
Pendiri Mazhab Qom, Mulla Shadra, mengemukakan teori "Al-Wahdah fi Ain Al-Katsrah", yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada pendapat Mulla sahdra tentang pembagian wujud kepada mandiri (mustaqil) dan bergantung (rabith).

Kaum Sufi
Mereka  berpendapat bahwa hakikat wujud  sejati dan “realitas” (wujud objektif, entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan "Wahdatul Wujud wal Maujud". Dengan kata lain, mereka menganggap Tuhan sebagai satu satunya hakikat “ke-ada-an” sekaligus realitas objektif dari ke-ada-an atau “yang ada”. Sedangkan selain Allah hanyalah wujud-wujud simbolis fiktif

Al-Muhaqqiq Ad-Dawani
Ia berpendapat, "Wujud sejati" hanya ada pada dzat Allah. Sedangkan "Maujud sejati" mencakup makhluk-makhluk.

Sampai sekarang polemik antara pendukung pluralitas dan singularitas realitas wujud terus berkembang. Namun gagasan Mulla Shadra lebih kokoh terhadap setiap keberatan filosofis yang pernah dilontarkan di kalangan para peminat filsafat timur dan Islam terutama di Iran.

Alasan-alasan teori “Pluralitas realitas wujud’

Kaum paripatetik dan para pengnut monisme beranggapan bahwa sesungguhnya entitas-entitas objektif (al-maujudat al-ainiyah) adalah salah satu dari beberapa asumsi sebagai berikut:
  1. Entitas-entitas itu semua adalah person-person atau anggota dari satu realitas, seperti Budi, Agus, dan Salim yang merupakan person-person bagi satu spesies ‘manusia’.
  2. Entitas-entitas itu semua memiliki spesies yang yang berbeda-beda namun terhimpun dalam satu genus, seperti anjing, sapi dan muhammad yang merupakan aneka spesies yang terhimpun dalam satu genus; binatang.
  3. Bahwa entitas-entitas itu semua adalah realitas-realitas yang yang saling berbeda secara substansial.
Pilihan pertama tertolak, menurut kaum paripatetik, karena ia meniscayakan wujud sebagai universalia natural (al-kulli ath-thabi’I), seperti manusia, yang tidak menjadi konkret (musyakhash) tanpa dilekati dengan presikat-predikat yang signifikan dan mencolok. Namun, berdasarkan asumsi klaim tentang pluralitas realitas setiap entitas, maka prfedikat-predikat pembeda yang signifikan itu juga tidak akan efektif menjadi pembeda selama predikat-predikat itu maujud, dan selama setiap maujud adalah realitas atau hakikat yang berlainan.
Pilihan kedua jelas tertolak, karena ia meniscayakan ketersusunan realitas (hakikat) wujud yang terdiri atas aspek kesamaan (jihah al-isytirak) dan aspek kelainan (jihah imtiyaz). Keniscayaan ini secara terang-terangan bertentangan dengan postulat kesederhanaan atau ketidaktersusunan (basathah) hakikat wujud, sebagaimana telah kita buktikan sebelumnya.
Kaum paripatetik dari alasan-alasan di atas dan dari upaya pengguguran pilihan pertama dan kedua, ingin membuktikan dukungannya atas pilihan ketiga, yaitu bahwa setiap entitas adalah realitas yang berbeda dengan entitas-entitas lainnya. (Al-manhaj Al-jadid, M. Taqi Mishbah Yazdi, 397-398).
Alasan-alasam teori ‘Unitas realitas wujud’
Pendapat yang dinisbahkan pada Mulla Shadra dan didukung oleh para filsuf Mazhab Qom ini konon diilhami oleh keyakinan kebijakan Persia kuno, dan disempurnakannya dengan sejumlah argumen. Pendapat ini dikenal dengan teori ‘al-wahdah fi ain al-katsrah’ (kesatuan plural wujud). Maksudnya, Mulla Shadra berpendapat, bahwa realitas-realitas wujud  memiliki titik kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain, realitas-realitas wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak meniscayakan ketersusunan sehingga tidak dapat diuraikan menjadi genus dan defrentia. Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya, sebagaimana lilin dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun kualitas pencahayaannya berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu gradual dan bertingkat-tingkat. (Al-manhaj Al-jadid, 399-405).

Gradasi “Wujud”
Bertolak dari pandangannya tentang unitas wujud dalam gradasainya, Pendiri Teosofi transenedental, Shadrud-din Shirazi, berpendapat, bahwa hakikat  “wujud’ itu sederhana atau tunggal namun bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya. Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih sempurna dan lebih tinggi dari keberadaan benda-benda padat, karena ia memliki sifat  berkembang, konsumtif dan produktif.

Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari ke-ada-an tumbuh-tumbuhan, karena ia, selain memiliki sifat-sifat yang ada pada tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, seperti berperasaan, bergerak dan berkehendak.

Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan binatang sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada pada tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat gradual, ada yang kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya, meski semuanya adalah cahaya.

Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno. (Shahrul-Mandhumah, 22-23, 43-44, juz 2, hal. 105, al-Asfar Al-Arba’ah, juz, 1, hal. 432, Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid, 403-405, Nihayatul-Hikmah, 24-26).

Tingkat tertinggi dari wujud bersifat tak berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas, lemah, dan tidak mandiri.

Sedangkan para penganut filsafat paripateik beranggapan bahwa realitas wujud itu beragam atau prlural, masing-masing  berlainan secara esensial, meski bersifat sederhana. (Al-Asfar Al-Araba’ah, juz 1, hal. 36).

Trend pemikiran filsafat metafisika yang dianut sekarang adalah unitas wujud yang gradual. Pendapat kaum paripatetis tentang pluralitas wujud yang dikemukakan oleh para filsuf pra Mulla Shadra, seperti Ibnu Sina dan Al-farabi, telah ditinggalkan dan hanya menjadi tema diskusi, karena apabila realitas wujud itu beragam, maka niscaya ada titik temu atau aspek kesamaam antar masing-masing wujud, padahal itu meniscayakan lenyapnya perbedaan antara satu dan beragam.

Wujud subjektif dan wujud objektif
Filsafat Mazhab Qom membagi wujud secara umum menjadi dua:
1.    Eksistensi subjektif (Al-Wujud Adz-Dzihni). Yaitu keberadaan segala sesuatu yang bergantung pada sensasi, persepsi  dan konsepsi manusia.
2.    Eksistensi objektif (Al-Wujud Al-Khariji). Yaitu keberadaan segala sesuatu yang  bukan sebagai produk konsepsi manusia semata.



Antara entitas subjektif dan entitas objektif
Sesuatu entitas disebut mempunyai eksistensi objektif apabila keberadaannya bukanlah produk dari konsepsi dan sensasi manusia. Inilah eksistensi real dan sejati. Sudirman, yang sedang berdiri di ujung jalan sana, misalnya, ada secara objektif baik kita melihatnya maupun tidak. Eksistensi objektif Inilah yang disebut dengan realitas, kenyataan, dan Al-waqi’. Sedangkan yang memiliki keberadaan objektif disebut dengan maujud (entitas). Dengan kata lain, ada dua macam entitas atau maujud, yaitu entitas sybjektif yang berupa konsep dan entitas objektif berupa realitas.

Berdasarkan uraian diatas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Ada kalanya eksistensi atau entitas subjektif (al-wujud al-zihni) menjadi salah satu sebab bagi eksistensi dan entutas objektif, seperti seseorang yang berpikir tentang suatu perbuatan lalu melakukannya. Ada kalanya eksistensi dan entutas objektif menjadi sebab bagi eksistensi subjektif, seperti gambar ‘rumah’ yang tercetak dalam memori seseorang yang telah melihat realitas rumah itu.
2.    Entitas subjektif (al-maujud al-zihni) bersumber dari subjek sebagaimana perbuatan bersumber dari pelakunya. Hal ini berbeda dengan aksiden yang bergantung atau bersandar pada yang dilekatinya, substansi, karena entitas subjektif bukanlah bukanlah salah kategori aktivitas psikologis (kaif nafsani). Kategori ‘aktivitas psikologis’ yang merupakan salah satu dari macam-macam akisden hanya akan berada dalam subjek (substansi) yang dilekatinya. Sedangkan entutas subjektif (al-maujud al-zihni) bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam subjek (zihn), karena ‘kebersemayaman’ (hulul) dalam sesuatu hanya akan terjadi apabila terlah ada terlebih dahulu hubungan khusus antara ‘yang bersemayam’(al-ha^l) dan  ‘yang disemayami’ (al-mahall). Selama hubungan khusus tersebut tidak ada, maka ‘kebersemayaman’ tidak akan pernah terjadi. Sementara kebergantungan entitas subjektif pada subjek tidak bergantung pada hubungan tersebut.
3.    ‘Substansi’ dalam ‘entitas subjektif’ adalah substansi secara eksistensial, dan tidak berubah menjadi akisden. Hal itu karena substansi adalah sesuatu yang hanya akan ‘mengada’ sebagai subjek (penyandang) itu sendiri, bukan sebagai sesuatu yang melekat pada sebuah subjek (sandangan). Aksiden juga demikian. Ia akan tetap sebagai aksiden, disandang atau menjadi sandangan,  meski berada dalam entitas subjektif. Sedangkan ‘entitas subjektif’ –sebagai entitas subjektif- (al-maujud al-zuhni) bukanlah ‘substansi’ (al-jauhar) dan bukan pula ‘aksiden’ (al-arazh), karena pokok pembagian substansi dan aksiden adalah quiditas (esensi, al-mahiyah) dengan memperhatikan relasi wujud quiditas, yang merupakan sumber pengaruh-pengaruh (mansya’ al-atsar), yaitu wujud objektif quiditas tersebut.
4.    Subjek (mental, al-zihn) adalah domain pengertian-pengertian (al-mafahim). Sedangkan domain ekstensi-ekstensi (mashadiq, manifestasi) adalah realitas objektif (fakta). Masing-masing mengikuti hukum dan aturan-aturan yang khusus dan otonom sehingga tidak bisa dicampur-adukkan. Pengertian atau konsep ‘mustahil’, misalnya, bukanlah ‘mustahil ada’, namun ekstensi (mishdaq) ‘mustahil’ adalah ‘mustahil ada’. Anggapan bahwa entitas subjektif dan entitas objektif memiliki hukum dan konsekuensi yang sama bahkan satu adalah salah. Bahkan tidak ada pertentangan (tazhad) dan pergesekan (tazahum) antar entitas-entitas material. Mereka tidak berbentuk (al-hajm), tidak berbobot (tsiqal), tidak bermasa, tidak bertempat dan tidak menyandang sifat-sifat yang lazim disandang oleh setiap entitas objektif.
5.    Penilaian bahwa entitas subjektif tidak ada dalam subjek meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek, sedangkan penilaian bahwa entitas objektif tidak ada dalam realitas (objek) tidak meniscayakan ke-ada-annya dalam realitas. Karena itulah, pertemuan ‘dua kontradiktif’ mustahil (pasti tiada) dalam realitas objektif, sedangkan penafiannya (dua kontradikstif tersebut) dalam subjek (benak) meniscayakan ke-ada-annya dalam subjek.
6.    Entitas subjektif hanya memerlukan satu sebab, yaitu subjek (zihn) semata, yang merupakan sebab efesien (al-illah al-fa’ilah)-nya. Sedangkan entitas objektif (al-maujud al-khariji) kadang kala memerlukan sejumlah sebab.

  1. Untuk menjadi ada, entitas subjektif tidak ‘memrlukan’ atau tidak didahului dengan kapasitas (al-qabiliyah). Sedangkan entitas objektif, terlebih dahulu, mesti berupa potensi atau memiliki potensi, sebelum meng-ada. Kalau tidak, maka ke-ada-annya mustahil.
  2. Entitas objektif tidak akan pernah bisa bersemayam (hulul) dalam subjek (mental), karena inti atau hakikatnya (hakikat eksistensi objektif) adalah realitas objektif dan sumber pengaruh-pengaruh objektif. Karenanya, ia mustahil menjadi sebuah entitas objektif dan kehilangan ‘status’-nya sebagai sumber pengaruh-pengaruh objektif. Andaikan entitas objektif diasumsikan dapat (berubah) menjadi entitas subjektif, maka itu berarti ia adalah entitas objektif dan bukan entitas objektif. Inilah yang disebut dengan inqilab. Renungkanlah! (Al-falsafah Al-ulya, 94).













WUJUD SUBJEKTIF

Para filsuf muslim membagi quiditas-quditqas (Al-mahiyat) yang telah mengenakan busana wujud dalam realitas memiliki wujud lain yang tidak menyandang pengaruh-pengaruh objetif real. Wujud yang tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi real inilah yang disebut dengan wujud subjektif (Al-wujud Adz-Dzihni), yaitu pengetahuan dan konsep kita tentang quiditas segala sesuatu.

Sesuatu yang ada karena manusia mempersepsinya disebut sesuatu yang ada secara konseptual. Eksistensi konseptual tak ubahnya bayangan atau pantulan dari eksistensi real objektif. Gambar di benak kita tentang Salim, misalnya, adalah sesuatu yang ada secara konseptual setelah tidak lagi bertemu dan melihat sosok Salim yang ada secara real.

Eksistensi subjektif ini, dalam kamus filsafat ontologi, disebut Ash-shurah (konsep, ide). Kata Ide (Idea) berasal dari kata Yunani eidos yang semula berarti visi atau kontemplasi. (Kamus Filsafat, 297). Ide didefinisikan sebagai gambaran yang muncul sebagai pantulan dari entitas real dan objektif. Sedangkan realitas didefinisikan sebagai entitas objektif yang ada di luar subjek dengan pengaruh-pengaruhnya.  Pemilik eksistensinya disebut maujud (entitas) atau quiditas yang berwujud (Al-mahiyah Al-maujudah).

Ringkasnya, segala sesuatu mempunyai keberadaan objektif dan keberadaan subjektif. Bedanya, keberadaan objektif menyandang predikat-predikat material , seperti es objektif yang dingin, sedangan es yang subjektif (yang ada dalam benak) kita tidak dingin.
 
Polemik seputar entitas subjektif
Isu tentang ada dan tidak adanya realitas telah ditanggapi secara berbeda oleh para filsuf yang terpencar ke dalam berbagai aliran filsafat ontologi epistemologi, seperti idealisme, realisme dan dualisme.

Idealisme
Idealisme dapat dibagi ke dalam berbagai macam aliran, antara lain Idealisme Palto, Idealisme Fitche, Idealisme Berkeley, Idealisme Kant, Idealisme Hegel, Idealisme T. Green,  Idealisme Herbert Bradley, Idealisme Schelling, Idealisme William T Harris (1835-1909), Idealisme Borden Parken Bowne (1847-1910), Idealisme Jonathan Edwards, Idealisme Bernad Bosan-quet yang dikenal sebagai hegelian, Idealisme Josiah Royce (1855-1916), seorag hegelian, Idealisme James Edwin Creghton (1861-1924), Idealisme Henry Bergson, Idealisme Hastings rashdall, Idealisme Ward, Idealisme Gentile, Idealisme Fouilee, Idealisme Paulsen. Ini semua tidak bertalian secara langsung dengan tema pokok buku ini. Karenanya ia tidak perlu dibahas.

Namun, idealisme yang kami maksud di sini adalah aliran filsafat yang menolak eksistensi realitas. Idealisme juga disebut dan disamakan dengan mentalisme atau konseptualisme. Aliran ini beranggapan bahwa alam semesta adalah penjelmaan pikiran. Untuk bereksistensi, realitas bergantung pada pikiran. Hanya pikiran-lah yang ada. Aliran lain yang tidak terlalu berbeda dengan idealisme adalah nominalisme. Ia adalah aliran yang menyatakan bahwa universalia (konsep-konsep universal) bukanlah entitas-entitas subjektif dan objektif. Ia hanya nama-nama dibuat. Para penganutnya antara lain adalah William Ockham, Jean Buridan Thomas Hobbes dan David Hume. ((Kamus Filsafat,  487, 300, , 724).

Kritik atas idealisme
Menurut, salah satu pionir mutakhir Mazhab Qom, Ayatullah Muammad Husein Thabathabai, bila seorang idealis marah setelah ditampar, maka jawaban yang patut diberikan ialah ‘perbuatan menampar hanyalah konsep dan ide, sebagaimana anda yakini. Karenanya, anda tidak pernah marah, karena ia hanyalah sebuah ide, bukan realitas.”

Hubungan  antar sesama konsep (entitas subjektif)
Perhatikanlah hal-hal berikut; bunga, genap, putih, manis, dan delapan. Apakah semuanya berkaitan? Tentu tidak, karena hanya ada dua hubungan saja, antara dan delapan, dan antara bunga dengan putih. Dua hubungan ini terpantul dalam benak kita dalam bentuk dua premis “angka delapan (adalah) genap” dan “bunga (itu) putih”.  Karena ‘genap’ atau ‘manis’ atau ‘angka delapan’ tidak berhubungan ‘bunga’, karena ‘bunga’ atau ‘putih’ atau ‘manis’ tidak berhubungan dengan ‘angka delapan’, dan karena ‘putih’ atau ‘manis’ atau ‘genap’ tidak saling berhubungan, maka   tdak mungkin premis yang terpantul dalam benak kita adalah, misalnya, “angka delapan (itu) putih”, atau “genap itu manis”.

Lalu perhatikan lagi, apakah hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’ menyerupai hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’? Tentu tidak, hubungan antara ‘angka delapan’ dan ‘genap’ adalah hubungan yang tak dapat diputus dan dipisahkan. Sedangkan hubungan antara ‘bunga’ dan ‘putih’ dapat diputuskan dan dipisahkan, karena kita bisa mengkonsepsikan ‘bunga’ tanpa predikat ‘putih’ dan mengkonsepsikan ‘putih’ tanpa ‘bunga’ dalam kondisi dan situasi tertentu. Itu berarti bahwa ada dua bentuk hubungan; ‘hubungan yang niscaya’ (bil-zharurah), dan ‘hubungan yang tidak niscaya’ (la bil-zharurah).

Dua hubungan niscaya
‘Hubungan niscaya’ terbagi dua;
  1. Hubungan niscaya eksistensial yang biasa disebut dengan (Al-wujub).
  2. Hubungan niscaya non eksistensial yang biasa disebut  impossiblitas (Al-Imtina’). (Hasti Shenasi, 83-86).

Dua hubungan tidak niscaya
‘Hubungan tidak niscaya’ juga dapat dibagi dua;
  1. ‘hubungan tidak niscaya’ eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi ada.
  2. ‘Hubungan tidak niscaya’ non eksistensial, yaitu ketidak pastian untuk menjadi tiada.

Tiga macam entitas Subjektif (Pengertian, konsep)
Seacara klasik, konsep (entitas subjektif atau entitas objektif artifisial)   dapat dibagi menjadi dua;
  1. Pasti ada (Al-wujub). Yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu yang tidak diakibatkan oleh sebab lain atau sesuatu yang ada secara pasti dan niscaya. Inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li dzatihi Dengan kata lain, ‘kepasti-ada-an’ adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
  2. Pasti tiada (Al-Imtina’). Yaitu kenir-ada-an yang tidak diakibatkan oleh sebab selain dirinya, atau ‘sesuatu’ yang tiada secara pasti dan niscaya. Deangan kata lain, kepasti-tiada-an adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat.
  3. Tidak pasti (Al-Imkan). Yaitu ke-ada-an sesuatu yang diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan ketiadaannya tidak pasti. inilah yang disebut dengan wajibul-wujud li ghairihi. Dengan kata lain, ‘ketidak-pastian’ (Al-imkan) adalah bentuk hubungan tidak niscaya  antara subjek dan predikat.  (Hasti Shenasi, 83, Ta’liqah ala Asy-syifa’, 28, Al-Mabda’ wal- Ma’ad karya Mulla Shadra, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah, 427-428, Hakadza Nabda’, 223-224, Nihayatul-Hikmah, 55-56).

Sebagian filsuf Mazhab Qom menolak definisi tentang ‘kepastian’ (azh-zharutrah) dan ‘ketidakpastian’ (Al-imkan). Muthahhari, misalnya, mengatakan bahwa keduanya sangat gambar, sehingga tidak memerlukan penjelasan. (Ushul e Falsafeh va Realisme, sairi dar Adeleh e Itsbat e Wujud Khuda, 119).

Macam-macam ‘ketidakpastian’
Dalam filsafat, terminologi ‘kemungkinan’ atau Al-imkan atau possibilitas telah digunakan secara beragam. Untuk lebih dipahami secara jelas, berikut penjelasannya.
1.      Kemungkinan umum (Al-imkan Al-am). Ia berarti ‘negasi terhadap kemestian (zharurah) sisi yang berlawanan dengan premis’. Dengan kata lain, kemungkinan umum adalah sesuatu yang bukan mustahil. Bila kita katakan; “Manusia adalah penulis” atau “Hasan adalah orang kaya”, maka berati ‘ke-penulis-an’ dan ‘ke-kaya-an’ bagi manusia dan hasan bukanlah sesuatu yang mustahil.
2.      Kemungkinan khusus (Al-imkan Al-khash). Ia berarti negasi kemestian dua pihak atau sisi yang berlawanan dan yang berkesesuaian. Dengan kata lain, kemungkinan khusus adalah gabungan dari dua macam kemungkinan umum. Bila dikatakan, misalnya, “manusia adalah pemkir”, maka bahwa ia berpengetahuan tidaklah pasti, dan bahwa ia tidak bodoh bukanlah sesuatu yang pasti pula. Inilah yang disebut juga dengan ‘kemungkinan populer’.
3.      Kemungkinan lebih khusus (Al-imkan Al-akhas). Ia berarti negasi terhadap kemestian dalam substansi, predikat dan waktu. Dengan kata lain, jika kita membandingkan sebuah predikat (sifat) dengan zat (subjek penyandang) dan natur sebuah quditas (mahiyah), maka kita akan menyimpulkan bahwa ‘segala bentuk afirmasi atau keniscayaan antara natur dan prdikat  tersebut tidak ada sama sekali. Artinya, kemestian dalam substansi, predikat dan waktu atas quiditas itu tidak ada. Inilah yang disebut dengan ‘kemungkinan lebih khusus’.
4.      Kemungkinan Mendatang (Al-imkan Al-istiqbali). Ia berarti negasi terhadap kemestian peristiwa yang belum terjadi. Namun, sebagian besar filsuf tidak menganggap macam keempat ini sebagai kemungkinan yang logis, karena mungkin dan tidak mungkin harus didasarkan pada kaidah kausalitas dan rangkainnya, bukan pada keterjadiannya.
5.      Kemungkinan potensial (Al-imkan Al-isti’dadi). Penjelasan: Tidak diragukan lagi, bahwa setiap entitas , berdasarkan hukum transformasi dan perubahan, memiliki potensi dan kapasitas untuk mengalami perubahan substansial. Menjadi ‘manusia’ bagi janin dalam perut ibu adalah sebuah posibilitas potensial. Jadi kemungkinan kelima ini bertumpu pada dua relasi; aktus dan potesi.
6.      Kemungkinan faktual atau aktual (Al-imkan Al-wuqu’i). Ia berarti sesuatu yang tidak mustahil untuk diandaikan. Kadang kala kita menkonsepsikan sesuatu , lalu tanpa disadarkan pada sebuah bukti dan alasan, kita segera menganggapnya mustahil, karena, misalnya, bertentangan dengan prinsip non kontradiksi. Namun kadang kala kita mengkonsepsikan sesuatu, namun akal tidak secara mudah memutuskannya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi dan sebaliknya.
7.      Kemungkinan eksistensial (Al-imkan Al-faqri).   Penjelasan: setiap entitas yang ‘tidak pasti’ dapat diurai secara rasional menjadi dua; wujud (ke-ada-an) dan esensi (ke-apa-an, mahiyyah). Masing-masing memiliki ciri dan hukum tersendiri. Kemungkin zati (Al-imkan Az-zati) adalah negasi ke-ada-an dan ketiadaan dari ciri-ciri khas ke-apa-an. Namun kemungkinan dalam entitas-entitas yang ‘tidak pasti’ berarti ketergantungan secara zati pada prinsip pengada. Karena ia hanya memiliki ketergantungan semata, maka hakikatnya adalah ketergantungan. Maujud-maujud demikian pada hakikatnya tak ubahnya konsep-konsep tentang tentang harf dalam bahasa Arab atau kata bantu dalam bahasa Indonesia, yang tidak memiliki arti secara mandiri, kecuali bila berada di antara kalimat-kalimat yang memiliki arti mandiri. Kata ‘di’ tidak berati sama sekali bila dibiarkan sendiri, namun bila di diletakkan diantara kata ‘Muhammad’ dan ‘sekolah’, maka ia mempunyai arti tertentu. Ini adalah temuan dari Pendiri mazhab Qom, Shadruddin Syirazi. Menurutnya, ‘entitas ‘tidak pasti‘ tidaklah bergantung pada entitas ‘pasti ada’, namun entitas tidak pasti itu sendiri adalah kebergantungan. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 286).
8.      Kemungkinan dibanding lain (Al-imkan bil-qiyas).
(Elm e Kulli, M. Haeri Yazdi, 112-117, Nihayatul-Hikmah, 61-66).

Macam-macam Kepastian
Kepastian (Azh-zharurah, Al-wujub) adalah kemustahilan tentang keterpisahan antara dua hal. Sebagian filsuf mebagi tiiga sebagai berikut:
1.         Kepastian subjektif (Azh-zharurah Az-zatiyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) selama subjek tersebut ada, seperti kemustahilan menegasi (mencabut) ukuran dari benda yang masih ada, atau kemustahilan mengasi (mencabut) sesuatu dari diri sesuatu itu sendiri.
2.         Kepastian eternal (Azh-zharurah Al-azaliyah). Yaitu kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek selamanya, seperti kemustahilan mengasi wujud dari sebuah maujud yang azali (tak bermula), atau kemustahilan mencabut wujud dari wujud itu sendiri.
3.         Kepastian predikatif (Azh-zharurah Al-washfiyah). Ia diartikan sebagai kemustahilan terpisahnya predikat dari subjek (dalam premis) ketika subjek tersebut menyandang sifat, seperti kemustahilan tidak bergeraknya jari pada saat tangan menyandang sifat ‘menulis’. (Al-falsafah Al-ulya, 39-40).

Namun Allamah Thabathabai menambahkan kepastian temporal (Azh-zharurah Al-waqtiyah) sebagai macam keempat, seperti premis ‘setiap manusia pasti bernafas sewaktu-waktu’. Namun, beliau juga mengatakan bahwa macam keempat ini bermuara ke macam ketiga, kepastian predikatif. (Nihayatul-Hikmah, 60).















PENGETAHUAN

Epistemologi adalah bidang filsafat yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan manusia. Keyakinan atau teori apapun yang penah ada dalam benak setiap manusia bersembur dari epistemologi. Epistemologi membahas definisi pengetahuan, macam-macam pengetahuan, alat-alat pengetahuan, batas-batas pengetahuan, dan proses terbentuknya sebuah pengetahuan. Karena itulah, ia sangat perlu untuk dipelajari, terutama bagi para pencari kebenaran. )Theory of Knowledge, Chiholm, P. 5).

Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata Yunani ‘episteme’ yang berarti ‘pengetahuan’ (kwowledge) dan ‘logos’ yang berarti ‘teori’, dan dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan ‘teori pengetahuan’.

Istilah ‘epistemologi’ dalam bahasa Inggris digunakan kali pertama oleh J.F. Ferrier dalam Intstitues of Metaphysics pada tahun 1854. Sedangkan yang pertama kali menggunakannya dalam bahasa Jerman ‘Evkenntnistheorie’  adalah K. R. Reinhold. (The Dictionary of Philosophy, ed, D.D. Runes, P. 94, Ma’refat Shenashi dini va Mo’asher, 28, M. Taqi Fa’ali).

Sebenarnya para filsuf Mazhab Qom kurang setuju dengan pengedepanan epistemologi atau filsafat pengetahuan atas ontologi atau filsafat keberadaan, karena, beberapa alasan. Pertama, pengetahuan tidak akan bisa dibicarakan sebelum ke-ada-an subjek pengetahu  dipastikan. Kedua, pengetahuan adalah salah satu dari bidang ontologi, karena pengetahuan adalah entitas subjek yang merupakan pasangan bagi entitas objektif atau realitas, realitas yang terinderakan (al-waqi’ al-mahsus) dan realitas tak terinderakan (namun ternalarkan), (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 151, Elme Huzhuri, M. fana’ee Ashkevari, 19). Realitas ternalarkan (Al-waqi’ al-ma’qul) itu bermacam dua; realitas tak terinderakan yang bersifat interval (alam al-mitsal), seperti mimipi, dan realitas tak terinderakan yang bersifat abstrak secara total.

Epistemologi adalah bidang filsafat yang secara khusus membahas entitas subjektif (al-maujud al-zihni). Pengetahuan (Al-ilm) adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh, pengetahuan bukan hanya sebuah entitas subjektif, namun ia adalah sebuah entitas objektif yang tak terinderakan. Pengetahuan yang merupakan sebuah entitas objektif tak terinderakan tidak lagi disebut pengetahuan (Al-ilm) namun disebut dengan Al-aql, yang berarti entitas abstrak yang tidak menyandang sifat-sifat kebendaan. (Al-falsafah Al-ulya, 270-275, Ashlul-ushul, 8, Al-masyari’ wal-mutharahat, juz 1, hal. 45, An Introduction to Contemporary Epistemology, P. 1, The Encyclopedia of Philosophy, P. 63).

Alasan-alasan yang dikemukakan para filsuf ketimuran tersebut sangat tepat. Namun, karena ‘ke-ada-an’ tidak akan pernah diyakini sebelum subjek mengetahuinya lebih dulu, maka tema-tema pembahasan dalam buku ini mengikuti sistematika urutan modern yang dimulai dengan epistemologi. Harap dimaklumi. Jadi, epistemologi, yang disusun oleh para filsuf Barat, sebenarnya di mata para filksuf Mazhab Qom tidak lebih dari sekedar filsafat wujud subjektif.

Dalam benak kita, sejak lahir hingga kini, telah terkumpul ribuan atau bahkan jutaan  konsep tentang berbagai sesuatu yang pernah kita tangkap, seperti rumah yang kita lihat, aroma segar parfum dari Paris, rasa sedap makanan di warung langganan dan sebagainya. Namun, sebagian dari konsep-konsep itu ada yang benar dan sesuai dengan fakta, ada yang salah dan tidak faktual, dan ada pula tidak bisa dianggap benar maupun salah.

Apakah ketidaktahuan itu? Apakah pengetahuan itu? Berapa macamnya? Berapa alat pengetahuan? Bagaimana memperoleh pengetahuan yang benar atau sesuai dengan realitas objektif? Bisakah memperoleh pengetahuan yang benar? Dengan sarana apakah? Itulah sebagian dari pertanyaan-pertanyaan penting yang dijawab dalam epistemologi.

Bagian dan isu pertama yang kita bahas adalah “tindak mengetahui”, “subjek yang mengetahui”, dan “objek yang diketahui”. Tanpa pemahaman yang jelas tentang peta dan rambu-rambu pengetahuan, maka manusia (makhluk berakal budi) sulit bahkan mustahil dapat memasuki dan menjelajahi dunia pengetahuan. Karenanya, tak pelak bagian ini harus menjadi “garis start” bagi setiap pencari kebenaran dan kebijakan.

Ketidaktahuan dan kebodohan

Ketidaktahuan adalah lawan dari ‘ketahu-an’ atau pengetahuan. Karenanya, kita perlu membahasnya meski secara singkat. Disebutkan bahwa salah seorang filsuf atau pemikir Islam membagi manusia menjadi empat;
  1. ‘Manusia berpengetahuan’ yang mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
  2. ‘Manusia berpengetahuan’ yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia berpengetahuan’.
  3. Manusia tidak berpengetahuan yang mengetahui atau mengaku  bahwa dirinya adalah ‘manusia tidak berpengetahuan’.
  4. Manusia tidak berpengetahuan yang tidak mengetahui atau mengaku bahwa dirinya adalah ‘manusia yang tidak berpengetahuan.

Definisi ketidaktahuan

Ketidaktahuan atau kebodohan (Al-jahl) dapat diartikan dengan ketiadaan atau ketakhadiran konsep suatu objek  (dalam pengetahuan hushuli) dan ketidakhadiran entitas immaterial sebuah objek (dalam pengetahuan hudhuri).

Distingsi ketidaktahuan

Ketidaktahuan dapat dibagi, berdasarkan peringkat, menjadi dua;
1.    kebodohan kompleks (Al-Jahl Al-Murakkab). Yaitu ketidaktahuan yang tidak disadari oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.
2.    Kebodohan sederhana (Al-Jahl Al-Basith). Yaitu ketidaktahuan yang disadari oleh ‘subjek yang tidak mengetahui’.

Manusia yang bodoh secara kompleks (mengalami komplikasi kebodohan), tidak akan pernah berpeluang untuk menjadi ‘manusia berpengetahuan’. Karena itulah, pembahasan-pembahasan dalam buku ini hanya bisa diikuti oleh manusia tidak tahu secara sederhana dan calon  ‘manusia berpengetahuan’.

Ke-tahu-an dan Pengetahuan

Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam material, maka kita akan menemukan benda pertama terkecil di dalamnya, yang disebut dengan atom atau partikel atau energi. Yang pasti,  ada sebuah entitas material yang merupakan asal muasal dari alam yang kompleks ini. Setiap entitas material di alam ini adalah kumpulan dari atom-atom yang jumlahnya tak terkirakan.

Atom memiliki substansi dan ciri tertentu. Ada entitas material tertentu yang memiliki ciri atom dan sekaligus menyandang sifat-sifat substansial yang tidak ada dalam setiap entitas atomik atau materi. Batu dapat dipandang sebagai benda, karena ia berada dalam ruang dan waktu, dapat dipandang sebagai atom, karena benda terkecil adalah atom, dan dapat pula dipandang sebagai benda padat, karena ciri kepadatannya yang khas, demikian pula air yang merupakan benda atomik sekaligus benda yang menyandang sifat cair, demikian pula gas, api atau ion.

Selain benda padat, cair dan gas, terdapat entitas material padat, cair dan gas yang memiliki ciri-ciri khas lebih. Tumbuh-tumbuhan dengan segala macamnya, daun, kembang, tangkai, pokok, buah, biji dan sebagainya bukanlah sekedar benda padat, namun ia “berkembang” dan “tumbuh”.

Di tengah tumbuh-tumbuhan, ada sekelompok entitas yang merupakan benda bekembang sekaligus “berindera” dan “berperasaan”, yaitu hewan atau binatang. Ia bergerak dengan kehendak dan nalurinya, makan, minum, melakukan aktivitas seksual, menyusui anaknya dan sebagainya.

Di tengah hewan ada sekelompok hewan yang tidak hanya berperasaan dan berindera, namun juga berakal (mempunyai akal).Dialah manusia.

Definisi ‘Pengetahuan’

Apakah ‘tahu itu? Apakah pengetahuan itu? Apakah subjek pengetahu itu? Apakah objek yang diketahui itu? Berapakah  macam pengetahuan? Apakah alat pengetahuan itu? Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan? Bagaimana membedakan antara pengetahuan yang benar dan tidak benar? Apa hubungan antara pengetahuan yang benar dan keyakinan? Pertanyaan-pertanyaan  ini sangat perlu untuk dijawab.

Pertama-tama kita perlu memahami bahwa istilah “pengetahuan” yang kami gunakan disini bersifat umum, bukan hanya terbatas pada pengetahuan yang kini lebih sering disebut dengan “ilmu pengetahuan” dan “sains”. Pengetahuan yang kami bahas di sini adalah setiap konsep mental yang lazim disebut “knowledge” dan “al-ma’rifah”.

Jika seseorang mengklaim “tahu” atau “berpengetahuan” dan  berkata: “Saya tahu bahwa besok hujan akan turun’, maka syarat-syarat apakah yang semestinya telah dipenuhinya, sehingga kita dapat menganggapnya berhak mengaku dirinya berpengetahuan atau mengetahui?

Ada sekelompok filsuf muslim yang menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang perlu didefinisikan meski mengakuinya sulit, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Juwaini dan Al-Ghazali. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 67, Nadhariyatul-Ma’rifah, 18, Al-Mustasfa, juz 1, hal 25). Sementara sekelompok filsuf dan teolog lainnya, seperti Abubakr Al-baqilani (403 H) , Abul-hasan al-asy’ari (260-324 H) Ibnu Faorak Al-Asy’ari (406) Al-Iji, Al-Fakhr Ar-Razi, Sa’duddin At-taftazani, Ikhwan Ash-Shafa, Quthbuddin Asy-Syirazi, Abu Ali Sina ,  telah memberikan beragam definisi tentang pengetahuan. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 69-76, Ushulud-Din, 5, Syarhul-maqashid, hal. 185-197, Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa, juz 1, hal. 262, An-najah, Ibnu sina, 344, Durratut-taj Quthb Asy-Syirazi, 65, Nadhariyatul-ma’rifah, 20-33, Asy-Syifa’ Kitabun-nafs, 50, At-ta’liqat, Ibnu Sina, hal. 69, 82, Asy-Syifa’, Al-Ilahiyat, 361, AlIsyarat, juz 2, hal. 308). ).

Berdasarkan pengamatan Nasiruddin Thusi, perdebatan tajam dan panjang tentang definisi pengetahuan, bukan karena ketakjelasannya, namun semata-mata karena hakikatnya sangatlah gamblang. (Syarah Al-Isyarat wat-Tanbihat 1/313)

Oleh karena itu, ada sekelompok filsuf yang menolak untuk memberikan definisi pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa, pengetahuan adalah sesuatu yang sangat gamblang sehingga tidak perlu didefinisikan, sebagaimana pendapat Al-Razi (543-606 H). Ia mengemukakan dua alasan  untuk itu. (Syarhul-Mawaqif, juz 1, hal. 62 - 66, Nadhariyatul-Ma’rifah, 18).

Lebih dari itu, Sebagian filsuf lain beranggapan bahwa pengetahuan mustahil didefinisikan. Mereka mengingatkan bahwa pengetahuan adalah suatu hakikat yang dihayati dan disaksikan langsung 0oleh batin manusia secara inheren. Adapun yang disebut-sebut sebagai definisi pengetahuan, menurut mereka,  tidak lebih dari upaya-upaya untuk memahami dan menafsirkan penyaksian batin tersebut secara filosofis dan konseptual serta menemukan cirri-ciri khususnya, seperti definisi “Pengetahuan yaitu hadirnya yang diketahui (objek) pada jiwa pengetahu (subjek).”

Definisi pengetahuan telah mendapat banyak kritik. Salah satu kritik tajam  dilontarkan oleh Edmund Gettier yang dikutip oleh Alvin Plantigna. (Elm e Hudhuri, Eshkevari 21, Ma’refat  Shesnasyi, Ibrahimiyan 49,  Al-Asfar Al-arba’ah, 3/278, dll)

Kontroversi seputar pengetahuan

Bagaimanakah pengetahuan itu?  Para filsuf terpecah menjadi aliran besar dalam epistemologi. Yaitu sebagai berikut:

Representasionisme
Sebagian besar filsuf, termasuk kaum idealis seperti Josiah Royce (1855-1916) berpendapat bahwa mental manusia dalam konteks persepsi, tidak cukup dengan sendirinya berhubungan dengan suatu objek. Ia hanya akan bisa mengetahuinya lewat perantara, yaitu gambar yang ada pada mental dari objek tersebut. John Stuart Mill (1806-1873), W. James (1842-1910) dan Baldwin secara radikal mengatakan bahwa pengetahuan kita akan diri kita sendiripun hushuli (hushuli) dan tidak aksiomatis (Vocabulaire Technique ef Critique de la Wastiq.) Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi Gulam ridha

Presentasionisme
Pendangan ini didukung oleh Perseptionisme dan neo realisme yang dibidani oleh William Pepperell Montaque (1873-1955), sebagai reaksi atas kritik-kritik Royce atas seperjuangannya; Empirisme Nominalistik yang meyakini independensi setiap entitas, dan segala relasi yang kita cermati di antara entitas mesti dipandang sebagai entitas mandiri pula.

Menurut mereka, mental manusia dengan sendirinya bisa mengetahui langsung objek-objek pengetahuannya, tanpa perlu perantara gambar apapun. Klaim ini dibubuhi dengan kritik balik Montaque atas Royce yang dipandang oleh sebagian filsuf, seperti A.O. Lovejoy (1873-1962), G. Santayana (1863-1952), C.A. Strong (1862-1940) sebagai sikap penyepelean terhadap royce. Dengan cara ini, mereka menggalang barisan baru di dalam tubuh realisme yang dikenal dengan Critical Realism of America.(The History of Philosophy, F. Copleston 8/301,425-426, Farhang o. Stally brass-bullack 830-831)

Perbincangan di atas tidak tebatas pada sastra filsafat barat anglo saxon, tetapi dua pandangan itu dapat kita saksikan di dunia islam. Sadrul Mutaallihin yang dikenal juga dengan Mulla Shadra ( -1050 H)dengan penafsiran tipikal meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada dasarnya diperoleh secara langsung dan hudhuri, kendati pada prima facie (tinjauan awal) penegetahuan berperantara atau hushuli berikut pembagian pengetahuan di atas tadi dianggap valid, sebagaimana yang diyakini oleh filsuf-filsuf sebelumnya. (Al-Syawahid Ar-Rububiyah, Mulla Shadra).

Yang terpilih
Pendapat yang benar adalah bahwa  pengetahuan (entitas ternalarkan) bermacam dua; hushuli dan hudhuri, sebagaimana akan kita buktikan dalam satu satu bagian dari pembahasan ini.

Pengetahuan hudhuri dan rehudhuri

Secara umum, semua pengetahuan pada mulanya bermacam dua, dilihat dari proses kemunculannya dalam diri ‘manusia berpengetahuan’.
  1. Pengetahuan hudhuri (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah). Ia dalah sesuatu  yang hadir dalam diri atau diketahui secara kehadiran tanpa perantara apapun. (Nadhariyatul-Ma’rifah, 2I- 22).
  2. Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Ia adalah  gambaran tentang sesuatu yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik (fisik). Pengetahuan kedua ini akan dibahas secara lebih rinci pada bagian berikutnya.

Pembagian ini bersifat deduktif rasional, sehingga tidak akan pernah muncul lagi jenis ilmu ketiga selain ilmu hushuli dan hudhuri. Penegasan ini didasarkan pada dua alasan sebagai berikut:
  1. Jika ada perantara antara subjek pengetahu (alim) dan objek yang diketahui (ma’lum), maka ia adalah pengetahuan hushuli. Jika tidak maka ia disebut pengetahuan hudhuri. (Amuzesye falsafeh, juz1, hal. 153, Ulume Payeh, 72)
  2. Kehadiran objek yang diketahui dalam diri subjek pengetahu hanya bisa dimengerti dalam salah satu dari dua asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa yang memasuki diri subjek pengetahu adalah ‘objek yang diketahui’ dengan  quiditasnya semata. Dengan kata lain, yang ditangkap oleh subjek pengetahu adalah quiditas (ke-pa-an) objek semata. Asumsi kedua ialah bahwa yang memasuki diri ‘subjek pengetahu’ adalah ‘objek diketahui’ dengan eksistensinya (ke-ada-an)-nya. Dengan kata lain, yang hadir dalam diri alim adalah wujud objek tersebut.(Nehayatul-Hikmah, 237).

Pengetahuan yang bermuatan quiditas objek yang diketahui adalah pengetahuan hushuli. Sedangkan pengetahuan yang berisikan eksistensi objek yang diketahui adalah pengetahuan hudhuri.

Dengan demikian, karena selain quiditas (ke-apa-an) dan selain eksistensi (ke-ada-an, wujud) hanyalah ketiadaan, maka pembagian dan pembatasan pengetahuan pada hudhuri dan hushuli bersifat rasional dan deduktif, bukan induktif. (Ulume Payeh, 72).

Manusia berpotensi untuk memperoleh dua macam pengetahuan;
  1. pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah).
  2. pengetahuan hushuli, yang disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah).

Antara Pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli

Ada tiga ciri perbedaan antara ilmu hudhuri (presentatif, persentif) dan ilmu hushuli (hushuli, hushuli).

Ciri perbedaan pertama adalah ‘perantara’. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan yang hadir dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara. Sedangkan pengetahuan hushuli adalah pengetahuan yang didapat oleh subjek pengetahu dengan perantara. (Syarh Mandhumah, hikmah, 137, Ulume Payeh, 66, 67, Elm e Huzhuri, fana’I Ashkevari).

Ciri perbedaan kedua adalah ‘konsep’ atau gambaran yang merefleksikan realitas objektif di luar subjek pengetahu. (Shenakht Shenasi dar Qur’an, Javadi Amuli, 67, Sharh Manzhumah, 76, Hikmatul-Isyraq, 38, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 1, hal. 263,  Nehayatul-Hikmah, 210, Amuzesh Falasafeh, M. T. Mishbah Yazdi, 153, Nadhariyatul-Ma’rifah, Ja’far Subhani, 48). Ciri kedua ini bisa dianggap sebagai pelengkap dan penjelas ciri pertama, karena perantara pengetahuan hushuli adalah konsep yang terpantul dalam benak subjek pengetahu dari realitas objektif.

Ciri ketiga adalah alat. Pengetahuan hudhuri tidak memerlukan alat atau perangkat psikologis tertentu. Sedangkan pengetahuan hushuli  bergantung pada alat dan perangkat tertentu, sebagaimana dikatakan Mutahhari. (Ushule Falsafeh va Raveshe Realisme, juz 2, hal. 29-28).



PENGETAHUAN HUDHURI

Pengetahuan hudhuri, yang bisa disebut “pengetahuan hudhuri” (Al-Ma’rifah Al-Hudhuriyah) adalah entitas immaterial yang hadir dalam diri subjek yang immaterial pula, atau  pengetahuan tanpa perantara. (Metafisika, hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).

Dua pilar Pengetahuan hudhuri

  1. (Objek) Yang diketahui tanpa perantara.
  2. (Subjek) yang mengetahui tanpa perantara.

Dengan dua pilar diatas, pengetahuan hudhuri tidak bisa meleset. Karena kesalahan akan terjadi bilamana ada pemisah berupa konsep antara pengetahu dan objek yang diketahui (Al-Manhaj Al-Jadid 1/175-176).

Bidang-bidang Pengetahuan hudhuri

Objek-objek pengetahuan hudhuri sangatlah sedikit, namun ia merupakan cikal bakal dan sumber bagi pengetahuan-pengetahuan hushuli. Ia terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan konseptual, dan pengetahuan assentual.

Para filsuf menemukan beberapa ekstensi pengetahuan hudhuri yang berbeda tingkat kualitas dan kejelasan satu sama lainnya. Secara umum, pengetahuan hudhuri dapat dibagi menjadi dua:
1.    Pengetahuan hudhuri sederhana. Yaitu pengetahuan hudhuri pengetahu akan dirinya sendiri.
2.    Pengetahuan hudhuri kompleks. Yaitu pengetahuan manusia akan entitas dan objek selain dirinya.

Dua Pengetahuan hudhuri sederhana

Para ahli epistemologi Mereka menyebutkan dua macam pengetahuan hudhuri yang subjek dan objeknya satu, yaitu;
  1. Pengetahuan Tuhan akan dzatnya
  2. Pengetahuan subjek atau diri (manusia hudhuri) akan dirinya

Macam-macam Pengetahuan hudhuri kompleks

Para ahli epistemologi menyebutkan macam-macam pengetahuan hudhuri yang terdiri atas subjek dan objek yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
    • Pengetahuan sebab akan akibatnya.
    • Pengetahuan akibat akan sebabnya
    • Pengetahuan subjek  akan gambar-gambar konseptual
    • Pengetahuan subjek akan perbuatan-perbuatan dirinya
    • Pengetahuan subjek kondisi psikologis emosionalnya.
    • Pengetahuan subjek akan potensi-potensi dirinya.
(Ulume payeh, 82, M. Taqi Fa’ali, Nihayatul-Hikmah, Thabathabi, 299, Ilm-e-Huzuri, Fana’i esykevari 5-6, 29).

Gradasi Pengetahuan hudhuri

Perbedaan tingkat kejelasan diantara pengetahuan hudhuri bermuara pada dua hal;
1.    Intensitas. Semakin tinggi intensitas pengetahu tearhadap suatu objek, semakin jelas pengetahuan hudhurinya.
2.    Eksistensi pengetahu. Apabila kualitas dan tingkat eksistensinya tinggi, maka pengetahuan hudhurinya kian sempurna. Sebaliknya, jiwa yang lemah akan diikuti oleh kelemahan ilmu hudhurinya. Sedemikian lemahnya jiwa itu,terkadang ia memungnkiri objek pengetahuan hudhurinya sendiri. Namun ia akan pulh kembali dengan dibantu oleh meningkatnya intensitas terhadap objek tersebut .(Al-Manhaj Al-Jadid, 1/177-179, Ma’refat  e Shenasi , ibrahimiyan 83-84, dll).

Mental (dzihn) manusia, sebagaimana mampu menangkap gambar atau konsep dari objek-objek diluar (dirinya), ia juga dapat mencerap gambar atau konsep dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri dan hudhuri, lalu menganalisa dan menafsdirkannya secara konseptual dan hushuli. Oleh karena itu, pengetahuan hudhuri selalu disertai pengetahuan husuli (hushuli).

Kendati pengetahuan hudhuri tidak mungkin meleset, namun karena terjadi kerancuan dan pencampur-adukan antara pengetahuan hudhuri dan pemafsiran konseptual/hushulinya yang bisa saja keliru, sehingga seringkali penafsiran salah itu yang dianggap sebagai pengetahuan hudhurinya.

Ciri-ciri Pengetahuan hudhuri

Setelah mengikuti secara seksama pembahasan seputar pengetahuan hudhuri, kita dapat menyimpulkan lima ciri khasnya sebagai berikut:
1.    Pengetahuan hudhuri tidak berperantara. Dengan demikian jelaslah, bahwa objek yang diketahui secara hudruri adalah objek itu sendiri dengan eksistensinya yang berdimensi intelektual immaterial.(al-ma’lum al-ilmi), meski tidak memilki pengaruh, karena ia bukan objek (al-ma’lum al-aini) yang memilki pengaruh. Dengan kata lain, seseorang yang menangkap sesuatu di luar dirinya secara huduri akan merasakan kehadiran sesuatu itu sebagaimana adanya, meski tidak memiliki pengaruh objektif. (Amuzesye Falsafeh, M.T. Misbah yazdi, juz 2, pel. 49, Nadhariyeh Badahat, 76).
2.    Pengetahuan hudhuri Bebas dari konsepsi (korespondensi, tashawwur,) dan bebas dari assensi (verifikasi, tashdiq). Pengetahuan yang dibagi menjadi konseptual dan assentual hanyalah jenis pengetahuan hushuli (hushuli, hushuli). Karena, konsepsi dan assensi bergantung pada konsep atau gambaran yang muncul di layar mental subjek pengetahu, maka pengetahuan yang sejak semula tidak diperantarai oleh sesuatu apapun, termasuk konsep, tidak dapat dibagi menjadi konseptual dan assentual. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 6, hal. 257, Hasyieh Sabzawari).
3.    Pengetahuan hudhuri tidak dapat dideskripsikan dipindahkan ke orang lain. Dengan kata lain, pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan yang personal dan spesial. Hanya dengan mukasyafah dan dengan memasuki domain irfan (teosofi), seseorang akan mendapatkan keburuntungan berupa pengetahuan hudhuri.
4.    Pengetahuan hudhuri tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan, karena objek pengetahuannya hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri. Sedangkan pengetahuan bisa salah dan bisa meleset, karena objeknya bermacam dua; objek yang berhubungan dengan subjek, berupa konsep (bil- dzat) dan objek yang diperoleh melalui konsep (bil-aradh). Objek yang diperantarai konsep dapat meleset akibat distorsi dan faltor-faktor konstekstual lainnya.
5.    Kondisi teosofis, biasanya, tidak bertahan lama. Seseorang yang, berkat latihan spiritual panjang, menikmati anugerah pengetahuan hudhuri, biasanya, mengalami degradasi, fluktuasi  dan kehilangan anugerahnya apabila tidak konsisten dalam latihan tersebut. (Ulume Payeh, 80).

Sumber pengetahuan hudhuri

Sebenarnya pengetahuan hushuli dengan objek substansial dan primer, yaitu konsep, dapat dianggap sebagai salah satu macam pengetahuan hudhuri, karena konsep tersebut ‘hadir’ dalam diri subjek pengetahu tanpa perantara konsep lain. Seandainya konsep dalam pengetahuan hushuli memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan hushuli tidak akan pernah diperoleh selamanya, karena konsep kedua yang menjadi perantara akan memerlukan perantara konsep yang ketiga dan begitulah seterusnya.

Perlu diketahui pula, bahwa ontologi dan realisme sejati, sebagaimana ditegaskan oleh Thabathabai, meyakini bahwa setiap entitas memiliki dua eksistensi; eksistensi material, eksistensi immaterial, yaanmg terbagi dua; ideal (mitsali) dan  abstrak (mujarrad). Realitas batu, misalnya, saat diketahui akan menampilkan eksistensi idealnya berupa gambar gambar batu. Gambar ‘batu’ ini bukanlah sesuatu yang berbeda dengan realitas batu di luar subjek pengetahu. Batu dan segala entitas memiliki eksistensi material dengan berat, ukuran, warna, kedalaman dan atribut-atribut kebendaannya. Batu juga memiliki eksistensi ideal dengan atribut-atribut immaterial dan idealnya. ‘batu ideal’ dan ‘batu immaterial’ itulah yang hadir dalam diri subjek pengetahu. Seandainya objek yang diketahui itu adalah realitas dengan eksistensi materialnya, maka dirinya akan segera terbakar atau kepanasan saat menangkap objek api material, Namun, karena yang kita tankap adalah ‘api ideal’ atau ‘api immaterial’ misalnya, yang kita tangkap, maka diri kita, sebagai subjek tidak ikut kebakaran, sebab ‘api immaterial’ tidak memiliki pengaruh material, namun ia memiliki pengaruh immaterial.(Nihayatul-Hikmah, 294).

































PENGETAHUAN HUSHULI

Pengetahuan hushuli, yang juga disebut pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah). Adalah konsep yang diperoleh oleh seseorang sembari menyadari dirinya sebagai subjek semata. (Metafisika, hal. 11, Lorens Bagus, Religius Language, hal. 36-38, Hakadza Nabda’, hal. 67, hal. 70, Durus fi Ilmil-Manthiq, 21).


Betapapun pengetahuan hudhuri tidak meleset, namun ruangnya sangat sempit dan terbatas, sehingga ia tidak dapat dijadikan sebagai penyelesai semua problema dalam pengetahuan. Hanya dengan mengandalkan pengetahuan hudhuri, proses transformasi, komunikasi, dan persuasi tidak akan berjalan, yang pada akhirnya sebagian besar pengetahuan tidak dapat dilahirkan, selain penegetahuan tentang diri dan sejenisnya.. Karena itulah pengetahuan hushuli sangat diperlukan (Al-manhaj Al-jadid, 176).

Tiga pilar pengetahuan hushuli

Pengetahuan hushuli (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah) terbentuk di atas tiga pilar;
  1. Pengetahu (Al-Mudrik)
  2. Yang diketahui (Al-Mudrak)
  3. Gambaran (Ash-Shurah) tentang sesuatu yang diketahui secara inheren.

Objek-objek pengetahuan hushuli

Objek pengetahuan hushuli bermacam dua;
1.     Objek  substansial (al-ma’lum bil-zat). Yaitu konsep yang merefleksikan realitas objektif dalam diri subjek pengetahu.
2.     Objek aksidental (al-ma’lum bil-aradh). Yaitu realitas objektif yang diperantarai oleh konsep.
Jika konsep yang ditangkap oleh subjek pengetahu mengungkapkan realitasnya sebagaimana adanya, maka pengetahuan hushuli tersebut dianggap sebagai benar. Jika tidak, maka ia adalah pengetahuan hushuli yang meleset.

Sedangkan pengetahuan hudhuri, karena objeknya hanyalah satu, yaitu realitas itu sendiri, maka ia segera dapat dipastikan benar. Ia tidak akan pernah salah, karena yang hadir dalam diri subjek pengetahu hudhuri adalah realitasnya, bukan gambar realitas. Oleh sebab itu, pengetahuan hudhuri abadi, sakral dan terlindung dari distorsi, reduksi dan kesalahan lainnya.

Macam-macam Pengetahuan hushuli

Pengetahuan hushuli dapat dibagi dengan beberapa versi pembagian. Karena banyaknya versi pembagian, kita harus jeli memperhatikan asas pembagian dan alasan serta urutan pembagiannya.

Pengetahuan hushuli mengalami banyak pembagian dan penguraian, karena bidangnya sangat luas. Pengetahuan hushuli dapat dibagi menjadi tashawwuri (konseptual) dan tashdiqi, dengan bermacam pembagian yang merupakan turunannya. Pengetahuan hushuli dapat pula dibagi menjadi badihi (ekstemporal) dan nazhari (non ekstemporal, aposterior), dengan beragam pembagian yang bersumber darinya.

Pengetahuan hushuli reaktif dan aktif

Pengetahuan husuli dapat dibagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli reaktif (Al-ma’rifah al-infi’aliyah). Yaitu entitas konseptual (pengetahuan) yang merupakan pantulan dari entitas objektif (realitas), seperti pengetahuan tentang segala sesuatu yang berada di luar diri manusia.
2.    Pengetahuan hushuli aktif (Al-ma’rifah al-fi’liyah). Yaitu entitas konseptual yang menjadi pemantul atau sebab bagi entitas objektif (realitas), seperti gambar sebuah bangunan (dalam benak manusia) yang merupakan akibat dari konsepsi abstrak. (Al-falsafah Al-ulya, 238, Al-hikmah Al-muta’aliyah, juz 3, hal. 382).

Pengetahuan hushuli potensial dan aktual

Pengetahuan hushuli juga dapat dibagi dua;
  1. Pengetahuan hushuli potensial. Yaitu ...
  2. Pengetahuan hushuli aktual.

Pengetahuan hushuli umum dan rinci

  1. Pengetahuan hushuli umum (Al-ma’rifah Al-ijmaliyah).
  2. Pengetahuan hushuli rinci (Al-ma’rifah Al-tafshiliyah).

Pengetahuan hushuli konseptual dan assentual

Pengetahuan hushuli bermacam dua;
  1. Pengetahuan hushuli konseptual (Al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashawwuriyah). Yaitu pengetahuan yang bebas dari klaim/penilaian/penetapan (assertion), seperti konsep tentang Ali, keadilan,keadialan Ali, dll.
  2. Pengetahuan hushuli assentual (al-ma’rifah Al-hushuliyah At-tashdiqiyah). Yaitu pengetahuan yang disertai klaim/penetapan, baik afirmatif maupun  negatif, seperti Ali seorang yang adil.















PENGETAHUAN HUSHULI KONSEPTUAL ATAU KONSEP
Pengetahuan hushuli konseptual (disingkat konsep) dapat dibagi dengan beragam versi pembagian, demikian pula pengetahuan hushuli assentual.

Dalam diri setiap manusia terdapat gambaran-gambaran tentang warna, suara, masam, keras, aroma, lezat, nueri dan sebagainya. Gambar-gambar semacam ini disebut dengan “arti-arti konseptual sederhana” (simple).

Manusia juga mempunyai gambaran-gambaran yang merupakan rangkaian dari dua atau lebih gambaran sederhana, seperti gambaran tentang “putihnya kertas” dan “lezatnya makanan.” Yang kedua ini disebut dengan “arti-arti konseptual tersusun” (kompleks).

Terdapat beberapa teori dan pendapat tentang sebab dan proses kemunculan “pengetahuan konseptual” yang sederhana maupun yang tersusun dalam benak manusia, teori pengingatan (idealisme Plato), teori pencerahan (teori iluminasi), teori sensasi (sensasionalisme), teori “penyerapan”, dan sebagainya.

Empat aspek konsepsi (konsep)
Konsepi atau konsep (tashawwur) dapat dilihat dari empat sudut pandang sebagai berikut:
1.    Konsepsi (konsep) mutlak. Yaitu konsepsi tanpa kondisi dan syarat apapun, yang lazim disebut la bisyarthi maqsamii. Dengan kata lain, konsepsi mutlak ini adalah konsep memorial yang diperoleh setiap subjek pengetahu. Konsep macam pertama inilah yang disebut ilmu atau pengetahuan dan didefinisikan oleh Al-hilli sebagai “munculnya gambaran sesuatu dalam mental.” Konsep macam pertama ini bukanlah padanan assent atau assensi (tashdiq).
2.    Konsepsi (konsep) bebas syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek keterbebasannya dari hukum dan penilaian, yang lazim disebut la bi syarthi qismi.
3.    Konsepsi (konsep) dengan relasi syarat. Yaitu konsep yang dilihat dari aspek  keterikatannya pada syarat  bebas dari penilaian atau hukum, yang lazim disebut Bi syarthi la. Konsep ketiga ini disebut juga dengan tashawwur mujarrad (konsepsi abstrak).
4.    Konsepsi bersyarat. Yaitu konsep yang dilihat dengan syarat mengandung nilai dan hukum, yang lazim disebut bisyarthi syai’. (Ulum e Payeh, nadhariyeh badahat, M. Taqi fa’ali, 96-98).

Empat Pengetahuan hushuli konseptual

Pengetahuan hushuli konseptual atau konsep, dilihat dari muatannya,  terbagi dua;
1.    Konsep tunggal, seperti konsep ‘manusia’, ‘pohon’, ‘mobil’ dan sebagainya yang masing-masing adalah gambaran yang tak terangkai.
2.    Konsep plural, seperti ‘Rumah Ali’, ‘Mobil yang

Dua macam konsep plural atau terangkai
1.   Konsep terangkai tidak sempurna, seperti gambaran ‘Bila ia datang, maka‘ dan sebagainya.
2.   Konsep terangkai sempurna

Dua macam konsep plural sempurna
1.   Konsep terangkai yang konstruktif, seperti jumlah kata yang berkonotasi perintah, pertanyaan dan pengharapan. Bila seseorang berkata kepada temannya, “makanlah” maka ucapannya tidak akan pernah diverifikasi secara faktual, karena kalimat tersebut bebas nilai atau bersifat konseptual murni.
2.   Konsep terangkai yang informatif, namun pengucap dan konseptornya tidak menyertakan hukum di dalamnya. (Ulum e Payeh,  M. T. fa’ali, 100, 101).

Konsep universal dan parsial
Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari cakupannya, terbagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli konseptual universal atau Universalia. Yaitu pengetahuan hushuli yang tidak akan berubah menski objeknya mengalami perubahan. Gambar atau konsep ‘rumah’, misalnya,  dalam diri dan benak aristek atau tukang bangunan saat membangunnya, tidak akan pernah berubah meski realitas dan objek rumahnya berubah atau bahkan hancur.
2.    Pengetahuan hushuli konseptual parsial atau Partikularia. Yaitu pengetahuan hushuli yang berubah karena ‘objek yang diketahui,-nya mengalami perubahan. Pengetahuan saya melalui indera pandang tentang ‘gerak Agus’ ketika ia sedang bergerak. Bila Agus tak lagi bergerak, maka pengetahuan saya (tentang gerak Agus saat bergerak) akan berubah. Konsep tentang “Socrates”, misalnya,  yang hanya berlaku atas realitas objektif tertentu yang pernah hidup di Yunai dan menjadi guru Plato. (Al-Manhaj Al-Jadid, 186, Ususul-Falsafah, M.H. Thabathba’i dan Muthahhari, juz, 218-220, Nihayatul-hikmah, 301,  (Nihayatul-Hikmah, 304-305).

Tiga Partikularia
Pengetahuan hushuli konseptual parsial, berdasarkan aspek sumber kemunculannya,  terbagi tiga;
1.      Perngetahuan hushuli konseptual parsial sensual. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat penginderaan langsung dengan objeknya yang ada di sekelilingnya, seperti konsep atau gambar telapak tangan kiri yang tengah anda lihat dengan kasat mata atau anda raba dengan tangan kanan.
2.      Pengetahuan hushuli konseptual parsial imajinatif. Yaitu konsep parsial yang muncul akibat mengingat dan membayangkan (fantasi) suatu objek yang etalh kita indera, seperti gambar atau konsep telapak tangan kiri tadi saat kita merogoh kocek.Parsial  imajinatif dalam terminologi D. Hume disebut dengan idea, sedangkan parsial sensual disebut impresi.
3.      Pengetahuan hushuli konseptual parsial intuitif. Yaitu konsep parsial yang muncul dari kondisi-kondisi emosional dan perasaaan psikologis, seperti konsep tentang cinta, benci, jengkel, malu, dll.

Sebagian ahli  mengartikan parsial intuitif sebagai perasaan psikologis itu sendiri. Namun, akan lebih tepat jika makna-makna itu digolongkan dalam pengetahuan hudhuri. (Al-Manhaj Al-Jadid 1/188, Kasyful murad, al hilli 150, Ma’refat  Shenasi, ibrahimiyan 98, Idrak hissi, M. T. Faali, dll)

Dua Universalia
Pengetahuan hushuli konseptual universal bermacam dua;
  1. Pengetahuan hushuli universal prima. Yaitu konsep universal yang jatuh setelah pertanyaan “apakah itu?”, dengan kata lain, ia menjelasakan keapaan atau esensi sesuatu. oleh karena itu, universal ini disebut juga dengan universal esensial. Ia biasa disebut dengan Al-ma’qul Al-awwali atau Al-ma’qul Al-mahawi.
  2. Pengetahuan hushuli universal sekunda. Yaitu universalia yang tidak berkaitan dengan pertanyaan ‘apakah’.

Tiga universalia prima (esensial)
Universalia prima atau universalia esensial adalah konsep-konsep yang menentukan batas wujud esensi dan realitas segala sesuatu, seperti genus dan defrensia bagi esensi spesies manusia. (Al-Manhaj Al-Jadid, 202-203). 

Sebagian filsuf memasukkannya dalam himpunan universalia-universalia sekunda. Konsep-konsep universal yang dibangun untuk ke-apa-an atau quiditas atau esensi dapat dibagi tiga;
1.    Universalia esensial yang didahului  oleh partikularia-partikularia  atau konsep-konsep parsial, seperti konsep manusia, air, putih, kotak, cemas, dll.
2.    Universalia esensial yang tidak didahului oleh partikularia, seperti akal, forma, potensi,dll.
3.    Universalia esensial yang tersebar di pelbagai bidang sain.

Dua universalia  sekunda (non esensial)
‘Pengetahuan hushuli konesptual universal sekunda’ ini ini terbagi dua;
  1. Universalia sekunda  logis atau Universalia sekunda artifisial. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan sifat-sidat segala konsep di mental, seperti spesis, genus, definisi, proposisi atau universalia dan partikularia, atesenden dan konsekuen, dan sebagainya. Objek-objek ini hanya ada di mental. Istilah-istilah dalam logika dilahirkan dari sini. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-manthiqi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-manthiqiyah.
  2.  Universalia sekunda eksistensial atau universalia filosofis ontologis. Yaitu konsep-konsep universal yang menjelaskan kenyataan atau hakikat sesuatu, baik yang ada atau tiada, serta sifat-sisat eksistensial ataupun non eksistensial, seperti konsep ada, tiada, mustahil, mungkin, niscaya, sebab, akibat, dll. Konsep universal ini biasanya muncul lewat pengamatan dan perbandingan yang dilakukan mental di  antara konesep-konsep yang ada di dalammya. Istilah-istilah dalam metafisika dan ontologi adalah produk dari konsep-konsep ini. Oleh filsuf-filsuf abad pertengahan, universal ini populer dengan istilah Transendentalia. Ia juga disebut dengan Al-ma’qul al-tsanawi al-falsafi atau Al-Ma’qulat Al-Kulliyah Ats-Tsanawiyah Al-Falsafiyah. (Ma’qul  e tsani, F. Esykevari, Ilm e Hudhuri, F. Esykevari pasal 6, Al-Manhaj Al-Jadid, Mausuah Al-Falsafah, A. Badawi, (Falsafatuna, hal. 66–67, Muhadharat, 64). (Falsafatuna, hal. 66–67, dll)

Universalia dalam filsafat Barat
Dunia filsafat Barat pernah mengalami kekacauan luar biasa karena masing-masing filsuf menggunakan istilah-istilah khas yang boleh jadi tidak digunakan oleh lainnya atau digunakan namun dengan pengertian yang berbeda. Karena itulah, tidak sedikit orang yang kebingungan setiap kali membaca karya filsuf tertentu. Puncak dari kekacauan ini adalah munculnya  sejumlah filsuf modern, seperti Bertrand Russel dalam bukunya Our Knowledge of the External (1914), Ludwig Wittgeinstein dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus (1921), Alfred Ayer dan lainnya yang berusaha “menertibkan” bahas filasafat dengan menciptakan aliran yang dikenal dengan Atomisme Logis atau Filsafat Analitik atau Analitisme. (Kamus Filsafat, 100-101, Filsafat Analitik, Kamus Logika, The Liang Gie, Falsafeh ye Tahlili, Shadeq Larijani, 87).

Kekacauan ini nyaris tidak pernah terjadi dalam dunia filsafat Timur, terutama Islam, karena mereka telah mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan sebelum memasuki tema-tema inti filsafat.


Kontroversi seputar universalia
Isu universailia merupakan polemik yang apling sengit di sepanjang abad pertengahan. Ada sejumlah teori yang berkaitan dengannya;

Filsuf Muslim kontemporer, Prof. M. T. Misbah Yazdi, menolak imbuhan “sekunder” pada universal filosofis, karena terkesan adanya distorsi dan penyimpangan pada maknanya.

Pembagian di atas kali pertama dilakukan oleh Ibnu Sina (373-427 H) lalu dikembangkan oleh generasi filsuf berikutnya. Berkat penggunaan yang tepat terhadap setiap konsep universal di atas pada bidangnya masing-masing, seperti universal logis dalam  ilmu logika, nyaris tidak terjadi kekacauan dan Fallacy Thnking dalam koridor pemikiran filsafat islam, sebagaimana yang mewabah di filasat barat; Anglo Saxon dan Kontinentalnya. Setiap filsuf menggunakan konsep-konsep tidak dalam konteks, fungsi dan proporsi yang mestinya, sehingga kesalah fahaman, menurut N. A. Whitehead (1861-1942) dan George Edward Moore, terus merebak dan menjalar. Whitehead memvonis fenomena ini dengan “dogmatic Fallacy” (Adventures of Ideas, N.A. Whitehead, terj. Parsi  A Guwahi 2/338, Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/487).

Sejatinya, ia gencar menyerang teori Asosiasi Hume dalam menerjemahkan kausalitas. (Asle illiyyat, Qaramalaki 50,179). Maka, ia bersama muridnya, Bartrand Russell (1872-1970) menyusun  Principia  Mathematica. Sedangkan murid muridnya, Ludwig Wittgeinstein berusaha menawarkan bahasa logika dan filsafat. Ia, Gilert Ryle (1900-1970) dan filsuf-flsuf analitik lainnya membarasi filsafat sepojok upaya menjelaskan (klarifikasi) konsep-konsep (Ma’qul tsanie, F. Esykevari 18-19, Kamus Filsafat 100-101, Encyclopedia of Phylosophy, What is phylosophy, Parkinson Terj.)

Realisme
mereka meyakini adanya serangkaian universalia. Aliran ini terpecah kepada beberapa versi;

1. Platonisme atau Realisme logis
Berkat gagasan Socrates, plato meyakini bahwa universalia-universalia tidak hanya ada dalam mental, bahkan ia adalah entitas-entitas objektif di alam transendental, namun bersifat abstrak. Plato menyebutnya Idea (archtypes). Oleh karena itu, universalia versi ini dekenal dengan ide Platonik. Teori ini terus bergulir di tangan Plotinus (203-269 M) dan dipertahankan gigih oleh St. Augustine (354-430 M) dengan interpretasi sedikit berbeda (A History of Philosophy, F. Copleston, terj. Mujtabavi 1/181). Teori ini seringkali dibenturkan dengan sejumlah konsep  universal seperti; ketiadaan, kemustahilan dan sekutu Tuhan yang tidak ada entitasnya di luar.

2. Filsafat Skolastik
Di balik penentangan Aristoteles (383-322 SM) terhadap ide platonik, ia sependapat dengan Plato bahwa universalia bukan sekedar konsep di mental. Ia menambahkan bahwa di dalam entitas-entitas objektif di luar, terselubung suatu esensi universalia natural (Kulli Thabi’i). Dengan ke-apa-an universal ini, Arestoteles menafsirkan eksistensi universalia diluar. Seperti ke-apa-an kemanusiaan sebagai sebuah konsep universal yang ada di mental, juga ada di luar secara objektif, hanya saja tidak mandiri sebagaimana keyakinan platonisme, tetapi ada di luar bersama sejumlah objek-objek estensialnya. Di abad prtengahan, Tomas Aguinus (1225-1274) dikenal sebagai pengikut teori ini (A Histori of Phylosophy F. Copleston 1/247,346). Juga B. Russell, G. E. Moore, dan G. F. Staut di akhir abad dua puluh (Mausuah Al-Falsafah, Abdurahman Badawi, 2/268).

3. Para filsuf Muslim
Mereka mengembangakan teori aristotelian dan menambahkan bahwa universalia ada secara objektif dan bersifat banyak sebanyak afradnya (ekstensi), juga ada secara subjektif dan bersifat satu (Nihayatul Hikmah 73, Syenakht e Shenasi dar Qur’an, Javadi amoli 109, dll). Hanya saja, tambah mereka, teori itu perlu penyempurnaan, karena ia hanya menyinggung konsep-konsep universal primer/esensial, sementara dua macam universal klainnya; logis dan filosofis, tidak tersentuh dan sejalan dengan teiro itu, segabagaimana yang nampakdalam bahasan-bahsan berikut nanti.

4. Konseptualisme
Menurut mereka, konsep-konsep universalia, dengan interpretasi plato maupun muridnya dan hukama islam,tidak pernah ada. Tetapi, ia juga bukan sekedar sebutan dan kata-kata tanpa makna. Universal adalah produk netto mental. Teori ini pertama kali digagasoleh Peter Abelard (1079-1142) dan dikuak kembali oleh john locke (1632-1704)

5. Nominalisme
Mazhab yang didirikan oleh guru Abelard, Rosaline ( -1125) ini  menyatakan bahwa  universalia tak ubahnya hembusan nafas (Flatus Vocis). Aliran ini kian deras megalir pada abad berikitnya dengan kehadiran William Ockham (1300-1349). Menurutnya, konsep univesal tidak lebih dari nama dan simbol untuk menghemat proses berfikir dan dialog. Teori ini dilestarikan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), George Barkeley (1685-1753), B. Spinoza (1632-1676) David Hume (1711-1776) dan John Stuart Mill (1806-1873). Secara substansial, nominalisme tidak berbeda dengan Konseptualisme.

Nominalisme terbagi dua; Nominalisme Radikal, yang juga disebut  dengan Vokalisme, dan Nominalisme Moderat,  yaitu  teori Resemblence yang menafsirkan universalia sebagai konsep yang menunjukan kemiripan di antara sekelompok objek.

6. Teori Imitasi
Teori ini menafsirkan universalia segbagai konsep parsial yang samar dan pudar. Karena kesamarannya, ia bisa berlaku pada lebih dari satu objek. Para filsuf ontologi dan teologi Islam menyebut teori ini dengan ‘Syabah” (bayangan). Dan sejauh ini, hanya Henry Harclay, filsuf sezaman dengan William Ockham, yang tercatat sebagai penganutnya (Al-Manhaj Al-Jadid 1/189, Nihayatul Hikmah 34, 75, Mausuah Al-Falsafah, abdurahman Badawi 2/469, Makrtifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Faali 53-55, dll).

Dua pengetahuan hushuli konseptual

Pengetahuan hushuli konseptual, dilihat dari aspek kualitasnya, terbagi dua;
1.    Pengetahuan hushuli konseptual ekstemporal (apriori) (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.    Pengetahuan hushuli konseptual non-ekstemporal (aposteriori) (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah). Yaitu pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.

Pengetahuan hushuli ada kalanya bersifat konseptual sekaligus ekstemporal, seperti konsep kita tentang arti ‘sesuatu’ dan konsepsi kita tentang ‘wujud’. Ada kalanya pengetahuan hushuli bersifat konseptual sekaligus non ekstemporal, seperti pengetahuan tentang konsep "mendidihnya air bila suhunya dipanaskan hingga mencapai 100 derajat celcius."
 
PENGETAHUAN HUSHULI ASSENTUAL ATAU PREMIS
Pengetahuan ini merupakan tema epistemologis terpenting, khususnya dalam filsafat Barat. Bahkan, Epistemologi Kontemporer di sana hanya menyoroti pengetahuan ini dan masalah-masalah yang betkaitan dengannya, sebagaimana yang namoak dari karya-karya seperti Paul Edward dalam The Encyclopedia of Philosophy, Jonathan Dansi dan E. Sosa dalam A Companion of Epistemology atau bapak epistemologi kontemporer; Roderick M. Chisholm dalam Theory of Knowledge.

Sedangkan para filsuf muslim beranggapan bahwa  pengetahuan assentual tidak lebih besar signifikansinya dengan pengetahuan konseptual, karena walau bagaimanapun, pengetahuan assentual terbentuk dari pengetahuan konseptual.

George Edward Moore (1873-1958) pernah berpendapat bahwa keruwetan terbesar dalam kajian-kajian falsafi berkaitan dengan ketakjelasan dan ketakcermatan dalam menyusun kalim-klaim serta pencampuradukan beberapa klaim menjadi satu (Contemporary philosophy, F. Copleston, hal. 18, terj. Parsi A.A. Halabi)

Fenomena di atas, menurut M. Muthahhari, menyembul dari chaos di antara konsep-konsep yang membentuk klaim-klaim tersebut. Beliau menyimpulkan bahwa titik sentral kerumitan dalam perbincangan falsafi adalah pengetahuan konseptualnya, bukan pada konteks pembuktian dan pengetahuan assentual.

Ibnu Sina dalam Manthiq Al-Isyarat (hal. 215) membuktikan pengulangan analisa-analisa di atas lewat aphorisma “Idha Iltabasat Tasawwur Iltabasat Tashdiiq” (Konsep yang kabur meniscayakan kekaburan pengetahuan assentual)

Kontroversi seputar Pengetahuan Hushuli Assentual

Bisakah manusia memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan realitas? Ada tiga pilihan jawaban atas pertanyaan di atas. Masing-masing jawaban memberikan konsekuensi fundamental dalam proses permikiran manusia.

Sofisme (Agnosisme)
Jawaban pertama, diberikan oleh para penganut Sophisme, seperti Protagoras of Abdera, Gorgias of Leontini, Prodicus od Ceos, Hippias of Elis, Antiphon of Athens, Thrasymacus of Chalcedon, yang kelak disebut sebagai penganut Agnosisme. Kelompok ini beranggapan bahwa manusia, karena keterbatasannya, tidak mampu mengenal realitas, tidak bisa memperoleh pengetahuan yang assentual, dan hanya menduga-duganya. (Filsafat Yunani, 102, Alam Pikiran Yunani, Muhadharat, Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah,Dasar-dasar Filsafat, 4.4, Usus Al-Falsafah wal-Madzhab Al-Waqi’iy, 161, dll).

Kendati pada awalnya aliran ini lebih merupakan gerakan kritis social yang lambat laun mengkristal sebagai siakap ilmiah yang menghimpun sejumlah pandangan, mulai dari moderat seperti relativisme  Protagoras hingga radikal seperti Georgias (483-375 SM) yang menyatakan bahwa sesuatu (apapun) tidak ada. Jika ada sesuatu, ia tidak bisa diketahui. Dan jika bisa diketahui, pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. History of Philosophy, Federick Copleston 1/112 terj. J. Mujtabavi)

Kritik atas Sophisme
Klaim sophis radikal seperti georgias, menggugurkan klaim itu sendiri (self contradicte), berikit bembuktiannya. Segala bentuk penolakan mutlak terhadap mungkinya pengetahuam meryupakan bukti-bukti yang mempertegas, bukan sekedar kemungkinannya, bahkan keniscayaan realitas pengetahuan itu, paling tidak pengetahuan sophis akan klaimnya sendiri. Jika ia mengaku tidak pernah tahu akan klaimnya, maka tidak ada klaim dan sikap penolakan. Disiani, jika ia memilih siakap ragu,maka ia memungkiri dirinya sebagai sophis, sembari mengakui skeptitisisme.

H. Gomperz menuturkan bahwa sebagian menganggap klaim georgias sebagai representasi nihilisme falsafi serius, dan pada saat yang sama, sebagian menduga klaim itu sekedar jokinya.(tarekh falsafafah F. Copleston 1/113)

Skeptisisme
Jawaban kedua diberikan oleh sejumlah filsuf Yunani kuno, seperti Pyrrhon, Arsezilash, Cratylus, Carneades yang kelak dikenal sebagai para pengikut Skpetisisme. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah satu-satu sikap yang tepat. Mereka beranggapan bahwa meragukan kemampuan manusia untuk mengenal realitas adalah siakap yang tepat. (Filsafat Yunani 228, alam pikiran Yunani Muhadarat fil aqidah, Falsafatuna, Usus-Al falsafah 1/161, dll).

Secara etimologis, ia berasal dari bahasa Yunani skepsis,   pertimbangan atau keraguan.(Kamus Filsafat 1017). Skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan tokoh-tokoh,  ke dalam beberapa aliran, seperti skeptisisme Karneades, skeptisisme Cratilus, skeptisisme Georgias, skeptisisme Descartes, skeptisisme Hume, skeptisisme Kant, skeptisisme Lock.

Secara historis,  skeptisisme bisa dibagi, berdasarkan konsep-konsepnya, ke dalam beberapa aliran sebagai berikut:
  1. Skeptisisme klasik. Ia terpecah kepada dua periade. Skeptisisme Akademika yang dipelopori oleh fisuf jebolan akademi Plato bernama Arselious (315-240 SM). Ia menafikan segala macam kriteria dan standar untuk memilah pengetahuan valid dari invalid. Porsi maksimal yang bisa diraih setiap orang hanya keyakianan-keyakianan yang tidak jelas kebenarannya.
  2. Skeptisisme Phyrronian. Adalah skeptisisme yang berpijak diatas pandangan-pandangan Pyrrhon (360-270SM). Menurut mereka , setiap orang memilliki pandangan masing-masing, dan kita tidak akan bisa tahu mana yang benar, karena masing-masing memiliki argumen yang sama validnya.
  3. Skeptisisme modern. Ia  dirintis sejak munculnya karya-karya Sectus Empiricus   dan cicero pada abad 16 dan permulaan  abad 17 , hingga descartes (15 95-1650) mendeklarasikan evil spirit hypothesis atau Mauvais Genie (setan jahat) dan menyatakan bahwa keberadaan adalah diriku, keyakinanku dan setan yang mengajarkan keyakinan itu kepadaku. Skeptisisme modern semakin kokoh dengan The argument from experience yang dirumuskan Hume(1711-1776) dalam karyanya An Inqquiry Concerning Human Undertanding. Sebagian gagasan skeptis Hume, menurut pengakuan filsuf jerman Immanuel Kant, telah mengusik tidur lelapnya bersama Dogmatisme. Segera setelah itu iapun dikenal dengan Skeptisisme Kant.
  4. Skeptisisme kontemporer. Yaitu skeptisisme yang nampak jelas dari ide Googol dalam premis-premis skeptis Lehler, sebagai reinkarnasi evil spirit hypothesis Descartes.

Dua Skeptisisme
Skeptisisme, berdasarkan aspek motivasinya, terbagi dua:
  1. Skeptisisme normatif/Metodis. Seperti skeptisisme descartes,  Ahli-ahli fisika di jamannya identik dengan peramal, sedangkan dokter-dokter dipandang sebagai penyihir. Dari sini descartes berusaha memilah pengetahuan yang benar dari yang salah. Ia memuai dari sikap skeptis,  yaitu Nihil esse certi (tidak ada keyakinan/kepastian), untukmenemukan suatu norma solid, sebagaimana yang terbingkai dalam Cogito Ergo Sum. Paul Foulquie menggolongkan Claude Bernard (1816-1878) ke dalam macam skeptis ini.
  2. Skeptisisme problematik atau skeptisisme deskriptif. Ia bermacam dua;
  3. Skeptisisme Global. Skeptisisime inil menyerang setiap kantong-kantong keyakinan dan segala bidang pengetahuan, tanpa ampun. Ia berhadapan dengan setiap manusia yang mengklaim tahu dan yakin.
  4. Skeptisisme Lokal, yaitu skeptisisme  yang memperkarakan bidang-bidang pengetahuan tertentu, Antara lain
§  pengetahuan tentang nilai dan etika. Nietzsche (1844-) dalam  “The Death of God”, misalnya,  menolak nilai mutlak dan norma objektif moral dan berbuntu pada nihilisme Pengetahuan tentang hal-hal yang akan terjadi (future), seprti D. Hume.
§  Pengetahuan tentang jiea dan mental orang alain (other mind),seperti Solipsisme.
§  Pengetahuan inderawi (Skeptisisme perseptual), seperti descartes dan kant.
§  Pengetahuan tentang doktrin dan ajaran agama, teologis dan metafifisis.(religius skeptis), seperti positivisme, neo positivisme atau logical positivism, sebagaimana yang dianut oleh anggota circle Viena (Wiener Kreis)

Skeptisisme merupakan arus besar yang terpecah ke beberapa aliran seperti Agnotisisme, Fallibilisme, Probabilisme Carneides (219-125), Pluralisme Falsafi, Perspektivisme (Nietzsche, Ortega Y. Gasset (1883-1955), K. Ajdukiewicz) Fideisme (Montaigne (1533-1592), B. Pascal (1623-1662) dll. (Metaphysique, P. Foulquie, terj. Parsi, Y. Mahdawi, hal. 67-69, The Fontana Dictionary of Modern Thought, Oliver Stally Brass-Allaen Ballock 208,terj parsi ..., Ma’rifat Shenasi dini, Mausuah Al-falsafah, Abdurahman badawi, M.T. Fa’ali 330-332, A History of Philosophy, F. Copleston 7/400, terj. Parsi Daryush Ashuri, Filsafat Yunani, hal. 228, Alam Pikiran Yunani, Muhadaharat fil-Aqidah, Falsafatuna, Ususul-Falsafah, juz, 161, Jurnal Qabasat Malcolm Norman, Ma’rifat Shenasi dini wa muashir, M. T. Fa’ali, 117-118, Kamus Filasafat, 1017-1027, The History of Philosophy, F. Copleston 7/395, Metaphysique, P. Fuolquie, terj. Parsi Yahya Mahdawi, hal. 71).

Skeptisisme lokal selalu membawakan argumen atas klaimnya yang acapkali berdampak luas, hingga berhulu pada justifikasi skeptisisme global.

Kritik atas Skeptisisme
Para penganut filsafat skolastik dan Epicurian telah membungkam para penganut Agnosisme dan skeptisisme dengan argumen-argumen sangat kuat, karena secara real, manusia berpeluang untuk mengenal realitas, memperoleh pengetahuan assentual, dan meraih kebenaran. (Muhadharat fil-Aqidah, hal. 43) Berikut ini sejumlah kritik atas skpetisisme.

  1. Skeptsisime berargumentasi atas klaimnya. Argumentasi terdiri dari sejumlalah premis yang sudah mereka terima,seperti realitas kesalahan persepsi pada indera dan akal, realitas korelasi antara setiap entitas dan pengetahuan, realitas ikhtilaf di antara ilmu atau pemikir, tealitas fallacy dalam sillogisme (burhan), realitas prinsip Universalizability rumusan H. M. Hare, realitas evolusi dan dinamika, realitas ketergantungan setiap pengeatahuan kepada hukum universal (nomos), realitas mustahilnya menemukan hukum universal. Pendek kata, setiap skeptis hanya menghadapi sebuaah close question; ia menerima dan mengakui premis-premis argumentasi dan konklusinya, dengan demikian iamengetahui sejiumlah pengetahuan, ataukah menolak semua itu, maka tidak ada klaim skeptis disini.
  2. Sebagian skeptis berusaha untuk terikat dengan konsekuensi pertama, yaitu  adanya pengetahuan tentang ptemis-premis dan konklusinya yang merupakan klaimya. Meski demikian, menurut mereka, a. adanya dua tiga pengetahuan tidak akan memberanguskan skeptisisme, bahkan sebaliknya, jumlah pengetahuan itu jusrtu menegaskan siakap skeptis terhadap hal-hal lainnya. Oleh karena itu, pengecualian pengetahuan-pengenguatahuan diatas merupakan penegakan skeptisisme. b. Jumlah kecil pengetahuan diatastidak akan bisa menuntaskan permasalahan epistimologis. C. Dengan kritik/jawaban itu, genderang skeptisisme masih bisa ditabuh, kendati setelah membetot konklusi. Dengan kata lain, jika saya tahu dan terima premis pertama dan kedua, niscaya saya  skeptis dan tidak akan tahu apa-apa.inilah yang disebut dengan Doxastic paradox (paradox pengetahuan).

Jawab:
  1. Dengan mengakui paling tidak dua tiga pengeatahuan tersebut, pertanyaan tidak berhenti disini. Akar-akar pengetahuan itu akan merambat ke beberapa prinsip, seperti prinsip realitas,prinsip non kontradiksi prinsip kausalitas, prinsip identitas, dll. Maka jika diamati argumentasi beserta premis-premis mereka, akan kita temukan sejumlah prinsip tersebut.
  2. Masalahnya terfokus pada prinsip pengetahuan atau kemunkingkinan mengetahuai, bukan pada jumlahnya. Dengan demikian, format permaslahannya adalah berikut ini, “Kita mendapatkan pengetahuan dalam beberapa hal-sedikit taukah banyak-, dan dalam hal-hal lain kita ragu datau tidak tahu.”

Ada sejumlah aliran yang hampir sama secara substansial dengan skeptisisme yaitu relativisme dan nihilisme. Menurut aliran ini tidak hal-hal yang absolut. Sebagian orang menganggap relativisme adalah nama lain dari skeptisisme atau subjektivisme. (Kamus Filsafat, 949). Aliran ini dilawankan dengan Absolutisme dalam epistemologi, yang memastikan adanya pengetahuan objektif dan absolut. (Kamus Teori, 1). Aliran ini secara substansial tidak berbeda dengan dogmatisme atau truisme. Nihilisme adalah istilah yang pertama kali diciptakan oleh Turgeneiv dalam politik dan teologi. Salah satu prinsipnya dalam epistemologi adalah menolak setiap dasar kebenaran yang objektif dan real. Albert Camus dan Nitzche disebut-sebut sebagai penganut aliran ini (Kamus Filsafat, 712).

Dogmatisme, Truisme, Obyektivisme, Absolutisme

  1. Jawaban ketiga diberikan oleh para filsuf skolastik, yang dikenal sebagai penganut Dogmatisme. Dogmatisme sebagai aliran dalam filsafat bertentangan skeptisisme. Mereka memastikan bahwa manusia berpeluang untuk mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual dengan bukti-bukti tertentu. (Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 3, hal. 498-499, Filsafat Yunani, hal. 231, Muhadharat fil-Aqidah, Durus fil-Aqidah, Falasafatuna, (Nihayatul Hikmah, Thabathabai’ 254, Ma’refat  Shenasi dini, M.T. Fa’ali, Ma’refat  Shenasi, Hosein Zadeh,  Kamus Filsafat, 173 dll).

Menurut Dogmatisme, pengetahuan yang benar mengandung tiga unsur yang tak dapat dikurangi.

Tripartite pengetahuan hushuli assentual

Pengetahuan telah didefinisikan oleh para  epistemolog dan kaum truis sebagai kepercayaan yang benar dan terjustifikasi. Karenanya, kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan terdiri atas tiga unsur; kepercayaan, kebenaran, dan justifikasi, dan menganggapnya cukup sehingga tidak perlu ditambah. Namun sebagian epistemolog memasukkan ‘hubungan antara subjek dan objek’ sebagai salah satu elemen dan menggeser elemen ‘kepercayaan’. Kepercayaan adalah keniscayaan sikap dari terjalinnya  hubungan antara subjek pengetahuan dengan konsep yang ada dalam benaknya.

Elemen kesatu
Elemen pertama dan faktor penentu dalam pengetahuan adalah kepercayaan. (The Theory of Knowledge, ed: L.P. Pojman PP, 499-555 and Hospers). Pengetahuan,  realitas dan justifikasi berada dalam poros kepercayaan. Pengetahuan tanpa kepercayaan (keyakinan) tidaklah mungkin. Kepercayaan, yang merupakan faktor penentu dan tolok ukur justifikasi, adalah faktor penentu dan poros pengetahuan partikular. Kepercayaan, yang disebut pula dengan subjective component of knowlegde, ini  meniscayakan penangkalan terhadap ketidaktahuan kompleks (al-jahl al-murakkab). (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130, Commitment to Truth, 21).

Esensi ‘kepercayaan’
Manusia, di hadapan setiap premis atau pernyataan, adalah manusia sebagai berikut:
1.    Menerima dan menjadi ‘manusia berkeyakinan’. Sikap ini disebut dengan acceptance atau belief.
2.    Menolak atau menentang dan menjadi ‘manusia penolak’ atau ‘manusia penentang’. Sikap ini disebut dengan disacceptance.
3.    Tidak menerima sekaligus tidak menolak atau abstein. Sikap ini disebut dengan withold.
4.    Setiap premis mempunyai dua macam hubungan dan relasi; relasi dengan subjek dan relasi dengan objek. Premis “bunga ini berwarna merah’, misalnya, mempunyai hubungan dengan realitas objektif karena ia benar atau salah. Ia juga berhubungan subjek atau pengetahu sedemikian rupa sehingga bila hubungan subjektif ini tidak diperhatikan dan dilibatkan, maka pengetahuan tidak akan pernah muncul. (Ma’refat Shenasi Dini va Moasher, M.T. Fa’ali, 160, An Introduction to Philosophical Analysis, PP, 10 – 18 and Chisholm, R.M. Theory of Knowledge, P. 6  A Companion to Epistemology, PP. 35, 48, 70).

‘Pecaya bahwa’ dan ‘percaya kepada’

Samakah arti “saya percaya padamu” dengan “saya percaya bahwa perkataanmu benar dan sesuai dengan kenyataan” sehingga bisa diubah dan dipindah sesuka hati?

Reduksionisme, sebagaimana Thomas Aquinas, memperbolehkan reduksi dan pemindahan. John Hick menolak reduksi. Sedangkan Pires menganmbil jalan ketiga dengan berpendapat bahwa sebagaian dari macam-macam kepercayaan proposisional dapat direduksi dan diganti menjadi ‘kepercayaan psikologis’.

‘Percaya bahwa’ adalah sikap percaya yang secara orisinal (semula, bil-ashalah) mengacu pada premis dan secara tidak orisinal (bil-taba’) mengacu pada sesuatu yang diungkapkan oleh premis, bukan premis itu sendiri. Premis “saya percaya bahwa Tuhan ada” mengacu secara orisinal dan primer pada premis “Tuhan ada” dan secara sekunder mengacu pada “ke-ada-an Tuhan”. Namun kepercayaan tidak selalu berkonotasi arti demikian. Bila suatu saat kita ucapkan “saya percaya pada anda’, maka ‘kepercayaan’ dalam premis terakhir ini bebrarti “saya mempercayai anda’ atau ‘saya mengandalkan anda’ atau ‘saya mantap dengan anda’ yang bukanlah bagian dari pengetahuan. Yang menjadi bagian dari pengetahuan adalah ‘kepercayaan proposisional’ bukan ‘kepercayaan psikologis’. (Ma’rifat Shenashi Dini va Muashe, 160).

Premis dan kata rangkai

Telah kita ketahui bahwa ‘kepercayaan’ epistemologis hanya berkaitan dan mengacu pada proposisi. Kepercayaan dapat diungkapkan dengan tiga terminologi pernyataan (statement), proposisi (keputusan) dan kata rangkai (sentence).

Proposisi atau pernyataan, berdasarkan muatannya, terbagi dua;
1.   Proposisi minor (Al-Qadhiyyah Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang memuat partikularia yang hendak diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui inferensi (penalaran, Al-Istidlal)., seperti “besi adalah tambang’.
2.   Proposisi mayor (Al-Qadhiyyah Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi dasar universal yang diterapkan atas partikularia untuk diketahui nilai (validitas)-nya melalui inferensi silogisme (deduksi), seperti “semua besi adalah tambang unsur homogen”.

Proposisi, ditinjau dari sisi bentuk, terbagi menjadi dua;
  1. Proposisi Predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah). Yaitu proposisi yang terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi predikatif, predikat mengafirmasi atau menegasi subjek.
Proposisi predikatif juga didefinisikan sebagai premis yang mengafirmasikan atau mengasikan berlakunya sesuatu (predikat) atas sesuatu yang lain.
Contoh: “Budiman adalah sopir” dan “Agus bukanlah jenderal”.
“Plato adalah seorang filsuf”, “Bambang bukanlah filsuf”.

  1. Proposisi hipotetik (Al-Qadhiyah Asy-Syarthiyyah). Yaitu proposisi yang muatannya menjadi syarat bagi muatan proposisi lainnya.
Contoh: “Bila matahari terbit, siang akan tiba”.
Proposisi dan seluk beluknya akan dibahas secara lebih terinci dalam bagian lain dari buku ini.

Elemen kedua
Elemen kedua adalah kebenaran. Pengetahuan yang benar juga memiliki dimensi hubungan antara subjek dengan objek yang di’wakili’ oleh konsep yang tertayang dalam benak subjek. Adanya kebenaran atau realitas faktual meniscayakan penangkalan terhadap ‘ketidatahuan sederhana’. Inilah yang dimaksud dengan ‘hubungan objektif’  atau objective component of knowledge,

Sebelum bertanya manakah yang real atau keyakinan manakah yang benar, kita harus lebih dahulu bertanya, apakah kebenaran itu? Apakah kebenaran itu? Bagaimana memilah pengetahuan yang benar dari yang salah?

Dua pertanyaan ini secara substansial berbeda. Pertanyaan pertama bertalian dengan kebenaran, sementara kedua berkaitan dengan norma (criterion) kebenaran.

Secara umum, para filsuf terbagi dalam dua aliran besar;
1.     Subjektivisme. Yaitu aliran sekelompok filsuf yang menjadikan subjek sebagai penentu kebenaran. Aliran ini membatasi pengetahuan pada kesadaran pikiran akan keadaannya sendiri. (Kamus Filsafat, 1046).
2.     Objektivisme. Yaitu aliran sekelompok filsuf lain yang menjadikan objek sebagai penentu kebenaran suatu pengetahuan. Ia meyakini bahwa nilai pengetahuan diukur oleh objek yang tidak tergantung pada subjek. (kamus Filsafat, 734)

Aliran-aliran dalam objektivisme
Para penganut objektivisme terbagi dalam berbagai aliran dan teori;

  1. Pragmatisme dan utilitarianisme
Para filsuf Eropa seperti Charles sanders Pierce, William James, dan John Dewey menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai standar kebenaran atau pengetahuan assentual.

Pragmatisme (Pragmatic Thoery of truth) adalah gagasan yang diprakarsai oleh filosof-filosof beken pragmatisme: Charles S. Pierce (1839-1914), William James (1872-1970), John Dewey (1859-1952) dan Scott Schiller (1864-1937). Menurut mereka, pengetahuan yang sesuai dengan fakta belum bisa dianggap benar, sebagaimana klaim teori korespondensi, karena masih tersisa satu pertanyaan; apakah kesesuaian dengan fakta berdampak pada kehidupan praktis seseorang? Mereka menegaskan bahwa pengetahuan dinyatakan benar ketika menguntungkan dalam konteks pengamalan.

Oleh karena itu, kebenaran identik dengan aktualisasi praktis yang menguntungkan. Bahkan nada ekstrim sebagian pragmatis menyatakan bahwa apabila suatu pengetahuan dapat memenuhi/ memuaskan hasrat dan kebutuhan hidup seseorang, maka ia adalah benar.

Kendati demikian, W. James dalam beberapa statemennya cenderung mendukung teori koherensi  yang digandrungi oleh generasi mutakhir. (Ma’rifat Shenasi – Ibrahimian, Ma’rifat Shenasi – M. Hosein Zadeh, Jurnal hauzah va danesygahno: 4 – Muhsin Javadi, Mairifat Shenasi Dini va Mu’ashir – M.T. Fa’alli, La Philosophis Contempripaine en Europe- I.M. Bochenshi hal: 198 terjemah Arab Izzat Qarni)

  1. Korespondensionisme atau Teori Korespondensi
Aliran  ini menyatakan bahwa kebenaran adalah pengetahuan (assentual) yang sesuai dengan fakta. Dan sebaliknya, pengetahuan assentual dianggap salah ketika tidak sesuai dengan fakta. Menurut teori korenspondensi, esensi kebenaran berpijak di atas tiga pilar:
    • Gambar subjektif berupa pengetahuan asentual
    • Fakta, yaitu objek (mahki) dari gambar subjektif
    • Relasi (Nisbah)  antara gambar  subjektif dan fakta, yaitu kesesuaian.
Sebagaian besar filsuf, sejak Plato dan Farabi hingga J. Haspers dan G. R. Fayyadhi, menganut teori di atas. Kendati demikian, mereka berselisih dalam spesifikasi penjabarannya, seiring dengan pendangan dan bangunan filsafat (Noutic Structure) masing-masing. Dari sini, muncullah Korespondensi ala  Locke,  Russell, Wittgeinstein, R. K. Popper, A. Tarski hingga S. Kripke (Ma’refat Shenasi Dini wa Mu’ashir, Fa’ali, Jurnal Hauzah wa Doneyghah, NO. 6, Nadharieh Shidq, Asfar 1/20, Tahshil, Bahmaniyar, hal.262, dll). August Comte, pendiri Positivisme beranggapan bahwa pengetahuan dianggap sebagai sesuai dengan kenyataan apabila terjadi keserasian pikiran dalam mental. Pandangan ini dikenal dengan ‘teori korespodensi’ atau Al-intiza’. (Al-Mawsu’ah Al-Falsafiyah, Muhadharat Fil-Aqidah, hal. 39-42, Ususul-Falsafah, juz, 164-165, Commitment to Truth, M. Fanaei Eshkevari, 15, dll.)

3. Koherensionisme atau Teori Koherensi
Coheren dalam bahasa Inggris dan cohaerre dalam latin berarti melekat, tetap menyatu, bersatu. (Kamus Filsafat, 470).

Teori koherensi merupakan sebuah teori tentang kebenaran yang bersifat neo-positivis, bahwa kebenaran didasarkan pada harmoni internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Pada dasarnya, teori ini dan selainnya merupakan reaksi-reaksi dari sejumlah filsuf yang tidak mampu menjawab kritik-kritik atas teori Korespondensi. Teori koherensi banyak direkrut oleh kaum Idealis serta sebagian Rasionalis seperti; G. Leibniz dan B. Spinoza (Az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.104, Commitment to Truth, M. F. Eshkevari, 16).

Di dunia filsafat kontemporer, para penganut kaum Positivisme logis seperti; Otto Neurath, Carnap  dan C. Hampel gigih mengembangkannya, kendati pelopor mereka Moritz Schlick (1882-1936) mempertahankan teoti Korespondensi. (Paul Edwaard, D.W. Hamlin hal. 120, Kamus Filsafat, 470). Ketimbang mengamati suatu pengetahuan dengan faktanya, mereka membandingkan pengetahuan tersebut dengan seluruh pengetahuan lainnya.

Di sini, pengetahuan dinyatakan benar selama tidak berbenturan dengan keuTuhan sistem pemikiran (notic structure) yang terbentuk dari serangkaian pengetahuan-pengetahuan yang sudah diterimanya sebagai kebenaran. Dengan kata lain, kebenaran suatu pengetahuan adalah keserasiannya dsengan serangkaian pengetahuan yang telah dinyatakan benar. Misalkan jika kita perhatikan sepotong kayu dalam air begelombang dengan kasat mata, kita melihatnya zigzag. Namun jika kita pegang kayu itu pada saat yang sama kita mendapatkannya lurus.

Disini kita mengklaim kebenaran indera raba dan menilai indera pandang sebagai  salah. Mengapa? Karena pengetahuan( sence data)  yang bersumber  dari indera raba serasi dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya,  yang berbeda dengan pengetahuan dari indera pandang yang bertabrakan dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita miliki.

Teori koherensi secara logis berujung pada gradasi kebenaran (degrees theory of truth) yaitu teori yang menyatakan bahwa kebenaran suatu pengetahuan berderajat, seiring dengan tingkat relevansinya dengan pengetahuan-pengetahuan lain. Dampaknya, logika matematik kehilangan determinasi dan keniscayaannya.

Pada dasarnya teori koherensi menempatkan kebenaran atau kesalahan sebagai predikat untuk sejumlah pengetahuan yang membentuk suatu sistem pemikiran, tidak untuk setiap unitnya. Dengan demikian, teori berpijak pada premis holisme yang dirumuskan oleh Willard Van Orman Quine (1908- ).

Singkatnya, kebenaran menurut teori koherensi adalah harmoni pengetahuan assentual dengan sistem pemikiran seseorang. (Sejarah Epistemologi, 93, edisi Parsi, D. W. Hamlyn, editor Paul Edward, The Enclopedia of Philosophi, Epistemologi Agama dan Modern, 194, M. Taqi Fa’ali).

4. Relativisme
Ia adalah teori atau aliran yang muncul seiring dengn kemunculan kaum shophis. Tokoh populer mereka, Protoguras (481-411 SM), mengatakan bahwa manusia adalah totalitas kebenaran. Ia menguraikan bahwa kebenaran adalah apa saja yang menurut anda atau saya benar(A Histori of philosophy – F. Copleston 1 hal: 106 terjemah Farsi Mujtabav, Commitment to Truth, 24)

“Man – the Measure” protogorian ini dapat kita saksikan pada sebagian pengikut pragmatisme seperti F.C. Scott Schiller dalam alirannya yang dapat disebut Humanistic Voluntarism (Mausu’ah Falsafah – Abdurrahman Badawi 2 hal: 24, La. Philosophie Contemropaine en Europe – I.M. Bochenshi hal: 198 terj Arab Izzat Qarni)

Hal serupa disampaikan oleh sebagian dan mengatakan bahwa pengetahuan adalah akibat dari interaksi organ perseptor dengan alam luar (obje di luar). (Lihat Falsafatuna, Muhammad Baqir Shadr hal. 142-143,  Nihayatul Hikmah, hal. 255, Nadhariyatul Ma’rifah, hal.227-228).

Teori ini sendiri mesti dianggap salah karena mengkritik teori sebelumnya, Korespondensi. Sebagaimana dilontarkan Bertrand Russell, bahwa semua kisah-kisah fiktif dari mulai Spielberg dan novel-novel Shakespeare sampai telenovela dan srimulat dikatakan benar oleh teori ini. (Jurnal Kalam Islami no: 34 Arzesy-e Syenakht, Khusru Panah, Ma’rifat Shenasi-e Dini wa Mu’ashir, Muhammad Taqi Fa’alli, Ma’rifat Shenasi Muhammad Taqi Zadeh).
Empat aliran di atas akan kita bahas secara kritis lalu kita tentukan salah satu sebagai pendapat terpilih.

Kritik atas Pragmatisme

teori ini problematis (Self Contradiction) karena klaimnya “kebenaran adalah keuntungan praktis” merupakan pengetahuan teoritikal murni. Teori ini meniscayakan relativisme subyektif atau waktu, karena bisa saja suatu pengetahuan bermanfaat untuk seseorang pada waktu tertentu, pada saat yang sama ia membahayakan orang lain.

Implikasi yang paling dahsyat dari teori pragmatis adalah bahwa keputusan final dalam setiap pertikaian ada di tangan penguasa (Power), kendati tanpa keadilan. Teori ini berpengaruh besar dalam kebangkitan filsafat evolusi dan struggle of survival Nietzche

Teori ini kabur, karena tidak menjelaskan secara devinitif dan tuntas makna untung dan manfaat, apakah sebatas jasmani atau juga rohani, duniawi atau juga ukhrawi.

Kritik atas Korespondensionisme

Teori ini mendapat banyak kritik. Antara lain dua keritik sebagai berikut:

Kritik pertama:
Kekaburan makna kesesuaian (muthabaqah). Jika kesesuaian identik dengan kesamaan ketat dan sempurna (corresponden to) sebagaimana tafsiran Wiitgeinstein, maka pengetahuan assentual kita tentang “Kotak di sebelah kanan lingkaran” tidak benar, karena ia tidak sesuai dengan fakta yang tidak lebih dari dua fariabel, yaitu o     . Pada fakta ini tidak ada fariabel “di sebelah kanan”.

Jika kesesuian atau keharmonisan (al-muthabaqah) berarti kemiripan (corresponden with), sebagaimana klaim Alston, maka pada dasarnya tidak ada kesamaan di sini (serupa tapi tak sama). Lagi pula, sulit mengukur kemiripan antara pengetahuan dan faktanya (Problems & theories of Philosophy, K. Ajdukiewicz, hal. 36, terj parsi. M. Buzurgmehr).

Bantahan

Kritik pertama ini dibantah oleh para pendukunganya. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan adalah wujud abstrak/inmaterial. Karenanya, ia dan kesesuiannya dengan faktanya tidak bisa dipandang dengan perspektif empiris yang konotasinya one to one, atau dengan ukuran seperti; agak, hampir dll. Karenanya, adalah salah  jika kita memandang “sebelah kanan” sebagai fariabel faktual dan objektif  yang mandiri, atau mengukur tingkat kemiripan suatu pengetauahn dengan faktanya. Kesesuaian adalah penampakan dan penyingkapan sempurna pengetahuan akan fakta. Dengan kata, lain setiap entitas memiliki dua dimensi atau hakikat; wujud yang objektif dengan semua pengaruh-pengaruh objektifnya, seperti panas bagi api dan dingin bagi es, dan wujud subjektif yang tidak memiliki pengaruh-pengaruh real, selain pemahaman. Nah wujud kedua atau dimensi kedua dari wujud entitas api itulah, misalnya, yang hadir dalam layar beak kita, tanpa pengaruh objetifnya, yaitu panas, sehingga dirinya tidak ikut menjadi panas saat mengkonsepsikannya.

Kritik kedua
Teori Korespondensi mentah dalam mengklarifikasi kebenaran pengetahuan assentual matematik (methematic proposition), subjektif dan pengetahuan assentual tentang ketiadaan, sepeti ‘hantu  itu tiada’, yang semuanya tidak memiliki fakta real.

Dengan kata lain, pilar kedua dari teori ini tidak ada dalam proposisi-proposisi semacam itu (Philosophy Scientifique, Filician Challaye, hal. 161, terj. Parsi. Y. Mahdawi)

Bantahan
Fakta di sini mencakup segala yang ada di luar, seperti proposisi empirik, maupun di mental seperti; proposisi matematik dan subjektif. Fakta haruslah sesuai dengan konteks suatu pengetahuan. Meski Socrates tidak ada di luar, namun ia dalam kontekspengetahuan “Socrates meneguk cawan racun” ada dan berfakta. Makna fakta di atas dikenal oleh para filsuf muslim dengan istilah Nafsul Amr (Nihayatul Hikmah, hal. 15, Syarah Mandhumah, Mulla Hadi Sabzawari)

Kritik atas Koherensionisme
Teori ini, “nampaknya”, berhasil mendefinisikan kebenaran pengetahuan untuk sebuah sistem pemikiran, namun jika ada beberapa sistem pemikiran yang masing-masing memiliki keserasian di antara unit-unit pengetahuannya, seperti teori-teori geometrik Oglides, teori Lobatschewesky ( 1793-1856) dan teori Riemann (1826-1866) maka teoti ini gagal dalam menjelaskan apalagi menentukannya.

berdasarkan teori Koherensi, setiap pengetahuan kritis yang menjungkirbalikkan sebuah sistem seperti yang dialami oleh Immanuel Kant yang terjaga dari tidur lelapnya bersama mimpi dogmatisme akibat kritik skeptis Humem, mesti dianggap salah. Dampaknya, tidak ada alasan untuk berdiskusi

Kritik atas Relativisme
Apakah pengetahuan assentual (faktual) bersifat relatif ataukah absolut?

Pertanyan yang juga sangat penting ini sering dilontarkan dalam epistemologi. Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme. Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka, bersifat relatif.

Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191, Commmitment to Truth, 25).

Apakah realitas mengalami proses evolusi dan dinamika? Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan realitas objektif, maka ia  (realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?

Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin benar”.

Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.

Selain empat teori di atas, ada sejumlah upaya dari kalangan filosof kontemporer dalam menawarkan alternatif lain seperti teori Quine, teori Assertifve Redondancy; karya F.P. Ramsey (1852-1916) teori reformasi garapan P.F. Stawson, teori Semantik rumusan Alfred Tarski (1902-1983) dll.

Ada pula upaya mutakhir untuk mengkompromikan tiga teori pertama seperti yang dicoba oleh Brian Carr dalam An Encyclopedia of philosophy edisi G.H.R. Parkinson 1989. Ia beranggapan bahwa toeri Koherensi dapat diterapkan dalam bidang-bidang logika dan metematika sementara teori korespondensi berlaku dalam kajian-kajian empiris dan sains.

Sebagian orang menolak Relativisme karena, menurut mereka, merelatifkan semua pengetahuan meniscayakan penolakan terhahap setiap realitas, termasuk pengetahuan tentang kerelatifan semua pengetahuan, yang dilontarkan dan diyakini para pendukung relativisme.

Ada juga yang menolak Relativisme epistemologis ini karena, melatifkan pengetahuan berarti meyakini, paling tidak, sebuah pengetahuan,  yaitu bahwa hukum tentang relativitas itu mutlak.

Elemen ketiga
Elemen ketiga dalam pengetahuan assentual adalah ‘justifikasi’ (At-Tawjih). Justifikasi, menangkal tebakan atau ramalan yang mujur (lucky guess). Jadi, andaikan saya meramal atau menebak bahwa “Ali ada di balik dinding”, dan memang ternyata demikian, maka berarti ucapan ini memenuhi dua syarat; kepercayaan dan kebenaran, namun ia tidak memenuhi syarat ketiga. Karenanya, ia tidak bisa dianggap sebagai pengetahuan. Tiga elemen, kepercayaan, kebenaran dan justifikasi  inilah yang dijadikan sebagai definsi tradisional pengetahuan  assentual atau pengetahuan yang benar, bahkan   pengetahuan secara umum,  oleh Plato. tradisional. (Ma’refat Shenasi dini va Mu’aser, 81-86, The Theory of Knowlegde, ed: L.P. Pojman, P. 130).

Batas Pengetahuan hushuli assentual

Manusia secara naluriah didorong oleh rasa ingin tahu. Dengan bekal pengetahuan (hushuli, hushuli), sebagaimana telah dijelaskan  diatas, manusia berpeluang untuk menyingkap realitas di luar dirinya. Bahkan sebagian besar manusia ingin mengetahui segala sesuatu dan ingin memiliki pengetahuan yang mutlak. Mungkinkah itu? Apakah pengetahuan manusia terbatas ataukah tidak?

Jawabannya bisa kita temukan pada sebagian isi pembahasan  tentang skeptisisme lokal diatas, dengan berbagai versinya. Secara implikatif, mereka (kaum skeptis) mengakui keterbatasan pengetahuan manusia. Kesimpulan serupa seringkali diungkapkan oleh kaum urafa Islam, bahwa ada serangkaian hakikat yang tidak dapat disentuh oleh ketajaman akal, terlebih indera manusia. Para hukama islam menambahkan bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat  dan entitas wajibul wujud. (Jurnal Shadra no. 18, Tasawwur wa Tashdiq, M. T Fa’ali). Hingga kini, tidak ada seorangpun yang berani mengklaim sebaliknya.

Alat-alat pengetahuan hushuli assentual

Setelah memastikan bahwa manusia dapat mengenal realitas dan berpengetahuan, meski terbatas, dengan alat apakah manusia dapat mengenal realitas dan memperoleh pengetahuan assentual? Untuk mengetahui segala sesuatu, manusia memerlukan alat dan sarana tertentu untuk dapat melakukan dan menjalin hubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, yaitu indera, rasio dan emosi.

Berikut ini adalah tiga aliran besar dalam epistemologi yang memberikan tiga jawaban berbeda.

Empirisme

Ia berasal dari Yunani empiria, empeiros, dan dalam Latin experientia (pengalaman). Ia semula adalah sensasionalisme yang menganggap indera sebagai alat pengukur validitas, kemudian dikembangkan oleh sejumlah filsuf seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Stuart Mill, John Locke ((1632-1704), dan August Comte (1798-1857), menjadi positivisme.

Empirisme atau Sensasionalisme yang populer dikalangan filsuf Anglo Saxon,  beranggapan bahwa mental manusia bak lembaran putih (tabula rasa) yang bisa menerima berbagai gambar setelah indera berhubungan dengan objek-objek di luar. Benang merah Empirisme tergulung/terlilit di penggalan statemen latin Locke, “Nihil est in intellectu quad non prius fuerit in sensu” (Tidak ada sesuatupun di benak/mental yang sebelumnya tidak pernah ada pada indera) (az Bruno to Kant, Syarafuddin Khurasani hal.121).

Aliran-aliran dalam empirisme
Empirisme terbagi kepada tiga versi:
a.    Condillac (1715-1780), Positivisme dan Neo Pesitivisme yang menganggap indera eksoterik sebagai sumber sejati pengetahuan-pengetahuan konseptual.
b.    G. Barkeley (1685-1753) membatasi indera pada indera esoteric dan pengalaman-pengalaman batin.
c.     John Locke (1632-1703) dan David Hume memangdang indera dengan dua sisinya; esoteric dan eksoterik (Des Suorces de La Connaissance et de I’ignorance, R. K. Poper, terj. Parsi Abbas Bagiri, hal. 7)

Ada dua penafsiran tentang  proses kemunculan konsep-konsep universal;
  1. Bahwa konsep-konsep universal adalah konsep-konsep parsial yang sudah berubah akibat ulah akal.
  2. Bahwa Kemunculan konsep-konsep itu dimediasi  oleh konsep-konsep parsial. (1 & 2  Lihat  falsafatuna, Al-Manhaj Al-Jadid, nadzariyatul ma’rifah, dll.).

Implikasi perubahan konsep parsial menjadi konsep universal adalah hilangnya keadaaan sebelumnya, yaitu konsep parsial, sementara kita dapatkan ia (konsep parsial) tetap ada dengan kemuncualan konsep universal. Mediasi  konsep parsial bagi  kemunculan konsep universal hanya berlaku dan bias dinikmati oleh sebagian konsep universal preimer/esensial, sebagaimana dalam uraian berikut nanti.

Dasar-dasar Pemikiran Empirisme

Paham Empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Inggris, John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685- 1753), dan David Hume (1711-1776). Mereka berusaha melacak setiap proposisi sampai pada hal-hal yang dapat dialami secara inderawi. Memang kelahiran empirisme dalam rangka menentang pendapat rasionalisme ayang didasarkan atas pengetahuan intuitif dan kepastian yang bersifat apriori, yaitu yang berkaitan dengan masalah bahwa barang sesuatu sungguh-sungguh ada dalam keadaan yang sesungguhnya yang meliputi kenyataan tertentu.

Paham empirisme tampaknya diilhami oleh filsafat Aristoteles (384-322 SM) yang mengemukakan pendapatnya bahwa pengetahuan terjadi bila subjek diubah di bawah pengaruh objek, artinya bentuk-bentuk yang berada di luar diri diserap oleh subjek yang meninggalkan bekas-bekas dalam kehidupan bathinnya. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indera. Pendapat yang demikian itu ditegaskan pula oleh Thomas Aquinas (1225-1274) salah seorang penganut di abad pertengahan yang mengemukakan bahwa "… tiada sesuatu yang dapat masuk ke dalam akal yang tidak dapat ditangkap oleh indera". Dari kedua pendapat itulah tampak bagaimana pengaruh peran indera dalam hubungannya dengan proses mengetahui. Pandangan yang demikian mempengaruhi pemikiran yang menolak kemampuan akal atau rasio seperti dikemukakan oleh Descartes. (Kamus Filsafat, 197-198)

Kritik atas Empirisme

Indera hanya menangkap realitas sebagai gambaran yang ditransfer ke dalam benak. Indera tidak dapat memastikan apakah gambaran itu nyata atau palsu, seperti jalan beraspal di bawah terik matahari yang ditangkap oleh indera sebagai genanagan air yang bergerak.

Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber tunggal bagi pengetahuan assentual berarti pengakuan terhadap hukum sebab akibat. Sedangkan hukum atau hubungan kausal tersebut tidak terinderakan. Artinya, tanpa meyakini adanya hubungan kausal antara indera dan gambaran yang ditangkapnya, kaum empiris tidak akan pernah memperoleh pengetahuan assentual.

Klaim kaum empiris bahwa indera adalah sumber tunggal bagi pengetahuan assentual bersifat apriori dan tak berdasar atau berdasar pada indera itu sendiri.

Jika klaim mereka bahwa indera tidak berdasarkan rasio, maka sumbernya tentu indera itu sendiri atau bukan indera dan bukan rasio. Jika sumber indera adalah indera, maka ia akan meniumbulkan konseuensi irasional yang lazim disebut “tasalsul” atau suksesi. Jika indera tak bersumber dan tak berdasar, maka klaim kaum empiris pantas diabaikan, karena tak berdasar. Jika sumber indera adalah rasio, maka berarti mereka bukan lagi penganut empirisme dan bukan penganut materialisme.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kaum empiris juga menggunakan metode rasional, karena induksi, analogi dan silogisme merupakan elemen-elemen dalam metode inferensi rasional.

Emosionalisme

Ia adalah sebuah aliran dalam epistemologi yang mengutamakan hati dan perasaan sebagai alat penyingkap realitas. Para tokoh sufi muslim seperti Al-Ghazali atau tokoh mistik Eropa seperti Henri Bergson sangat mengandalkannya.

Emosionalisme atau moralisme atau mistikisme tidak hanya dianut oleh para filsuf muslim, namun ia telah berkembang di barat dan eropa khususnya. Henri Bergson (1805-1941) beranggapan bahwa pengetahuan assentual (yang sesuai dengan kenyataan objektif) adalah pengetahuan yang diperoleh dengan hati. Menurut filsuf perancis ini, akal bukanlah alat untuk menembus atau mengenal realitas, namun ia hanya menciptakan kontak praktis dengan realitas objektif. (Ususul-Falsafah, juz, 212).

Sebagian penganut emaosionalisme disebut dengan mistisisme. Istilah ini berasal dari kata musters dalam bahasa Latin (orang yang mencarei rahasia kenyataan). Ia berasal dari agama-agama misteri Yunani, yang pertama kali dipakai oleh Dionisius Areopagita, yaitu metode untuk mendekati Tuhan yang sama sekali tidak transenden. (Kamus Filsafat, 653). Sebagian juga menyebut emosionalisme dengan trasendentalisme meyakini keunggulan intuisi atau yang rohani atas yang empiris dan inderwi. (Kamus Filsafat, 1123).

Salah satu teori penganut emosionalisme mengatakan mengatakan bahwa pengetahuan mistik (Al-kasyf) hanya dapat diperoleh setelah jiwa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Substansinya utuh.
  2. Bersih dari kotoran (sumber-sumber keburukan)
  3. Berkonsentrasi ke alam abstrak
  4. Bebas dari fanatisme dan sikap ikut-ikutan
  5. Menyusun premis-premis yang tepat guna mencapai konklusi dengan urutan yang telah ditentukan dan berdasarkan syarat-syarat yang tela-h ditetapkan. (Nadhariyatul-ma’rifah, 180).

Para ahli irfan praktis menjelaskannya dengan cara yang lebih mudah. Disebutkan, ada tiga sumber keburukan yang menjadi kendala jiwa untuk memperoleh pengetahuan mistiik yang sering disebut dengan kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian).

Tiga sumber keburukan itu ialah Kezaliman. Secara kebahasaan, Adh-Dhulm (kezaliman) mempunyai yang arti sama dengan Adh-Dhalm (kegelapan). Secara etimologis, ia diartikan atau didefinisikan sebagai “tidak meletakkan sesuatu (material atau immaterial) pada tempatnya yang lazim”.

Kezaliman berdimensi dua; intelektual (konseptual, teoritis), dan aktual (praktis). Kezaliman konseptual (intelektual) adalah membenarkan sesuatu yang tidak benar, mengiayakan pernyataan yang keliru, dan sebagainya. Sedangkan kezaliman praktis adalah tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan. Kezaliman praktis mempunyai dua dimensi; yaitu kezaliman terhadap diri sendiri (kezaliman praktis individual), dan kezaliman terhadap orang lain (kezaliman praktis sosial).

Sumber kedua adalah kekafiran. Secara kebahasaan, Al-Kufr berarti “menutupi”, namun dalam khazanah Islam, ia diartikan sebagai “menolak, menentang”.
Kekufuran, dilihat dari objek dan sasarannya, bisa dibagi menjadi dua; kekafiran positif (terpuji) dan kekafiran negatif (tercela).

Sumber keburukan ketiga adalah kefasikan. Kefasikan (Al-Fisq) didefinisikan sebagai “penyimpangan dari kebenaran dan kebaikan”. Karena itulah, para ahli irfan dan akhlaq memasukkan maksiat dalam kategori penyimpangan psikologis atau abnormalitas. (Mabail-Ma’rifah, Nadhariyatul-Ma’rifah 179-182).

Sebagian dari tokoh mistikisme Islam mencantumkan tiga syarat untuk memperoleh pengetahuan assentual yang disebut dengan Al-Haqiqah itu.

Sampai sekarang belum ditemukan kriteria-kriteria baku tentang “hati yang jernih”, sehingga tak mengherankan bila jumlah aliran dalam mistikisme lebih banyak dan saling bertentangan. (Al-Irfan Al-Islami, Al-Irfan, Mabanil-Ma’rifah dll).

Kritik atas Emosionalisme

Klaim kaum mistis bahwa hati adalah alat yang paling tapat untuk mengenal fakta dan realitas belum tentu salah. Namun, hati di luar wilayah bahasa, sehingga ia hanya dapat dialami dan dirasakan. Ia tidak dapat dirumuskan dan dideteksi ketepatan dan kekeliruannya.

Spritualitas atau gnostika sejati tidak akan pernah dapat diraih tanpa menyembah dan mentaati Allah. Untuk menyembah dan mentaaati Allah, ma’rifah atau pengetahuan akan Allah merupakan syarat mutlak. Pengengetahuan inilah yang memerlukan rasio. (Al-Manhaj Al-Jadid, 125).

Untuk mengidentifikasi bahwa kasyf seseorang sebagai benar, tak pelak akal dan norma agama diperlukan (Al-Manhaj Al-Jadid, ibid).

Rasionalisme

Yaitu aliran yang dianut para filsuf kontinental. Mereka menganggap bahwa asal usul pengetahuan konseptual, khususnya universalia, adalah akal. Akal dalam terminologi mereka adalah suatu daya perceptual/kognitif selain indera.

Konsep-konsep yang diperoleh sebelum kontak  inderawi dan empirik (a priori) berasal dari daya tersebut. Rene Descartes (1596-1650) menempatkan konsep-konsep seperti; Tuhan, satu, gerak dan konsep-konsep matematik ke dalam konsep-konsaep a priori yang bersifat kodrati (innate), yaitu produk kodrat akal (ratio)manusia. Sementara Immanuel Kant (1724-1804) meyakini adanya serangkaian konsep-konsep sejak awal penciptaan akal manusia, seperti dalam diagram 12 kategorinya.

Dalam pada itu, Laibniz (1646-1716) secara frontal menolak analogi mental manusia dengan tabula rasa. Ia mengedit dan mengurut alfabet benang merah Empirisme yang tergulung di penggalan latin locke itu, lalu menyambungnya dengan tulisan imbuhan  “nisi intellectus ipse” (kecuali akal itu sendiri) (az Bruno to Kant, S. Khurasani, hal.151, Al-Manhaj Al-Jadid, Falsafatuna, dll.)

Aliran-aliran dalam rasionalisme

Aliran ini telah berkembang dan terpecah ke dalam sub-sub aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme Descartes (1596-1650), rasionalisme Liebniz (1646-1716), rasionalisme Spinoza (1623-1677), rasionalisme-kritisisme Kant (724-1804), rasionalisme kritis Karl R. Popper, (bahwa pengetahuan ilmialah manapun bersifat hipotetis dan diterima sejauh belum dipersalahkan, rasionalisme Al-Farabi, rasionalisme Ibnu Sina yang dikenal dengan paripatetisme, rasionalisme Ibnu Rusyd, dan rasionalisme Mulla shadra.

Aliran yang mirip atau bahkan boleh sama dengan rasionalisme adalah intelektualisme. Namun, menurut sebagian penulis buku filsafat, intelektualisme menendakan keunggulan roh dan akal budi, tanpa sekaligus membatasinya hanya pada konsep-konsep dan pemikiran diskursif yang pantas bagi akal budi manusia.

Dalam filsafat kuno, intelektualisme diwakili oleh Elea dan kaum Platonis. Dalam filsafat modern, intelektualisme dilawankan dengan sensasionalisme yang timpang. Descartes dan Spinoza juga dianggap sebagai penganutnya.

Dasar Pemikiran Rasionalisme

Aksioma dasar yang dipakai untuk membangun rasionalisme diturunkan dari gagasan (ide) yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Akal manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak mempelajarinya lewat pengalaman. (Yuyun Sumantri, 1978, Dasar-dasar filsafat, 8.2, Kamus Filsafat, 931, ibid 358)

Berpangkal tolak pada aksioma dasar itu, sistem berpikir yang dipakai adalah deduksi, yaitu berpikir dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. (ibid).

Rasio atau akal secara kebahasaan (Arab) berasal dari kata aqala yang berarti “mengikat” agar tidak lepas kendali. Lawannya adalah “kebodohan” (Al-jahl), yaitu tidak melakukan perbuatan yang semestinya dilakukan, karena tidak tahu atau karena didominasi oleh kepentingan. Ia juga lawan dari “kegilaan” (Al-Junun). (Al-Manthiq Al-Islami, 144).

Kritik atas Rasionalisme

Sekedar merujuk de dalam mental, kita tidak menemukan konsep-konsep semacam itu sejak awal.

Akan terbuktikan bahwa konsep-konsaep yang mereka sebut sebagai produk kodrat akal berpangkal pada sumber tertentu. Mereka akan menghadapi kebuntuan ketika beranjak ke dalam konteks penerapan konsep-konsaep itu pada faktanya. Sebuah konsep inasial (produk akal) bagaimana berkonotasi dan sesuai dengan fakta objektif?

Descartes dan Spinoza (1632-1766) berusaha lari dari kritik di atas, dengan berteduh dibawah dinding rapuh teologi. Descartes mengatakan bahwa Tuhan maha bijaksana. Dia bukan penipu, maka Dia tidak akan membekali akal dan mental kita dengan konsep-konsep dusta yang tak berfakta. Oleh karena itu, lanjut Spinoza, konsep-konsep itu pasti dan selalu benar. Kesalahan hanya akan terjadi akibat kebebasan manusia. (Principia philosophiae, rene Descartes hal. 60 terj. Parsi Az Bruno ta Kant, dll)

Dinding teologi ini rapuh, karena dibangun di atas fondasi epistemologis  yang tidak teraduk matang. Sekali lagi, bagaimana konsep Tuhan, bijaksana, tipu, maha dan selainnya berfakta atau sesuai dengan fakta? Apalagi seperti bijaksana dan tipu bukan berupa konsep-konsep inasual.

3.Teori Rekoleksi
Plato menyatakan bahwa konsep-konsep parsial (pistis-eikasia) diperoleh lewaat indera. Pengetaaahuan ini tidaak lebih daari dugaan (doxa). Pengetahuann sejati (episteme) adaalah universalia yang disadari dengan pengingatan kembali, yaitu dengan mempersepsi objek-objek di luar, karena jiwa pada dasaarnya sudaah mengetahuinya di alam transcendental (idea) (A History of Philosophy, F. Copleston J.1 pasal 19 terj. parsi, Mujtabawi, Falsafatuna 52-61, dll).

4.Para filsuf muslim
Berdasarkan uraian-uraian konsep parsial daan universal, mereka menganalisa bahwa konsep universal logis diperoleh berkat pengamatan akal atas konsep-konsep selainnya. Sedaangkan universal esensial muncul berkat aksi akal menyoroti perbedaaan-perbedaaan di antara konsep-konsep parsial imajinatif, lalu mengabstaksikan dan menyisihkan perbedaaan-perbedaan itu, hingga menemukan kesatuan yang berlaku pada setiap konsep-konsep imajinatif tersebut.

Sementara konsep universal filosofis diperoleh lewat perbandingan dan pengamatan relasi-relasi di antara konsep-konsep parsial imajinatif. Adapun konsep imajinatif itu sendiri nmuncul dari pengingatan mental akan konsep-konsep sensual. Dan yang terakhir ini, pada gilirannya, muncul lewat indera eksoterik atau esoterik (pengetahuan hudhuri).

Dengan demikian, mereka mempertegas aphorisma abadi Arestoteles, “Man faqada hissan faqad faqada ilman”.(Rasail Falsafi, Allamah Thaba’thabai, hal.  , Hikmatul Isyraq, Syuhrawardi, hal 278, dll)

Persepsi mental melewati beberapa tahap sebagai berikut:
Pertama adalah tahap persepsi inderawi. Yaitu hubungan langsung indera dengan suatu objek (eksternal atau internal). Kedua adalah tahap persepsi  imajinatif. Apabila   hubungan indera itu terputus, saat kita memejamkan mata, misalnya,  maka seketika konsep itu berada dalam  daya persepsi lain, yaitu imajinasi atau intuisi jika dari indera esoterik.

Dibandingkan dengan tahapan pertama, konsep imajinatif daan intuitif tidak lagi perlu hadir objeknya langsung daalam skala jangkauan indera, kendati ketiganya sama-sama berupa parsial dan tidak bebas dari sifat-sifat khusus fisikal objeknya.

Ketiga adalah tahap  persepsi rasional. Di sini mental mengabstraksi dan menyapu bersih cirri-ciri khusus dari konsep imajinatif dan intuitif, hingga menemukan kesatuan di antaranya. Dengan demkian, mental mendapatkan konsep universal. Pada tahapan ini, tidak adaa lagi batang hidung konsep parsial.

Berdasarkan tahapan ini pula, terbukti adanya daya persepsi selain indera, imajinasi dan intuisi; daya yang berurusan dengan universalia. Mereka menyebutnya dengan akal.  (Idrak e Hessi, M.T. Fa’ali, Ma’refat  Shenasi, M. Hosein Zadeh, Amuzesh e Aqa’id, Mohsen Gharawiyan, bagian epistemology, falsafatuna, dll).

Mazhab Qom tidak membedakan antara persepsi sensual dan persepsi imajinatif, karena menurutnya, ada dan tiadanya objek di sekitar indera tidak berdampak terhadap perbedaan apapun pada dua konsep tersebut. Oleh karena itu, beliau meringkas persepsi mental pada dua tahap; tahap inderawi plus imajinatif dan tahapan rasional (Al-asfar juz3, hal. 362 komentar Allamah).
`
Uraian di atas dikenal dengan Teori Tajrid wa Taqsyir (abstraksi) yang umum diterima oleh kalangan filsuf muslim sejak Arestoteles melontarkannya. Teori ini juga nampak jelas dalam analisa John Locke (Mausu’ah Al-Falsafah, A. Badawi 2/376) hingga lahirlah Hikmah Muta’aliyah, inovasi Sadrul Mutaallihin dalam Enseklopedia falsafi; Al asfar Al arba’ah.  Di dalamnya beliau merumuskan Teori Ta’ali (transendentalia, transendensi); teori yang menyelaraskan dan  mengakselerasikan tahapan-tahapan persepsi dengan strata-strata eksistensi jiwa (nafs), yaitu strata pengindera, strata pengingat dan strata penalar. Setiap derajat jiwa menciptakan konsep masing-masing. Oleh karena itu, relasi  antara konsep dan jiwa  berupa penciptaan/emanasi (shuduri atau faydh), berbeda dengan teori tajrid wa taqsyir yang menekankan pengendapan (hululi/panteistik) dan jiwa bersifat pasif.

Dalam ungkapan lain, saat organ indera berhubungan dengan suatu objek, jiwa pengindera menciptakan konsep yang sesuai denga objek itu. Lalu jiwa pada derajat yang lebih tinggi, yaitu pengingat, menciptakan konsep yang sesuai dengan konsep ciptaan/emanasi jiwa pengindera. Pada derajat yang paling tinggi (jiwa penalar) menciptakan konsep yang sesuai konsep ciptaan/emanasi derajat pengingat.

Teori ini dilandasi oleh beberapa premis (presupposition) filosofis seperti; Ashalatul Wujud, Jasmaniyatul Huduht Ruhaniyatul Baqa’, Nafs fi Wahdatiha Kulul Quwa, harakah Jauhari daan tiga alam objektif. (Idrak Hissi, Fa’ali, pasal 3, Al-asfar 3, hal. 360,435, Syash hal wa Arae Mulla Sadra, J. Asytiyani hal. 123-164, dll)

Teori At-tajrid wa At-taqsyir (abstraksi) dan teori At-ta’ali (transensensi), kendati ada perbedaan, keduanya sepakat bahwa tahapan-tahapan persepsi bersifat vertical, berbeda dengan Fakhrurrazi yang menjabarkannya secara horizontal. (Idrak e  Hisssi, T.Faali, pasal 3)

Proses vertikal dalam tahapan-tahapan persepsi dimulai dari partikularia  (yang parsial) ke universalia (yang general). Sebaliknya, dalam induksi/sillogisme tahapan berfikir bergerak dari universal ke parsial.

Adanya sekumpulan konsep yang diperoleh tanpa andil indera, sebagaimana klaim Empirisme. Namun, konsep itu juga bukan keniscayaan kodrat akal manusia, sebagaimana klaim Rasionalisme, atau pengingatan kembali sebagaimana teori Rekolaksi Platonian.

Tiga tahapan versi teori Tajrid wa Taqsyir hanya  berlaku pada universalia esensial. Sedangkan universal filosofis, kendati melalui dua tahapan pertama, namun pada tahapan ketiga; persepsi  rasiaonal, akal melakukan perbandingan terhadap  konsep imajinatif atau sensual, lalu mencermati nisbah/relasi di antara keduanya dari aspek atau perspektif terentu, kemudian mengabstarksikan ciri-ciri khusus keduanya. Misalnya, asumsikan  “berfikir” dan “jiwa pemikir” sebagai dua konsep intuitif yang diperoleh dari pengetahuan hudhuri, seraya membandingkan dan mencermati nisbah atau relasi antara keduanya dari aspek kejadiannya, maka kita akan kita mendemukan  ketergantungan realitas berfikir pada wujud sang pemikir.

Ini berarti   kita temukan tiga konsep baru; yang bergantung (berfikir), yang digantungi/tempat bergantung (sang pemikir) dan relasi unik antar keduanya, yaitu ketergantungan eksistensial/real.

Lalu, kita mengabstraksikan dan menyisihkan fariabel-fariabel pembeda/ciri-ciri khusus yang ada pada tiga konsep tersebut, seperti berfikir dan sang pemikir. Maka, yang tesisa adalah yang bergantung yang biasa kita sebut dengan akibat, yang digantungi; yang biasa kita sebut dengan sebab, dan ketergantungan yang dikenal dengan kasalitas. Dengan demikian, kita telah mendapatkan tiga konsep baru, sebab, akibat dan kausalitas yang biasa berlaku  pada selain “berfikir” dan “pemikir” yang memiliki relasi  demikian.

Dari aspek dan perspektif lain, kita biasa menemukan konsep universal filosofis lain dari berfikir dan pemikir, seperti konsep awal,  akhir, niscaya, mungkin, dan sebagainya (Nihayatul Hikmah, Thabathabai hal. 257, Ma’qul e Tsani, F.Esykevari hal. 226-230).

Sedangkan ‘universal logis’ tidak bisa diperoleh hanya dengan tiga tahapan persepsi itu. Mental mesti beranjak dari tahapan ketiga dengan mengamati konsep-konsep yang ada pada semua tahapan sebelumnya; parsial maupun universal, lalu muncullah konsep-konsep universal yang menjelaskan sifat-sifat konsep-konsep di tahapan-tahapan tersebut, seperti pengamatan mental terhadap  konsep manusia (universal esensial) lalu mendapatkannya bisa berlaku atas  Budi, Agus dan Luluk dan lainnya.  Keberlakuan ini adalah suatu sifat untuk konsep manusia yang disebut dengan istilah universal.(Ma’qul Tsani, F. esykevari, hal. 204).

Kini sampailah kita pada tahap   keempat; yaitu tahap  produksi  konsep-konsep universal logis.

Syarat-syarat Pengetahuan hushuli Assentual

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak meraih pengetahuan assentual adalah sebagai berikut;
1.    Talenta (Bakat). Yaitu sebuah potensi inheren dalam diri setiap orang agar cara yang ditempuhnya jitu secara intelektual dan aktual. Evaluasi biasanya dapat menyingkap dan mengukur kebaradaan potensi pada seseorang untuk melakukan sebuah pencarian atau penelitian.
2.    Intelektualitas. Yaitu kemampuan untuk berfikir secara ilmiah. Syarat ini dapat dipenuhi dengan berlatih melakukan kritik ilmiah. Evaluasi juga dapat mengukur apakah seseorang memiliki karakter dan mentalitas ilmiah.
3.    Wawasan ilmiah. Yaitu penguasaan ilmiah terhadap subjek yang hendak dipelajari, atau, minimal, minat dan perhatian secara memadai terhadap tema yang akan dibahas.
4.    Kejujuran dalam Mengutip. Yaitu sikap moral yang dapat mengontrol diri agar tidak menambah atau mengurangi, mendistorsi, dan mereduksi keterangan atau pendapat yang akan dikemukakan berkenaan dengan tema yang akan dibahas.
5.    Transparansi dan Keterusterangan. Yaitu bersikap terbuka dalam mengutara-kan pendapat, karena peneliti adalah pencari kebenaran.
6.    Objektivitas. Yaitu tidak menyisipkan kepentingan atau pertimbangan individual dan subjektif dalam mengutarakan pendapat, namun semata-mata karena substansi realnya.
7.    Kejelasan. Yaitu bahwa peneliti dan pencari kebenaran harus mempunyai tujuan yang jelas, langkah-langkah yang jelas, dan kesimpulan-kesimpulan yang signifikan.
8.    Metodologi (Sistematika). Yaitu, bahwa pencari kebenaran atau peneliti hendaknya berpegang pada sebuah metode ilmiah dalam melakukan penelitian atau pencarian.
9.    Moralitas. Yaitu, bahwa setiap peneliti dan pencari kebenaran hendaknya menyandang kesabaran, ketekunan atau ketelatenan, penghormatan terhadap pendapat orang lain, baik benar maupun salah, sederhana maupun berbobot, rendah hati dan tidak pongah atau sok pintar. (Ushulul-Bahts, 341-343, Kasyfudh-Dhunun, 1/35-36).

Peringkat-peringkat pengetahuan hushuli assentual

Pengetahuan husuli dapat dibagi, berdasarkan entensitas kulaitasnya, menjadi tiga:
  1. Pengetahuan hushuli assentual yang diragukan.
  2. Pengetahuan hushuli assentual yang diduga.
  3. Pengetahuan hushuli assentual yang dipastikan atau diyakini.

Sifat-sifat pengetahuan hushuli assentual

Ada beberapa pertanyaan penting berkenaan dengan pengetahuan asentual atau realitas secara umum, yaitu sebagai berikut:

  1. Pengetahaun assentual permanen atau temporal?
Pertanyaan yang sangat penting ini telah mengundang bermacam jawaban. Para filsuf modern melancarkan kritik tajam terhadap penganut logika klasik karena alasan ini. Para filsuf modern yang telah bersepakat untuk meyakini adanya perubahan dalam realitas objektif dan material, menganggap realitas sebagai sesuatu yang dinamis dan temporal, seperti realitas historis yang telah berlalu, realitas matematik yang sejak semula tidak memiliki realitas objektif, rallitas psikis yang senantiasa berubah-ubah.

Sebenarnya realitas itu bersifat permanen sekaligus temporal. Bahwa Socrates adalah murid Plato pada abad keempat SM adalah realitas historis yang telah berlalu, namun ke-muridan- Aristo bagi Plato adalah fakta yang permanen.

  1. Pengetahuan assentual absolut atau relatif?
Sejumlah pemikir dan filsuf modern menolak realitas absolut dan meyakini adanya realitas yang relatif. Mereka adalah penganut relativisme.

Penadapat dan aliran ini didasarkan pada anggapan bahwa esensi segala sesuatu tidak dapat diungkap secara mutlak, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti alat pengetahuan dan konteks tempat dan waktu yang turut mempengaruhi kemunculan pengetahuan dalam diri seseorang sehingga boleh jadi dua orang memahami suatu objek yang sama dengan dua cara yang berlainan. Karenanya, kebenaran atau realitas segala sesuatu, menurut mereka, bersifat relatif.

Klaim bahwa kebanaran dan realitas hanyalah bersifat relatif tidak dapat diterima, karena bila ada sebuah objek tertentu yang ditangkap dengan cara yang berlainan oleh tiga orang, mislanya, maka pasti ditangkap dan difahami oleh salah satu dari tiga orang tersebutlah yang faktual dan benar, sedangkan yang lainnya pasti salah. Adapun manakah yang sesuai dengan realitas dan benar secara mutlak, maka itu tidak bersangkutan dengan masalah relativitas. (Ususul-Falsafah, juz, 189-191).

  1. Pengetahuan assentual dinamis atau statis?
Bila sebuah proposisi atau konsep telah dipastikan benar atau valid atau sesuai dengan realitas objektif, maka ia  (realitas yang telah diketahui tersebut) tidak akan bisa berubah dan berevolusi sehingga menjadi lebih benar atau validitasnya menanjak?

Ambillah sebuah contoh berupa proposisi historis “Aristoteles adalah murid Plato” atau propisisi natural “Logam akan memuai karena panas” atau propisisi matematik “segitiga sama dengan dua sudut tegak” atau proposisi filsofis “siklus dan suskesi adalah invalid”, lalu pertanyakan: “adakah salah satu dari proposisi-proposisi tersebut yang berkembang atau terbukti makin benar”.

Asumsi “keberkembangan” dan “evolusi” yang dikaitkan dengan pengeteahuan semata-mata akibat dari pandangan dunia materialisme para filsuf yang melontarkan pertanyaan di atas. Pengetahuan adalah ide. Ia bukan benda yang dapat berubah, berkembang dan bergerak.

Cara Memperoleh Pengetahuan hushuli assentual
Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan assentual (faktual, Al-Ma’rifah Al-Yaqiniyah, At-Tashdiqiyah) dan pengetahuan non assentual (tidak faktual, Al-Ma’rifah Al-Kadzibah)?

Rasionalisme telah menawarkan kiat menghindari kesalahan berfikir dan pengetahuan invalid,  yaitu logika. Aristoteles telah berjasa bagi umat manusia dengan membuat sistematika berfikir, yang lazim disebut dengan logika klasik atau logika aristotelian. Pada masa-masa selanjutnya, sejumlah filsuf mengkritik logika klasik dan memperkenalkan logika modern, seperti logika modern Descates (Cartesian), logika Hegelian (Dilalektika), dan logika Kantian (Kritisisme). Namun, bila dikaji lebih dalam, mereka sebenarnya tidak membuat sistematika yang baru. (Ususul-Falsafah, juz, 171).

Manfaat Pengetahuan hushuli assentual

Dengan bekal pengetahuan rehudhuri assentual, akal dapat memainkan lima peran sebagai berikut:
    • Menghadapi problema (yang belum diketahui).
    • Mengenali jenis (macam) problema tersebut
    • Berpindah dari problema tersebut ke sebagian data pengetahuan yang telah tersimpan dalam memorinya.
    • Bergerak di antara data pengetahuan tersebut untuk diperiksa, dan memadukan antara data tersebut dengan problema yang sesuai dengannya guna menyelesaikannya.
    • Berpindah dari data yang telah dipadukannya dengan kesimpulan yang diharapkan. (Ushulul-Bahts)

Elemen-elemen Pengetahuan hushuli Assentual

Pengetahuan assentual terdiri dari empat pilar:
  1. Subjek
  2. Predikat
  3. Nisbah (kopula) antara subjek dan predikat, seperti adalah, yaitu, ialah, dll.
  4. Ketetapan (Penetapan).

Pada dasarnya, substansi assentual terletak pada pilar ke empat. Tanpa itu, ia kembali berupa konseptual, seperti pada contoh keadilan Ali (Ma’rifat Shenasi, H. Ibrahimiyyan, hal. 95, Ma’rifat Syenassyi, M. Hosein Zadeh, hal. , Al-Manhaj Al-Jadid, hal 1/186).

Dua pengetahuan hushuli assentual

Sebagaimana pengetahuan (hushuli) konseptual, pengetahuan (hushuli) assentual, berdasarkan muatan proposisinya, terbagi dua:
  1. Pengetahuan assentual ekstemporal (badihi, aksiomatis), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh tanpa pembuktian
  2. Pengetahuan assentual non ekstemporal (nazhari), yaitu pengetahuan assentual yang diperoleh dengan pembuktian/pengetahuan asentual lainnya.

Selain dapat dibagi menjadi konseptual (tashawwuri) dan assentual (tashdiqi),  pengetahuan hushuli juga dapat dibagi menjadi badihi dan nadhari. Masing-masing bagian juga terbagi ke dalam beberapa bagian, berdasarkan asas pembagian yang berbeda-beda.
Pengetahuan hushuli dapat dibagi berdasarkan butuh dan tidaknya pada bukti, terbagi dua; 
1.   Pengetahuan hushuli ekstemporal konseptual atau apriori konseptual  (Al-Ma’rifah Al-Badihiyah Al-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan-pernyataan (premis-premis) yang dapat dipastikan kebenarannya tanpa bukti apapun, seperti pernyataan “semua lebih besar dari sebagian” dan “hitam dan bukan hitam pasti tidak bersatu”. Hanya dengan bekal konsentrasi, indera sehat, dan akal sehat, setiap manusia dapat memastikan kebenaran dua contoh pernyataan di atas. Sebagian mendefinisikannya sebagai konsep yang tidak perlu didefinisikan.
2.   Pengetahuan hushuli non-ekstemporal atau aposteriori konseptual (Al-Ma’rifah An-Nadhariyah At-tashawwuriyah). Yaitu pernyataan (premis-premis) yang dipastikan kebenarannya berbadasarkan pernyataan (premis) ekstemporal atau pernyataan non ekstemporal sebelumnya, seperti “alam bermula dari tiada”. Kebenaran pernyataan ini dapat dipastikan karena didasarkan pada dua pernyataan sebelumnya, “alam berubah karena ia tersusun” dan “semua yang tersusun bermula dari tiada”. Ia juga didefinisikan sebagai konsep yang perlu didefinisikan.













PENGETAHUAN HUSHULI EKSTEMPORAL
Dua macam Pengetahuan hushuli ekstemporal
Pengetahuan hushuli ekstemporal (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah Al-Badihiyah), baik konseptual maupun assentual, dilihat dari aspek kualitas isinya terbagi dua;
  1. Pengetahuan ekstemporal prima (Al-Badihiyah Al-Awwaliyah).
  2. Pengetahuan ekstemporal sekunda (Al-badihiyah Al-tasnawiyah)

Pengetahuan hushuli ekstemporal prima
Pengetahuan ekstemporal primer adalah bahan baku “pembuktian langsung”, atau sebuah atau beberapa pernyataan pasti benar yang menjadi cikal bakal dan dasar bagi setiap pernyataan ekstemporal sekunder (kedua) dan setiap pernyataan premis non-ekstemporal.

Pernyataan (premis) ekstemporal primer meliputi dua hukum, hukum non kontadiksi dan hukum kausalitas.

Sedangkan pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda meliputi banyak pengetahuan yang telah dipastikan validitasnya berdasarkan pembuktian yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal prima.

Hukum Non-kotradiksi

Yaitu pengetahuan atau pernyataan bahwa “dua hal yang berkontradiksi   tidak bertemu”, yang lazim disebut “hukum kontradiksi” atau "hukum non kontradiksi" (At-Tanaqudh),

Hukum ini merupakan  postulat aksiomatis yang disepakati oleh setiap manusia, secara sadar dan tidak.

Untuk memahaminya, kita perlu menyoroti pengertian “kontradiksi” dan pengertian “bertemu” yang terkandung dalam hukum tersebut. Setelah kita mengkaji wacana dialektika secara kritis.

Definisi “Kontradiksi”

Ia adalah pertentangan mutual antara sesuatu yang afirmatif dan negatif.
Marx dan para pengikutnya menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya potensia dan aktus dalam setiap entitas.

Definisi “bertemu”

Ada sembilan kesatuan (al-wahdah, unitas) yang seluruhnya merupakan syarat dalam paradoks kontradiksi, yaitu sebagai berikut:
  1. Unitas subjek
  2. Unitas predikat
  3. Unitas tempat
  4. Unitas waktu
  5. Unitas relasi
  6. Unitas potensia dan aktus
  7. Unitas ‘seluruh’ dan ‘sebagian’
  8. Unitas kondisi (syarat)
  9. Unitas predikasi (penyandangan, Al-haml), yang  merupakan tambahan dari  Mulla Shadra. (Muhadharat fil-Aqidah, 120, dll).

Masalah kontradiksi atau inversi  dan sarat-syaratnya akan dibahas secara rinci dalam logika.

Hukum Sebab-akibat

Yaitu pernyataan “setiap yang mungkin pasti membutuhkan sebab”, yang lazim disebut hukum kausalitas (Qanun Al-Illiyah).

Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan ekstemporal kedua (Al-badihiyat Al-tsanawiyah) adalah pengetahuan-pengetahuan gamblang yang lahir dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer, seperti pengetahuan bahwa “angka 1 lebih kecil dari angka 2.

Lima Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunda
Pengetahuan hushuli ekstemporal sekunder terbagi menjadi lima;
  1. Pengetahuan ekstemporal sekunda sensual (Al-musyahadat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir atau batin, seperti penilaian (kesimpulan) bahwa matahari bersinar, api panas dan sebagainya, yang dipastikan oleh akal dengan bantuan indera lahir, pengetahuan kita tentang nyeri dan lapar yang ditangkap oleh akal dengan perantara indera batin.
  2. Pengetahuan ekstemporal sekunda eksperimental (At-Tajribiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir yang dilakukan berulang kali.
  3. Pengetahuan ekstemporal sekunda popular (Al-Mutawatirat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang bersemayam dalam benak secara kuat sehingga tidak mungkin akan diusik oleh setitikpun keraguan terhadap isinya karena diyakini oleh banyak orang, sehingga sulit dipercaya bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, seperti pengetahuan tentang adanya sebuah kota bernama Isfahan di Iran.
  4. Pengetahuan ekstemporal sekunda inspiratif (Al-Hadsiyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara insting, seperti pengetahuan kita bahwa cahaya bulan diperoleh dari matahari.
  5. Pengetahuan ekstemporal sekunda intuitif (Al-Fithriyat). Yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara premis itu sendiri, seperti pengetahuan bahwa dua adalah seperlima dari sepuluh. (Nadhariyatul-ma’rifah 40-42, Hasyiyah tahdzibul-Manthiq, hal. 111, Al-jauhar An-nadhith, hal. 200-202).

Disebutkan bahwa sebagian muhaqqiq tidak memasukkan pengetahuan-pengetahuan badihi tsanawi (ekstemporal sekunder) diatas sebagai ekstemporal. Kaum rasionalis menganggap seluruh premis empiris bergantung pada pengetahuan-pengetahuan ekstemporal primer. Karena itulah, pengetahuan ekstemporal sejati hanyalah yang primer atau yang biasa disebut dengan Al-badihiyat Al-awwaliyat, Usus Al-Falsafah, Thababa’i dan Muthahhari, 126).

Dua Penafsiran tentang “Badihi”

Para filsuf dan ahli logika memaknakan “tanpa pembuktian” yang terdapat diakhir definisi pengetahuan badihi dengan dua pengertian:
  1. ‘Tanpa pembuktian’ ialah tanpa “perlu” pembuktian (Al mantiq, M. R. Muzhaffar, hal. 16, Nihayatul Hikmah, harhalatul aqil wal Ma’qul, dll)
  2. ‘Tanpa pembuktian’ ialah “tidak mungkin” dibuktikan.  Dengan demikian, jika  pengetahuan assentual badihi hendak dibuktikan (dengan pengetahuan assentual lainnya) niscaya berakhir pada dua implikasi absurd; sirklus dan tasalsul (suksesi). Oleh karena itu, pengetahuan badihi mustahil dibuktikan.

Dasar-dasar klaim ekstemporalitas

Teori ‘ekstemporalitas’ (Nazhariyah al-badahah) berdiri di atas beberapa fondasi sebagai berikut:
  1. Teori ini membagi rangakaian pengetahuan-pengetahuan manusia menjadi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan badihi (ekstemporal, aprior), sedangkan bagian kedua adalah pengetahuan nazhari (non ekstemporal, aposterior).
  2. Pengetahuan-pengetahuan badihi terbagi dua. Bagian pertama adalah pengetahuan ekstemporal primer (Al-badihiyat al-awwaliyah). Bagian kedua adalah pengetahuan ekstemporal sekunder yang terbagi lima atau enam. Pengetahuan badihi mencakup pengetahuan subjektif dan objektif.
  3. Pengetahuan badihi tidak mengalami kekeliruan. Seandainya pengetahuan badihi bisa salah, padahal ia sumber semua pengetahuan manusia, maka kebenaran semua pengetahuan manusia tidak bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya ialah bahwa pengetahuan-pengetahuan manusia bermacam dua; pengetahuan yang bisa keliru, yaitu pengetahuan aposterior (Al-kasbiyat) dan pengetahuan yang tidak bisa keliru, yaitu pengetahuan aprior (Al-badihiyat)(Ulum e Payeh, 205).

Ciri-ciri Pengetahuan ekstemporal

Pengetahuan badihi dapat dikenali beradasarkan ciri-ciri khasnya.
  1. Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak meleset atau keliru.
  2. Pengetahuan-pengetahuan badihi secara kuantitatif sedikit, namun memiliki urgensi sangat besar.
  3. Pengetahuan-pengetahuan badihi tidak memelukan justifikasi dan pembenaran, bahkan ia merupakan bahan dan alat justifikasi bagi pengetahuan-pengetahuan manusia yang aposterior.(Ulum e Payeh, 209).

























PENGETAHUAN HUSHULI NON EKSTEMPORAL
Pengetahuan hushuli non ekstemporal adalah pengetahuan yang validitasnya membutuhkan justifikasi dan pembuktian, seperti ‘kurang minum dapat mengggangu ginjal’.

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal
Pengetahuan hushuli non ekstemporal, dapat pula dibagi berdasarkan aspek bebas dan tidak besanya dari nilai kebenaran, dapat diabagi dua;
1.       Pengetahuan hushuli non esktemporal assentual, seperti pengetahuan seorang ahli metalurgi bahwa "logam akan memuai jika dipanaskan".
2.       Pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual, seperti premis ‘ada seseorang berkepala lima di Nikaragua’

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal konseptual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal konseptual (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashawwuriyah) terbagi dua;
  1. Terma (Al-Had) sempurna dan tidak sempurna
  2. Forma (Ar-Rasm) sempurna dan tidak sempurna.

Dua pengetahuan hushuli non ekstemporal assentual
Pengetahuan hushuli non-ekstemporal assentual (Al-Ma’rifah Al-Hushuliyah An-Nadhariyah At-Tashdiqiyah) terbagi tiga;
1.     Pengetahuan hushuli non ekstemporal-assentual deduktif (At-Tashdiqiyah Al-Qiyasiyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis universal (general) ke premis parsial (personal), sebagaimana akan diterangkan.
2.     Pengetahuan non ekstemporal-assentual induktif (At-Tashdiqiyah Al-Istiqra’iyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial (personal) ke premis universal (general).

Logika modern, sebagaimana dicetuskan oleh Stuart Mill, juga dilengkapi dengan “lima cara” yang merupakan tata cara melakukan induksi.

Induksi bisa menjadi dasar yang valid, terlepas dari deduksi, sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Baqir Shadr. (Mudzakkiratul-Manthiq, Al-Usus Al-Manthiqiyyah lil-Istiqra, 17-23).

  1. Pengetahuan non ekstemporal-assentual analogis (At-Tashdiqiyah At-Tamtsiliyah). Yaitu pengetahuan yang dihasilkan melalui inferensi dari premis parsial ke premis parsial.

2. Kontroversi seputar ekstemporal dan non ekstemporal  Yaitu Para filsuf dan ahli logika berselisih pendapat dalam melacak kriteria atau norma aksiomatika suatu konsep dan membedakannya dari konsep spekulatif.


Pendapat Descartes

Perceptio clara et distincta (jelas dan berbeda) adalah upaya Descartes dalam mengakhiri pelacakan di atas. Ia memandang pengetahuan konseptual pada tiga macam:
  1. Konsep rasional (innate) yang lahir dari kodrat akal, seperti konsep Tuhan, satu, gerak, dll.
  2. Konsep sensual (adventitae) yang muncul dari hubungan indera dengan entitas di luar.
  3. Konsep fiksial imajinatif (factitae) yang muncul berkat daya khayal mental, seperti Centaur (makhluk fiktif dalam legenda Yunani kuno, sama dengan buraq  dalam sastra muslimin).

Descartes menilai bahwa norma di atas ditemukan pada konsep-konsep macam pertama, sedangkan  dua macam konsep lainnya; sensual dan fiksial, tidak jelas dan tidak berbeda/istimewa, karena konsep fiksial tidak memiliki fakta objektif, sementara  konsep sensual tidak pasti sesuai dengan faktanya. (Ma’rifat e Shenasyi, M. Hosein Zadeh, hal. 33, Ma’qul e Stani, Fanai’ Esykevari, hal. 142, dll)

Kritik atas Descartes

Norma itu sendiri tidak jelas; apakah pengertian dan batasan  jelas dan berbeda dengan tidak jelas dan tidak berbeda. Kritik-kritik atas Rasionalisme  dan konsep-konsep innate yang tesebut sebelumnya memberangus norma ini secara prinsipal.

Pendapat Ibnu Sina

Ia mengatakan bahwa konsep-konsep seperti ada, sesuatu dan satu tidak bisa diperjelas dan didefinisikan oleh konsep apapun. Konsep-konsep itu jelas dengan sendirinya, karena mutlak dan melipet segala sesuatu. Teori ini dikenal dengan Al-a’ammiyah atau holitas. (Asy-syifa’ fil- Ilahiyyat, Ibnu Sina hal. 29, Ilmu Kulli Mahdi Haeri Yazdi, hal. 18, dll).

Pendapat M.T Misbah Yazdi

Ayatullah M. T. Misbah Yazdi dan filsuf kontemporer lainnya serta A.C. Ewing berpendapat bahwa konsep yang diperoleh melalui  persepsi langsung  (hudhuri) adalah aksiomatis. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan   ‘prsepsi langsung’ itu.

Ayatullah Misbah Yazdi mengidentikannya dengan pengetahuan hudhuri, sedangkan Ewing memandangnya lebih luas, hingga mencakup pengetahuan hushuli sensual (sense data), sebagaimana yang dianut oleh Persepsionisme, seperti Thomas Reid (1710-1796), octave Hamelin (1856-1907), Victor Cousin (1792-1867), Arthur Schopenhauer (1788-1860), Herbert Spencer (1820-1903) dan Henri Bergson (1859-1941) (Manhaj jaded, Foundamental questions of fhilosophy, Ewing hal. 97,107 terj. parsi S. Yusuf Stani, Vicabulaire Technique et Critique de La philaosophie, Andre Lalande, hal.564, terj. parsi Gulam ridha Wastiq, dll).

Pendapat Mutahhari

Simplisitas (Basathah) adalah pandangan mutakhir yang diusulkan Syahid M. Muthahhari (1338 HQ-1358HS) dalam beberapa diskursus falsafinya.  Beliau menjelaskan bahwa pwndefinisian suatu konsep adalah penguraiannya kepada unsure kesamaan (genus) dan unsure Keistimewaan (diferentia). Jika suatu konsep tidak memiliki unsure, dengan kata lain; sederhana (simple) maka ia tidak bisa didefinisikan dan berhak menyandang gelar badihi (Syarah Al-Mandhumah, M. Muthahhari, terj. Arab. M. Wahbi  1/26).Descartes di sebagian statemennya dalam Principia Philosophiae mendukung norma ini.

Pendapat Jawadi Amuli dan Mehdi Haeri Yazdi

Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Mahdi Haeri Yazdi (1923-1998) Mengembalikan seluruh konsep-konsep;badihi dan nadharinya, kepada satu induk konsep, yaitu konsep ada (wujud). Menurut mereka, puncak konsep-konsep badihi adalah konsep ada. M. Haeri Yazdi berargumen bahwa definisi logis apapun menggunakan genus, dan ia (genus) pada akhirnya didefinisikan jauhar (substansi) atau aradh (aksiden), sedangkan keduanya didefinisikan oleh konsep ada; substansi adalah wujud esensi yang tidak pada suatu objek, dan   aksiden adalah wujud esensi yang ada pada suatu objek.

Dengan demikian, bangunan pengetahuan konseptual secara analogis serupa dengan hirarki realitas. Di sini, kedudukan konsep  sejajar dengan entitas Wajibul Wujud. Ia jelas dengan sendirinya, sementara Wajibul Wujud ada dengan sendirinya (Rahiq Makhtum, Jawadi Amuli, Ilmu Kulli, M. Haeri . Yazdi, Ilmu Hudhuri edisi Parsi, F. Esykevari, dll)

Pendapat Al-Fakhrul-Razi

Fakhrurrazi, Imamul Musyakkikin, meyakini bahwa semua pengetahuan konseptual adalah badihi (Ganjineh Kherad, M. Hadawi Tehrani, hal. 1/222) Sebaliknya, John Stuart Mill (1806-1873), William James (1842-1910) dan Baldwin bersepakat  bahwa seluruh pengetahuan manusia, termasuk akan dirinya, bersifat nadhari (Vocabulaire Technique et Critique de La Philosophie, Andre Lalande, hal. 564, terj. Parsi G. R.  Wastiqq).

Kedua klaim di atas tertolak dengan validnya aksi definisi. Lain dari itu, dengan introspeksi mental sejenak, kita akan menemukan serangkaian konsep yang pada mulanya samar, lalu menjadi jelas berkat definisi. Dan segala definisi pasti berakhir sebagaiman pada poin di bawah ini.

Konsep-konsep nadhari hanya bisa didefinisikan dengan konsep-konsep badihi. Anggapan bahwa konsep-konsep badihi masih perlu didefinisikan adalah invalid, karena akan terjadi tasalsul (degresi/suksesi) yang pada akhirnya kita tidak akan mendapatkan konsep yang jelas dan definitive. Dengan kata lain, segala pendefinisian mesti berhulu pada stop place (klimaks mata rantai) yang dikuasai konsep-konsep badihi. Descartes pernah menyitir bahwa upaya para filsuf untuk mendefinisikan konsep-konsep badihi hanya memupuk kekaburannya (Principia philosophia, R. Descartes, terj. Parsi M. Shani’ie, hal. 45).

Kebadihian dan ekstempralitas  suatu konsep tidak berarti tidak memerlukan penjelasan. Meski, penjelasan yang dimaksu di sini adalah penyadaran (akan hal-hal yang sudah jelas namun terlalaikan) (Rahiq Makhtum, Jawadi Amuli, 1/177, Asy-syifa’, Ilahiyyat, Ibnu Sina, hal.29, dll).


Logika

Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia dipisahkan dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.





















EKSISTENSI OBJEKTIF


Maujud objektif, sebagaimana telah dijelaskan, adalah wujud itu sebagai wujud, yang merupakan realitas universal segala sesuati.

Mazhab Qom membagi wujud objektif atau realitas menjadi dua; entitas obhjektif sejati dan entitas objektif artifisial .

Sebenarnya, entitas objektif buatan ini bukanlah entitas objektif sejati karena ia tidak memiliki eksistensi real objektif. Sebenarnya ia adalah salah satu dari entitas-entitas subjektif.


ENTITAS OBJEKTIF BUATAN

Entitas objektif buatan (Al-waqi’ Al-I’tibari) adalah maujud subjektif  yang diasumsikan (diandaikan, dianggap) sebagai realitas objektif.

Ciri-ciri ‘Maujud (objektif) buatan’
Entitas buatan (Al-maujud Al-I’tibari) memiliki sejumlah ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:
  1. Entitas buatan bisa diletakkan dan dicabut.
  2. Entitas buatan mengalami perubahan dan perpindahan
  3. Entitas-entitas buatan tidak berbenturan dan bertentangan. Dengan lain bermacam entitas buatan dapat berkumpul dalam satu wadah.
  4. Hal-hal sejati tidak mesti diterapkan atas hal-hal buatan, karena domain ‘entitas buatan’ berbeda dengan domain ‘entitas sejati’.
  5. Sesuatu yang mustahil dalam hal-hal sejati menjadi mungkin dalam hal-hal buatan.
  6. Entitas buatan adalah akibat dari dua sebab; material dan efesien.
  7. Entitas buatan dapat diciptakan dan diadakan pihak yang berkompeten membuatnya. (Al-Falsafah Al-ulya, 100-101)

Para filsuf ontologi menyebutkan sejumlah contoh maujud tak hakiki (entitas artifisial, al-maujud al-I’tibari), yang masing-masing memiliki pengaruh secara khusus,sebagai berikut:
  1. Posesi atau kepemilikan.
  2. Pasangan
  3. Jabatan dan tugas
  4. Tanah Air dan negara
  5. Mata uang dan alat taransaksi
  6. Kelompok-kelompok
  7. Lencana dan simbol
  8. Tanda dan rambu-rambu
  9. Pakaian dan makanan
  10. Kemenangan dan kekalahan dalam perang
  11. Kebersihan dan kekotoran
  12. Ritus dan upacara-upacara keagamaan
  13. Tradisi dan kultur
  14. Permainan dan perlombaan
  15. Ucapan dan bahasa
  16. Tulisan dan garis
  17. Satir, pribahasa
  18. Pujian dan celaan
  19. Kekaguman dan cinta berlebihan
  20. Kontrak dan tranasaksi-transaksi
  21. Perjanjian dan perundingan antar negara (Ushul al-falsafah, juz 1, hal. 251, Al-falsafah Al-ulya, 99-100).

Dua Macam maujud objektif buatan
Manusia hidup dalam berbagai kelompok masyarakat. Karena itulah mereka menggunakan bahasa sebagai media berkomunikasi dan berinteraksi antar mereka. Karenanya Maqzhab qom membagi  entitas objektif buatan (yang sebenarnya sama dengan entutas subjektif) menjadi dua;

1.           Eksistensi (entitas subjektif) tekstual atau redakasional (Al-Wujud Al-Katbi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik berupa tulisan dengan garis-garis dan titik yang membentuk huruf tertentu sebagai sebagai pengganti wujud objektif benda yang kita inginkn. Contohnya, ketika kita menyebut benda objektif yang selalu digunkan sebagai tempat makan, kita memberinya eksistensi simbolik berupa bunyi dengan sebutan “piring” ( p i r i n g) agar tidak harus menghadirkan “piring objektif”  setiap saat kita mengingat atau memikirkannya.
2.           Eksistensi (entitas subjektif) verbal (Al-Wujud Al-Lafdhi). Yaitu ke-ber-ada-an simbolik berupa suara sebagai pengganti benda objektif  ketika kita menginginkannya.


ENTITAS OBJEKTIF SEJATI

Entitas objektif sejati  (Al-Waqi’ Al-Haqiqi). Adalah maujud objektif yang mempunyai efek eksternal.

Wujud sejati atau entitas hakiki terbagi dua;
1.     Maujud yang memiliki ke-ada-an  mandiri (Al-wujud Al-mustaqil), disingkat ‘maujud mandiri’.
2.     Maujud yang memiliki ke-ada-an  yang tidak mandiri (Al-wujud Al-rabith), disingkat ‘maujud tidak mandiri’.

Untuk bergantung pada wujud mandiri, wujud tak mandiri tidak memerlukan adanya penghubung beruapa wujud ketiga. Artinya, ada suatu ikatan atau relasi di antara kedua wujud tersebut, namun tidak berupa wujud lain yang menjadi perantara. Seandainya hubungan  wujud tak mandiri dengan wujud mandiri diperantartai oleh wujud lain,  maka ia (wujud ketiga yang diasumsikan sebagai perantara tersebut), karena berupa wujud yang tak mandiri, memerlukan wujud keempat yang juga tidak mendiri sebagai penghubung,  dan begitulah seterusnya.  Hubungan atau rabth (bukan wujud ketiga yang menjadi penghubung atau rabith) ada dalam dua wujud tersebut; mandiri dan tak mandiri. (Nihayatul-Hikmah, 38, Wujud Rabith wa Mustaqil, 234).

Mulla Sahdra membagi entitas entitas atau realitas sejati menjadi dua sebagai berikut:
1.   Entitas objektif hakiki mandiri. Yaitu realitas yang menjadi substansi eksistensial.
2.   Entitas objektif hakiki tidak mandiri. Yaitu realitas yang menjadi predikat pada substansi eksistensial.

Dua Macam ‘maujud sejati tak mandiri’
‘Maujud bergantung’ bermacam dua;
  1. Maujud atau entitas bergantung yang berdiri di antara dua sisi, yang disebut dengan Al-Wujud Al-Maquli, seperti wujud relasi-relasi (Al-Idhafat wa An-Nisab).
  2. Maujud Wujud bergantung yang berdiri pada satu sisi semata, yang disebut dengan Al-wujud Al-Ma’luli, seperti wujud ‘akibat’ bila dikaitkan dengan sebabnya.

Entitas atau realitas yang memiliki wujud mandiri wujud mandiri hanyalah satu yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima, sedangkan wujud selainNya hanyalah ‘wujud bergantung’ atau relatif.

Dua macam ‘maujud (objektif sejati) mandiri’
Ada dua maujud yang memiliki wujud mandiri terbagi dua;
1.   Wujud mandiri yang ada dengan sendirinya atau untuk  dirinya. Yaitu wujud yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya sendiri, seperti spesies-spesies substansial yang meliputi manusia, kuda dan sebagainya.
2.   Wujud mandiri yang ada untuk selain dirinya.  Yaitu yang menegasi ketiadaan dari quiditasnya juga menegasi ketiadaan dari sesuatu yang lain, atau menolak ketiadaan yang melekat atas quiditas dirinya, seperti wujud ‘sebab’, seperti wujud ‘ilmu’ yang menolak ketiadaan (ketiadaan ilmu) dari dirinya juga menolak kebodohann yang merupakan ketiadaan yang melekat atas penyandangnya (substansi yang menyandang ilmu, Budi, mislanya). (Nihayatul-Hikmah, 40, Al-Falsafah Al-Ulya, 90).

Mujud (objektif sejati) dinamis dan statis
Entitas objektif juga dapat dibagi dua;
  1. Entitas bergerak (dinamis, Al-mawjud Al-Mutaharrik).
  2. Entitas menetap (statis, al-mawjud As-sakin).
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, kaum materialis  dialektik beranggapan bahwa gerak, dengan semua ragamnya, adalah akibat dari kontradiksi internal dalam setiap benda. (An-nazhariyah al-maddiyah fil-ma’rifah, 92). Sedangkan kaum, spiritualis membagi setiap entitas menjadi dua; entitas bergerak (dinamis, muajud mutaharrik) dan entitas statis (maujud tsabit).

Definisi ‘gerak’
Gerak telah dididefinsikan dengan beberapa macam.
1.    Definisi kaum spiritualis, yaitu perpindahan dari potensi ke aksi secara bertahap. Kaitan ‘bertahap’ ditambahkan dalam definisi ini demi mengeluarkan perpindahan secara drastis satu kali. Namun definisi ini bermasalah, karena ia tidak mencakup gerak vertikal degradatif (Al-harakah ath-thuliyah an-nuzuliyah).
2.   Definisi kaum materialis, yaitu pertentangan internal antara materi-materi alam. (Teori Materialisme dalam pengetahuan, Roger Garaudy, 92).

Dua macam gerak
Gerak juga terbagi dua;
  1. Gerak vertikal.
  2. Gerak horisontal.

Dua macam gerak vertikal
Gerak vertikal bermacam dua;
  1. Gerak vertikal menanjak atau promosional atau transendental (Al-harakah Althulliyah Al-shu’udiyah. Yaitu yaitu gerak menuju kesempurnaan, seperti ‘keberkembangan’ dalam raga-raga yang berkembang, atau proses kesempurnaan intelektual dan moral manusia. Dengan kata lain, gerak promosional transendental adalah gerak eksistensial sebuah ‘entitas bergerak’. Gerak demikian adalah semata-mata keberadaan yang ditimpali dengan keberadaan.
  2. Gerak vertikal menurun (Al-harakah Al-Thuliyah Al-nuzuliyah). Yaitu gerak menuju kekurangan atau degradasi ke belakang dan ke bawah.

Gerak demikian adalah ketiadaan yang ditimpali dengan ketiadaan sebelumnya.

Lawan ‘gerak degradasional’  adalah ‘kebertinggalan’ atau stagnasi (as-sukun)yang berarti kelestarian dalam kesempurnaan yang telah tercapai, karena ia ketiadaan tiada, yang berarti keberadaan.

Gerak horizontal
Pasangan ‘gerak vertikal’ adalah ‘gerak menyamping’ atau gerak horizontal. Ia adalah pergerakan dari suatu situasi ke situasi lain yang masing-masing sama atau sejajar dalam kualitas kesempurnaan, sehingga pergerakan tersebut tidak meniscayakan kekurangan maupun kesempurnaan, seperti gerak transportatif (al-harakah al-intiqaliyah) atau gerak posisional (al-harakah al-wazh’iyah).

Gerak semacam ini hakikatnya adalah ketiadaan yang berseiring dengan ketiadaan atau ‘pemakaian’ dan ‘pelepasan’ (lubs wa khul’).

Lawannya adalah stagnasi (as-sukun) yang tidak mengalami ‘pemakaian’ (keberadaan) dan sekaligus ‘pelepasan’ (ketiadaan).

Gerak horizontal adalah gerak non eksistensial (fuqdan) dan eksistensial (wujdan). (al-falsafah Al-ulya, 191, 193).

Gerak berantara dan gerak tak berantara
Para ahli ontologi membagi gerak, dari aspek isinya, menjadi dua;
1.       Gerak berantara atau perperantara  (Al-harakah At-tawasuthiyah). Yaitu entitas yang berada antara awal dan akhir, sehingga apabila diandaikan ia berada di salah satu dari batas-batas jarak yang ditempuhnya, ia tidak berada di batas sebelumnya dan tidak juga berada di batas setelahnya. Itu berarti ‘ke-berantara-an’ adalah sesuatu yang ada secara objektif, karena ia adalah tetap dan tidak mengalami kebaharuan (pembaruan) dan tidak berjenjang. Kerbaruan (At-tajaddud) dan keberjenjangan (At-tadarruj) dilihat dari sisi relasi-relasi yang secara bersusulan berhubungan dengan setiap batas jarak yang ditempuh. Relasi-relasi (An-nisab) di luar ‘keberantaraan’ (At-tawassuth), ia sederhana, tidak terbagi dan tidak mempunyai bagian.
2.       Gerak tak berantara (Al-harakah Al-qath’iyah). Yaitu entitas yang yang dibayangkan berupa garis memanjang dan bersambung sebagai akibat dari gerak berantara. Garis tersebut kian bertambah setiap saat. Ia adalah ukuran yang mengalir dan tidak stabil (sayyal ghairu qar), seperti garis yang memajang (memuai) dari turunnya tetesan hujan yang turun dari langit. (Al-falsafah Al-ulya, 193).

Elemen-elemen gerak
Gerak terdiri atas enam elemen yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai berikut:
  1. Penggerak. Karena gerak adalah hakikat yang relatif (berkaitan dengan sesuatu di luar dirinya), maka berarti gerak berada di antara dua pihak; pihak pemberi gerak (penggerak, al-muharrik), dan pihak penerima gerak (yang bergerak, al-mutaharrik). Karena gerak adalah sebuah fenomena kosmologis, maka ia tidak akan ada tanpa sebab efesien (sebab pelaku, al-illah al-fa’ilah). Penggerak adalah kausa efesien bagi gerak, meski bukan kausa sempurna (al-illah at-tammah).
  2. Yang bergerak. Ia juga disebut sebagai ‘subjek gerak’. Karena gerak adalah predikat yang melekat pada sesuatu, dan karena sifat adalah hakikat yang tidak bisa berdiri sendiri, maka gerak tidak akan ada tanpa pelaku gerak (al-mutaharrik).
  3. Titik awal atau titik mula (al-mabda’). Karena gerak, sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebuah predikat bagi sesuatu, maka ia pasti didahului dengan ketiadaan. Ketiadaannya terjadi dalam salah satu dari dua proses; Pertama, dirinya (gerak) tiada ketika subjeknya (subjek gerak) ada. Kedua, gerak tiada ketika subjeknya   tiada. Itu berarti gerak bermula. Ketika gerak akan ada atau bermula, maka berarti gerak berprinsip.
  4. Titik akhir. Yaitu menjadi titik pemberhentian gerak. Begitu gerak berakhir, maka seketika terjadi atau bermula-lah stagnasi (as-sukun). Ada kalanya titik awal (al-mabda’) dan titik akhir (al-muntaha) bertemu dalam sebagian gerak, sebagaimana dalam gerak-gerak siklus.
  5. Pola gerak (ath-thariq). Cara gerak terdiri atas kategori-ketegori, yang apabila ia beragam maka beragam pula geraknya. Apabila kategorinya kualitatif, maka gerak terjadi secara kualitatif. Apabila kategorinya kuantitatif, maka gerak terjadi secara kuantitatif.
  6. Waktu gerak. Karena gerak adalah entitas kosmik yang tidak tetap, dan karena kontak terus menerus harus selalu ada dalam entitas-entitas kosmik tersebut, maka gerak termasuk salah satu dari macam-macam ukuran, dan karena ukuran bisa dibagi, maka ia memelukan pengukur. Pengukur gerak adalah waktu. Karenanya, setiap gerak bermasa selalu.

Kausa efesien gerak
Kausa efesien (sebab pelaku) gerak bermacam tiga;
    • Sebab pelaku natural (al-illah al-fa’ilah ath-thabi’iyah). Yaitu penggerak yang merupakan karakteristik ‘sesuatu yang bergerak’ yang tak berperasaan.
    • Sebab pelaku instingtif (al-illah al-fa’ilah al-iradiyah). Yaitu kehendak yang menjadi penyebab gerak.
    • Sebab pelaku determinan (al-illah al-fa’ilah al-qasriyah). Yaitu sesuatu di luar subjek yang menjadi penyebab gerak. (al-falsafah Al-ulya, 191, 193)

Gerak dan kategori-kategori
Sebagaimana kita ketahui bahwa kategori secara umum dapat dibagi dua; aksiden-aksiden yang berjumlah sembilan dan sebuah substansi. Berdasarkan kaitannya dengan gerak, seluruh kategori (Al-maqulat) dapat dibagi tiga bagian.

Bagian pertama terdiri atas kategori-kategori yang mengalami gerak. Yaitu  kuantitas (al-kam) seperti pertumbuhan, kategori kualitas (Al-kaif) seperti gerah dari merah muda ke merah tua, kategori posisi (Al-wazh’) seperti gerak dari posisi berdiri ke posisi duduk, kategori tempat (Al-ain) seperti pergi dan kembali.

Bagian kedua terdiri atas kategori-kategori yang tidak mengalami gerak. Yaitu  aksi (Al-fi’l), kategori reaksi (Al-infi’al), kategori waktu (Mata), kategori relasi (Al-izhafah), dan kategori pemilikan (Al-jidah).

Bagian ketiga adalah ketegori yang diperselisihkan, yaitu substansi.

Para filsuf kuno beranggapan bahwa substansi tergolong kategori yang tidak mengalami gerak, sebab substansi  meniscayakan lenyapnya subjek gerak, yaitu ‘yang bergerak’, karena ‘yang bergerak’ dalam semua kategori yang mengalami gerak adalah substansi. Seandainya substansi menjadi rute gerak, maka niscaya gerak terjadi atau menjadi ada tanpa ada ‘yang bergerak’ sebagai subjeknya, pahal itu mustahil, karena rute gerak substansial adalah substansi sendiri, bukan lainnya. (Al-falsafah Al-ulya, 201-203).

Sedangkan Mulla Shadra beranggapan bahwa substansi mengalami gerak. Itulah sebabnya, ia dikenal karena panadangannya yang spektakuler tentang ‘gerak substansial’ (Al-harakah Al-jawhariyahi). Gerak substansial sangat perlu untuk diketahui.

Gerak Substansial
Gerak substansial, yang dimaksud Mulla shadra, adalah adalah perjalanan (perpindahan) dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute bagi diri substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut. Jadi, yang bergerak (Al-mutahharik) dalam semua macam gerak adalah substansi, bukan selainnya. Contohnya adalah gerak yang dialami makanan. Asumsikan bahwa substansi yang dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat, ia bergerak menuju kesempurnaan ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan substansi berkembang. Ia melanjutkan prosesnya dan menanjak dalam peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai peringkat tertinggi. Tahap berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang merupakan gerak dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan menjadi substansi insani. Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari sperma ke binatang adalah gerak substansial. (Al-falsafah Al-ulya, 202-206).

Subjek ‘Gerak’
Subjek gerak substansial adalah subjek yang mengalami segala macam gerak lainnya, yaitu substansi (Al-jauhar). Hanya saja, subjek yang mengalami gerak-gerak lainnya adalah substansi berupa spesies yang tertentu (juahar nau’i mutasyakhkhish), sedangkan subjek gerak substansial adalah substansi berupa genus yang telah dibatasi oleh spesies dan person (speisies dan person dalam terminologi filsafat, bukan biologi dan ilmu alam. Substansi genusual tersebut bergerak dalam spesies-spesies yang berada dalam himpunannya (himpunan genus tersebut). Jadi, subjek yang bergerak adalah substansi (Al-mutaharrik), dan rute geraknya juga substansi.







Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud objektif juga terbagi dua;
1.     Entitas bermula (hadits). Yaitu maujud yang didahului oleh ketiadaan atau ke-ada-an sesuatu lain.
2.     Entitas tak bermula (qadim, azali). Yaitu maujud yang tidak bermula dari ketiadaan dan tidak didahului oleh wujud selain dirinya.

Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud objektif  hadits terbagi tiga;
  1. Entitas bermula dengan kebermulaan waktu (hadits zamani).
  2. Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
  3. Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).

(Al-falsafah Al-ulya, 215-223, Nihayatul-hikmah, 276-2790).

Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1.       Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2.       Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari ketiadaan.
 
Maujud objektif ‘Mendahului’, ‘Didahului’, dan ‘Beriringan’
Mazhab Qom membagi enntitas objektif sejati menjadi tiga;
  1. Entitas mendahului (Al-maujud Ak-mutaqaddim).
  2. Entitas didahului (Al-maujud Al-mutaakhkhir).
  3. Entitas beringinan (Al-maujud Al-muqarin). (Al-falsafah Al-ulya, 211-214, Nihayatul-hikmah, 279-281).

Keterdahuluan
Arena ‘keterdahuluan’ sebenarnya cukup sehingga meliputi wujud objektif sejati dan objektif buatan. Karena itulah ia  bermacam-macam. Antara lain sebagai berikut:
1.    Keterdahuluan berdasarkan aspek ‘keunggulan’ (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bisy-syaraf), seperti keterdahuluan ‘yang kuat’ atas ‘yang lemah’.
2.    Keterdahuluan berdasarkan aspek kewajaran (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-thab’i), seperti kausa tidak sempurna atas akibat.
3.    Keterdahuluan berdasarkan aspek kesebaban (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-illiyah), seperti keterdahuluan kausa sempurna atas akibatnya.
4.    Keterdahuluan substansial (A-taqaddum wa At-ta’akhkkhur Al-jauhari), seperti keterdahuluan genus dan defernsia (kategori pembeda) atas spesies (An-naw’).
5.   Keterdahuluan berdasarkan aspek kesejatian (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur bil-haqiqah), seperti keterdahuluan wujud (ke-ada-an) atas quiditas (ke-apa-an atau mahiyah).
6.   Keterdahuluan berdasarkan urutan momentum (At-taqaddum wa At-ta’akhkhur Ad-dahri), seperti keterdahuluan penciptaaan atas alam. (Elm e Kulli, 130-131,

Entitas ‘hidup’ dan entitas ‘tidak hidup’
Entitas atau setiap sesuatu yang memiliki ke-ada-aan objektif bermacam dua;
  1. Entitas hidup.
  2. Entitas ‘tidak hidup’
(Al-falsafah Al-ulya, 225-227, Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 416, Nihayatul-hikmah,   ).

Entitas (objektif sejati) sensual dan entitas non sensual
Dalam pembagian terakhir, Mazhab Qum mebagi setiap entitas objektif menjadi dua;
  1. Entitas terinderakan (Al-maujud Al-mahsus), yang lazim disebut Al-maujud Al-maujud Al-maddi. Ia disebut juga dengan materi, lebih tepatnya adalah raga. Sebagian orang menyebutnya alam.
  2. Entitas ternalarkan atau entitas tak terinderakan, yang lazim disebut Al-maujud Al-ma’qul atau Al-maujud Al-mujarrad. Ia  disebut juga dengan non materi. (Al-falsafah Al-ulya, 229-230).

Salah satu dari entitas tak terinderakan adalah pengetahuan. Para filsuf ontologi Islam menganggap pengetahuan sebagai sebuah maujud yang abstrak, dan karenanya ia tak terpisahkan dari ontologi. Inilah salah satu dari ciri pembeda antara filsafat Islam, terutama filsafat Mazhab Qom, dan filsafat Barat. 




ENTITAS OBJEKTIF TERINDERAKAN


Apabila  ke-ada-an telah dibedakan dari ketiadaan,  dan  ke-apa-an telah dibedakan dari ke-ada-an, maka tibalah saatnya kita mempertanyakan apakah ‘yang ada’ itu hanyalah ‘yang berbenda’ (terinderakan) ataukah ‘yang ada’ bermacam dua; ‘berbenda’ (terinderakan) dan tidak berbenda (ternalarkan)?

Antara Ontologi, Kosmologi, dan Epistemologi
Kini kita meninggalkan wacana ontologi atau metafisika murni dan memesuki wacana kosmologi. Pada   hakikatnya, kosmologi merupakan salah satu bagian atau turunan dari ontologi. Namun karena sangat luas, dan demi mengikuti sistematika yang telah dibakukan oleh dunia Barat, maka kita memisahkannya dari ontologi.

Secara tradisional, kosmologi dianggap sebagai cabang metafisika yang bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum, waktu, ruang, dan kausalitas. Tugas kosmologi mungkin dapat dibedakan dari tugas ontologi oleh suatu perbedaan tingkat. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, dan analisis ontologis berusaha mencari hubungan-hubungan dan pembedaan-pembedaan yang kiranya berlaku dalam dunia mana pun juga. Barat memisahkan filsafat tentang materi dan alam semesta dari ontologi.

Dalam filasafat Mazhab Qom, epistemologi juga bukan bagian yang terpisahkan dari ontologi atau ‘filsafat pertama’, karena bidang ontologi meliputi entitas tak terinderakan. Salah satunya adalah al-aql (intelek). Itulah sebabnya, kosmologi dan epistemologi tidak dipelajari sebagai bidang filsafat tersendiri, meski dewasa ini ada sejumlah filsuf Mazhab Qom mulai ikut-ikutan memisahkannya dari ontologi.

Materi Metafisika  dan Logika Mazhab Qom
Perlu diketahui bahwa materia dalam ontologi tidaklah sama dengan materi atau benda dalam kosmologi. Materia dalam ontologi tidak berbentuk benda, karena ia sebenarnya tidak akan ada tanpa forma. Sedangkan materi dalam kosmologi, terutama dalam filsafat Barat adalah raga, yang merupakan gabungan dari forma (yang memberikan aktualitas) dan potensia atau materia (yang hanya menerima aktualitas). Oleh sebab itu kita menyebutnya ‘materia’ dalam ontologi dan ‘materi’ dalam kosmologi. Al-Falsafah Al-Ulya, 159).

Materi dalam Fisika modern lebih cocok dengan Al-jism atau raga dalam ontologi dan kosmologi Mazhab Qom. Yaitu substansi yang merupakan gabungan dari Al-maddah  (materi) dan Ash-shurah (forma). Sedangkan Al-maddah (yang juga diterjemahkan matter oleh para penjerjemah yang kurang mendalami filsafat Islam), dalam filsafat Islam, adalah  sesuatu (ma’na) yang menyandang forma (shurah). Ia tidak berbentuk, karena ia hanyalah potensi semata. Ia tidak akan pernah ada (sebagai maddah) sebelum memperoleh foma (ash-shurah) yang memberinya aktualitas (Al-fi’liyah). (At-Thashil, 587). Hal inilah yang kerap menimbulkan kerancuan.

Materi (Mawad Al-qadhiyah) dalam epistemologi, atau dalam filsafat eksistensi subjektif Islam, juga tidak sama dengan pengertian materi dalam ontologi (filsafat eksistensi objektif) dan kosmologi. Materi dalam epistemologi dan logika Islam adalah bahan-bahan yang mengisi proposisi atau pernyataan, sebagai pasangan dari forma.

Raga dalam Ontologi Mazhab Qom
Raga adalah substansi yang memiliki tiga dimensi. (Syarhul-Mawaqif, 351). Raga (Al-jim) adalah sesuatu yang dikenali dengan indera. (Tafsir Ma ba’da ath-thabi’ah, 1476).

Agar dapat membedakan raga dan non raga, kita perlu mengenali ciri-ciri khas materi sebagai berikut:
  1. Ia berada dalam tiga dimensi dan terdiri atas tiga garis bersiku.
  2. Ia terinderakan.
  3. Ia mengisi ruang.
  4. Ia memanjang dalam tiga arah.
  5. Ia berakhir dan terbatas.
  6. Ia berbobot.
  7. Ia bertempat.
  8. Ia bermasa.
  9. Ia berada dalam posisi tertentu.
  10. Ia dapat dibagi secara natural maupun rasional. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, hal. 139-140, Al-falsafah Al-ulya, 170-177).


Materi dan raga adalah sebuah substansi yang merupakan gabungan dari dua partikal substansial, yaitu materi

’Materi’ dalam Fisika
Pengertian ‘materi’ ini sekurang-kurangnya dapat dipisahkan menjadi dua kelompok pengertian yang mencakup pengertian ‘materi’ yang dikemukakan sebelum berkembangnya ilmu fisika modern dan pengertian yang dikemukakan setelah berkembangnya ilmu fisika modern.

Materi adalah setiap entitas padat, cair dan gas atau ion yang dapat diinderakan. Sebenarnya, definisi ini tidaklah sempurna, karena ia hanya menunjukkan ciri-ciri khas benda. (Fisika Modern, 7, Kamus Filsafat, 586-587).
Sebelum berkembangnya ilmu fisika modern, istilah materi (matter) ini menjadi populer terutama pada masa skolastik, setelah Thomas Aquinas (1225-1274 M) memperkembangkan ajaran Aristoteles. Beliau mengemukakan adanya dua macam materi, yaitu materi prima dan materi sekunda. Yang dimaksudkan dengan materi prima (prime matter) atau hyle adalah potensialitas murni yang tidak mempunyai pencirian positif apapun. Hyle atau materia prima ini akan merupakan barang sesuatu tertentu yang bereksistensi dengan cara bersatu dengan bentuk atau morph. Gabungan antara hyle dan morph inilah yang kemudian dapat diidentifikasi sebagai mislanya saja emas, preak, atau yang lainnya. Dan gabungan antara hyle dan morph sebagai bentuk substansial (bentuk yang menyebabkan barang sesuatu menjadi barang sesuatu tertentu) yang demikian ini digolongkannya sebagai materia sekunda. (Rudolf Allers, 1975).

Dewasa ini pengertian materi pada umumnya diartikan semakna seperti yang dimakudkan Thomas Aquinas sebagai materia sekunda tersebut. Herndaknya dimaklumi bahwa selama ini para filsuf belum mempunyai pendapat yang sama mengenai signifikansi dari materi atau benda material ini. Oleh karena itu, dalil utama dari materialisme yang berbunyi “every thing that is, is material.” (Setiap sesuatu apapun yang ada itu bersifat material) selama ini masih mempunyai cakupan arti yang bermakna ganda.

Untuk menjembatani perbedaan pendapat ini, maka kemudian materi atau benda material tersebut didefinisikan sebagai peradaan yang terdiri dari bagian-bagian proses yang mencakup berbagi kualitas fisis. Kualitas-kualitas fisis ini antara lain posisi ruang dan waktu, ukuran, bentuk, kealaman, massa, kecepatan, soliditas, inersia, kandungan listrik, gerak (spin), kekakuan (rigiditas), suhu, dan kekerasan (hardness).

Daftar kualitas fisis tersebut masih bersifat terbuka bagi penambahan, namun yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa semuanya itu terdiri atas berbagai ciri yang merupakan objek ilmu fisika. (Keith Campell, 1967).

Secara singkat, sifat-sifat fisis tersebut dapat diungkapkan sebagai: sifat publik, sifat dapat dikontrol, non mental, alami, atau tercerap indera.

Pernyataan-pertanyaan seperti “apa yang terhitung sebagai suatu peradaan fisis?” dan “apa yang terhitung sebagai milik dari kebanyakan peradaan fisis tersebut?” tidaklah dikemukakan jawabannya yang pasti. Konsekuensi dari kenyataan tersebut, jawaban-jawaban terhadap pertanyaan: “apakah suatu benda material tersebut?” dan “apakah yang dimaksudkan oleh materialisme dengan ‘materi’ tersebut?” juga tidak mendapatkan jawaban-jawaban yang pasti pula. Yang jelas, dapatlah dikemukakan bahwa kesadaran, ketertujuan, aspirasi, dan kecakapan mencerap atu mengindera tidaklah tergolong kualitas materi tersebut.

Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih luas, uraian Louis Kattsoff (1953) yang mengkaitkan pengertian materi dengan pengertian evolusi yang akan dikutip berikut ini perlu dimengerti dengan baik.

“Istilah pokok yang melandasi ajaran materialisme adalah ‘materi’. Isitilah pokok yang melukiskan perkembangan ialah ‘evolusi’. Materialisme modern menolak pengertian mengenai atom-atom yang bersifat keras. Sebagai penggantinya digunakan istilah-istilah seperti ‘relasi’, ‘pola’, ‘proses’, dan ‘tingkatan’.

Jika orang mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan istilah ‘materi’, jawabannya mungkin berupa pengertian-pengertian kelestarian, sebab akibat, keadaan sebagai benda mati, dan suatu kerangka ruang dan waktu. Dikatakan bahwa istilah ‘materi’ hendaknya dipakai untuk hal-hal yang bersifat material, baik yang bersifat makroskopis maupun yang bersifat mikroskopis. Dan inilah hal-hal yang bersifat lestari dalam kerangka ruang dan waktu.

Dikatakan pula bahwa pelbagai tingkatan kenyataan perkembangan melalui proses yang rumit yang berasal dari materi dalam tingkatannya yang lebih rendah. Meski demikian, pada hakekatnya evolusi merupakan pemolaan kembali, suatu penyusunan yang baru dan yang lebih berliku-liku dari materi. Dalam hal ini tidak ada hal-hal lain yang terrsangkut.”

Berdasarkan penelitian sain, telah diketahui bahwa materi dan energi adalah dua forma bagi satu kuantitas fisik, yang apabila muncul sejumlah energi, maka kemunculannya sama dengan perubahan materi dalam jumlah yang sama, demikian sebaliknya. Atas dasar penemuan ini, maka sifat-sifat padat, cair dan gas, mengisi ruang dan sebagainya  hanyalah aksieden-aksiden yang baru melekat benda.

Materialisme, Spiritualisme dan Dualisme

Klaim bahwa indera adalah alat satu-satunya bagi pengetahuan assentual memberikan konsekuensi fundamental, yaitu materialisme. Sedangkan klaim bahwa hati adalah adalah alat yang paling tepat untuk menangkap realitas memberikan konsekuensi spiritualisme atau dualisme.

Menanggapi ada dan tidak adanya entitas dan realitas di balik materi, para penganut realisme terbagi dalam tiga aliran besar;
1.    Materialisme. Yaitu aliran yang mengklaim bahwa materi tidak bermula dan tidak berakhir. Semula pandangan ini dicetuskan oleh Heraklitos (480-576 SM) yang berkata: “alam hanya satu, tidak diciptakan Tuhan atau manusia manapun. Ia telah, sedang dan akan ada serta hidup selamanya. Ia akan menyala dan padam selalau sesuai dengan norma-norma pasti”.
2.    Spiritualisme. Yaitu aliran yang  menolak keberadaan materi dan hanya meyakini keberadaan spirit absolut, dan bahwa manusia dan roh-roh terbatas lainnya adalah produkNya. Aliran ini berpandangan bahwa realitas terakhir, yang mendasari realitas adalah roh. (Kamus Filsafat, 1035, Kamus Teori, 106, Al-Mausu’ah Al-Falsafiyah).

Dalam perkembangan sejarahnya, immaterialisme atau idealisme mengalami perubahan dan berpencar-pencar, seperti immaterialisme Berkeley (Kamus teori, 108, Kamus Logika The Liang Gie).

Dualisme. Yaitu aliran yang meyakini adanya dua macam realitas; realitas material dan realitas spiritual, dan menganggap keberadaan realitas spiritual lebih utama dan mulia dari realitas material. (Kamus Filsafat, 173-174, Pengantar Filsafat, 73-74).

Materialisme

Menurut pendapat Harold H. Titus dan kawan-kawan (1984, hlm. 293), pengertian ‘materialisme’ sekurang-kurangnya dapat diderkati lewat dua definisi sebagai berikut:
    • Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam, dan bahwa akal dan kesadaran (consciousness) termasuk di dalamnya segala segala proses psikis merupakan bentuk dari materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisis.
    • Materialisme merupakan suatu doktrin alam semesta yang beranggapan bahwa dunia ini dapat ditafsirkan seluruhnya dengan ilmu kealaman.

Sebenarnya istilah ‘materialisme’ tidak hanya menunjuk pada teori dan doktrin seperti yang dikemukakan oleh Titus tersebut diatas. Secara luas pengertian dari ‘meterialisme’ pernah dikemukakan oleh Morris T. Keeton (1975) yang dalam garis besarnya antara lain mencakup signifikansi arti sebagai di bawah ini.

Prinsip-prinsip Materialisme

“Materialisme” adalah suatu proposisi mengenai yang ada (the existent) atau yang nyata (the real) yang menyatakan:
    • bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah materi;
    • bahwa materi pendukung yang utama atau fundamental dari alam semesta;

atomisme
    • bahwa yang ada atau yang nyata hanyalah entitas, proses, atau isi yang terindera;
    • bahwa alam semesta tidaklah diatur oleh intelejensi, maksud, atau sebab-sebab yang bertujuan;
    • bahwa entitas-entitas, proses-proses, ataupun kejadian-kejadian mental disebabkan semata-mata oleh entitas-entitas, proses-proses, atau kejadian-kejadian yang bersifat material;

Pengertian “Materialisme”

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan tentang yang ada atau yang nyata yang menyatakan:
    • bahwa setiap hal dapat dijeaskan melalui artian-artian materi dalam geraknya, atau materi dan energi, atau materi bersahaja;
    • bahwa segala perbedaan kualitatif dapat direduksikan kepada perbedaan-perbedaan kuantitatif;
    • bahwa satu-satunya objek ilmu yang dapat diselidiki adalah yang fisis atau yang bersifat material.

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai nilai yang menyatakan: bahwa kesejahteraan, kepuasan-kepuasan ragawi, kenikmatan-kenikmatan inderawi, atau semacamnya merupakan atau satu-satunya nilai atau nilai paling tinggi yang dapat diusahakan atau dicapai oleh manusia.

  1. ‘Materialisme’ merupakan suatu proposisi mengenai penjelasan dari sejarah manusia yang menyatakan: bahwa tindakan-tindakan manusia dan perubahan kebudayaan manusia ditentukan semata-mata atau sebagian besar oleh faktor-faktor ekonomi (determinisme ekonomi).

  1. ‘Materialisme’ adalah suatu sikap, postulat, hipoteisis, pembenaran, asumsi, atau tendensi, yang menyokong salah satu dari proposisi-proposisi yang tersebut diatas.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, istilah ‘materialisme’ dimakudkan menunjuk pada materialisme ekstrim yang pengertiannya cenderung sesuai dengan signifikansi arti dari istilah ‘materialisme’ seperti yang dikemukakan oleh Keeton.

Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat yang menyolok di antara penganutnya (seperti yang akan diterangkan di bawah), namun ada sejumlah pendirian di bidang ontologi yang merupakan kesatuan pendapat dari materialisme dewasa ini. Roy Wood Sellars mengungkapkan pendirian di bidang ontologi dari materialisme itu sebagai berikut. (Kattsoff, 1953).

Pengertian yang jelas mengenai materi dapat diperoleh berdasarkan sejumlah kategori yang ditetapkan secara empiris, seperti yang dihubungkan, eksistensi, kegiatan sebab-akibat, yang dihubungkan dengan fakta-fakta empiris yang terinci mengenai struktur, gerak-gerik dan kapasitas keruangan tertentu. Kategori-kategori semacam ini diperoleh dengan cara pemahaman akali terhadap cerapan indera dan kesadaran-diri.

Materialisme yang sudah dewasa tidak bersifat reduktif (mengembalikan segala sesuatu kepada satu jenis substansi saja) dan tidak akan bersifat mekanis atomistis.

Alam semesta, menurut materialisme,  adalah abadi,  dan sebagai suatu keutuhan tidak mengarah secara lurus kepada suatu tujuan tertentu.

Budi seperti halnya pada satuan fisis adalah memiliki sejumlah kategori fisis dan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan dan kemampuan-kemampuan dari diri yang organis pada tingkat fungsi otak. Substansi-substansi material atau kesinambungan-kesinambungan yang bersifat material terjadi dan rusak dalam arangka kelestarian peradaan yang bersifat material secara intrinsik.Kesadaran merupakan suatu sekat kualitatif yang di dalamnya manusia berpartisipasi sesuai dengan fungsinya.

Secara umum materialisme adalah sebutan bagi sekelompok doktrin mengenai sifat dasar dunia yang mengemukakan bahwa materi menduduki posisi primer dan budi atau jiwa berkedudukan sekunder, tergantung pada materi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Materialisme yang ekstrim menyatakan bahwa dunia nyata ini terdiri atas benda-benda material yang beragam dalam keadaan saling berhubungan, dan tiada hal lainnya apapun.

Sedangkan dalil utama materialisme mencakup:
Pertama: ”Everiything that is, is material” (Barang sesuatu apapun yang ada bersifat material).
Kedua: “Barang sesuatu apapun yang dapat ditangkap , dapat dijelaskan dengan berlandaskan pada hukum-hukum yang hanya melibatkan anteseden-anteseden kondisi-kondisi fisis”. (Keith Campbell, 1967).

Evolusi dalam Materialisme

Sebagaimana disebutkan diatas, materialisme telah mengalami perubahan-perubahan substansial seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya penemuan-penemuan baru dalam dunia fisika.

Materialisme Klasik

Di Athena Epicurus (342-270 SM) mendirikan sebuah sekolah yang mengajarkan materialisme sebagai satu-satunya landasan untuk hidup yang baik, suatu hidup yang cerah dan tenang, bebas dari ketahyulan. Tafsir keliru dari etika ajarannya itu mengakibatkan Epicurus tergolong sebagai tokoh materialisme klasik yang paling terkenal.

Ia menerima landasan idea dalam “Great diakosmos” tetapi memberikan suatu modifikasi mengenai asal mula dunia. Menurutnya, atom-atom yang jumlahnya tak terhingga berjaTuhan melalui ruang yang tak terbatas luasnya. Selanjutnya ada dua konstruksi dari sistem Epicurus: (Keith Campbell, 1967).

Atom-atom yang lebih berat dan lebih cepat kadang-kadang secara tidak langsung menghantam atom-atom yang lebih ringan dan lebih lambat, mengakibatkannya menjadi berkecepatan yang menyimpang dan lebih rendah. Semua atom berjaTuhan dalam kecepatan yang seragam, dan penyimpangan-penyimpangan awal dari gerak vertikal yang sejajar terjadi secara tanpa dapat tanpa dijelaskan.
Apun sebabnya, penyimpangan-penyimpangan posisi tersebut mengakibatkan bertambahnya benturan dan penyimpangan dan terbentuknya pusaran-pusaran. Dari pusaran-pusaran ini, tersusunlah atom-atom. Jumlah atom dalam peristiwa di atas tak terbatas, sehingga penyusunan atom dapat selalu dapat terjadi pada setiap kejadian. Dunia dengan badan-badan benda hidup organis yang menakjubkan ini, hanyalah merupakan satu di antara susunan-susunan tak teralakkan yang tak terbatas jumlahnya yang menjadi arah jatuh dari atom-atom yang abadi itu.

Materialisme kuno dijabarkan oleh Epicurus dan Louseep, murid Demokritos dan Nosivan. Epicurus mengatakan, alam pada asalnya adalah substansi-substansi atau atom-atom yang tak dapat diinderakan, dan karena padat atau kerasnya, ia tidak dapat dibagi. Sedangkan menurut Loseep, keberagaman alam disebabkan oleh berhimpunnya sejumlah atom. Setiap ragam (spesies) tersebut akan lenyap bila bagian-bagiannya lenyap. (Al-Falsafah Al-Yunaniyah, 88, 90, 92, Muhadharat, 176-178, dll).

Kelemahan-kelemahannya:
Interpretasi keberagaman alam sebagai tarik menarik antara sesama spesies serupa meniscayakan pengakuan akan adanya sesuatu yang non bendawi yang menarik sesuatu serupa ke arah serupanya yang lain. Konseuensi ini bertentangan dengan materialisme.

Asumsi bahwa atom tidak dapat dibagi karena kepadatan dan kekerasannya, sebagaimana pendapat demokritos, secara rasional tidak tertutup kemungkinan ia dapat disusun dari beberapa unsur yang lebih lembut, selama ia mempunyai bentuk geometris.

Karena kelemahan-kelemahan di atas, Epicurus dan para epicurian merevisi materialisme kuno dengan beberapa pandangan baru. Epicurianisme beranggapan bahwa atom-atom bergerak bukan akibat dorongan eksternal, karena, sebagai kausa prima alam, ia tidak membutuhkan apapun. (Ar-Rihlah Al-Yunaniyah, 274-275, Al-Falsafah Al-Yunaniyah, dll).

Lalu, bagaimana ia dapat bergerak tanpa ada sebab eksternal? Epicurus menjawab, dalam setiap ada secara pre-eternal (azali) terdapat gerak yang merupakan bagian dari substansinya yang tak akan pernah berpisah, karena setiap atom mengandung bobot berat yang dapat menggerakkannya secara vertikal dari atas ke bawah dalam kehampaan yang tak berhingga, selama tidak diselewengkan arahnya oleh suatu sebab eksternal. (Muhadharat, 178-180).

Secara ilmiah, telah terbukti bahwa kehampaan yang diasumsikan sebagai ruang berenang atom-atom adalah kemustahilan, dan anggapan bahwa atom-atom bersifat sederhana (homogen, tak dapat dibagi) adalah salah. (Falsafatuna, 122-123, Ar-Rihlah Al-Madrasiyah, 274-276, Muhadharat, 181).

Dengan demikian, jelaslah kebingungan para penganut materialisme kuno dalam menyelesaikan problema “asal usul alam”.

Materialisme Mekanik

Pada permulaan era modern, kaum materialis, dengan berijak pada teori fifika Newton, menginterpretasikan munculnya gejala-gejala alam berdasarkan gerak mekanik , bahwa setiap gerak adalah akibat dari suatu kekuatan penggerak tertentu yang memasuki benda bergerak dari luar. Inilah yang disebut dengan Materialisme Mekanik.

Dari hasil perenungan para filsuf kita telah memperoleh warisan berupa dua tafsir yang berbeda tentang dunia. Tafsir yang pertama adalah cara berpikir yang terungkap dalam karya-karya Pythagoras, PLato, dan Aristoteles, yang berpandangna bahwa keteraturan dunia ini disebabkan oleh adanya budi (mind) dan tujuan (purpose). Tafsir lainnya berpendapat bahwa alam ini dapat dijelaskan hanya sebagai gerak. Aktivitas kejiwaan hany merupakan gerak- atom-atom yang sangat halus dan labil. Tafsir seperti ini terungkap dalam uraian atomisme kuantitatifnya Demokritus yang merupakan karya sistematis pertama dari materialisme mekanis. Dan pandangan yang sama telah dikembangkan lebih lanjut oleh Epicurus dan Lucretius.

Setelah Descartes (1596-1650), yang mengakui adanya hal-hal yang tidak bersifat kebendaan, menggunakan konsep-konsep mekanis dalam menafsirkan dunia fisis, Thomas Hobbes (1588-1679) telah melangkah lebih jauh lagi dengan menyajikan suatu aliran materialisme yang mekanis sepenuhnya. Hidup digambarkannya sebagai gerak dalam budi dan merupakan sistem syarat. Kemudian dalam abad ini kebanyakan para fisiolog, biolog, dan psikolog, menggunakan tafsir fisis dan mekanis dalam menjelaskan gejala hidup dan manusia.

Menurut pandangan materialisme mekanis, satu-satunya dunia yang  dapat diketahui adalah dunia yang tercerap oleh indera. Bagi mereka semua fenomena dapat dijelaskan melalui cara-cara seperti yang dipakai oleh ilmu-ilmu kealaman; dengan demikian konsep mekanisme, determinisme, dan hukum alam, mempunyai aplikasi universal. Budi dan aktivitas-aktivitasnya merupakan behavior (keperilakukan benda hidup). Dengan demikian psikologi merupakan penyelidikan tentang perilaku, sehingga otak maupun kesadaran dijelaskan sebagai tindakan-tindakan otot, syaraf, dan kelenjar-kelenjar. Dan segala proses tersebut dapat dijelaskan dengan fisika dan ilmu kimia. Sedangkan nilai dan hal-hal yang ideal hanya bersifat subyektif bagi situasi dan hubungan-hubungan fisis yang tertentu.

Perubahan yang terjadi pada atom maupun pada manusia dianggap sebagai bersifat kepastian, dan tercakup dalam rangkaian sebab akibat yang bersifat sempurna dan tertutup. Rangkaian kausalitas ini tidak memerlukan landasan ide dalam bentuk tujuan (purpose), tetapi semata-mata dapat dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu kealaman.

Mekanisme atau materialisme mekanis merupakan doktrin yang menyatakan bahwa alam diatur oleh hukum alam, yang jika data-datanya terkumpul dengan lengkap, hukum alam tersebut dapat dituangkan dalam bentuk-bentuk matematika. Ini merupakan suatu bentuk pandangan metafisis yang memperluas cakupan konsep mesin untuk diberlakukan terhadap segala proses yang organis maupun bukan organis yang semuanya dianggapnya bersifat mekanis.

Banyak filsuf berpandapat bahwa sebab-sebab mekanis dapat dipergunakan ilmu untuk menjelaskan segala sesuatunya, maka kepercayaan terhadap Tuhan dan tujuan alam sudah tidak relevan lagi. Lebih dari itu, hidup hanya merupakan proses fisiologis adan hanya mempunyai arti fisiologis. Di samping itu, berhubung mekanisme percayabahwa segala aktivitas hanya mengikuti hukum alam fisis, dan bahwa gerak stimulus dan respons dalam sistem syaraf itu bersifat otomatis dan mekanis, maka kesadaran terpaksa harus dianggap hanya sebagai fenomena yang menyertai proses badanlah atau emanasi otak (ephiphenomenal), sedangkan fikiran hanya merupakan gerak otak atau perkataan yang tak terucapkan (subvocal speech). Manusia berada dalam keadaan terkondisi dalam melakukan reaksi terhadap obyek-obyek yang merupakan acuan dari perkataan termaksud.

Dengan demikian jelaslah bahwa pandangan mekanisme ini mengandung suatu determinisme serta bertentangan dengan kebebasan memilih dan bertindak.

Materialisme mekanis menarik dan sangat berpengaruh karena kesederhanaan pandangannya. Seperti halnya pada pnadangan realisme yang naif, bagi pandangan ini yang nyata hanyalah hal-hal yang dapat tercerap indera secara langsung atau melalui alat verifikasi eksperimental. Cerapan indera merupakan ukuran kebenaran. Dan dengan menerima pendekatan yang demikian ini, orang merasa terbatas dari banyak problema tentang kenyataan yang telah beradab-abad membingungkan dirinya.

Usaha untuk memenuhi kebuTuhan pokok untuk hidup, seperi makanan, pakaian dan perumahan, merupakan problema yang selalu ada dan dihadapi oleh setiap orang. Fakta bahwa benda fisis sangat menentukan dan mutlak bagi kelangsungan hidup manusia amat mengesankan hati seorang materialis. Baertolak dari ini orang lalu beranggapan bahwa benda-benda material merupakan satu-satunya yang nyata dalam kehidupan, dan bahwa hal-hal yang immaterial bersandar pada hal-hal yang material. Dengan demikian mudahlah difahami bahwa orang lalu mudah bergeser untuk tertarik dan terpengaruh oleh pandangan filsafat yang menganggap bahwa hanya benda-bendalah yang nyata.  (Durus fil Aqidah Al-islamiyah, 143, Muhadharat 180-182, dll).

Materialisme Dialektik

Runtuhnya materialisme mekanik mendorong para pengikut materialisme untuk berusaha mencari sebab lain untuk menginterpretasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam alam ini, atau minimal, berusaha menginterpretasikan sebagian gerak secara dinamik, agar dapat berasumsi (baca:berfantasi) tentang adanya semacam dinamisme subjektif (inheren) dalam benda.

Materialisme dialektik timbul dari perjuangan sosial sebagai akibat dari revolusi industri. Pandangan ini sangat erat kaitannya dengan Karl Marx (1820-1895), terutama dalam menuliskan dasar-dasar pikirannya dalam buku-buku: “Die hellige familie (1845), Communistisch Manifest (1848), National Ekonomie und Philosophie (1844), dan Das Kapital (1867).

Dengan mengadopsi teori idealisme Hegel yang idealis dan teori materi-nya Feurbach, dua tokoh pendiri Materialisme dialektik Marx dan Engels, menganggap pertentangan internal dalam setiap gejala material sebagai penyebab gerak. Di samping meyakini prinsip-prinsip materialisme (keabadian, pre-eternitas materi) dan ketidak-terciptaannya, serta gerak general dan interaksi antar gejala-gejala, mereka mengetengahkan tiga prinsip untuk menginterpretasikan (mengargumentasikan) asumsi-asumsi mereka. (Tarikhul-Falsafah, 274-278, Dasar-dasar Filsafat Marxisme, terj. Arab, , 232-233, Das Capital terjemahan Arab juz 1, hal. 29, Filsafat Materialisme dan Idealisme dalam filsafat, terj. Arab, 83).

Marx dipengaruhi oleh Hegel dan Feurbach. Ia mendapat pengaruh Hegel tentang metode dialektik dan pendapat tentang hubungan erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat. Sedangkan dari Feurbach ia mendapat pengaruh mengenai kecenderungan untuk menerangkan hal-hal yang bersifat kedanan, dan juga mengenai pengarahan minat terhadap manusia yang hidup dalam masyarakatnya.

Hegel (1770-1831) seorang idealis Jerman yang tulisannya mempengaruhi Marx itu beranggapan bahwa alam ini merupakan suatu proses menggelarnya pikiran-pikiran (ide). Dari ide ini kemudian timbullah proses alam, organisme, sejarah manusia, dan kelembagaan masyarakat. Pikiran atau jiwa merupakan esensi alam, sehingga lebih nyata diabanding dengan materi. Marx membalikkan filsafat idealisme Hegel dengan menyatakan bahwa yang utama bukanlah jiwa atau ide melainkan materi.

Meski menolak idealisme Hegel, Marx dan Engels menerima secara total metodologi filsafatnya. Menurut Hegel, alam ini selalu dalam proses perkembangan yang bersifat dialektis. Artinya, ia beranggapan bahwa perubahan-perubahan ini selalu berlangsung melalui tahp-tahap afirmasi, atau tesis, negasi atau antiteisi, dan pada akhirnya sampai kepada integrasi atau sintesis (Titus, dkk, 1984, Durus, 144, Muhadharat, 180-182, AR-Rihlah Al-Madrasiyah, 276-278, Falsafatuna, 122-123).

Materialisme dialektik adalah suatu tipe dari materialisme. Aliran ini mempunyai banyak kesamaan dengan materialisme mekanik atau mekanisme. Pengaruh materialisme dialektik lebih banyak ditentukan oleh daya tarik metode dialektik yang diterapkan guna menganalisis perubahan sosial dan perkembangan masyarakat.

Metode dialektik Marx sangat menarik bagi kelompok sosial yang tertindas dan berusaha untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Hal ini terbukti dari fakta-fakta sejarah yang memicu tercetusnya revolusi menjelang berdirinya lembaga pemerintahan atau negara-lembaga pemerintahan atau negara blok komunis yang menjadikan komunisme sebagai ideologi resmi, seperti di Rusia dan RRC. Pandangan Marx telah dikembangkan dengan berbagai macam interpretasi oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan terakhir oleh Marcuse, Habermas, Gramcy dan Gidens. (Harold H. Titus, 1984, Dasar-dasar Filsafat, 11.43, Muhadharat fil Aqidah, 186-188).

Klaim pertama
Kaum materialis dialektik beranggapan bahwa, karena realitas alam material adalah energi dengan bentuknya yang bermacam-macam, sedangkan energi global bagi sebuah sistem yang terpencil dapat mempertahankan dirinya secara penuh, dan bila energi tersebut sembunyi dengan salah satu cara, maka ia akan kembali muncul dalam kuantitas tang sama dalam bentuk yang lain. Itu artinya energi tidak akan lenyap dan tidak akan bermula dari ketiadaan. Kaum materialis dialektik mengklaim telah berhasil membuktikan bahwa setiap kerja mekanik dan setiap energi eletrik, magnetik dan kimiawi mampu untuk berubah secara total menjadi sebuah panas dalam prosentase dan ukuran yang tetap. Inilah yang disebut dengan prinsip keseimbangan

Bantahan
Materialisme dialektik juga mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Hukum tentang “prinsip pertama termo-dinamisme” tidak mengantarkan kita kepada (tidak meniscayakan) “keabadian materi”. Ia hanya membuktikan bahwa energi saat berubah, kuantitasnya tidak berkurang.

Klaim kedua
Klaim bahwa materi tidak akan lenyap bertentangan dengan hukum “prinsip kedua tentang termo dinamisme” yang telah dihasilkan oleh Lord Calvin. Menurutnya, “evolusi alam berjalan menuju satu-satunya arah. Dan itu tidak lain adalah kehinggan yang possible.”

Para ahli fisika modern telah mengajukan sejumlah bantahan terhadap maslah ini (Muhadharat, 197-199). Sedangkan pendapat bahwa alam berbentuk siklus, mengecil kemudian membesar (memanjang) kemudian kembali, dan mengecil lagi, dajn begitulah seterusnya, adalah pendapat yang tidak berdasar, dan hanyalah sebuah remalan (dugaan), bukan pendapat ilmiah.

Bantahan
Materi dalam pengertian umum bermacam dua; materi atomik dan energi-energi. Atom-atom terdiri atas lebih dari seratus elemen, dan mungkin berlipat ganda berkat kemajuan sain dan ditemukannya elemen-elemen lain yang hingga sekerang terus terjadi. Sedangkan energi-energi juga terdiri atas energi panas, energi cahaya, energi listrik, energi suara, energi mikanik, dan energi dinamik. Dari sisi lain, atom-atom berubah menjadi energi-energi, sebagaimana yang terjadi dalam sebagian elemen yang memancarkan cahaya gama, yaitu gelombang berenergi tinggi tidak bermuatan dan bermassa, seperti penghancuran uranium dengan proton atau neotron yang melahirkan sebuah energi besar.

Elemen-elemen atomik juga berubah menjadi elemen-elemen atomik lain, dan energi berubah dari satu macam ke macam energi lain, seperti perubahan energi kimia dari energi dinamik ke energi panas, dan dari energi panas ke gerak, seperti mesin mobil saat menghabiskan minyak atau bahan bakar akibat tekanan.

Energi mekanik juga berubah menjadi energi listrik, seperti pemanfaatan banjir atau air terjun yang diatur sehingga menciptakan energi listrik. Demikian pula sebaliknya, energi listrik berubah menjdi energi mekanik, seperti pemanfaat daya listrik untuk dijadikan sebagai pembangkit. Energi listrik juga berubah menjadi energi panas, seperti alat pemanas yang digerakkan oleh listrik. Energi listrik juga berubah menjadi kimia, yaitu ketika aliran listrik membagi air dalam dua unsur. Energi kimia juga bisa berubah menjadi energi listrik atau energi panas, seperti baterei listrik dan pembakaran arang.

Dari perubahan-perubahan yang dialami oleh materi dan energi, dan dari ketersusunan materi dari unsur-unsur di dalamnya itulah, maka kita berkesimpulan secara tegas bahwa semua yang ada di alam material ini merupakan entitas yang kompleks (tersusun, murakkab). Setiap entitas (maujud) yang tersusun pasti bermula dan berakhir dengan ketiadaan. (Allah Yatajalla fi Ashril-Ilm, 21-25, Hiwar bainal Ilahiyyin wal Maddiyyin, 66, Muhadharat 199-203, An-Nadhariyah Al-maddiyah fil-ma’rifah, 92, Durus fil- Aqidah Al-Islamiyah, Falsafatuna, 247, dll.)

Gerak menurut Materialisme dan Spiritualisme
Materi itu berada dalam gerak dan perkembangan terus menerus. Materi juga membutuhkan sebab yang menggerakkannya.  Materialisme dialektik tidak mengakui adanya penggerak di luar gerak. Ia tidak mengakui dualitas antara materi yang bergerak dan sebab gerak. Ia menganggap materi itu sendiri sebagai sebab gerak, sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Sedangkan spiritualisme atau filsafat metafisika memastikan adanya sebab garak di luar materi, karena menurutnya, materi kosong dari tingkat-tingkat penyempurnaan yang dicapai melalui tahap-tahap perkembangan dan gerak, dan tidak mengandung apapun selain gerak dan kapasitas untuk tingkat-tingkat penyempurnaan ini. Itu berarti, gerak memerlukan sebab selain dirinya, dialah Tuhan sang Pencipta. (Falsafatuna, 248). Ini menyangkut masalah gerak dalam kosmologi. Gerak dalam ontologi telah dibahas sebelumnya.

Klaim ketiga
Materialisme dialektik telah diagunakan oleh Marx dan Engels, sahabatnya, untuk menciptakan faham komunisme atau Marxisme. Aliran ini terdiri atas dua pandangan pokok; materialisme dialektik dan materialisme historis yang diterapkan oleh Marrx untuk menganalisis realitas masyarakat yang terbagi ke dalam kelas proletar yang tertindas dan kaum kapiltalis, feodalis dan borjuis  yang rakus.

Bantahan
Para filsuf kontemporer alumnus Mazhab Qom menetapkan sembilan (9) kesatuan (unitas) yang harus dipenuhi agar kontradiksi terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.   Kesatuan subjek (maudhu’), seperti “Ali adalah siswa” dan “Ali bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila subjeknya berlainan, seperti “Ali adalah siswa” dan “Ahmad bukanlah siswa”
2.   Kesatuan predikat (Al-Mahmul), seperti “Zaki adalah siswa” dan “ Zaki bukanlah siswa”. Inversi tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti “Zaki adalah siswa” dan “Zaki bukanlah guru”.
3.   Kesatuan waktu, seperti “matahari terbit di siang hari” dan “matahari tidak terbit pada waktu siang”. Inversi tidak terjadi bila waktunya berlainan , seperti “matahari terbit pada waktu malam” dan “matahari tidak terbit saat malam”.
4.   Kesatuan tempat, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di timur”. Inversi tidak terjadi bila masanya berlainan, seperti “matahari terbit di timur” dan “matahari tidak terbit di barat”.
5.   Kesatuan aktus (aksi) dan potensi, seperti “bayi itu adalah sarjana secara aktual” dan “bayi itu bukanlah sarjana secara aktual”. Inversi tidak terjadi bila potensi dan aktusnya berlainan, seperti “bayi itu sarjana secara potensial” dan “bayi itu bukanlah sarjana secara aktual”.
6.   Kesatuan partikularia dan universalia (bagian dan himpunan), seperti “udara seluruh Indonesia sejuk” dan “udara seluruh Indonesia tidak sejuk”. Inversi tidak terjadi bila partikularia dan universalianya berlainan, seperti “udara sebagian Indonesia sejuk” dan ‘udara sebagian Indonesia tidak sejuk’.
7.   Kesatuan kondisi (syarat), seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila rajin”. Inversi tidak terjadi bila kondisinya berlainan, seperti “siswa itu lulus apabila rajin” dan “siswa itu tidak lulus apabila malas”.
8.   Kesatuan relasi, seperti “4 adalah separuh dibanding (bagi) 8” dan “4 bukanlah separuh dibanding (bagi) 8”. Inversi tidak terjadi apabila relasinya berlainan, seperti “4 adalah separuh bagi 8’ dan “4 bukanlah separuh bagi 10’. (Muhadharat).
9.   Kesatuan predikasi

Materialisme melakukan kesalahan besar ketika menganggap setiap perbedaan sebagai kontradiksi arau dialek antara positif dan negatif. (Mao Tse Thung about contradiction, 13, Materialisme Dialektik dan Materialisme historik, hal. 17, cet. 2, terj. Bahasa Arab, Pokok-pokok Filsafat Marxisme, 106-107). Ia mencontohkan menyerang dan bertahan, maju dan mundur, menang dan kalah sebagai kontradiksi, padahal itu semua bukan fenomena kontradiksi. (Mao Tse Thung abaout Contradiction, 14 – 15).

Marx dan para pengikutnya menolak hukum non kontradiksi dengan beranggapan bahwa dalam setiap gejala dan entitas terjadi kontradiksi. Namun, mereka salah memahami kontradiksi, karena ternyata yang dianggap sebagai kontradiksi hanyalah adanya perpindahan dari potensia dan aktus dalam setiap entitas. Para filsuf muslim dan Timur telah menyebutkan sembilan syarat kesatuan dalam kontradiksi, antara lain kesatuan predikat, kesatuan subjek, kesatuan tempat, kesatuan waktu, kesatuan relasi, kesatuan potensi dan aksi, kesatuan predikasi, dan sebagainya (Muhadharat fil-Aqidah, 120, dll).

Akhirnya, materialisme dialektik mengalami nasib yang sama dengan dua materialisme pendahulunya. Meski demikian, ironisnya, banyak pemuda Islam yang merasa bangga menganut sosialisme atau komunisme, yang merupakan bayi prematur dari materialisme dialektik.

Maujud objektif tunggal dan beragam

Dengan mempertimbangkan pluralisme Ibnu Sina dan monisme Mulla Shadra, kita dapat membagi maujud menjadi dua;
  1. Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid).
  2. Maujud beragam (Al-maujud Al-katsir)

Namun, karena pandangan Mulla Shadra terasa lebih kuat dan didukung oleh para filsuf Islam, seperti Thabathabai, Muthahhari, Jawadi Amuli dan M. T. Mishbah yazdi, maka ontologi yang akan kita bahas selanjutnya mengacu pada monisme Mulla Sahdra.

Dua Maujud tunggal
Maujud tunggal (Al-maujud al-wahid) terbagi dua;
1.    Maujud tunggal sejati (Al-maujud al-wahid al-haqiqi). Yaitu maujud yang tidak terbagi.
2.    Maujud tunggal tak sejati (Al-maujud al-wahid ghair al-haqiqi). Yaitu maujud yang dapat dibagi, seperti Agus dan Budi, yang bersatu dalam kemanusiaan, namun terbagi dua.  (Al-Falsafah Al-Ulya, 102, Elm e Kulli, 139-141).

Dua Maujud tunggal sejati
Maujud tunggal sejati bermacam dua;
  1. Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah Al-haqqah). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan kesatuan (ketunggalan) itu sendiri, seperti hakikat murni sesuatu yang tidak ada sesuatu itu yang tidak bisa digandakan maupun diulang.
  2. Maujud tunggal sejati dengan ketunggalan tidak sejati (Al-wahid Al-haqiqi bil-wahdah ghairil-Haqqah  (satu). Yaitu entitas tunggal (satu) yang merupakan sebuah substansi yang menyandang sifat ‘satu’ (tunggal).

Dua Maujud tunggal tidak sejati
Entitas tunggal tidak sejati terbagi dua;
1.   Satu ‘tidak sejati’ secara khusus (Al-wahid ghairul-haqiqi bil-khusush). Yaitu satu dalam pengertian bilangan, yang merupakan pokok bilangan angka apabila diulang.
2.   Satu ‘tidak sejati’ secara umum (Al-wahid ghairul haqiqi bil-umum).

Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara khusus’
Ada dua macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1.    ‘Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus’ yang dapat dibagi, seperti ukuran.
2.    Entitas tunggal (tidak sejati) secara khusus yang tidak  dapat dibagi. Yaitu ketika  dilihat sebagai: a) sebuah substansi (batang)  yang secara singular menyandang sifat ‘satu’ ; b) sebuah sifat ‘satu’ yang secara singular disandang oleh  sebuah substansi. Titik, misalnya.

Dua Maujud tunggal tidak sejati ‘secara umum’
Ada dua macam entitas tunggal tidak sejati secara khusus;
1.    Sebagai sebuah konsep, seperti ‘manusia’ bila dipandang sebagai sebuah (satu) spesies (wahid nau’i), atau ‘binatang’ bila dipandang sebagai satu genus (wahid jinsi), atau seperti ‘yang berjalan’ bila dipandang sebagai satu predikat (wahid aradhi).
2.    Sebagai wujud yang sangat luas, seperti hakikat ‘wujud’ yang meliputi semua alam keberadaan.

Maujud objektif aktual dan maujud potensial
Aktus (aktualitas, Al-fi’liyah) adalah forma sesuatu yang membuatnya (sesuatu itu) memberikan pengaruh-pengaruh. Ia adalah wujud sesuatu itu sendiri, seperti ke-pohon-an pohon. Aktualitas adalah sifat bagi sesuatu dalam perspektif kekinian.

Potensia adalah forma sesuatu yang memungkinkannya untuk menjadi sesuatu yang lain, seperti sifat yang disandang oleh bibit yang memungkinkannya menjadi potensi secara potensial. Ia adalah sifat bagi sesuatu dalam  koneks masa depan.

Maujud juga dapat dibagi dua;
  1. Maujud potensial
  2. Maujud aktual

Karena eksistensi aktualitas sangatlah nyata, maka yang perlu dibuktikan adalah eksistensi potensi yang merupakan pasangannya. Berikut alasan-alasannya:
1.    Sangatlah gamblang bahwa terbentuknya sebuah sifat dalam biji yang membuatnya menjadi pohon di kemudian hari, namun batu tidak memilikinya. Manusia juga demikian. Ia berpotensi untuk menjadi berpengetahuan (pengetahu) dan penulis, sedangkan besi tidak memilikinya. Ada beberapa sifat yang tidak dimiliki besi, namun manusia memilikinya, dan sebaliknya.  Jadi, entitas potensial memang sesuatu yang real.
2.    Terjadinya perubahan dan tranformasi dialami oleh setiap entitas kosmik. Tanpa adanya potensi dan kapasitas (al-quwwah wa al-qabiliyah), perubahan tidak akan pernah terjadi dalam alam.
3.    Gerak adalah sebuah fenomena kosmik, yang berdiri di atas ketiadaan sekaligus ke-ada-an (Al-fuqdan wa Al-wujudan), ketiadaan yang memiliki potensia namun tidak memiliki aktus. Seandainya entitas yang bergerak (Al-mutahharik) tidak mengandung potensi untuk bergerak, maka ia tidak akan pernah bergerak.

Kesimpulan:
Setiap entitas kosmik menyandang dua sifat; potensialitas (Al-qabiliyah) dan aktualitas (Al-fi’liyah).

Potensi bermacam dua;
  1. Potensialitas menanjak (transenden, Al-quwwah Ash-sha’idah), yaitu potensi yang telah menjadi aktual.
  2. Potensialitas menurun (immanen, Al-quwwah An-nazilah), yaitu potensi yang belum teraktualkan. (Al-Falsafah al-Ulua, 109-111, Nihayatul-Hikmah, 250-253, ).

Maujud ‘sebab’ dan maujud ‘akibat’
Entitas atau maujud dapat juga dibagi dua;
  1. Entitas yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi selain dirinya, yang lazim disebut kausa atau al-illah.
  2. Entitas yang memerlukan selain dirinya untuk menjadi ‘berada’. (Nihayatul-Hikmah, 202, Al-Asfar Al-Arba’ah, juz 2, hal. 127, Al-falsafah Al-ulya, 113).

Penolakan terhadap Kausalitas
Ada sejumlah filsuf Barat yang menyatakan penolakan terhadap prinsip kausalitas. Mereka mengajukan sejumlah alasan.
  1. Penolakan David Hume
David adalah salah filsuf Barat yang melancarkan kritik tajam atas prinsip kausalitas.menurutnya, prinisp kausalitas tidak diketahui melalui penalaran  melainkan pengalaman. Pengetahuan orang tentang adanya hubungan kausalitas didapatkan dari kebiasaan melihat peristiwa tertentu (peristiwa A) selalu diikuti oleh peristiwa lain (peristiwa B). karena seorang telah mengamati berulang kali di masa lampau suatu objek akan menghasilkan akibat tertentu, maka ia dapat mengharapkan di masa depan objek yang sama menghasilkan akibat yang sama. Ia menolak hukum kausalitas dengan beranggapan bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat antar gejala-gejala dan entitas alam, karena yang terjadi hanyalah susul menyusul.

  1. Penolakan Bertrand Russell
Bertrand Russell juga menolak hukum sebab akibat dengan beranggapan, bahwa apabila setiap entitas dan sesuatu adalah akibat dari suatu sebab, maka berarti Tuhan juga akibat dari suatu sebab, karena ia adalah sesuatu. Bertrand Russell mencampurkan adukkan antara “pasti ada”, “pasti tiada”, dan “tidak pasti”. Hanya entitas atau sesuatu yang “tidak pasti ada dan tidak pasti tiada”-lah yang merupakan akibat dari suatu sebab”. (Usus Al-Falsaf, Thbathaba’ & Mutahhari, 210 dll.)

Kritik atas Penolakan Kausalitas
David dan para pengikutnya lupa bahwa susul-menyusul tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya hubungan kausal. Pendapat Hume meniscayakan keraguan total terhadap setiap premis. (The Empiricist, 324, Muhadharat, 95-101, dll).


Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengajukan sebuah pertanyaan menarik kepada orang-orang yang menolak hukum kausalitas; “Jika menurut anda hukum kausalitas adalah produk akal, maka dengan alasan apakah anda memastikan keberadaan realitas objektif yang telah menjadi sebab?” (Ususul-Falsafah, juz, 210).

Emanuel kant juga menentang David mengenai penolakan terhadap kausalitas. Menurutnya, kausalitas memang tidak ditemukan dalam pengalaman manusia, namun demikian, keputusan (hukum) tersebut juga bukan sekedar hasil kebiasaan manusia melihat dua peristiwa terjadi berurutan dalam waktu. (Matinya Metafisika Barat, Donny gahral Adian, 40-41).

Para filsuf Mazhab Qom membantah kritik David Hume dan para penolak prinsip kausalitas. Menurut mereka, sebenarnya penolakan terhadap prinsip kausalitas dapat diringkas dalam sebuah premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- adalah mustahil’.  Kalau premis tersebut kita ubah menjadi kontra premis ‘pengetahuan tentang selain arti-arti yang berurutan –tanpa saling berhubungan- tidaklah mustahil’, maka bagaimanakah Hume menyikapinya? Jika ia menganggap kontra premis ini benar, maka berarti ia telah menggugurkan pendapatnya. Jika menganggapnya salah, maka kita tanya dengan dasar apakah ia menyalahkannya? Jika ia menyalahkannya dengan argumentasi langusng, maka berarti ia meyakini argumen (yang digunakannya) itu sebagai sebab bagi gugurnya kontra premis diatas. Jika ia menyalahkan kontra premis tersebut dengan argumentasi tidak langsung, maka ia harus, sesuai dengan kaidah logika, menjustifikasi premis pertama yang diklaimnya (bukan kontra premis) dengan argumen. Jika ia menggunakan argumen untuk mendukung klaim premisnya, maka ia berarti mengakui adanya hubungan kausal antara argumen dan kebenaran klaimnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum non kontradiksi dan hukum sebab akibat adalah dasar bagi pengetahuan rasional, empiris, dan mistik. (Metafisika, 156 dan 84, Falsafatu Hume baina asdy-syak wal-I’tiqad, 180, Muhadharat, 100-101).

Urgensi menerima hukum kausalitas
Hukum ini sangat penting dan fundamental, terutama dalam bidang epistemologi. Hal itu karena beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Pengakuan terhadap hukum kausalitas merupakan landasan bagi pembuktian eksistensi realitas material, bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan penolakan terhadapnya meniscayakan keraguan mutlak dan kebodohan.
  2. Seandainya eksistensi materi bisa dibuktikan tanpa berlandaskan hukum kausalitas, maka pengetahuan akan materi hanyalah pengetahuan sederhana. Hal itu karena ilmu pengetahuan, sepereti fisika, kimia, biologi dan sebagainya, mengandalkan observasi sensual terhadap patikal-partikal tertentu berulang kali. Dengan kata lain, sain mengandalkan pengalaman. Generalisasi hukum empiris berdasarkan hukum kausalitas. Tanpa dilandasai hukum kausalitas, generalisasi hukum empiris tidak akan pernah bisa terjadi.
  3. Penolakan terhadap hukum kausalitas meniscayakan penerimaan atasnya. Renungkanlah! (Muhadharat, 138-141). Prinsip kausalitas adalah dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam segala bidang pemikiran manusia. Ini karena pemaparan dengan bukti tentang sesuatu berarti bahwa jika bukti itu benar, maka adalah sebab bagi mengetahui sesuatu itulah yang merupakan objek pemaparan. Ketika kita membuktikan suatu kebenaran tertentu dengan eksperimen ilmiah atau dengan suatu hukum filsafat atau dengan persepsi inderawi sederhana, sebenarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum) keniscayaan, tentu kita tidak dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita membuang hukum-hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya sebab-sebab tertentu bagi setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan antara bukti yang kita sandari dan kebenaran yang kita usahakan mendapatkannya dengan bukti ini. Tetapi kemungkinan bahwa bukti itu benar tanpa memandu ke hasil yang dikehendaki, karena hubungan kausal antara bukti dan hasil, antara sebab dan akibat, itu telah terputus.

Demikianlah, menjadi jelas bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas. Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk menolak prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan, juga berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari prinsip tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujjah tertentu, tidaklah melakukan usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujjah yang mereka sandari itu adalah sebab yang memadai untuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi hal itu sendiri adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu.  (Falsafatuna, 211, Muhadharat, 138-141).

Hubungan sebab dan akibat
Hubungan antara sebab dan akibatnya adalah hubungan eksistensial real (objektif). Bila  hubungan tersebut terjalin, maka ke-ada-an akibat menjadi pasti,  ke-ada-an sebab memastikan ke-ada-an akibatnya , dan ketiadaan sebab juga memastikan ketiadaan akibatnya.

Sedangkan para filsuf Barat, seperti David Hume, menganggap hubungan kausalitas sebagai hubungan konseptual subjektif, tidak objektif. (Muhadharat, 142, Falsafatu Hume baina Al-syak wa Al-I’tiqad, Dr. M. Fathi Asy-Syunaithi, Al-falsafah Al-ulya, 113, Nihayatul-Hikmah, 201).

Kausa sempurna dan kausa tidak sempurna
Sebab bermacam dua;
1.     Sebab sempurna (Al-illah At-tammah). Yaitu sebab yang selamanya menjadi penyebab keberadaan seluruh akibatnya, sehingga ia tidak ada, maka akibatnya pun seketika tidak ada. Keberadaan kausa sempurna meniscayakan keberadaan akibatnya. Ketiadaannya juga meniscayakan ketiadaan akibatnya.
2.     Sebab tidak sempurna (Al-illah An-naqishah). Yaitu sebab yang hanya menjadi sebab dalam salah satu aspek keberadaan akibat. Keberadaan kausa tidak sempurna tidak meniscayakan keberadaan akibatnya. Namun ketiadaannya meniscayakan ketiadaan akibatnya. (Nihayatul-hikmah, 204, Al-falsafah Al-Ulya, 115).

Sebab singular dan sebab plural
Sebab juga dapat dibagi dua;
  1. Sebab singular. Yaitu sebab bagi satu akibat.
  2. Sebab plural. Yaitu beberapa kausa bagi satu akibat, seperti panas yang merupakan akibat dari serangkaian sebab; matahari, panas, gerak dan sebagainya.

Sebab sederhana dan kausa kompleks
Sebab juga dapat dibagi dua;
  1. Sebab sederhana (Al-illah Al-basithah). Yaitu kausa yang tidak terangkai
  2. Sebab tersusun (Al-illah Al-murakkabah). Yaitu kausa yang terangkai dari beberapa bagian.
Ada kalanya sebab sempurna itu sederhana dan ada kalanya terrangkai. (Al-falsafah Al-ulya, 116).

Sebab eksternal dan sebab internal
Sebab juga terbagi dua;
1.    Sebab eksternal. Yaitu sebab yang ada di luar subjek (diri) akibat, yang disebut dengan sebab keberadaan (Illatul-wujud).
2.    Sebab internal. Yaitu sebab yang ada dalam diri akibat, yang disebut dengan sebab elementer. (Illatul-qiwam).(Al-falsafah Al-ulya, 117, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 126, Nihayatul-Hikmah, 205).

Sebab dekat dan sebab jauh
Sebab juga dapat dibagi dua;
1.     Sebab dekat (Al-illah Al-qaribah). Yaitu kausa yang secara langsung berhubungan dengan akibat.
2.     Sebab jauh (Al-illah Al-ba’idah). Yaitu kausa yang berhubungan dengan akibat dengan perantara sebab lain.

Empat macam sebab
Ada empat macam sebab, menurut Aristoteles dan para filksuf Mazhab Qom;
1.   Sebab material (Al-Illah Al-Maddiyah), seperti batu, pasir dan semen untuk rumah.
2.   Sebab formal (Al-Illah Ash-Shuriyah), seperti gambar “rumah” yang akan dibangun dalam benak arsitek atau pemilik.
3.   Sebab efesien (Al-Illah Al-Fa’ilah), seperti tukang dan kuli bangunan yang akan bekerja membangun rumah.
4.   Sebab final (Al-Illah Al-Gha’iyah), yaitu seperti  tujuan dibangunannya rumah. (Asl e Illiyat, Dr. Qadardan M., 57-64,  Kamus Filsafat, 194-195, Nihayatul-Hikmah, 201-216)

Macam-macam sebab pelaku
Kausa efersien (Al-illah Al-fa’iliyah, Al-illah Al-fa’ilah sebab pelaku) terbagi banyak. Yaitu sebagai berikut:
  1. Al-Fa’il bil-thba’i (pelaku natural). Yaitu pelaku yang menciptakan perbuatan (berbuat, bertindak), namun tidak menyadari perbuatannya, seperti api yang ‘menghangatkan’.
  2. Al-fa’il bil-qasr (pelaku natural determinan). Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan tidak menyadarinya, namun bertentangan dengan naturnya, seperti batu yang terbang ke atas, karena dilemparkan.
  3. Al-fa’il bil-jabri (pelaku terpaksa). Yaitu  pelaku yang mengetahui (menyadari) perbuatannya namun tidak menghendakinya, seperti perbuatan yang dilakukan seseorang akibat penindasan atau tekanan orang lain.
  4. Al-Fa’il bil-ridha (pelaku dengan sukarela). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya serta menghendakinya. Pengetahuan detail (Alilm At-tafshili)-nya adalah (akan perbuatan tersebut) adalah perbuatan itu sendiri dalam kenyataannya.
  5. Al-fa’il bil-qashd (pelaku dengan rencana). Yaitu pelaku yang mengetahui secara detail perbuatannya dan menghendakinya, namun pengetahuan detail-nya mendahului perbuatannya karena faktor lain, seperti perbuatan manusia yang bersifat ikhtiari.
  6. Al-fa’il bil-inayah. Yaitu pelaku yang telah mengetahui secara detail akan perbuatannya sebelum perbuatan itu sendiri, dan pengetahuannya adalah sesuatu di luar dirinya, dan bahwa pengetahuannya tersebut adalah penyebab bagi terjadinya perbuatannya, seperti seseorang di atas pucuk tebing yang membayangkan akan jatuh lalu jatuh karena membayangkannya.
  7. Al-fa’il bil-tajalli. Yaitu pelaku yang melakukan perbuatan dan mengetahuinya secara detail, bahkan pengetahuan detailnya (tentang perbuatan tersebut)  tidak lain adalah pengetahuan umum  pelaku tentang dirinya, seperti pengetahuan detail Allah tentang segala sesuatu yang merupakan pengetahuan detail.
  8. Al-fa’il bil-taskhir. Yaitu pelaku yang mana ia (pelaku sendiri) dan perbuatannya adalah untuk atau miliki pelaku lain, seperti daya atau potensi-potensi natural dan hewaniyang diciptakan dan untuk jiwa manusia.

Thabatabai menganggap sebagian dari sembilan sebab efesien di atas tidak perlu dimandirikan secara terpisah, karena, menurutnya, ada pelaku yang bila dicermati masuk dalam kategori pelaku lainnya, seperti Ál-fail bil-inayah, yang semestinya masuk dalam kelompok Al-fa’il bil-qashd, demikian pula Al-fa’il bil-jabr (pelaku terpaksa), yang sejatinya tidak keluar dari Al-fa’il bil-qashd, karena pelakunya, kendati dipaksa, melakukannya dengan ikhtiar. (Nihayatul-hikmah, 222-224, Al-falsafah al-ulya, 119, Syarh Al-Isyarat, juz 3, hal. 11-12, Al-asfar Al-arba’ah, juz 2, hal. 191-194, Syarhul-mushtathalahat al-falsafiyah, 261-265).

Dalam filsafat modern, sebab terbagi tiga;
1.      Sebab imanen. Yaitu kondisi internal yang menghasilkan perubahan, seperti kehendak dalam diri seseorang yang menyebabkan gerakan.
2.      Sebab instrumental. Yaitu sebab medium yang masih membutuhkan sebab yang lebih tinggi. Ia adalah sub bagian dari sebab efesien, seperti mobil yang merupakan alat yang menggerakkan seseorang yang berkehendak.
3.      Sebab transenden. Yaitu kondisis eksternal yang menghasilkan perubahan pada sebuah benda, seperti air yang menyebebkan tanaman menjadi subur. (Kamus Filsafat, 970-971).

Ciri-ciri dan sifat “Wujud”
Para filsuf penganut Ashalatul-Wujud menyebutkan sejumlah ciri khas hakikat  “wujud”. Antara lain sebagai berikut:

  1. Hakikat  “wujud” adalah sederhana (basith), tidak kompleks, bahkan realitas adalah satu-satunya yang sederhana dan tak tersusun.

Alasan-alasannya sebagai berikut:
·         Seandainya hakikat “wujud” kompleks atau tersusun, maka pasti ia terdiri atas beberapa bagian. Tentu, (setiap) bagian tersebut berupa wujud atau bukan wujud. Seandainya bagian tersebut bukanlah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari “wujud” (yang diasumsikan tersusun dari beberapa bagian itu), karena selain wujud atau ketiadaan, sedangkan ke-ada-an tidak dapat dikombinasikan dengan kenir-adaan.  Sebaliknya, jika bagian tersebut  adalah wujud, maka berarti ia bukanlah bagian dari “wujud”, karena ia adalah wujud itu sendiri, bukan bagian darinya.
·        Sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari wujud itu hanya bisa mengambil salah satu dari tiga sifat sebagai berikut; a) menjadi titik kesamaan antara realitas wujud dengan selainnya;  b) menjadi ciri khas bagi realitas wujud itu sendiri. Pilihan pertama tertolak, karena tidak ada sesuatu selain realitas wujud, sehingga setiap kali ada sesuatu yang diasumsikan sebagai bagian dari realitas wujud, maka seketika ia menjadi realitas itu sendiri semata.

2. Pilihan kedua juga tertolak, karena sesuatu disebut sebagai bagian apabila ia memiliki ciri khas yang membedakannnya dari yang lain. Karena realitas wujud tidak terdiri atas bagian-bagian yang sama, maka ia juga tidak terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai ciri khas. Itu berarti bahwa realitas wujud adalah sederhana dan tidak terdiri atas bagian-bagian. Apabila realitas wujud tidak memiliki bagian yang sama, maka ia tidak mempunyai genus dan  materia (potensi). Apabila hakikat wujud  tidak mempunyai bagian yang khusus, maka ia tidak mempunyai deferentia (fashl) dan forma. Jadi, realitas wujud bersifat sangat sederhana (basith).

Apabila realitas wujud tidak mempunyai genus dan  defrensia, maka ia bukanlah quiditas (mahiyah), karena quiditas adalah gabungan dari genus dan deferensia. Apabila realitas wujud tidak beresensi atau mempunyai quiditas, maka hakikat “wujud” itu adalah dirinya sendiri semata. Karena realitas wujud bukanlah quiditas, maka ia tidak menyandang sifat-sifat quiditas, seperti universal, partikulari, genus, deferensia, substansi, dan aksiden.

  1. Hakikat “wujud”  tidak mempunyai lawan (dhidd), karena lawan bagi sesuatu adalah sesuatu yang lain atau yang kedua, yang berbeda secara esensial atau berdasarkan quiditasnya, padahal tidak ada sesuatu selain realitas wujud, bahkan setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai selain dari realitas wujud adalah wujud itu sendiri. Karena realitas wujud tidak mempunyai quiditas atau esensi, maka ia tidak mempunyai lawan atau rival,   sebab perbedaan dan keberlainan antar dua hal disebab oleh quiditas atau esensi (mahiyah).

  1. Hakikat “wujud” tidak mempunyai kembaran atau padanan, sebab sesuatu disebut sebagai padanan atau kembaran itu bukanlah sesuatu yang dikembarinya itu sendiri. Dengan kata lain, dua sesuatu yang mirip atau sama harus berlainan. Kalau tidak, keduanya bukanlah dua, namun satu.

  1. Hakikat “wujud’ bukanlah akibat dari suatu sebab. Artinya, ia ada dengan sendirinya yang secara otomatis menolak kenir-ada-an dari dirinya.

  1. Sifat-sifat kesempurnaan seperti “hidup” dan lainnya adalah berasal dari hakikat “wujud”, bukan dari selain dirinya. Seandainya sifat-sifat kesempurnaan tersebut tidak berasal dari realitas wujud, maka berarti sifat-sifat tersebut nir-ada. (Al-falsafah Al-Ulya, 86, Nihayatul-Hikmah)


Realisme atau Dualisme
Aliran, yang oleh sebagian kalangan diidentikkan dengan monisme atau materialisme radikal, ini meyakini adanya realitas saja,  dan menolak eksistensi konsep.

Realisme Islam mestinya lebih tepat jika disebut dengan Dualisme, karena ia  meyakini adanya  dua maujud; objektif (real) dan subjektif (ideal). (Hakadza Nabda’, 2227-231, )


Tiga macam maujud objektif
Entitas objektif bermacam dua;
  1. Substansi (Al-Jauhar).
  2. Aksiden (Al-Arazh).
  3. Daya (Al-thaqah). (Al-falsafah Al-Ulya, Reza Shadr, 159, Sharh Al-Manzhumah, Sabzawari, juz 2, hal. 462-463).

Tiga macam maujud batangan (substansial)
Substansi terbagi tiga;
  1. Entitas ragawi atau raga (Al-Jism). Yaitu
  2. Entitas potensial atau entitas material atau potensia (Al-Maddah). Yaitu
  3. Entitas formal atau entitas aktual atau forma (Al-shurah). Yaitu

Ciri-ciri khas maujud ragawi  (‘raga’)
Para filsuf Mazhab Qom  menyebutkan sejumlah ciri khas yang diasandang oleh materi atau ‘raga’ (al-jism) sebagai berikut disertai dengan alasan-alasannya.
  1. Raga dapat dibagi.
  2. Raga dapat melebur dengan raga lainnya
  3. Raga terbatas.
  4. Rateri dan raga berbobot.
  5. Raga bertempat
  6. Raga bermasa.
  7. Raga berarah.(Al-Falsafah Al-Ulya, 160-168).

Dua macam maujud aksidental (sandangan)
1.    Aksiden-aksiden relatif. Yaitu aksiden yang bergantung pada relasi. (Al-a’razh Al-nisbiyah), seperti
2.    Aksiden-aksiden non relatif. Yaitu aksiden yang tidak bergantung pada relasi, seperti kategori kuantitas (Al-kam) dan kulaitas (Al-kaif). (Al-Falsafah Al-Ulya, 178, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 4, hal. 10).

Maujud objektif ‘bermula’ dan ‘tak bermula’
Maujud juga terbagi dua;
  1. Entitas bermula (hadits)
  2. Entitas tak bermula (qadim, azali).

Tiga ‘Maujud (objektif) bermula’
Maujud hadits terbagi tiga;
  1. Entitas bermula dengan kebermulaan eaktu (hadits zamani).
  2. Entitas bermula dengan kebermulaan diri (hadits ztati).
  3. Entitas bermula dengan kebermulaan eksistensial (hadits bil-haq).

Dua macam ‘maujud (objektif) bermula’
Entitas non eternal atau maujud hadits dapat pula dibagi dua;
1.       Maujud bermula secara relatif (al-hadits al-idhafi). Yaitu kebermulaan yang didahului oleh sesuatu yang lain.
2.       Maujud bermula secara hakiki (al-hadits al-haqiqi). Yaitu kebermulaan tidak didahului oleh sesuatu yang lain, karena ia bermula dari ketiadaan.

ENTITAS OBJEKTIF TAK TERINDERAKAN


Pengertian “non materi” (spirit)

Realitas abstrak atau non-materi (Al-mujarrad) adalah setiap sesuatu yang sama sekali tidak menyandang ciri-ciri benda. (Al-Manhaj Al-Jadid, juz 2, 139).

Pendahuluan
Objek atau sasaran pengetahuan, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, adalah realitas objektif. Realitas objektif dalam ontologi Islam, sebagaimana disebutkan oleh Thabatabai, bermacam tiga sebagai berikut:
  1. Realitas material. Yaitu realitas  yang merupakan gabungan dari materi dan potensi, yang lazim disebut dengan alam al-maddah wal-quwwah).
  2. Realitas immaterial.

Dua maujud non bendawi

Realitas immaterial, dalam ontologi Timur dan islam, bermacam dua;

  1. Realitas interval atau realitas ideal. Yaitu realitas immaterial yang memberikan pengaruh-pengaruh material, seperti  bentuk, ukuran, posisi dan sebagainya, yang lazim disebut alam al-barzarkh dan  alam al-mitsal.
  2. Realitas abstrak. Yaitu realitas immaterial yang tidak memberikan pengaruh-pengaruh material sama sekali, yang lazim disebut dengan alam at-tajarrud, alam al-aql atau alam al-uqul al-mujarradah.

Relasi antar realitas-realitas

Tiga realitas atau tiga alam (al-awalim al-tsalatsah) tersebut diatas berkaitan secara vertikal. Realitas yang lebih dulu ada dan hadir dan paling dekat dengan kausa prima atau prinsip pertama (al-mabda’ al-awwal) adalah realitas abstrak. Peringkat kedua diduduki oleh realitas interval atau realitas ideal. Sedangkan peringkat yang paling rendah adalah realitas material, yang merupakan domain kekuarangan, keburukan dan ketidakpastian. (Nihayatul-Hikmah, 302-304).

Dengan demikian, kita dapat membagi spirit atau immateri menjadi dua; immateri interval dan immateri abstrak. Sebagian filsuf cenderung menyebut realitas immaterial interval dengan entitas (realitas) immanen dan menyebut realitas immaterial abstrak dengan transenden.

Ciri-ciri istimewa entitas abstrak

Realitas immaterial, sebagai entitas yang berada pada peringkat pertama dalam urutan kemuliaan dan kesempurnaan, memiliki sejumlah ciri khas sebagai berikut:
  1. Setiap entitas abstrak pasti adalah pengetahuan (al-Aql).
  2. Setiap entitas abstrak pasti adalah subjek pengetahu (al-aqil).
  3. Setiap entitas abstrak pasti adalah objek yang diketahui (al-ma’qul).

Dengan ungkapan lain, maujud abstrak adalah maujud yang dapat dikenali, mengenali dan menjadi pengenalan itu sendiri.

Kebersatuan (Unitas) Aqil dan Ma’qul

Mulla shadra mengajukan sebuah pandangan baru dalam epistemologi sekaligus ontologi, yaitu ‘kebersatuan aqil (subjek pengetahuan) dan ma’qul (objek pengetahuan). Pandangannya dalam diringkas dalam item-item sebagai berikut:

  1. Objek penalaran (al-ma’qul) itu adalah objek yang diketahui secara langsung (al-ma’lum bil-zat). Sedangkan aql atau pengetahuan adalah gambar intelektual (ash-shurah al-ilmiah) yang berada dalam benak. Karena gambar tersebut diketahui (atau menjadi objek pengetahuan), maka ia adalah sesuatu yang bersifat aktual, bukan potensial, karena ‘keterketahuan’ atau posisinya sebagai objek pengetahuan (al-ma’lumiyah) merupakan predikat bagi sesuatu dalam konteks afirmasi atau penetapa (maqam al-itsbat). Realitas objektif adalah objek pengetahuan tidak langsung (al-ma’lum bil-arazh). Sedangkan objek pengetahuan langsung (al-ma’lum biz-zat), yaitu konsep, adalah entitas yang abstrak dan kosong dari sifat-sifat material dan bebas dari potensi.

Seandainya konsep tidak bebas dari materia murni(al-hayula) dan kosong dari potensia, maka ia tidak akan menjadi arti secara aktual. Dan seandainya pengetahuan atau konsep itu bertempat dalam anggota raga, maka niscaya konsep terdiri atas potensia dan materia.

Konsep, sebagai entitas immaterial, tidak mengalami perubahan, karenma perubahan hanya dialami oleh entitas yang mengandung potensia. Karena konsep atau pengetahuan tidak mengandung potensia, maka ia adalah aktus murni. Maka pengetahuan adalah proses mengabstraksi atau mengentas sesuatu yang abstrak dari realitas objektif yang kongkret. (Nihayatul-Hikmah, 317-318, Al-asfar Al-arba’ah, juz 3, hal. 323-324, Al-falsafah Al-ulya, 242-243).

  1. ‘Ke-berpengetahuan’ (Al-aqiliyah) adalah predikat aktual (bukan potensial) dan entitas yang tidak mengandung potensi sama sekali. Pengetahuan tidak lain hanyalah kehadiran entitas aktual dalam entitas aktual lainnya.

  1. Yang dimaksud dengan ‘unitas’ (al-ittihad) antara subjek pengetahuan (al-aqil)dan objek pengetahuan (al-ma’qul) ialah bahwa satu entitas menjadi ekstensi (manifestasi) dari dua pengertian. ‘Subjek pengetahuan’ (yang mengetahui) dan ‘objek pengetahuan’ (yang diketahui) adalah dua pengertian atau quiditas (al-mahiyyah) yang terpantul dari satu realitas, demikian pula quiditas ketigapengetahuan’ (al-aql).

Dengan demikian, jelaslah bahwa semua pengetahuan, pada hakikatnya, adalah kehadiran, termasuk pengetahuan-pengetahuan hushuli (al-ma’rifah al-husuliya) atau paling tidak, bersumber dari pengetahuan hudhuri (al-ma’rifah al-husuliyah).(Nihayatul-Hikmah, 318-319, Al-falsafah al-ulya, 344-345).

Macam-macam entitas immaterial

Para filsuf menyebutkan sejumlah entitas abstrak atau ‘objek pengetahuan’ (al-ma’qul), seperti kefahaman (al-fahm), Al-hifzh (kehafalan), pengenalan  (al-aql).

Antara Al-ilm dan al-aql
Khusus mengenai al-aql, perlu diketahui bahwa kata ‘aql’ berbeda dengan pengetahuan atau al-ilm, karena al-ilm adalah entitas subjektif (al-mawjud az-zihni), sedangkan al-aql adalah entitas objektif (al-mawjud al-khariji).

Empat tahap ‘entitas abstrak’

Entitas objektif abstrak,  lazim disebut dengan Ál-aql, yang merupakan wadah pengetahuan, melewati empat tahap sebagai berikut;
1.    Al-aql Al-huyulani. Yaitu tahap ketika jiwa bebas dari semua entitas-entitas ‘ternalarkan’ atau entitas tak terinderakan, baik yang ekstemporal maupun yang non ekstemporal. Tahap ini adalah tahap persiapan untuk meraih pengetahuan badihi dan non badihi.
2.    Al-Aql bil-malakah. Yaitu tahap ketika jiwa telah meraih pengetahuan-pengetahuan (entitas-entitas tak terinderakan) badihi, baik yang masih konseptual maupun yang telah menjadi assentual.
3.    Al-aql bil-fi’l. Yaitu tahap ketika jiwa telah memproduksi pengetahuan-pengetahuan non ekstemporal (aposterior) dari pengetahuan-pengetahuan ekstemporal yang telah ia peroleh sebelumnya. Pada tahap ini entitas immaterial abstrak mulai menyingkap sesuatu yang sebelum tidak ia ketahui.
4.    Al-aql Al-mustafad. Yaitu tahap tertinggi ketika entitas abstrak (Al-aql) telah melakukan penyimpulan (Al-istintaj) dari sejumlah pengetahuan-pengetahuan badihi dan non badihi yang ada dalam dirinya. (Al-Falsafah Al-ulya, 241, Syarhul-Mawaqif, juz 6, hal. 43).

‘Abstrak’ filosofis dan ‘abstrak’ populis
Perlu diketahui pula, bahwa kata ‘abstrak’ telah dikonsumsi secara liar oleh kalangan di luar filsafat sehingga mengalami distrosi dan reduksi substansial dalam pengertiannya. Kini ‘abstrak’ telah dipahami secara populer dan secara non akademik sebagai sesuatu yang tidak jelas, tak bermakna dan kabur. Tentu fenomena ini tidak terlepas dari pengaruh pemikiran materialisme yang menolak eksistensi realitas non material, sebagaimana perkatan “it s doesn’t matter” (itu bukanlah benda yang diartikan “tidak ada’ atau ‘sepele’) dalam percakapan Inggris populer, demikian juga kata ‘fakta’ dan ‘realitas’ atau ‘kenyataan’ yang telah diadopsi secara tidak fair untuk arti yang menyimpang dari pengertian substansialnya dan artikan sebagai ‘fakta empiris’, realitas material‘ dan ‘kenyataan yang terinderakan’.

Tuhan
Sebab perdana entitas-entitas material dan immaterial adalah entitas immaterial transendental yang merupakan sumber keberadaan. Umat manusia sejak hadir di atas pentas sejarah hingga kini telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan itu. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Dialah Tuhan Maha Sempurna.

Manusia dan Tuhan

Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk entitas yang maha seempurna dan maha bijaksana deengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah manusia yang pesimis, gamang  dan diliputi kerisauan akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.

Masalah ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia dan mnejadi bahan pemikirannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri.(Maqalat e Falsafai, intisharat Hikmat, juz 2, hal. 231, Khoda Shenasi falsafi,  19, ).

Argumen kausal dan argumen efektual
Dalam filsafat Mazhab Qom, ada dua macam pola pembuktian keberadaan tuhan yang bertumpu pada prinsip kausalitas:
1.      Al-burhan Al-Limmi (argumen kausal). Yaitu pola  pembuktian dari sebab ke akibat-akibatnya.
2.      Al-burhan Al-inni (argumen efektual). Yaitu pola pembuktian dari akibat ke sebabnya.

Dua argumen efektual
Burhan inni bermacam dua. Para filsuf berselisih pendapat tentang manakah yang meniscayakan keyakinan;  burhan limmi  ataukah burhan inni. Polemik seputar dua metode pembuktian ini cukup panjang dan hangat hingga sekarang. (Sairi dar adelleh e isbat e wujud e, 32).

Para filsuf membagi argumen-argumen menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah arguemn-argumen yang terdiri atas rangkaian padu elemen subjek pembukti, elemen cara pembuktian dan elemen tujuan pembuktian menjadi satu. Bagian kedua adalah pembuktian yang hanya terdiri atas rangkaian padu dua elemen; pelaku pembuktian dan cara pembuktian, sedangkan elemen tujuan pembuktian terpisah. Bagian ketiga adalah pembuktian yang terdiri atas rangkaian padu elemen cara pembuktian dan tujuan pembuktian.

Argumen ‘ketidakpastian’ (burhan al-imkan), argumen ‘kebermulaan’ (burhan al-huduts), argumen ‘gerak’ (burhan al-harakah), dan argumen ‘keteraturan’ (burhan al-nadhm, annizham) termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu.

Salah cara pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah ‘pengetahuan akan jiwa’. Yaitu bahwa manusia dengan pengembaran subjektif dan perenungan dalam diri, melalui pengetahuan hushuli, akan dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Dalam pembuktian demikian, cara pembuktian dan pelaku pembuktian menjadi satu, sedangkan tujuan pembuktian terpisah. Mulla Shadra menganggap argumen ‘ash-shiqqin’ sebagai argumen bagian ketiga. Menurutnya, inilah argumen yang paling mulia dan kokoh. (Al-asfar Al-arba’ah, juz, 6, hal. 13, Sayri dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 34).

Sejumlah filsuf, seperti Ibnu Sina dalam At-ta’liqat,   menolak pembuktian keberadaan Tuhan, karena, menurutnya, ke-ada-an Tuhan hanya bisa dibuktikan dari diriNya sendiri. Dengan kata lain, menurut Ibnu Sina, keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui secara hushuli atau dengan mengandalkan pengetahuan hushuli).(Amuzesy e Falsafeh, M. T. Yazdi, juz 2, hal. 329).

Namun pendapat ini dibantah oleh banyak filsuf dengan sejumlah argumen dan justifikasi. Salah satu justifikasi menyimpulkan bahwa, boleh jadi, yang dimaksud tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan data husuli adalah bahwa zat Tuhan (wujud aini) Tuhan tidak dapat dibuktikan secara husuli. (Amuzesy e Falsafeh, juz 2, hal. 332, Sayri dar adelleh, 37).

Para filksuf Mazhab Qom menyebutkan sejumlah argumen dan bukti. Antara sebagai berikut:
  1. Argumen “fitrah’;
  2. Argumen ‘keteraturan’;
  3. Argumen  ‘kepemanduan’. Muthahhari menganggap argumen ini sebagai argumen yang terpisah dari argumen ‘keteraturan’. (Usul e falsafeh va Ravesy e Realisme, juz 5, hal. 48,49).
  4. Argumen ‘kebermulaan raga. Argumen ini digunakan oleh para teolog (mutakkalimun) (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 44-47)
  5. Argumen ‘gerak’.
  6. Argumen ‘kebermulaan spirit (jiwa). Argumen ini dikemukakan oleh para filsuf kosmologi. (ibid).
  7. Argumen ‘ketidakpastian dan kepastian’. Ibnu Sina dan Suhruwardi masing-masing memberikan pola penjelasan yang berbeda. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 26-37, Usul e Falsafeh va Ravesy e realisme, juz 5, hal. 61, 80, 81, Al-isyarat, juz 3, butir 4, Sayri dar adelleh e isbat e wujud e Khoda, 41).
  8. Argumen ‘sebab dan akibat’;
  9. Argumen ash-shiddiqin’.

Tapi dalam lembaran ini kita hanya akan menyebutkan ima bukti dan inferensi.

Bukti ‘Fitrah’

Sepantasnyalah ‘bukti fitrah’ didahulukan atas bukti-bukti lainnya karena, ia bertumpu pada kedalaman jiwa manusia dan dasar pijakannya bersifat presentatif (hudhuri). Namun sebagian filsuf dan teolog mengutamakan bukti ‘shiddiqin’.

Terminologi ‘Fitrah’
Kata ‘fitrah’ (al-fithrarh) secara gramatis mengikuti pola (wazan) fi’lah yang dalam b ahasa Arab mengandung konotasi perbuatan yang mengikuti perbuatan tertentu lainnya, seperti ia duduk seperti duduknya (jilsah) seorang pangeran. Ia berasal dari kata kerja ‘fathara’ yang semula berarti ‘menciptakan’ dan ‘membuat’ seseuatu yang sebelum tidak ada. Dalam surah Ar-Rum (ayat30),  kata ini telah digunakan untuk arti menciptakan.

Yang dimaksud dengan ‘fitrah Allah’ dalam ayat tersebut ialah  bahwa keberagamaan dan kecenderungan pada agama adalah sesuatu yang natural dan wajar. Artinya, Tuhan telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga ia senantiasa cenderung untuk beragama.

Istilah-istilah ‘Fitrah’
Kata ‘fitrah’ dan derifasinya telah digunakan untuk arti yang berlainan. Antara lain sebagai berikut:
1.              ‘Proposisi-proposisi fitriah’ dalam logika. Ia didefinisikan sebagai premis

Antara Fitrah, natur (thabi’ah), dan insting (gharizah)

Bukti ‘Keteraturan’ (argumen teleologis).


Definisi keteraturan
Melalui bukti keteraturan, kita dapat membuktikan dua hal; ke-ada-an Tuhan dan pengetahuan Tuhan.

Sistem alam
Ada keharmonisan antar setiap bagian mengantarkan kepada kesimpulan tentang adanya tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon, atau keseimbangan antara kehidupan pohon dan hewan. Bukti ketursunan terdiri atas proposisi sensual (inderawi) dan proposisi rasional (akali).

Proposisi pertama:
Ada sebuah sistem yang mengatur fenomena-fenomena natural yang dikenal oleh manusia melalui penginderaan eksoteris (lahiriah) atau dengan bantuan alat-alat dan metode-metode ilmiah.

Proposisi kedua:
Akal menemukan suatu keharmonisan dan sistem yang mengatur alam itulah, akal secara ekstemporal memastikan tentang ada suatu kekuatan yang pandai secara sempurna yang mengendalikannya. Akal juga memastikan bahwa keteraturan ini mustahil terjadi secara kebetulan tanpa sebab di baliknya.

Proposisi baru:
Alam ini tersusun dengan baik. Jika ia tidak tertata rapi, maka mustahil kita menganggapnya sebagai sesuatu yang indah. Jadi, ada susunan atau rangkaian-rangkaian yang kita anggap sebagai suatu keindahan, keteraturan, dan lain sebagainya. Sesuatu mustahil sekonyong-konyong menjadi teratur tanpa ada yang mengaturnya.

Konklusi:
Karena itulah, pasti ada yang mengatur, dan yang mengatur itu pasti tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana yang diatur. Dari situ kita simak adanya sesuatu yang dahsyat, yang tak bermula dan tak berakhir, yang pasti, dan yang memiliki kemampuan sedemikian dahsyatnya sehingga dapat mengatur alam yang begitu indah dan menakjubkan. Maka dapat kita simpulkan akan adanya Tuhan, Allah, God, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu berkesimpulan tentang adanya sesuatu yang memiliki kekuatan yang tidak ada keterbatasan.

Bukti ‘gerak’
Segala sesuatu yang ada dalam alam ini bergerak, dari atom ke benda padat, dari benda padat ke benda hidup, dan ke bumi seluruhnya, kemudian ke angkasa, dan akhirnya ke seluruh galaksi. Sain modern menegaskan bahwa di dalam alam ini tidak sesuatu yang disebut dengan “diam”, bahwa alam selalu dalam gerak. Berdasarkan prinsip kausalitas, tidak mungkin sesuatu bergerak dengan sendirinya tanpa digerakkan oleh suatu penggerak atau penyebab gerak, karena sesuatu yang tidak mempunyai tidak dapat memberikan gerak.

Atas dasar itulah, bila materi dengan aneka macamnya bergerak, maka septutnya kita menanyakan siapakah penggeraknya. Pertanyaan tentang penggerak ini akan terus berkumandang selama segala sesuatu yang ada di alam materi ini bergerak.

Kaum materialis menghubungkan evolusi dalam materi dengan gerak subjektif dalam materi dan dengan pertentangan internal di dalamnya, sebagimana telah dijelaskan dan dibantah pada bagian sebelumnya. Kaum materialis harus menjawab dua pertanyaan besar berikut ini (yang sudah pasti tidak dapat dijawabnya dengan teori materialisme):

Siapakah yang memberikan gerak kepada materi pertama?
Siapakah yang memberikan gerak kepada massa material?

Bukti ‘Evolusi’. Bukti dan argumen ini dikemukakan oleh Mohammad Baqir Ash-Shadr, filsuf terbesar muslim di penghujung abad 20. Bukti ini terdiri atas tiga proposisi sebagai berikut:

Proposisi pertama:
“Setiap peristiwa pasti mempunyai sebab yang menjadi sumber keberadaannya. “

Proposisi ini bersifat aksiomatis atau apriori (sangat gamblang). Setiap orang yang berakal sehat dan sadar pasti membenarkan isinya.

Proposisi kedua:
“Setiap ditemukan selisih tingkat kekuatan antara sesuatu dan lainnya, maka tidak mungkin sesuatu berada pada tingkat kesempurnaan dan isi yang lebih rendah menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu yang berada pada tingkat yang lebih tinggi.

Proposisi ini juga bersifat aksiomatif (badihi) yang bisa segera dipastikan kebenaran isinya oleh setiap orang yang berakal sehat dan sadar.

Proposisi ketiga:
“Materi dalam evolusi atau perkembangannya yang berkelanjutan mengambil bermacam bentuk dalam tingkat evolusinya.”

Salah satu unsur dari air tidak mempunyai kehidupan merupakan salah satu bentuk keberadaan materi. Amipa dianggap sebagai hewan micro yang hanya mempunyai sal sel merupakan salah satu bentuk keberadaan materi yang lebih banyak perkembangannya. Sedangkan manusia , sebagai benda hidup berindera dan berakal, dianggap sebagai bentuk tertinggi dari entitas dalam alam ini.

Konklusi:
“Adanya tingkat-tingkat kesempurnaan dalam keberadaan materi di alam ini menunjukkan adanya sebab atau kausa yang sempurna di baliknya.”(Allah yatajalla, 41, Mujaz fi Ushuliddin, 42-45, Allah Yatajalla, 54, Kubra Al-yaqiniyat Al-kauniyah, 105, Jurnal Paramadina, vol. 1, no. 2, 1999, Adeleh e itsbat wujud e Khoda, Mohsen Gharavian, 19-20, Khoda Shenasi Falsafi, Mohsen javadi, 18-21, dll).

Teori ‘kebetulan’

Bukti Kebermulaan

Kebermulaan atau Al-huduts, secara etimologis, adalah sifat yang disandang oleh sesuatu yang bermula dari ketiadaan atau bermula dari sesuatu yang lain. Contoh sesuatu yang bermula dari ketaiadaan adalah “asal muasal alam” -atom atau energi-, sebagaimana telah terukti. Contoh sesuatu yang bermula dari sesuatu yang lain adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh entitas-entitas (maujud-maujud) material. Manusia, misalnya, ada dari sesuatu yang bukan manusia berupa sel-sel.

Lawan dari kebermulaan atau Al-huduts adalah ketidakbermulaan atau Al-azaliyah, yaitu sifat yang disandang oleh sesuatu yang tidak bermula dari ketiadaan, dan tidak berasal (bermula) dari sesuatu yang lain.

Ciri-ciri azali dan hadits adalah sebagai berikut:Azali adalah sesuatu yang sederhana (basith, simple, homogen), sedangkan hadits adalah sesuatu yang tersusun (murakkb, kompleks, heterogen, himpunan).

Karena setiap “yang tersusun” terdiri atas beberapa bagian yang merupakan sebab bagi terbentuk “sesuatu yang tersusun”, maka keberadaan setiap “yang tersusun” bermula dari sesuatu yang lain, yaitu bagian-bagiannya. Kesimpulannya, ialah bahwa setiap “yang tersusun” pastilah sesuatu yang hadits. (Metafisika, Lorens Bagus, i36-145, Ontologi, Anton Bekker, Muhadharat, 162-163, Bidayatul-Hikmah, Allah bainal Azaliyah wal Huduts, Al-ilahiyat, dll.).

Sedangkan “sesuatu yang bermula” ada kalanya bersifat basith dan ada kalanya bersifat murakkab (Muhadharat fil Aqidah, 164).

Setiap yang “tak bermula” (Azali) tidak memerlukan kepada selain dirinya untuk menjadi ada. Seandainya ia bermula, maka berart ia bukanlah azli. Karena ia tidak bermula, maka ia tidak pernah tiada. Karena tidak pernah tiada, maka ia tidak memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada. (Muhadharat, 164 dll).

Sedangkan hadits, karena keberadaannya bermula dari ketiadaan, memerlukan kepada selian dirinya untuk menjadi ada.

Setiap yang azali pastilah abadi (tidak berakhir), sedangkan hadits berpotensi untuk musnah.

Karena setiap yang azali tidak memelukan selain dirinya untuk menjadi ada, maka ia bukanlah sesuatu yang “mungkin”. Karena azali bukanlah sesuatu yang “mungkin”, maka ia pastilah sesuatu yang wajib ada. Karena ia “wajib ada”, maka ia tidak akan pernah musnah (abadi).

Sedangkan hadits, karena memerlukan selain dirinya untuk menjadi ada, adalah sesuatu yang “mungkin”. Karena ia bersifat “mungkin”, maka ia bisa musnah seketika apabila hubungannya dengan sebab pengadanya terputus.

Setiap yang azali tidak berubah, sedangkan sesuatu yang hadits berpotensi untuk berubah.

Perubahan terjadi dalam tiga kondisi sebagai berikut:
  1. Perubahan yang terjadi karena salah satu bagian atau salah satu sifatnya mengalami perubahan, dengan diganti ataupun tidak.
  2. Perubahan yang terjadi karena bertambahnya salah satu bagian atau salah satu sifat yang disandannya. Perubahan pertama dan kedua di atas tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali, karena ia meniscayakan ketersusunan yang merupakan salah satu ciri khas sesuatu yang hadits.
  3. Perubahan yang terjadi karena realitas sesuatu yang basith berganti menjadi realitas basith yang lain. Perubahan demikian juga meniscayakan ketiadaan sebuah realitas yang disusul oleh keberadaan baru realitas lain. Perubahan ketiga ini juga tidak akan pernah dialami oleh sesuatu yang azali karena ketidakbermulaannya dari ketiadaan atau dari sesuatu yang lain.

Inilah penjelasan singkat tentang bukti kebermulaan yang lazim diseebut argumen a novitate mundi. Kesimpulan, pasti ada sesuatu yang tak bermula dan tak berakhir. Para ahli menyebutnya “Kausa Prima”, yaitu suatu kekuatan yang sempurna, tidak bermula dan tidak berakhir, yang kita identifikasi dengan nama Tuhan, Sang yang, God, dan lain sebagainya. (Al-ilahiyat, hal. 39 – 42, Muhadharat fil-Aqidah, hal. 221, Allah bainAl-iman wAl-ilhad, hal. 133, Durus fil-Aqidah dll.)

Bukti ketidakpastian

Ciri-ciri ‘pasti ada’
Ada beberapa ciri khas ‘entitas wajib’ li zatih. Antara lain sebagai berikut:
1.     EkisistensiNya tidak membutuhkan hubungan dengan selain diriNya. Seandainya keberadaanNya berhubungan dengan selain diriNya, maka ia pasti lenyap saat hubungan tersebut lenyap.
2.     Eksistensinya sederhana. Seandainya tersusun, maka nisacaya ia bergantung pada bagian-bagiannya dan berhubungan dengannya. Bagian-bagian –sebagai bagian- bukanlah himpunannya –sebagai himpunan-. Seandainya bergantung pada selain diriNya, maka ia adalah sesuatu yang mungkin, bukan wajib.
3.     Ia bukanlah raga (jism), karena raga terdiri atas beberapa bagian, sedangkan ketersusunan meniscayakan ketidakpastian, sebagaimana disebutkan dalam ciri kedua diatas.
4.     Ia bukanlah predikat yang melekat pada substansi, seperti warna dan bentuk, karena predikat hanya ada apabila ada substansi yang menyandangnya.
5.     Ia tidak berubah, sebab perubahan hanya akan terjadi dengan pengurangan atau penambahan baik dalam substansi maupun dalam sifat-sifatnya.
6.     Ia tidak berbilang, karena keterbilangan meniscayakan ketersusunan.(Muhadharat, 228-229).

Ciri-ciri “Yang Tidak Pasti”
  1. Berposisi netral antara ada dan tiada. Ia tidak akan mengada atau meniada tanpa sebab. Seandainya sesuatu yang mungkin mengada secara objektif tanpa sebab, maka ia wajib, bukan mungkin. Seandainya ia meniada secara objektif tanpa sebab, maka berarti ia mustahil (pasti tiada).
  2. Kelanggengan wujud sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan wujud sesuatu yang menjadi sebabnya. Dan kelanggengan ketiadaan sesuatu yang mungkin bergantung pada kelanggengan ketiadaan sebabnya. Seandainya tidak memerlukan dan tidak bergantung pada kelanggengan sebabnya, maka berarti ia dapat mengada tanpa bergantung pada sebab, padahal ia bukanlah wajib dan bukan pula mustahil. (Muhadharat, 224-225).

Ciri-ciri “Yang Pasti Tiada”
‘Sesuatu yang pasti tiada’ adalah yang tidak menyandang ciri-ciri sesuatu yang wajib dan ciri-ciri sesuatu yang mungkin, seperti ia tidak memerlukan sebab bagi ketiadaannya.


Secara etimologis, possibilitas (Al-imkan, ketidakpastian) adalah sifat sesuatu yang, menurut hukum akal sehat, berada pada posisi netral antara ada dan tiada. Lawan dari ketidakpastian atau kemungkinan adalah “kepastian ada” (Al-wujub) dan “kepastian tiada”(Al-imtina’).

Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘Pasti ada’ adalah entitas yang ada dengan  sendirinya. Para teolog dan filsuf ontologi menyebutnya ‘wajib’.  ‘Pasti tiada’, sebagaima juga telah kita ketahui, adalah ‘sesuatu’ yang tiada dengan sendirinya, yang lazim disebut al-mumtani’ atau al-mustahil. Sedangkan ‘tidak pasti’ adalah ‘sesuatu’ yang bisa ada dan bisa tiada akibat dari sesuatu selain dirinya, yang lazim disebut al-mumkin.

Masing-masing memiliki ciri khas yang tidak akan pernah bisa disilangkan atau campurkan. Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, ‘yang tidak pasti’ (al-mumkin) netral antara ada dan tiada, bergantung pada eksistensi dan kelanjutan eksistensi sebab pengada atau peniadanya. Bila ia condong ke sisi keberadaan, maka berarti sesuatu yang wajib (pasti ada). Bila ia condong ke sisi ketiadaan, maka berarti ia sesuatu yang pasti tiada (pasti tiada).

Ciri-ciri khas “yang pasti ada” juga telah kita ketahui sebelumnya, antara lain ialah bahwa keberadaannya tidak memerlukan hubungan apapun dengan selain dirinya. Jika keberadaannya bergantung pada selain dirinya, maka niscaya musnah bila hubungan ketergantungannya terputus, dan seketika ia menjadi “tidak pasti”. Sesuatu yang ‘pasti ada’ tidak akan butuh kepada sesuatu untuk memastikan keberadaan dirinya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya juga, ‘pasti tiada’ tidak butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya. Dan yang ketiga, tidak pasti, artinya dia butuh kepada sesuatu selain dirinya untuk memastikan keberadaan, dan dia butuh sesuatu selain dirinya untuk memastikan ketiadaan dirinya, jelasnya untuk ada dan tiada, dia butuh kapada sesuatu yang diluar dirinya, selain dari dirinya.


Alam sebagai ‘tidak pasti’
Lalu, apakah alam ini pasti ada dengan sendirinya, ataukah pasti tiada dengan sendirinya, ataukah tidak past? Jika alam pasti tiada dengan sendirinya, maka tidak perlu kita bahas. Untuk apa menghabiskan waktu dalam membahas sesuatu yang pasti tiada! Jika alam pasti ada dengan sendirinya, berarti alam ini menciptakan dirinya sendiri. Jika alam menciptakan dirinya sendiri, berarti sebelumnya dia tidak ada baru dia menciptakan dirinya, dia memastikan dirinya. Jika alam ini ada dengan sendirinya berarti dia harus menyandang sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap Wajib, yaitu tak bermula dan tak berakhir, tidak mengalami perubahan, tak tersusun, dan semua sifat-sifat yang menentang kebermulaan, keberakhiran, perubahan, serta ketidakpastian.

Setelah kita ketahui bahwa ternyata alam ini tersusun, berarti dia bergantung kepada susunan-susunannya, jika dia bergantung kepada susunan-susunannya, berarti keberadaan dirinya dipastikan oleh sesuatu selain dirinya. Artinya, dia pasti ada itu karena adanya susunan-susunan itu, dan yang pasti susunan-susunan itu bukan dari dirinya. Berarti alam ini bukan wajib. Jika ia tidak pasti ada dan tidak pasti tiada, maka alam ini tidak pasti. Artinya, untuk menjadi ada, dia butuh kepada selain alam, dan untuk tiada dia juga butuh kepada selain alam. Kesimpulannya, ada sesuatu yang yang pasti ada dengan sendirinya.

Seandainya yang menciptakan alam yang tidak pasti ini – sesuatu yang tidak pasti, maka sama hukumnya dengan alam, bahwa ia membutuhkan selain dirinya yang menciptakan. Seandainya yang menciptakannya juga tidak wajib, meka niscaya ia bergantung kepada sesuatu yang sebelumnya. Begitulah seterusnya sampai kita, mau atau tidak, harus berhenti pada suatu kesimpulan, bahwa ada satu titik akhir yang menciptakan alam, sebuah sebab yang tidak bergantung kepada sesuatu diluar dirinya, atau sebelum dirinya. (Al-Ilahiyat, hal. 33-37, Muhadharat, hal. 224-232, dll.)


Sifat-sifat Tuhan

Karena Tuhan adalah wujud yang sempurna dalam segalanya, maka Ia tentu menyandang semua sifat kesempurnaan, seperti pengetahuan  (Al-ilm) dan kekuasaan (Al-qudrah). Ketika dikatakan bahwa Tuhan menyandang sifat ‘kuasa’, maka yang dimaksud ialah bahwa Ia kesempurnaan itu sendiri. Jadi, menurut para filsuf ontologi, penyandangan (Al-ittishaf) tidak berarti ada sebuah subjek sebagai entitas dengan eksistensi tersendiri dan ada sebuah predikat sebagai sebuah entitas dengan eksistensi tersendiri yang terangkai dalam substansi tuhan, namun ia berarti bahwa Tuhan Allah SWT tidak mungkin kosong dari kesempurnaan apapun.

Dua kelompok sifat Tuhan

Sifat dapat dibagi menjadi dua;
1.    Sifat afirmatif (Ash-shifah Ast-stubutiyah), yaitu predikat yang mengandung arti afirmastif seperti ‘berkuasa’ dan ‘berpengetahuan’.
2.    Sifat negatif (Ash-shifah As-salbiyah), yaitu predikat yang mengandung arti negatif, atau sifat yang menegasi negasi  kesempurnaan, yang bermuara pada arti kesempurnaan, seperti ‘tidak lemah’.

Dua sifat afirmatif Tuhan

Sifat-sifat afirmatif dapat dibagi dua;
  1. Sifat-sifat afirmatif sejati (Ash-shifah Ast-tsubutiyah Al-haqiqiyah), yaitu sifat yang tidak bergantung pada relasi antar subjek dan selainnya, seperti ‘hidup’.
  2. Sifat-sifat afirmatif relatif (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-idhafiyah), yaitu sifat-sifat yang bergantung pada relasi, seperti ‘mengetahui’ dan ‘berkuasa’.

Dua sifat negatif Tuhan

Sifat-sifat afirmatif sejati dapat dibagi dua;
1.     Sifat-sifat afirmatif sejati murni (Ash-sifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah Al-mahdhah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang sama sekali tidak bertumpu pada relasi baik dengan subjek maupun dengan lawan subjek, seperti sifat ‘hidup’.
2.     Sifat-sifat afirmatif sejati yang tidak murni (Ash-shifah Ats-tsubutiyah Al-haqiqiyah dzatu Idhafah), yaitu sifat-sifat afirmatif sejati yang dari sisi tertentu berkaitan dengan selain subjek penyandang, seperti sifat ‘pencipta’ (yang menciptakan).

Sifat subjektif dan sifat non subjektif Tuhan

Sifat-sifat juga dapat dibagi dua;
1.      Sifat-sifat subjektif (Shifat Az-zat), yaitu sifat yang dapat disimpulkan dari subjek  semata, tanpa mengikutsertakan sesuatu selain subjek penyandang. Ia disebut dengan ‘sifat-sifat zat Tuhan’.
2.      Sifat-sifat non subjektif (Asifat Al-fi’l), yaitu sifat yang disimpulkan dari subjek dan pasangannya. Namun, karena selain Tuhan tidak ada, maka relasi zat Tuhan hanyalah perbuatannya. Oleh sebab itu, sifat-sifat macam kedua ini hanya bisa disebut dengan ‘sifat-sifat perbuatan Tuhan’. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 120-118, Syarhul-Mandhumah, 157, Nihayatul-Hikmah, 345).

Sifat-sifat subjektif Tuhan
Para filsuf berselisih pendapat tentang sifat-sifat subjektif (Ash-shifat Az-zatiyah). Sebagian besar filsuf muslim, seperti Zabrawari dan Mullah Shadra,  beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah inti zat Tuhan, dan bahwa masing-masing merupakan inti atau zat bagi lainnya.. Para teolog Asya’riyah, seperti At-Taftazani, Asy-Syahristani dan Al-Iji,  beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif itu adalah arti-arti dari luar zatNya yang melekat dan bersifat qadim (tak bermula) karena zat yang dilekatinya qadim. Para teolog Mu’tazilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penyandangan zat Tuhan atasz sifat, mengetahui, misalnya, ialah bahwa zat Tuhan berpengetahuan, dan bahwa yang dimaksud dengan Tuhan bersifat ‘kuasa’ ialah bahwa zatNya berkuasa. (Syarhul-Mawaqif, 479, Syarhul-Maqashid, juz 2, hal. 72, Al-Asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 133, juz 6, 145, Syarhul-Manzhumah, hal 157-159, (Syarhul-Maqshid, juz 2, hal. 72, Syarhul-Mawaqif, 479-480, Al-milal wa An-nihal, juz 2, hal. 95. Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 109-110, Al-farq bainal-Firaq, 78, Nihayatul-Hikmah, 346-349, Al-falsafah Al-ulya, 322-325).

Thabathabai dan para filsuf Mazhab Qom mendukung pendapat pertama, karena alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Seandainya sifat adalah sesuatu yang melekat kemudian pada zat penyandang, maka berarti penyandang adalah sebuah entitas tersendiri dan sifat adalah sebuah entitas tersendiri. Seandainya sifat-sifat Tuhan adalah suatu imbuhan pada zatNya, maka berarti ia membutuhkan sebuah zat sendiri untuk menjadi ada, karena sifat yang berupa imbuhan pada zat membutuhkan sebab untuk menjadi ada dan ia mustahil menjadi ada dengan sendirinya, padahal tiada sebab bagi sifat tersebut  selain zat itu sendiri, karena jika sifat itu membutuhkan sebab selain zat Tuhan, maka hal meniscayakan negasi terhadap wujub (kepastian), karena ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang tidak membutuhkan lainnya. Maka seandainya zat adalah sebab bagi sifat, maka berarti zat telah memilikinya lebih dahulu, sehingga tidak perlu melekat kemudian padaNya.
  2. Seandainya zat ‘yang pasti ada’ tidak memiliki sejak semula klesempurnaan (yang merupakan esensi dari sifat-sifat tersebut), maka berarti zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidaklah memilikinya, padahal Ia adalah zat yang sempurna.
  3. Seandainya sifat tersebut melekat kemudian pada zat, maka sifat itu berupa esensi atau eksistensi. Padahal ia bukanlah esensi (mahiyyah) karena esensi adalah sesuatu ‘yang tidak pasti’ (mumkin) , sedangkan sifat-sifat pada sesuatu ‘yang pasti ada’ mestilah bersifat ‘pasti ada’ pula, dan telah dibuktikan bahwa sesuatu yang pasti ada secara substansial (Al-wajib bil-zati) adalah sesuatu yang pasti ada dari segala aspek (wajib min jami’ al-jihat). Karena ia bukanlah esensi (mahiyyah), maka ia pasti berupa eksistensi semata (wujud mahdh), karena eksistensi semata adalah inti zat ‘yang pasti ada’, dan keduanya (eksistensi murni dan zat sesuatu ‘yang pasti ada’) tidak berbeda.
  4. Seandainya sifat-sifat tersebut berupa imbuhan (za’idahi) pada zat, maka berarti zat ‘yang pasti ada’ itu pada mulanya tidaklah sempurna. Akibatnya, zat ‘yang pasti ada’ adalah gabungan dari ‘ke-ada-an’ (Al-wujud) dan ketiadaan (Al-adami), sedangkan itu adalah konsekuensi yang mustahil, karena meniscayakan pertemuan dua hal yang kontradiktif (ijtima’ an-naqidhaini). Kekosongan dari sifat kesempurnaan (ash-sifah Al-kamaliyah) adalah ketiadaan itu sendiri. Lagi pula, telah terbukti bahwa zat ‘yang pasti ada’ adalah sesuatu yang sederhana (basithi) atau tidak tersusun, sedangkan ketersusunan zat dari ke-ada-an dan ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil.
  5. Seandainya sifat tersebut berupa imbuhan, maka berarti ia (sifat) adalah sesuatu yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin), karena telah ditetapkan secara rasional bahwa sesuatu ‘yang pasti ada’ (Al-wajibi) tidaklah berbilang (istihalah ta’addud al-wajib), maka berarti keberadaan sifat-sifat yang ‘tidak pasti ada’ (mumkin) adalah mustahil menjadi ada tanpa sebab, karena sebab bagi ke-ada-an entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’ adalah zat ‘yang pasti ada’ tersebut. Padahal berdasarkan asumsi awal, zat ‘yang pasti ada’ (Tuhan) semula tidak memilikinya. (Al-falsafah Al-ulya, 323-325, Nihayatul-hikmah, 346-347).

Kritik atas Asy’ariyah
Asy’ariyah beranggapan bahwa sifat-sifat subjektif, yang konon berjumlah 7, yaitu al-hayah (hidup), Al-ilm (mengetahui, berpengetahuan), Al-qudrah (kuasa), As-sam’u, (mendengar), Al-bashar,  (melihat), al-iradah (berkehendak), dan Al-kalam (berbicara), adalah entitas-entitas yang melekat pada zat Tuhan. (Al-milal wa An-nihal, juz 1, hal. 95).

Seandainya sifat-sifat subjektif ini adalah entitas-entitas wajib (yang tidak membutuhkan sebab pengada), maka berarti ada 8 entitas ‘yang pasti ada’ yang tidak diakibatkan oleh sebab apapun. Seadangkan hal ini bertentangan dengan bukti-bukti keesaan ‘yang pasti ada’.

Seandainya sifat-sifat subjektif tersebut membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat adalah sebabnya, maka berarti zat tersebut lebih dahulu ada sebelum sifat-sifat tersebut, dan berarti sifat-sifat itu semula kosong pada zat, serta berarti zat Tuhan kosong dari kesempurnaan.

Seandainya sifat-sifat subjektif membutuhkan sebab untuk menjadi ada, dan seandainya zat bukanlah sebabnya, maka berarti sifat-sifat itu menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan suatu sebab yang ‘tidak pasti ada’, karena yang pasti ada hanyalah zat Tuhan. Itu berarti pula bahwa Tuhan menjadi sempurna karena sesuatu selain zatNya.

Kritik atas Mu’tazilah
Mu’tazilah beranggapan bahwa zat hanyalah mengganti peran sifat, sehingga tuhan tidak berkuasa atau menyandang sifat ‘kuasa’., dan bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat-sifat apapun.

Seandainya zat Tuhan kosong dari sifat-sifat, sedangkan sifat-sifat itu adalah kesempurnaan, maka berarti zat Tuhan kosong dari kesempurnaan, padahal wujudNya dalah sempurna. (Nihayatul-Hikmah, 348-349).

Sifat-sifat non subjektif Tuhan
Para filsuf Mazhab Qom berpendapat bahwa  sifat-sifat yang disandangkan pada zat Tuhan dengan mengikutkan relasi dengan selain zat, seperti ‘mencupta’ atau ‘kepenciptaan’ dalan lainnya yang terhimpun dalam sifat Al-qimumiyah, memang berupa ‘imbuhan’ dari luar zatNya. Alasannya ialah bahwa menetapnya sifat-sifat tersebut pada zat Tuhan dilihat sebagai perbuatan-perbuatan yang memang muncul atau dilakukan setelah zat ada lebih dulu, karenanya sifat-sifat tersebut muncul kemudian dan disimpulkan dari perbuatan-perbuatanNya.

Sifat-sifat non subjektif (Ash-shifat Al-fi’liyah) ini ada pada zat Tuhan, namun tidak bisa dilihat dari sisi kebermulaan dan dan ke-kemudian-annya, sehingga meniscayakan terjadinya perubahan dalam zatNya, namun dari sisi bahwa setaip segala sesuatu yang merupakan kesempurnaan pasti ada padaNya. (Al-falsafah Al-ulya, 324, Nihayatul-Hikmah, 350, 349, Syarhul-Mandhumah, 157-158, Hasti shenasi Islami, 240-242).

Sifat ‘Berpengetahuan’ Tuhan
Salah satu sifat-sifat subjektif atau sifat-sifat kesempurnaan (Ash-shifat Al-kamaliyah) Tuhan adalah ‘mengetahui’. Tuhan mengetahui zatNya dan mengetahui selain zatNya. Para filsuf mazhab Qom berpendapat bahwa setiap entitas abstrak (al-mujarrad) mempunyai pengetahuan (Al-ilm) dengan zatnya, dan bahwa pengetahuannya adalah adalah inti zatnya sendiri.  Karena pengetahuan tidak lain hanyalah sebuah kehadiran ‘sesuatu’ dalam  diri sesuatu lain, dan karena Tuhan adalah entitas sederhana dan tunggal sejati, terbebas dari materi dan potensi, maka zat Tuhan mengetahui zatNya sendiri dengan zatNya.  

SelainNya, baik entitas abstrak maupun konkret, adalah akibat-akibat yang bermuara pada zatnya yang tak berhingga baik dengan perantara ataupun tidak, adalah maujud-maujud yang hanya memiliki wujud bergantung (wujud rabith) yang bersemayam dalam diri pada tingkatan paling rendah, dan diketahuiNya secara hudhuri.

‘Mengetahui diriNya’
Tuhan memiliki pengetahuan hudhuri tentang zatnya dengan zatNya sendiri. Alasan-alasannya sebagai berikut:
  1. Entitas yang ‘pasti ada’ (Al-wajib) adalah entitas yang bersih dari potensi dan tidak tersusun. Karena pengetahuan tidak lain adalah sebuah kehadiran sesuatu pada sesuatu, maka pengetahuan Tuhan tentang zatNya adalah kehadiran zatNya pada zatNya sendiri. Jadi, Tuhan mengetahui tentang zatNya dengan zatNya dalam zatNya. Seandainya sesuatu ‘yang pasti ada’ (Tuhan) tidak mengetahui zatNya, maka berarti ia tidak sempurna, sedangkan itu adalah mustahil bagiNya.
  2. Seandainya sifat ‘mengetahui’ bukan bagian dari zat Tuhan, maka berarti ia semula tidak mengetahui diriNya

‘Mengetahui selain diriNya’

Sesuatu ‘yang pasti ada’ mengetahui selain  dirinya, yang merupakan akibat-akibat dari wujudNya. Alasan-alasannya sebagai berikut:
1.    “Yang pasti ada’ mengetahui zatNya, dan bahwa zatNya adalah sebab bagi wujud selainNya, dan bahwa mengetahui sebab berarti mengetahui akibatnya dengan tingkatan yang lebih utama, dan bahwa sebab adalah terma (batas) sempurna bagi akibat, sedangkan akibat adalah batas tidak sempurna (kurang) bagi sebab. Karenanya, ‘Yang pasti ada’ (Tuhan) mengetahui selainNya, karena Ia mengetahui zatNya sendiri.
2.    Seandainya “Yang pasti ada’ tidak mengetahui selain diriNya, maka berati ia tidak sempurna.
3.    Pengetahuan “Yang pasti ada’ tentang selain diriNya adalah sesuatu mungkin dengan arti yang umum atau ‘tidak lah mustahil’, sebab seandainya pengetahuan tentang selainNya mustahil, maka wujud selainNya adalah mustahil, demikian pula pengetahuan tentangnya juga menjadi mustahil. Padahal sesuatu menjadi mustahil karena tidak ada sebabnya. Karena tidak ada yang mustahil bagi ‘Yang pasti ada’ (Tuhan), maka pengetahuan tentang selainNya ada pada zatNya. . (Al-falsafah Al-ulya, 328-329, Nihayatul-Hikmah, 350-351).

Tema pengetahuan Tuhan ini sangat luas dan ditanggapi secara berbeda oleh sejumlah aliran filsuf dan teolog. Karenanya, ia tidak bisa diterangkan secara detail dalam buku pengantar ini. (Al-asfar Al-arba’ah, juz 6, hal. 180-181, 228). 

Peringkat-peringkat ‘ Mengetahui’
Para filsuf Mazhab Qom, sejak Ibnu Sina kemudian Mulla shadra hingga Thabathaba, Al-inayah, Al-qadha’ dan Al-qadar adalah sifat-sifat yang terhimpun dalam sifat ‘mengetahui’. (Al-ilm).

Al-Inayah
Ia adalah sifat gambaran ilmu yang menjadi sebab bagi adanya objek pengetahuan (Al-ma’lum) yang tidak lain adalah perbuatan (Al-fi’l). Menurut mereka, pengetahuan rinci (Al-ilm At-tafshili) Tuhan akan segala sesuatu adalah inti zatNya, yang merupakan sebab bagi ke-ada-an segala sesuatu tersebut dengan segala kekhasannya. Jadi, Allah memiliki inayah akan ciptaan-ciptaanNya.
 
Al-qadha’
Ia diartikan sebagai tindakan menciptakan relasi niscaya dan meniscayakan (nisbah zharuriyah mujibah) antara subjek dan predikat (dalam sebuah premis), seperti keputusan hakim “Saya putuskan bahwa harta (sengketa) itu milik Agus”, misalnya. Setiap sesuatu bila tidak diniscayakan (dipastikan) maka tidak akan ada. Setiap entitas mustahil menjadi ‘pasti ada’ karena diadakan oleh ‘yang pasti ada dengan sendirinya’., dan rangkaian sebab akan kembali kepada sebab yang pasti ada dengan sendirinya. Karena Ia adalah sebab pemasti ke-ada-an setiap akibat.  

Entitas-entitas ‘yang tidak pasti ada’  dengan sistem penataannya yang sangat sempurna, dalam tingkatan wujud Tuhan, adalah perbuatanNya, sehingga setiap perbuatan yang meniscayakan adalah qadha’ dan keputusanNya.

Dua Macam Qadha’
Para filsuf mazhab Qom membagi qadha’ menjadi dua;
  1. Qadha’ yang merupakan sifat subjektif (Qadha’ dzati) di luar subjek ‘pengetahu’ (Al-alim).
  2. Qadha’ yang merupakan sifat non subjektif (Qadha’ fi’li) yang berada dalam diri subjek.

Al-Qadar
Ia adalah batas atau jumlah  atau yang ada pada sifat atau pengaruh-pengaruh sesuatu. Sedangkan At-taqdir adalah penentuan konseptual yang berlaku atas sifat-sifat dan pengaruh sesuatu yang disusul dengan perbuatan berdasarkan sebab-sebab dan sarana-sarana yang tersedia, seperti penjahit yang menentukan (melakukan taqdir, pengukuran) kain yang akan dijahitnya dalam ukuran baju kemudian ia melakukannya. 

Secara singkat, Mazhab Qom menerangkan bahwa taqdir adalah pengukuran ilmiah yang disusul dengan tindakan baik berkenaan dengan esensi maupun zat, baik sifat-sifat maupun efek-efeknya. (Nihayatul-Hikmah, 358).

Sifat ‘Berkuasa’ Tuhan
Al-qudrah adalah sifat bagi sesuatu yang bertindak bila menghendakinya, dan tidak bertindak bila tidak menghendakinya. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROGRAM KERJA KEPALA PERPUSTAKAAN SMPN 1 KODEOHA | Junait Blog