Artikel Teori-teori Pembangunan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Teori-teori Pembangunan
Oleh
Junait, S.Pd., M.Si.
BAGIAN I
TEORI MODERNISASI
PENGANTAR
Merujuk
pada konsep pembagian kerja Internasional, pada dasarnya spesialisasi
produksi ekonomi suatu negara terbagi ke dalam dua golongan, yaitu pertanian dan industri.
Dengan asumsi efekifitas produksi, negara yang berada di kawasan
utara—karena iklim yang sulit—idealnya berbasis industri, dan negara di
bagian selatan—yang iklimnya ramah—berbasis pertanian.[1]
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pada kenyataannya negara
pertanian malah semakin terbelakang secara ekonomi. Sebaliknya, negara
industri mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi. Jawaban dari
persoalan di atas terbagi ke dalam dua kubu, yakni kubu teori modernisasi dan teori ketergantungan. Teori modernisasi mengatakan bahwa penyebab terbelakangnya negara pertanian adalah karena faktor internal.[2]
TEORI MODERNISASI
Teori
Modernisasi adalah suatu teori yang menganggap bahwa penyebab
terbelakangnya suatu negara berkembang adalah karena faktor internal.
Arif Budiman membagi teori modernisasi ke dalam enam bagian berdasarkan
tokoh/pemikir yang melahirkannya. Teori-teori tersebut yaitu[3]:
I. Teori Harrod-Domar: Tabungan dan investasi
Teori Harrod-Domar mengatakan bahwa terbelakangnya ekonomi suatu negara disebabkan oleh kurangnya tabungan dan investasi.
Solusi unuk memecahkan masalah ekonomi di suatu negara adalah dengan
mencari modal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang berbentuk pinjaman atau investasi.
Teori ini murni berpijak pada fakor ekonomi yang bersifat material,
dengan kata lain, teori Harrod-Domar mengasumsikan bahwa asalkan diberi
modal, SDM di negara-negara pertanian (berkembang) sudah siap untuk
memanfaakannya.
II. Teori Weber: Etika Protestan
Teori
ini dilahirkan oleh Max Weber (1864-1920), bapak sosiologi asal Jerman.
Weber mengatakan bahwa penyebab majunya sistem ekonomi kapitalisme di
Eropa Barat dan Amerika Serikat adalah dengan adanya Etika Protestan.
Eika Protestan mengajarkan bahwa sesungguhnya seseorang sebelumnya
sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka. Ajaran ini membuat
orang-orang yang menganutnya merasa cemas, sebab mereka tidak tahu
nantinya akan masuk ke mana. Petunjuk yang diberikan dalam etika
protestan adalah: hanya orang yang sukses bekerja di dunialah yang
menjadi penghuni surga. Oleh karena keyakinan ini, para penganut etika
protestan bekerja keras untuk meraih sukses. Kekayaan material yang
mereka peroleh hanyalah efek samping dari tujuan utama mereka, yakni
kepentingan spiritual.
III. Teori McClelland: Need For Achievement (n-Ach).
Konsep Need For Achievement (n-Ach)
merupakan bentuk lain atau lanjutan dari etika protestan. David
McClelland mengatakan bahwa yang membuat suatu pekerjaan berhasil adalah
sikap terhadap pekerjaan tersebut. McClelland beranggapan bahwa para
pengikut etika protestan berhasil melaksanakan pekerjaannya dikarenakan
adanya dorongan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna. Dorongan
seperti itulah yang dikatakan McClelland Need For Achievement
(kebutuhan untuk berprestasi). Kemudian, penelitian McClelland tidak
berhenti sampai di situ saja, selanjutnya beliau meneliti
dokumen-dokumen sejarah dalam bidang kesusastraan kuno. Hasil dari
penelitian tersebut adalah bahwa apabila suatu bangsa memiliki kandungan
n-Ach yang kuat dalam karya kesusastraannya, maka ditemukan pula fakta
sejarah yang menyatakan bahwa bangsa tersebut termasuk bangsa yang maju
dalam sejarah peradaban pada waktu itu.
IV. Teori WW Rostow: Lima tahap pembangunan
Bagi
Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam satu garis
lurus, yaitu dari masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat maju.
Rostow membagi proses pembangunan ini dalam lima tahap, yaitu:
- Masyarakat Tradisional
Pada
tahapan ini, ilmu pengetahuan masih sangat terbatas, oleh karena itu
masyarakat cenderung tunduk pada alam, dengan demikian aktifitas ekonomi
menjadi statis. Setiap produksi hanya digunakan untuk konsumsi. Pada
masa ini tidak ditemukan adanya investasi untuk mengembangkan aktivitas
ekonomi.
- Pra-kondisi untuk lepas landas
Masyarakat
tradisional, walaupun statis, tetap bergerak dengan kecepatan yang
sangat lambat. Pada saatnya dia akan mencapai titik pra-kondisi untuk
lepas landas, yaitu pada waktu masuknya campur tangan dari luar. Seperti
yang terjadi pada bangsa di Eropa ketika dijajah oleh tentara Mongol,
bangsa Eropa menjadi sadar bahwa di belahan bumi bagian yang lain
terdapat bangsa yang lain pula. Sadar akan hal ini bangsa Eropa
terdorong juga untuk menjajah bangsa lainnya di muka bumi.[4]
Pada
tahap ini, masyarakat terdorong untuk meningkatkan tabungan dalam
rangka sebagai usaha untuk memperluas aktivitas produksi ekonomi pada
sektor-sektor lain yang menguntungkan.
- Lepas Landas
Tahap
lepas landas adalah suatu tahapan di mana hambatan-hambatan untuk
pertumbuhan ekonomi sudah tidak begitu berarti. Segala sesuatunya
berjalan dengan wajar. Jumlah investasi dan tabungan mencapai 5-10% dari
pendapatan nasional, industri-industri tumbuh dan berkembang pesat.
Keuntungan dari setiap transaksi digunakan kembali untuk mendirikan
pabrik-pabrik yang baru. Di sektor pertanian, teknologi-teknologi baru
ditemukan, dan hasil produksi tidak hanya digunakan untuk kebutuhan
konsumsi, tetapi juga digunakan untuk kepentingan komersil.
- Bergerak ke kedewasaan
Pada
tahapan ini tabungan dan investasi mencapai 10-20% dari pendapatan
nasional. Negara ini memantapkan posisinya dalam kancah perekonomian
global, barang-barang yang sebelumya diimpor, bisa diproduksi sendiri
dalam negeri. Tidak hanya itu, mereka bahkan bisa mengekspornya.
- Jaman konsumsi masal yang tinggi
Karena
proses industrialisasi, kebutuhan masyarakat tidak lagi hanya sebatas
kebutuhan dasar, mereka menuntut sesuatu yang lebih. Sebagai contoh,
yang tadinya sabun digunakan untuk kesehatan saja, pada tahap ini sabun
dipakai untuk wewangian juga, dan selanjutnya lahir produk-produk sabun
yang menawarkan keunggulan tersendiri seperti wangi-wangian khusus,
tingkat kebersihan lebih tinggi, dsb.
Alokasi
surplus ekonomi tidak lagi hanya untuk kepentingan tabungan dan
investasi, tetapi dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan sosial.
Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang
berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus.
V. Teori Bert F.Hoselitz: Faktor-faktor non-ekonomi
Hoselitz
melanjutkan teori Rostow yang menurutnya kurang memperhatikan
faktor-faktor non-ekonomi, yakni kelembagaan. Menurutnya, tahap lepas
landas tidak akan terjadi tanpa dukungan dari lingkungan yang kondusif.
Lingkungan yang kondusif itu yakni meliputi lembaga perbankan yang
pandai mengatur aliran dana untuk dialokasikan pada pengembangan usaha
lain, SDM yang menguasai ilmu dan teknologi, dan budaya masyarakat yang
mengizinkan seseorang untuk mencari kekayaan. Pada faktanya, menurut
Hoselitz, jauh hari sebelum Eropa mencapai tahap lepas landas, ketiga
kebutuhan tersebut telah dipenuhi.
VI. Teori Alex Inkeles dan David H. Smith: Manusia Modern
Teori
Alex Inkeles dan David H. Smith tidak begitu berbeda dengan teorinya
Weber dan McClelland, yakni lebih mengutamakan faktor kemanusiaannya.
Bedanya, Inkeles dan Smith menguraikannya secara lebih rinci melalui
teori manusia modern. Menurut mereka,
ciri-ciri manusia modern meliputi: keterbukaan terhadap pengalaman dan
ide-ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya
kesanggupan merencanakan masa depan, percaya bahwa manusia bisa
menguasai alam bukan sebaliknya, dsb.
Secara
teknis Inkeles dan Smith mengatakan bahwa cara seseorang agar dapat
berubah menjadi manusia modern adalah dengan bekerja di lembaga-lembaga
kerja modern, seperti pabrik misalnya. Untuk menjelaskan hal ini Inkeles
dan Smith menggunakan teori Marx yang mengatakan bahwa kesadaran
manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya (dialektika materialisme
historis). Hubungan manusia dan lat produksinya memberi bentuk dan isi
pada kesadarannya. Masih senada dengan Marx, kedua peneliti ini
menganggap bahwa perbedaan etnis dan agama tidak begitu penting dalam
proses pembentukan manusia modern. Sebagaimana telah diungkapkan di
atas, yang terpenting adalah faktor pendidikan dan pengalaman kerja di
lembaga kerja yang modern.
###
Dengan
demikian teori modernisasi di dalam tulisan ini telah disampaikan
seluruhnya. Berdasarkan tulisan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi ciri-ciri umum teori modernisasi adalah[5]:
- Adanya pandangan dikotomis antara tradisional dan modern
- Menilai bahwa keterbelakangan juga disebabkan oleh faktor-faktor non-material, yakni dunia ide.
- Bersifat agregatif. Hukum-hukumya dianggap universal, berlaku di mana saja dan kapan saja, sehingga dianggap ahistoris, tidak memperhatikan sejarah.
- Menilai bahwa keterbelakangan pembangunan suatu negara disebabkan karena faktor-faktor internal.
BAGIAN II
TEORI KETERGANTUNGAN
PENGANTAR
Teori
ketergantungan adalah suatu teori yang muncul atas dasar penolakan
terhadap teori modernisasi. Berbeda dengan para penganut teori
modernisasi yang beranggapan bahwa penyebab terbelakangnya suatu negara
adalah disebabkan faktor-faktor internal, para penganut teori
ketergantungan menganggap bahwa penyebab terjadinya keterbelakangan
suatu negara justru dikarenakan “campur tangan” dari pihak asing.[6]
TEORI KETERGANTUNGAN
Teori
ketergantungan biasa disebut juga Neo-Marxisme. Pada umumnya
orang-orang menganggap bahwa teori ketergantungan identik dengan
Marxisme, pandangan tersebut mungkin muncul dikarenakan Marxisme dan
teori ketergantungan sama-sama menolak kapitalisme, padahal pada
kenyataannya teori ketergantungan memiliki sedikit perbedaan dengan
Marxisme, yakni dalam hal metamorfosis perubahan jenis masyarakat.
Marxisme yang dilahirkan oleh Karl Marx memiliki teori yang menyatakan
bahwa di masa depan, ketika kapitalisme mencapai titik jenuh, masyarakat
dunia akan bertransformasi menjadi masyarakat sosialis dunia. Akan
tetapi, sebelum itu terjadi terdapat beberapa tahapan masyarakat yang
harus dicapai terlebih dahulu. Titik tolak pemikiran Karl Marx berawal
dari kenyataan masyarakat Eropa yang feodal, kemudian secara alamiah
masyarakat Eropa bertransformasi menjadi masyarakat kapitalis. Lalu,
melalui imperialisme, kapitalisme akan menyebar ke seluruh dunia dan
mengakibatkan seluruh negara di dunia menjadi negara kapitalis yang
maju. Barulah setelah itu semua terjadi masyarakat sosialis dunia akan
terwujud.[7] Demikianlah ramalan Karl Marx. Untuk lebih jelasnya perhatikan diagram di bawah:
Tahapan Masyarakat menurut Karl Marx:
Lain
halnya dengan Karl Marx, para penganut teori ketergantungan menganggap
bahwa teori Marx tidak terbukti. Teori Marx hanya benar sampai pada
tahap Imperialisme. Masyarakat di luar Eropa yang telah tersentuh oleh
Kapitalisme justru menjadi semakin terbelakang. Pada akhirnya
kapitalisme hanya menghasilkan dua jenis negara, yaitu negara maju dan
negara terbelakang.[8] Untuk lebih jelasnya simak diagram di bawah ini:
Tahapan Masyarakat menurut teori ketergantungan:
Tetapi
pada perkembangannya teori ketergantungan terus mengalami perubahan,
melalui berbagai kritik dari kaum liberal, teori ketergantungan terus
mengalami penyempurnaan. Berikut dibawah ini teori-teori ketergantungan
yang diurutkan berdasarkan perkembangan-perkembangannya[9]:
I. Raul Presbich: Industri Subtitusi Impor
Sesungguhnya
Raul Presbich adalah seorang ekonom liberal yang pada awalnya mebuat
penelitian di negara-negara Amerika Latin. Penelitian Presbich terfokus
pada satu perhatian utama: Mengapa negara-negara yang melakukan
spesialisasi di bidang industri menjadi negara-negara kaya, sedangkan
mereka yang memilih bidang pertanian tetap saja miskin.
Presbich
menganggap bahwa pada kenyataannya negara-negara pertanian selalu
berada dalam kondisi terbelakang dan miskin, negara-negara industri
adalah negara pusat dan negara-negara pertanian adalah negara pinggiran.
Hal ini disebabkan oleh penurunan nilai tukar dari komoditas pertanian
terhadap komoditas industri yang mengakibatkan terjadinya defisit yang
kian lama kian membesar pada neraca perdagangan negara pertanian dengan
negara industri. Lihat contoh dari fakta diatas:
“Seorang
Bapak berpenghasilan Rp 50.000,- perminggu. Dalam setiap minggunya ia
menghabiskan biaya konsumsi makanan sebesar Rp 30.000,-, dengan rincian
Rp 15.000,- untuk membeli beras dan Rp 15.000,- lagi untuk melengkapi
lauk pauknya. Sedangkan sisanya sebesar Rp 20.000,- dugunakannya untuk
membeli keperluan barang industri, seperti sabun, odol (tapal gigi),
pakaian, pulpen, dll. Apabila pada bulan berikutnya si bapak dinaikkan
gajinya sebesar Rp 25.000,- perminggu, maka konsumsi bapak tersebut akan
makanan tidak akan meningkat, walaupun ada peningkatan hal itu hanya
sedikit sekali. Ini artinya adalah, bila si bapak yang setiap harinya
mengkonsumsi beras dengan takaran 1 kilogram perhari, dengan peningkatan
pendapatannya, ia tidak akan menaikkan konsumsi berasnya menjadi 2
kilogram sehari. Tetapi yang justru meningkat dari konsumsi bapak
tersebut adalah konsumsi akan barang-barang komoditas industri. Sebagai
contoh, dengan gaji yang Rp 50.000,- si bapak biasa membeli sabun dengan
kriteria yang sesederhana mungkin, yakni sabun untuk kesehatan, dan
ketika gajinya naik, maka kemudian menggeser kriteria yang sederhana
tadi menuju ke kriteria yang lebih tinggi. Dari yang berkriteria
kesehatan kemudian ditambah dengan kriteria lainnya. Dari yang
berkriteria kesehatan kemudian dengan kriteria lainnya, beraroma harum
dan tahan lama, dan ini sudah tentu mahal harganya.
Jadi,
konsumsi akan komoditas pertanian akan tetap, kurang lebih Rp 30.000,-.
Sedangkan konsumsi akan komoditas industri akan meningkat, yang tadinya
Rp 20.000,- perbulan mungkin setelah pendapatannya meningkat menjadi Rp
30.000,- atau bahkan Rp 40.000,-. Sebagai akibatnya anggaran di
negara-negara pertanian yang digunakan untuk mengimpor komoditas
industri dari negara pusat makin meningkat sesuai dengan peningkata
pendapatan mereka. Sedangkan pendapatan dari hasil ekspor relatif
tetap....” [10]
Sebab
kedua dari kenapa negara pertanian selalu terbelakang adalah disebabkan
oleh proteksi negara-negara industri terhadap negara-negara pertanian.
Proteksi tersebut dilakukan dengan beragam cara, salah satunya adalah
dengan memberlakukan subsidi bagi petani dalam negeri di negara
industri. “Setiap tahun, pemerintah Amerika Serikat menyubsidi para
petani kapas mereka sebesar US$ 3 miliar, dan pemerintah negara UNI
Eropa menyubsidi petani kapas sebesar US$ 1 miliar pertahun. Maka, para
petani kapas Amerika dan Eropa mampu menjual kapas dengan harga murah di
pasar dunia. Sebaliknya para petani miskin di Afrika Barat sama sekali
tidak mendapatkan subsidi apa pun dari pemerintah mereka.”[11] Selain itu di
Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, petani mendapat subsidi 2,7 dollar
AS per hari untuk setiap ekor sapi yang dipelihara. Jumlah ini lebih
dari pendapatan harian dari separuh penduduk dunia saat ini. Subsidi
untuk petani kapas di AS jauh lebih tinggi dari total bantuan AS untuk
Afrika, padahal 10 juta petani kapas di Afrika Barat miskin dan
kelaparan.[12] Padahal,
di sisi lain negara-negara industri maju, melalui program penyesuaian
yang diikutsertakan dalam pinjaman-pinjaman dana terhadap negara
berkembang, memaksakan regulasi baru untuk menghapus subsidi terhadap
kepentingan-kepentingan rakyat. Dan sebab ketiga, kebutuhan akan
bahan-bahan mentah negara industri terhadap negara berkembang, kian hari
kian berkurang dikarenakan ditemukannya teknologi-teknologi baru yang
dapat menggantikan kebutuhan bahan mentah dari negara pertanian.[13]
Melihat
kenyataan di atas, maka Presbich menawarkan sebuah strategi baru yang
dinamakan strategi “Industrialisasi Subtitusi Impor”. Pada intinya,
teori ini mengatakan bahwa apabila negara pertanian ingin maju, maka
negara-negara tersebut harus melakukan industrialisasi juga, sebagaimana
yang dilakukan oleh negara-negara maju sebelumnya. Presbich
menganjurkan agar setiap komoditi yang diimpor dari luar negeri
diproduksi dari dalam negeri. Sehingga ketergantungan terhadap negara
industri semakin berkurang. Apabila kebijakkan ini diambil, maka
konsekuensinya pemerintah harus campur tangan terhadap industri dalam
negeri dengan cara melindungi produk dalam negeri dari produk-produk
impor dalam bentuk pembatasan kuota dan pemberlakuan tarif impor.[14]
Akan tetapi, walaupun demikian Presbich tidak menghendaki ekonomi
diatur sepenuhnya oleh negara, seperti yang terjadi di negara-negara
sosialis. Pada dasarnya Presbich adalah seorang liberalis, dengan
demikian mungkin Presbich telah banyak dipengaruhi oleh John Maynard
Keynes[15] yang mengajarkan teori Kapitalisme Negara..
II. Paul Baran: Sentuhan yang mematikan dan Kretinisme
Paul Baran adalah seorang Marxis yang menolak pandangan Marx mengenai pembangunan dunia ketiga.[16]
Menurut Baran, ketika dunia ketiga disentuh oleh kapitalisme, yang
terjadi bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran. Argumen Baran terhadap
pernyataan tersebut adalah bahwa kapitalisme internasional yang ada pada
hari ini berbeda jenis dengan kapitalisme di Eropa. Kapitalisme yang
datang ke negara-negara pinggiran (dunia ketiga) adalah kapitalisme yang
membawa penyakit kretinisme. Kapitalisme jenis ini merupakan jenis lain
yang harus dipelajari tersendiri. Selanjutnya Baran menyatakan bahwa
negara-negara dunia ketiga yang pada dasarnya feodal dengan sendirinya
akan maju menjadi negara kapitalis tanpa disentuh oleh kapitalis
Internasional, sebagaimana yang terjadi di Jepang.
Untuk
menjelaskan bagaimana kapitalisme merusak dunia ketiga, Baran terlebih
dahulu mengklasifikasikan kelompok-kelompok ekonomi di dunia ketiga:
- Klas Tuan Tanah yang kaya yang juga menjadi produsen dan eksportir produk pertanian.
- Klas Pedagang, awalnya kegiatan mereka terbatas di dalam negeri saja, tetapi dengan masuknya orang asing mereka bekerjasama dengan orang asing tersebut.
- Kaum industrialis lokal.
- Orang asing yang mencari buruh dan bahan-bahan mentah yang murah sekaligus menjual produk industri mereka.
- Pemerintah lokal yang otoriter.
- Rakyat jelata kebanyakan yang umumnya adalah petani.
Kedatangan
orang asing yang membawa produk-produk industri negara maju pada
dasarnya menguntungkan klas tuan tanah dan pedagang. Klas tuan tanah
merasa dimanjakan oleh produk-produk industri maju. Klas pedagang
menjadi distributor lokal dari produk-produk impor. Sebaliknya, dengan
datangnya produk-produk impor, kaum industrialis terancam, sebab mereka
tidak bisa menyaingi kualitas dan harga dari produk-produk impor, serta
kekuatan modal pihak asing. Usaha mereka meminta bantuan proteksi ke
pemerintah sia-sia, sebab pemerintah dikendalikan oleh kelas tuan tanah
yang berpihak terhadap orang-orang asing. Tuan tanah takut produk
pertaniannya terhambat untuk diekspor ke negara-negara maju karena
sebagai balasan dari proteksi yang diberlakukan di negara berkembang
terhadap impor barang-barang industri. Selain itu, pemerintah dan tuan
tanah juga merupakan konsumen setia dari produk industri yang memanjakan
gaya hidup mereka. Kemudian, efek politis yang diterima masyarakat
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih berpihak
kepada pihak-pihak asing serta merugikan rakyat kebanyakan.
Sementara
produk-produk lokal mati, rakyat kebanyakan tidak dapat membeli
produk-produk impor. Rakyat kebanyakan yang umumnya berpendidikan rendah
tidak mengerti dengan situasi yang tengah terjadi, apalagi untuk
memprotes, mereka sudah takut terlebih dahulu terhadap pemerintahan yang
represif. Pada akhirnya yang bisa dilakukan oleh negara berkembang
hanyalah menjadi produsen produk pertanian dan bersikap konsumtif
terhadap barang-barang impor. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai
tukar mata uang lokalpun merosot dikarenakan rendahnya permintaan dari
negara-negara maju, sebaliknya, harga komoditas produk impor terus
meningkat. Dengan masuknya modal asing ke negara dunia ketiga, yang
terjadi bukanlah akumulasi modal, melainkan penyusutan modal. Dalam
kasus di Indonesia, penelitian Sritua Arief menunjukkan bahwa selama
kurun waktu 1973-1990 nilai kumulatif investasi asing yang masuk ke
Indonesia berjumlah US$ 5,775 miliar, dan diiringi kumulatif keuntungan
investasi yang direpatriasi dari Indonesia dengan jumlah US$ 58,859
miliar. Artinya setiap US$ 1 yang masuk akan diiringi US$ 10,19 yang
keluar dari Indonesia.[17]
III. Andre Gunder Frank: Pembangunan Keterbelakangan
Andre
Gunder Frank adalah seorang ekonom Amerika yang menjadi murid Raul
Presbich. Frank sepakat dengan hasil penelitian Presbich yang
menyimpulkan bahwa hubungan negara pusat dan negara pinggiran (yang
selanjutnya oleh Frank disebut negara satelit) adalah hubungan yang
tidak sehat. Frank meyakini bahwa keterbelakangan yang terjadi di negara
satelit bukanlah proses alamiah, melainkan akibat langsung dari
kapitalisme negara pusat (yang selanjutnya oleh Frank disebut negara
metropolis). Agak berbeda dengan Presbich yang membicarakan teori
ketergantungan dari perspektif ekonomi (ketimpangan nilai tukar), Frank
lebih menyoroti aspek-aspek politis dari interaksi ekonomi di negara
satelit.
Pada teori Frank terdapat tiga komponen utama, yaitu:
- Modal Asing
- Pemerintah Lokal
- Borjuasi Lokal (Yang oleh Baran disebut klas Tuan Tanah dan Pedagang)
Pembangunan
di negara satelit hanya terjadi dalam lingkaran ketiga komponen di
atas. Rakyat banyak yang hanya menjadi buruh dirugikan. Dengan adanya
ketiga komponen di atas, maka dapat dilihat bagaimana ciri-ciri dari
perkembangan kapitalisme di negara satelit.
- Kehidupan Ekonomi yang tergantung (seperti yang telah diungkapkan Baran sebelumnya, yakni ketergantungan terhadap barang impor).
- Terjadinya kerjasama antara modal asing, pemerintah lokal, dan borjuasi lokal yang bersifat eksploitaitif terhadap rakyat banyak.
- Terjadinya ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Melihat
kenyataan ini, Frank menolak teori Marxis mengenai tahapan masyarakat.
Menurut Frank, di negara satelit tidak akan pernah terwujud masyarakat
kapitalis yang utuh, sebab kapitalisme yang ada di negara satelit
bukanlah kapitalisme alamiah, melainkan kapitalisme berpenyakit yang
menghisap kekayaan negara-negara satelit. Oleh karena itu Frank
menawarkan bentuk Revolusi yang langsung menuju masyarakat sosialis.
Bagi Frank, tahapan masyarakat kapitalis di negara satelit tidak dapat
terwujud karena pengaruh atau campur tangan kapitalisme asing sudah
terlalu kuat.
Tahapan Masyarakat di negara satelit menurut Frank:
IV. Theotonio Dos Santos
Walaupun sama-sama penganut teori ketergantungan, Theotonio Dos Santos tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat Frank. Dos Santos
sepakat dengan ide negara metropolis dan negara satelit yang hanya
menjadi bayangan dari negara metropolis. Akan tetapi Dos Santos
berpendapat bahwa negara satelit pun dapat berkembang, walaupun
perkembangan itu masih bergantung ke negara metropolis. Simak definisi
ketergantungan menurut Dos Santos:
Yang
dimaksud dengan ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi
negara-negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari
kehidupan ekonomi negara-negara lain, di mana negara-negara tertentu ini
hanya berperan sebagai penerima akibat saja. Hubungan saling tergantung
antara dua sistem ekonomi atau lebih, dan hubungan antara sistem-sistem
ekonomi ini dengan perdagangan dunia, menjadi hubungan ketergantungan
bila ekonomi beberapa negara (yang dominan) bisa berekspansi dan bisa
berdiri sendiri, sedangkan ekonomi negara-negara lainnya (yang
tergantung) mengalami perubahan hanya sebagai akibat dari ekspansi
tersebut, baik positif maupun negatif.[18]
Sumbangan Dos Santos yang lainnya adalah uraian yang lebih rinci mengenai bentuk-bentuk ketergantungan, yakni:
- Ketergantungan Kolonial, selain mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) untuk diekspor ke negara asal kolonialis, ketergantungan ini pun mendominasi secara politik, sosial, dan budaya. Ketergantungan ini merupakan bentuk penjajahan secara langsung. Penduduk setempat tidak memiliki kemerdekaan untuk menentukan keinginannya. Bahkan para kolonialis tersebut mengklaim bahwa daerah jajahan tersebut merupakan hak miliknya.
- Ketergantungan finansial-industrial, walaupun negara satelit secara politis telah merdeka, namun kegiatan ekspor bahan mentah (SDA) untuk negara metropolis masih tetap berlangsung. Ekonomi negara satelit masih dikendalikan oleh kekuatan finansial dan industrial yang kuat dari negara-negara metropolis.
- Ketergantungan teknologis-industrial, ini merupakan bentuk ketergantungan terbaru. Kegiatan ekonomi di negara satelit tidak lagi ekspor bahan mentah, namun industri yang ada di negara metropolislah yang dipindahkan ke negara satelit. Hal ini semata-semata dilakukan demi efisiensi bisnis. Biaya distribusi menjadi lebih murah, harga buruh sangat murah, serta pangsa pasar yang melimpah di negara satelit itu sendiri.
###
Salah satu kritik terhadap teori ketergantungan dalam tataran praktis adalah munculnya New Industrial Countries
(NICs) atau negara industri baru yang berhasil, seperti Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong (sebelum bergabung kembali dengan China), dan
Singapura. Peter Evans, seorang sosiolog asal Amerika, yang juga
penganut teori ketergantungan, menjelaskan bahwa pembangunan yang
terjadi di NICs merupakan bentuk baru dari ketergantungan yang disebut dependent-development.
Menurut Evans, kemajuan industri yang terjadi di negara satelit masih
tetap bergantung terhadap negara pusat, sebab, otak dari seluruh
kebijakan industrial di negara satelit masih dipegang oleh negara pusat.
Selain itu, melalui peraturan mengenai Hak Cipta, penguasaan dan
penggunaan teknologi di negara satelit masih tetap dibatasi. Jadi,
semaju apapun NICs, menurut Evans semuanya masih berada dalam koridor
apa yang “diinginkan” oleh negara pusat. [19]
BAGIAN III
TEORI SISTEM DUNIA
PENGANTAR
Bagi
kaum liberalis, jawaban dari teori ketergantungan terhadap munculnya
NICs tidaklah memuaskan. Dalam hal keterbelakangan, kaum liberalis
sepakat dengan teori ketergantungan, namun menurut mereka teori
ketergantungan tidak dapat menjelaskan bagaimana kemajuan dapat terjadi
di negara pinggiran. Bill Warren mengatakan bahwa kemajuan yang terjadi
di NICs adalah kemajuan yang bergerak menuju arah kemandirian. Konsep
ketergantungan di NICs perlahan akan menghilang, dan di kemudian hari
NICs dapat menjadi negara pusat juga, sebagaimana yang dapat kita lihat
di Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura (empat naga Asia).[20]
IMMANUEL WALLERSTEIN: TEORI SISTEM DUNIA
Teori
Sistem Dunia yang dilahirkan Immanuel Walerstain sebenarnya adalah
suatu teori yang merupakan kelanjutan dari teori ketergantungan. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, teori ketergantungan dianggap tidak
dapat menjelaskan kemajuan yang terjadi di negara pinggiran. Teori
Sistem Dunia mencoba menjelaskan bagaimana kemajuan di negara pinggiran.[21]
Dalam
menjelaskan Teori Sistem Dunia, Wallerstein mencoba menggunakan analogi
Historis. Menurutnya, di masa lalu dunia terbagi dalam unit-unit yang
kecil yang berbentuk kerajaan dan mereka hidup masing-masing dalam
teritorial yang terpisah, tidak berhubungan satu sama lain. Kemudian,
terjadi penggabungan oleh satu kekuatan dominan, baik secara militer
maupun cara-cara lainnya. Dengan demikian terciptalah satu kerajaan yang
besar. Walaupun kekuasaannya tidak sampai seluruh dunia, namun ruang
lingkupnya sangat besar, sehingga di bawah kekuasaan kerajaan tersebut
dunia berada dalam satu sistem yang terpusat.[22]
Di
masa kini, kerajaan-kerajaan besar yang mendominasi dunia telah
menghilang. Namun, pada kenyataannya sistem dunia yang mengontrol
unit-unit kecil masih tetap ada, walaupun dengan bentuk yang berbeda.
Menurut Wallerstein, di dunia saat ini berlaku sistem dunia yang
mengontrol negara-negara di dunia dalam bentuk ekonomi. Dengan demikian
Wallerstein mengatakan bahwa sistem dunia yang berlaku saat ini adalah
kapitalisme global.[23]
Wallerstein
kemudian membagi tiga kelompok negara: pusat, setengah-pinggiran, dan
pinggiran. Perbedaan dari ketiga kelompok ini adalah kemampuan ekonomi
dan politiknya. Kelompok terkuat adalah negara pusat, dalam
batasan-batasan tertentu mereka dapat memanipulasi sistem dunia
sedemikian rupa sehingga menguntungkan mereka. Negara setengah-pinggiran
adalah negara opportunis yang menangguk keuntungan dari eksploitasi
negara pinggiran oleh negara pusat. [24]
Seperti
yang pernah terjadi di masa lalu, sistem dunia bukanlah sesuatu yang
statis, melainkan dinamis. Dinamisnya sistem dunia menurut Wallerstein
merupakan suatu peluang ataupun ancaman bagi negara-negara di dunia
untuk naik atau turun klas. Suaatu negara yang tadinya pusat dapat
menjadi setengah-pinggiran, begitu pula yang tadinya setengah-pinggiran
dapat menjadi pusat, begitu pula yang pinggiran dapat menjadi
setengah-pinggiran, dan begitu pula seterusnya.[25]
Selanjutnya Wallerstein menjelaskan tiga strategi bagaimana caranya suatu negara agar dapat naik klas[26]:
- Dalam suatu kondisi dinamika sistem dunia tertentu, di dalam suatu negara dapat ditemukan harga komoditi primer murah dan barang-barang industrial impor menjadi sangat mahal. Dalam kondisi seperti ini negara bersangkutan dapat melakukan strategi industrialisasi substitusi impor. Walaupun masih dalam bentuk ketergantungan, namun setidaknya apabila strategi ini berhasil, negara bersangkutan dapat memanfaatkan momentum ini untuk naik kelas ke setengah-pinggiran.
- Kenaikan kelas melalui Undangan. Kenaikan ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Dos Santos mengenai ketergantungan teknologis-industrial, negara maju dalam batasan tertentu memindahkan aktivitas produksinya ke negara pinggiran. Negara-negara yang mendapatkan kesempatan ini dapat mengambil keuntungan dengan menjadi negara setengah-pinggiran.
- Kenaikan kelas yang ketiga adalah negara yang bersangkutan mengeluarkan kebijakan untuk menjadi mandiri. Mereka melepaskan diri dari eksploitasi negara-negara maju, seperti yang terjadi di Venezuela belakangan ini. Tetapi, tindakan melepaskan diri ini juga harus memperhatikan kondisi sistem dunia yang ada, sebab tidak ada satu negara pun yang dapat hidup mandiri sepenuhnya terlepas dari sistem dunia. Salah-salah dengan melepaskan diri mereka malah melakukan tindakan bunuh diri.
###
Kritik
yang dilontarkan terhadap teori sistem dunia adalah bahwa teori sistem
dunia terlalu memperhatikan dinamika eksternal tanpa memperhatikan
dinamika internal suatu negara. Karena sebaik-baiknya suatu kesempata
yang muncul, tanpa adanya dukungan infrastruktur yang kuat, kesempatan
tersebut tidak akan dapat diraih.[27]
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Leo Agustino, Ekonomi Politik Pembangunan (Bandung: Dialog Press, 2000),
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000).
Martin Wolf, Martin Wolf, Why Globalization Works (Yale: Yale University Press, 2004).
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga (Yogyakarta: Insist Press, 2005).
Mansour Fakih,Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003).
Media Cetak dan On-Line
“Mewujudkan Mimpi” (Kompas on-line), dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/26/ekoint/819039.htm, diakses 31 Januari 2007.
Salahuddin Wahid, “Visi 2030, Mimpi VS Realitas”, Kompas, 2 April 2007.
[1] Leo Agustino, Ekonomi Politik Pembangunan (Bandung: Dialog Press, 2000), hlm 54-55.
[2] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm 18.
[3] Ibid, hlm 18-40.
[4] Martin Wolf, Martin Wolf, Why Globalization Works (Yale: Yale University Press, 2004), hlm 41-43.
[5] Arif Budiman, Ibid, hlm 40.
[6] Ibid, hlm 63.
[7] Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).
[8] Arif Budiman, Ibid, hlm 61.
[9] Ibid, hlm 41-70.
[10] Leo Agustino, Ibid, hlm 70-71.
[11] Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga (Yogyakarta: Insist Press, 2005), hlm 49.
[12] “Mewujudkan Mimpi” (Kompas on-line), dalam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/26/ekoint/819039.htm, diakses 31 Januari 2007.
[13] Leo Agustino, Ibid, hlm 71.
[14] Ibid, hlm
71-75. Selanjutnya apabila industrialisasi subtitusi impor berhasil,
Presbich mengemukakan strategi Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE). Dalam
strategi ini, mesin pertumbuhan dititikberatkan pada kegiatan yang
memacu ekspor barang-barang komoditas yang diproduksi di dalam negeri.
Dan untuk menjamin IOE yang efisien dan efektif paling tidak ada dua
kaitan yang harus dipertimbangkan secara cermat. Pertama, kaitan antara promosi ekspor dan penetrasi impor. Kedua, kaitan antara diversifikasi dan spesialisasi ekspor. Negara yang telah menerapkan strategi ini diantaranya adalah China dan Korea Selatan.
[15] Untuk lebih jelasnya mengenai teori John Maynard Keynes lihat: Mansour Fakih,Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003).
[16] Negara
dunia pertama adalah negara maju yang menganut sistem kapitalis. Negara
dunia kedua adalah negara-negara penganut sistem sosialis, kebanyakan
adalah negara-negara bekas Uni Sovyet. Negara dunia ketiga adalah
negara-negara berkembang yang dulunya adalah negara-negara jajahan.
[17] Salahuddin Wahid, “Visi 2030, Mimpi VS Realitas”, Kompas, 2 April 2007.
[18]Arif Budiman, Ibid., hlm 66.
[19] Ibid, hlm 76-79.
[20] Ibid, hlm 102-103
[21] Ibid, hlm 107.
[22] Ibid, hlm 108.
[23] Ibid, hlm 109.
[24] Op.Cit.
[25] Op.Cit.
[26] Ibid, hlm 110-111.
[27] Ibid, hlm 111-112.
Trims Smoga Bermanfaat
Admin.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar