Partisipasi Masyarakat Dalam Dunia Pendidikan

Oleh 
Junait, S.Pd., M.Si.



Pengantar. Menyongsong Hari Pendidikan Nasional sepatutnya kita mulai merenungkan capaian pendidikan bagi kehidupan bangsa ini. Apakah telah sejalan dengan apa yang tersirat dan tersurat dalam konstitusi untuk mensejahterakan dan memperadabkan bangsa. Atau, malah sebaliknya, yang tercapai adalah kemiskinan dan kegagalan sebagai bangsa yang beradab.
Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, pada tanggal 15 Agustus 2008, telah menyebutkan bahwa mulai tahun 2009, anggaran untuk pendidikan dipenuhi sebanyak 20% dari APBN. Itu artinya, segala hal yang terkait dengan pengembangan pendidikan menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara. Tentunya, dengan dipenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN, menunjukkan, bahwa pemerintah menganggap pendidikan mempunyai peranan kunci dalam menjawab soal kemiskinan, rendahnya produktivitas dan juga lambatnya capaian peningkatan ekonomi bangsa. Namun demikian, apakah benar, keyakinan dengan terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20 % itu akan serta merta menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kesejahteraan bangsa ini?
Boleh jadi jawabnya, bagi sebagian besar yang setuju akan terpenuhinya besaran anggaran pendidikan itu, dapat menjawab soalan bangsa yang berhubungan dengan kesejahteraan. Lain halnya, bagi sebagian besar lainnya yang cenderung tidak yakin, kalau anggaran sebesar 20 % itu akan dapat menjawab persoalan kesejahteraan bangsa.
Dari pelbagai pengalaman yang ditunjukkan di negara-negara yang serupa dengan Indonesia, menunjukkan bahwa investasi yang tinggi dalam pendidikan mendorong permintaan yang berlebih sekaligus tidak dapat mengimbangi masalah penyediaan kesempatan kerja. Hal lain yang juga muncul dari realitas seperti itu, adalah tingkat putus sekolah yang tinggi khususnya pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah. Lain halnya yang dialami pendidikan tinggi seringkali menimbulkan degradasi mutual nilai kesarjanaan yang berhasil diraih. Persoalan-persoalan ini menyebabkan pemborosan investasi yang besar dalam pendidikan.
Jika demikian adanya, bagaimana harus memulainya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat menjawab persoalan peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk dapat keluar dari persoalan itu, setidaknya semua pihak perlu menyadari bahwa katakan lah masalah dana telah terpenuhi apakah serta merta dapat menjalankan program pendidikan yang berkualitas dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sekaligus juga dapat menyediakan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dunia yang semakin cepat berubah. Demikian halnya, apakah juga dengan tersedianya anggaran itu serta merta pula lembaga-lembaga pendidikan dan latihan yang tersambung dengan pendidikan nasional dapat langsung menjawab kebutuhan yang sejalan dengan tuntutan kemajuan dunia sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Bagaimana pula dengan pemenuhan standar pendidikan akan dapat dipenuhi dengan segera seperti dipersyaratkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal dalam prakteknya pencapaian standar ini pun cenderung masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan, khususnya jika ditelisik antara capaian standar di perkotaan dan perdesaan, belum lagi standar pendidikan di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Dari sisi ini saja persoalan pendidikan yang terstandarkan secara nasional masih menyisakan masalah baik yang terkait dengan budaya lokal yang sebagian masyarakatnya masih memandang pendidikan nasional menjadi ancaman terhadap keberadaan tradisi mereka maupun masih tumbuhnya pada sebagian besar dari mereka yang beranggapan bahwa pendidikan nasional hanyalah sebagai upaya pencarian status sosial sekaligus mempertahankan status sosial dalam masyarakatnya.
Oleh karena itu, di tengah situasi yang serba dilematis tersebut, seyogyanya, pemerintah sebagai pemegang kebijakan pendidikan tidak boleh terjebak oleh opini pengembangan kualitas pendidikan hanya sebatas oleh terpenuhinya anggaran pendidikan yang 20 % dari APBN, tetapi lebih melihat telah seberapa besar warga masyarakat dilibatkan untuk memikirkan dan mengembangkan kualitas pendidikan bukan hanya untuk mempertingkatkan wawasan kebangsaan atau nasionalisme tetapi juga menanamkan intelektualitas pada setiap jenjang pendidikan dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Makna Konsep Pendidikan Nasional Perspektif Kebudayaan
Pengalaman bangsa Indonesia dalam membina kebangsaan genap lah satu abad, sejak tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian dikokohkan melalui Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 serta dilengkapi dengan kewujudan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentunya, sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat sekarang ini telah banyak pengalaman yang diperoleh bangsa ini tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan disain bagi terbentuknya kebudayaan nasional. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi dalam realitasnya yang dihadapi bangsa ini, sebut saja selama lima tahun terakhir telah terjadi krisis sosial yang tiada henti. Khalayak sering menyebutnya keadaan seperti itu sebagai krisis multi-dimensial yang disebabkan oleh benteng terakhir masyarakat, yakni pendidikan nasional cenderung tidak menjalankan fungsi sosial budayanya dalam memberikan pencerahan.
Dalam tataran itu, seolah-olah acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi tidak menentu dan acapkali menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Yang kadangkalanya lagi, dari realitas seperti itu, berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral, dan tentunya pula tidak terkecuali pelanggaran hukum serta meningkatnya kriminalitas.
Dari realitas sosial seperti itu, apakah disain penumbuhan semangat kebangsaan bagi segenap warga negara Indonesia yang jumlahnya kini semakin besar serta tersebar di pelbagai kepulauan sebagai tempat bermukim belum terwujud. Atau, sebagai warga negara lupa atas disain harmoni sosial yang telah dibangun itu. Timbul pertanyaan: mengapa bangsa ini dicemooh oleh bangsa lain? Mengapa pula ada sejumlah orang Indonesia yang tanpa canggung dan tanpa merasa risi dengan mudah berkata, “Saya malu menjadi orang Indonesia” dan bukannya secara heroik menantang dan mengatakan, “Saya siap untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ini”? Dan masih banyak lagi pertanyaan serupa yang dapat diajukan terlebih dari sisi dunia pendidikan yang bernuansa nasional.
Perjalanan panjang selama enam puluh tiga tahun kemerdekaan Indonesia telah memberikan banyak pengalaman kepada warganegara tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Nation and character building sebagai cita-cita membentuk kebudayaan nasional sebagai wahana pemersatu bangsa cenderung belum terwujud. Malah akhir-akhir ini semangat yang menjurus pada kesukubangsaan semakin bertambah besar sepertinya semangat mengutamakan paham suku-bangsa lebih beradab dan maju ketimbang suku-bangsa yang lainnya cenderung tumbuh. Padahal semangat kesukubangsaan yang lebih mengutamakan kebesaran suku-bangsanya di tengah-tengah negara yang multikultur ini tentunya tidak sejalan dengan paham kebangsaan yang dikembangkan sejak negara ini berdiri.
Pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan itikad menjaga, melindungi, mempersatukan dan membangun bangsa untuk mampu meraih kemajuan adab, setara dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia seolah-olah menjadi barang usang yang sudah ditinggalkan. Manifesto kultural Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan tekad untuk membentuk kohesi sosial dan integrasi sosial, serta menyiratkan landasan mutualisme (kebersamaan, dalam perasaan maupun perilaku) dan kerjasama yang didasarkan atas kepentingan bersama dan perasaan kebersamaan, itu pun semakin pudar. Padahal makna dari manifesto kultural itu adalah ternanamnya perasaan saling memiliki dan menghargai sesama warganegara Indonesia, meski dengan latar belakang etnik dan kebudayaan yang berbeda-beda. Semua itu, dalam perspektif kebudayaan hanya dapat dicapai melalui suatu sistem pendidikan nasional.
Dalam sistem pendidikan nasional inilah bermakna mengilham suatu harapan untuk menciptakan masa depan untuk memperkukuh paham kebangsaan, bahwasanya sebagai bangsa yang satu di tengah-tengah keragaman etnik menuntut perwujudan persatuan nasional dari setiap warga negara dengan mengabaikan perbedaan agama, kepercayaan dan etnik. Artinya, pada bangsa yang beragam etnik dan latar kebudayaannya itu dituntut suatu tekad kesetiaan dan dedikasinya kepada negara adalah semata-mata untuk mengatasi kesetiaan kepada yang lainnya. Seperti dinyatakan oleh Chiew Seen Kong (1971), dalam bukunya Singaporean National Identity, bahwa suatu negara yang penduduknya berasal dari beragam asal ras, etnik ataupun bangsa pandangan tentang integrasi nasional atau kebangsaan yang semula ditunjukkan oleh loyalitas atau kesetiaan kepada asal ras atau etniknya berubah menjadi kesetiaan kepada negaranya.
Dalam konteks seperti yang dinyatakan oleh Chiew Seen Kong itulah, pendidikan nasional dapat berfungsi membentuk kesetiaan kepada negara dengan mengedepankan semangat nasionalisme yang dilandasi oleh adanya satu kebudayaan nasional yang menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebelum menguraikan apa yang dimaksud kebudayaan nasional, tampaknya perlu terlebih dahulu diuraikan konsep kebudayaan, yang kadangkalanya seringkali menimbulkan perbedaan persepsi. Dalam pengertian yang paling umum sekali pun , kebudayaan merupakan seluruh cara hidup masyarakat atau seluruh aspek pemikiran dan tingkahlaku manusia yang diwarisi dari satu generasi ke generasi yang lain melalui proses pembelajaran. Namun, dalam penuturan sehari-hari, kebanyakan dari kita membuat pengertian kebudayaan atau mengaitkan kebudayaan selalu dengan fenomena-fenomena seperti bentuk tarian dan musik, makanan, busana atau pakaian, dan berbagai ragam hias rumah.
Jadi pengertian itu menunjukkan ke arah pengertian yang terlalu sempit dan amat terbatas. Oleh karena itu, bagi ahli Ilmu-Ilmu Sosial, pengertian pada konsep kebudayaan ini jelas jauh lebih luas daripada sekadar pengertian yang terbatas seperti itu.
Dari perspektif sosiologi-antropologi, kebudayaan membawa pengertian kepada segala hasil dan ide yang dipelajari dan disepakati bersama oleh segenap warga masyarakat sebagai pedoman atau resep-resep untuk bertingkah laku. Dari pengertian kebudayaan itu, termasuklah segala kepercayaan, nilai-nilai politik, adat istiadat, hukum, moral, institusi sosial, seni lukis, bahasa dan bahan-bahan material (kebendaan). Dalam pengertian itu ditekankan bahwa hakikat kebudayaan itu mesti dipelajari. Oleh karena itu, dalam konteks ini pemikiran proses pembelajaran mesti dijadikan tumpuan utama dalam konsepsinya mengenai permufakatan untuk hidup bersama, sebagai satu keseluruhan cara hidup manusia, yang meliputi hasil-hasil kehidupan kelompok yang bercorak kebendaan dan bukan kebendaan.
Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan, tetapi kebudayaan itu juga dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Namun demikian, terdapat beberapa ciri-ciri dan aspek yang sama dijumpai pada setiap kebudayaan yang wujud di kalangan semua masyarakat meliputi bahasa, amalan agama, sistem kekeluargaan atau kekerabatan, nilai, kesenian, sistem pengetahuan, serta mata pencaharian dan inilah yang sering disebut sebagai pola-pola kebudayaan sejagat (Universal pattern of culture).
Dalam konteks itu, kebudayaan – satu istilah yang erat dengan kehidupan masyarakat manusia. Kebudayaan itu lahir karena wujudnya masyarakat manusia. Kebudayaan tidak lahir dalam kelompok bukan manusia. Jadi manusia mencipta kebudayaan. Dalam tataran ini, manusia hidup di dalam alam yang serba budaya, dan dalam budaya lah manusia dibentuk, dibesarkan, diberi identitas sosial. Pikiran dan orientasi kehidupan manusia terhadap realitas kehidupan, selalu mengalami perubahan, sejajar dengan perubahan yang berlaku di dalam kehidupan manusia. Perubahan itu bisa saja disebabkan oleh faktor alamiah, seperti usia, maupun faktor lingkungan alam – sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan.
Lantaran itu budaya dapat dilihat dari dua tahap, yaitu, kebudayaan sebagai satu persoalan proses, dan kebudayaan sebagai satu produk. Di dalam tahap produk, kebudayaan wujud sebagai (i) gagasan, konsep atau pikiran; (ii) aktivitas; dan (iii) benda-benda (lihat Koentjaraningrat). Kebudayaan dapat juga merupakan penjelmaan dari produk berupa nilai-nilai, yaitu teori (ilmu), ekonomi, seni, kuasa (politik), agama dan social solidarity (lihat Takdir Alisyahbana).
Melihat realitas pengertian kebudayaan seperti itu, jelas menunjukkan bahwa kebudayaan itu dinamik, pada dasarnya meletakkan kebudayaan sebagai satu proses, yaitu suatu usaha dan upaya dari manusia untuk menjawab pelbagai tantangan pada tahap perkembangan manusia. Untuk menghadapi tantangan, manusia mencurahkan segala kemampuannya mengembangkan terus menerus kebudayaan.
Di dalam tahap itu, kebudayaan adalah proses yang tidak pernah selesai, karena tantangan selalu dihadapi. Kebudayaan adalah usaha untuk menyatakan tentang kewujudan manusia di dalam kehidupan. Manusia adalah “lapangan eksistensi” seperti dinyatakan oleh Van Peursen. Karena itu, manusia dapat dibaca dan dipahami di dalam konteks kebudayaan. Kewujudan dapat dibaca dari pemikiran dan aktivitas yang mewujudkan pemikirannya. Lantaran itu kebudayaan sesungguhnya merupakan totality kehidupan manusia. Kebudayaan sebagai satu proses tidak lain adalah proses humanization atau menjadi manusia itu manusia.
Dengan demikian, kehidupan manusia sering berubah (dinamis), maka kebudayaan sebagai proses kewujudan diri juga mengalami perubahan, sejajar dengan perubahan dalam masyarakat. Jatuh bangun sebuah masyarakat adalah jatuh bangun sesuatu kebudayaan. Proses yang dapat mengawal situasi seperti itu dalam perspektif kebudayaan hanyalah dapat dicapai melalui pendidikan baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa.
Dari sisi pendidikan itulah, pendidikan yang berlandaskan pada realitas Indonesia yang majemuk dan multikultural, pendidikan kebangsaan menjadi penting artinya untuk menjaga kesimbungan Indonesia. Di masa lalu, kebudayaan nasional digambarkan sebagai “puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia”. Namun selanjutnya, kebudayaan nasional Indonesia perlu diisi oleh nilai-nilai dan norma-norma nasional sebagai pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di antara seluruh rakyat Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai yang menjaga kedaulatan negara dan integritas teritorial yang menyiratkan kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air, serta kelestariannya, nilai-nilai tentang kebersamaan, saling menghormati, saling mencintai dan saling menolong antarsesama warganegara, untuk bersama-sama menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional. Singkatnya, kebudayaan nasional adalah sarana untuk memberikan jawaban atas pertanyaan: “Siapa kita, atau apa identitas kita? Akan kita jadikan seperti apa bangsa kita? Watak bangsa semacam apa yang kita inginkan? Bagaimana kita harus mengukir wujud masa depan bangsa dan tanah air kita?”
Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai satu bangsa sudah dirancang saat bangsa kita belum merdeka. Hampir dua dekade sesudah Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia telah menanamkan kesadaran tentang identitas Indonesia dalam Manifesto Politiknya (1925), yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu: (1) kedaulatan rakyat, (2) kemandirian dan (3) persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Identitas nasional ditandai oleh kebijakan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, di antaranya adalah dengan sistem pendidikan nasional. Tentunya capaian pendidikan nasional inilah kesadaran kebangsaan dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Kesadaran nasional selanjutnya menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa untuk mencapai peradaban.
Dengan demikian, kebudayaan nasional yang menjadi rujukan terselenggaranya pendidikan kebangsaan jelas harus dapat mengantarkan atau pun mendampingi peserta didik kepada kemandirian, kedewasaan, kecerdasan, untuk menjadi manusia yang memanusia. Itu artinya, dengan capaian pendidikan nasional serupa itu, peserta didik bukan saja memiliki kecerdasan tetapi juga keterampilan (skill) yang committed pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian dan pengorbanan serta bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia.

Tuntutan Logis dari Pengalaman
Dalam konteks pendidikan sebagai azas utama pembentuk identitas nasional sebagai bangsa, dapat menengok pengalaman bangsa lain. Untuk itu, tengok saja negara-negara di Asia, seperti Jepang, India, Korea, Singapura, Thailand, Filipina dan Malaysia dalam menyikapi pendidikan sebagai bagian yang tidak terlepas dari dimensi kemajuan negaranya. Artinya, pendidikan oleh mereka dijadikan sebagai kondisi yang diperlukan (necessary), tetapi bukan kondisi yang mencukupi (sufficient) untuk meraih keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan. Dalam pengertian ini, pendidikan dilihat dari bentuknya yang lebih realistik tidak dapat menyumbang secara berarti terhadap pencapaian raihan kesejahteraan secara umum tanpa adanya dukungan dari sektor-sektor yang lain.
Dalam konteks itu, ditunjukkan oleh dua sisi yang saling berbeda antara pemerintah yang sepenuhnya terlibat menangani pendidikan dan pemerintah yang hanya sebagian saja terlibat dalam pendidikan. Sebut saja, Malaysia misalnya, mengeluarkan banyak dana untuk pendidikan disebabkan karena pemerintahnya membatasi partisipasi swasta dalam menangani pendidikan. Upaya Malaysia serupa itu, semata-mata untuk mengawal agar pendidikan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai perwujudan nasionalisme. Lain halnya, dengan Filipina misalnya, pemerintahnya tidak banyak mengeluarkan dana pendidikan karena sektor swasta mendukung sebagian beban dari biaya-biaya pendidikan. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin banyak yang masuk ke sekolah-sekolah negeri yang jelas memiliki kualitas yang rendah dibandingkan sekolah-sekolah swasta.
Realitas seperti itu, merupakan manifestasi dari latar sosiohistoris yang terkait dengan sistem penguasaan lahan pertanian yang terpusat pada sekelompok elit. Kelompok inilah yang dapat mengenyam pendidikan berkualitas dibandingkan dengan kelompok lainnya yang berpenghasilan rendah yang hanya sebatas dapat menikmati pendidikan. Karena itu, pendidikan di Filipina seolah-olah merupakan perwujudan dari keberlangsungan feodalistik, berbeda dengan di Malaysia, pendidikan bukan hanya dijadikan sebagai proses pengembangan jiwa kebangsaan tetapi juga sebagai upaya pencapaian proses demokrasi.
Itu artinya, dari dua sisi yang saling berbeda pandangan terhadap keterlibatan pemerintah dalam pendidikan, seperti Malaysia dan Filipina. Menunjukkan bahwa di Malaysia peran pemerintah dalam pendidikan begitu besar dibandingkan dengan Filipina, namun keduanya mengarah pada bagaimana pendidikan yang berkualitas dapat dicapai agar memberi makna bagi kehidupan warga masyarakatnya.
Bagaimana dengan Indonesia, setelah capaian anggaran 20 % dari APBN untuk pendidikan diluncurkan pemerintah. Boleh jadi, pengalaman Malaysia dan Filipina dapat dijadikan rujukan untuk mengembangkan pendidikan yang berkualitas pada peringkat pendidikan dasar dan menengah. Jangan sampai dengan pencapaian anggaran sebesar itu hanya sebatas mereguk keuntungan dari pembiayaan pemerintah untuk pendidikan tinggi, terutama hanya dinikmati oleh para individu yang terlibat di perguruan tinggi. Salah satu contoh yang ironis terjadi di Filipina, yakni saat pemerintah mendukung sebagian besar dana bagi pengembangan sekolah kedokteran, tetapi dalam prakteknya kemudian banyak dokter yang pada akhirnya berimigrasi ke luar negaranya.
Hal lain lagi, jangan pula terjadi dengan anggaran yang besar itu, menimbulkan permintaan yang berlebihan akan pendidikan tinggi, padahal permintaan akan menyelenggaraan pendidikan tinggi itu tidak sebanding antara tipe pendidikan yang ditawarkan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Dalam konteks itu, alih-alih memberikan keahlian dasar bagi para siswa untuk bekerja setelah sekolah mereka selesai, isi dan metode sekolah menengah yang konvensional justru menciptakan permintaan yang berlebih-lebihan akan pendidikan tinggi dan mengharapkan pekerjaan yang bergaji tinggi.
Menilik situasi kesenjangan seperti itu, tampaknya indikator ke arah ini bagi Indonesia telah menjurus dan sedikitbanyaknya menjadi pengalaman yang sedang dijalani. Oleh karena itu, diversifikasi pendidikan menengah yang mengkombinasikan antara pendidikan akademik konvensional dengan latihan kejuruan dapat dijadikan bahan pemikiran dalam kerangka partisipasi masyarakat mengembangkan pendidikan nasional yang bukan saja dapat memberikan keterampilan tetapi juga membentuk kualitas intelektual yang berlandaskan pada wawasan kebangsaan.
Landasan berpikir pengembangan partisipasi masyarakat dalam pendidikan nasional serupa itu, adalah kemampuan tipe pendidikan yang dapat mengakomodasikan lebih banyak siswa, termasuk mereka yang datang dari kelompok berpenghasilan rendah agar dapat merasakan pendidikan dan latihan yang sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja. Selain, memberikan pengertian tentang perlunya setiap peserta didik memiliki sikap-sikap dan aspirasi yang realistik terhadap dunia yang ada di luar dirinya, dunia yang serba tanpa batas politik dan kebudayaan.
Guna mencapai keseimbangan mutualitas pendidikan tersebut, partisipasi masyarakat dalam pendidikan nasional memang menjadi sangat diperlukan, terutama menompang keberhasilan pendidikan itu sendiri untuk memberikan penyadaran tentang perlunya penanaman sikap dan aspirasi peserta didik yang realistik untuk memahami dunia nyata. Capaian ke arah itu, setidaknya diperlukan tonggak utama penopang partisipasi masyarakat dalam pendidikan nasional, yaitu Badan Internasional, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal itu sebagaimana ditunjukkan dari pengalaman-pengalaman di negara-negara Asia, bahwa pendidikan tidak dapat memainkan peranannya dengan baik jika tidak didukung oleh kedua tonggak utama tersebut.
Sebagai akibatnya, harus dilihat bahwa pendidikan di dalam bentuk yang lebih realistik sebagai suatu lembaga yang merespon kebutuhan-kebutuhan dari sektor lain, dengan tetap menjaga efisiensi, kualitas dan efektivitas penyelenggaraan pendidikannya. Bukan, mereka yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam pendidikan dapat serta merta merebut masa depan. Padahal keberhasilan dalam pendidikan bisa juga menjadi tidak menjamin keberhasilan merebut masa depan, melainkan bagaimana meretas jalan menuju masa depan dengan penuh realistik.
Simpulan yang dapat ditarik dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan nasional ini, adalah pertama apakah cukup ada dukungan politik untuk mengerakkan sumber-sumber bagi pendidikan dasar dan menengah yang dapat memberikan lebih banyak akses kepada masyarakat miskin dengan kualitas pendidikan yang setara dengan pendidikan berkualitas seperti yang diselenggarakan oleh swasta (pengalaman Filipina); kedua, seberapa jauh atau besar pelaku dalam hal ini yang berpatisipasi dalam pendidikan nasional seperti badan internasional, dan lembaga swadaya masyarakat dapat menjalin kerjasama dengan pemerintah dalam usaha sungguh-sungguh untuk mengkaitkan pendidikan dengan upaya sadar meningkatkan kesejahteraan.
Dalam konteks Indonesia, dengan latar kebudayaan beragam dan pengalaman sosiohistoris yang ternaman kukuh baik pada mereka yang terlibat dalam penentu kebijakan maupun warga masyarakat, jelas kedalaman partisipasi banyak bergantung kepada kekuatan-kekuatan politik. Kebijakan soal pendidikan nasional kadangkalanya tidak terbebas dari tekanan-tekanan politik elit yang biasanya menjadikan pendidikan nasional dijadikan tujuan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan atau memperpanjang pengalaman sejarah, seperti halnya di Filipina.
Dengan demikian, pendidikan nasional merupakan proses pendidikan yang merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini menunjukkan, bahwa pendidikan nasional mendapat tekanan untuk membentuk kesadaran tentang keindonesiaan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri pada dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Penutup: Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional
Arti kata partisipasi masyarakat seringkali diberikan pada pengertian keterlibatan atau peran serta masyarakat. Atau, partisipasi dalam pengertian ini dapat juga berarti mengambil bagian atau peran dalam pendidikan, baik dalam bentuk pernyataan mengikuti kegiatan, memberi masukan berupa pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dana atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasilnya.
Dalam realitasnya itu, pengertian partisipasi sepertinya masih terbatas pada keikutsertaan masyarakat dalam implementasi atau penerapan pelbagai program pendidikan yang dicanangkan pemerintah. Itu artinya, pula bahwa partisipasi dalam pengertian ini lebih dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah atau negara. Partisipasi dalam pengertian yang lebih ideal berarti masyarakat ikut serta dalam merumuskan kebijakan. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Kemauan dan kemampuan berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari pihak luar yang dalam hal ini masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi. Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.
Demikian halnya dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, pemerintahan perlu memberikan ruang atau kesempatan kepada masyarakt untuk berpatisipasi. Namun demikian, kesempatan untuk berpartisipasi itu pun perlu pembatasan dalam hal lingkup apa, seluas mana, melalui cara bagaimana, seintensif mana, dan dengan mekanisme bagaimana.
Dalam tataran partisipasi masyarakat yang terkait dengan bidang pendidikan nasional menilik pengalaman Malaysia, seluruh jenjang pendidikan diselenggarakan secara nasional. Ini artinya, pendidikan mulai peringkat sekolah dasar hingga pendidikan tinggi dilakukan sepenuhnya oleh negara. Hal itu terkait dengan filosofi pendidikan mereka yang meletakkan pendidikan nasional sebagai wahana utama internalisasi wawasan kebangsaan dalam kerangka pembentukan identitas bangsa.
Terkait dengan pengalaman itu, bagi Indonesia yang penduduknya terdiri atas pelbagai suku-bangsa peran negara dalam pendidikan nasional jelas menjadi penentu utama pembentuk identitas bangsa. Walaupun dalam prakteknya bisa saja peran negara tidak dilakukan pada setiap jenjang pendidikan. Dalam konteks itu, pendidikan dasar dan menengah secara nasional peran negara harus begitu kuat, karena yang menjadi landasan filosofi pendidikan ini adalah bagaimana nilai-nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan ditanamkan sejak awal untuk membetuk identitas keindonesiaan. Sedangkan, bagi pendidikan tinggi peran masyarakat dalam hal ini badan dunia atau lembaga swadaya masyarakat dapat menompang filosofi pendidikan tinggi untuk kepentingan inovasi dan kreativitas dengan pendekatan pemikiran kritis.
Simpulannya, adalah pendidikan nasional sebagai upaya membentuk semangat nasionalisme, tampaknya porsi besar ditanggung sepenuhnya oleh negara. Lain halnya yang tidak menyangkut misi bukan pengembangan semangat nasionalisme atau pembentukan identitas bangsa dapat diberikan kesempatan berpartisipasi kepada masyarakat baik yang datang dari badan dunia maupun lembaga swadaya masyarakat. Dalam konteks itu, partisipasi yang bernuansa masyarakat lebih diarahkan pada bagaimana mewujudkan keindonesiaan bagi seluruh peserta didik dengan tidak mengabaikan proses terbentuknya keseimbangan nilai-nilai kebangsaan dan nilai ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka Bacaan
Ade Makmur Kartawinata. 1999. Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Suatu renungan Pembentukan Indonesia Merdeka Ke Arah Kebudayaan Kebangsaan. Bandung: Primaco Akademika.
Anderson, Benedict. 1983. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso.
Chiew Seen Kong 1971, Singaporean National Identity,. Singapore:University of Singapore, Dept. of Sociology.
Koentjaraningrat. 1985. Persepsi tentang Kebudayaan Nasional. Dalam Alfian (Ed). Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, halaman 99-141.
Lustick, Ian S. 2002. “Hegemony and the Riddle of Nationalism: The Dialectics of Nationalism and Religion in the Middle East”, Logos Vol. One, Issue Three, Summer , hlm. 18-20.
Sutan Takdir Alisjahbana. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-nilai. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat



Source Reference 1 : Partisipasi
 Source Reference 2 : Partisipasi
Source Reference 3 : Partisipasi
Source Reference 4 : Partisipasi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Islam Mazhab QOM

PROGRAM KERJA KEPALA PERPUSTAKAAN SMPN 1 KODEOHA | Junait Blog

Cara Jitu Mengenali Perempuan Perawan Atau Tidak | Junait