Standar Pelayanan Publik Di Daerah

STANDAR PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH

Oleh:
Junait, S.Pd., M.Si.


I.  Pelayanan Publik
a.  Pengertian
Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai  “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi  arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah  public offering (penawaran umum),  public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat),  public interest (kepentingan umum) dll.
Sedangkan dalam pengertian negara salah satunya adalah  public authorities (otoritas negara),  public building (bangunan negara),  public revenue  (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara). Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik  yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian  public service  sebagai “a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”.  Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik.
Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku  pelayanan, yaitu penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau  service provider (Barata, 2003: 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan da penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima layanan atau  service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.
Adapun berdasarkan status  keterlibatannya dengan pihak yang melayani  terdapat  2 (dua)  golongan pelanggan,  yaitu:  
(a) pelanggan internal, yaitu orang-orang yang  terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang,  penjualan dan pengadministrasiannya. dan  
(b)  pelanggan eksternal, yaitu semua orang  yang berada di luar organisasi yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.
Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:  
a.  keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya;  
b.  Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.
Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah:
a.  Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya  perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi  dan lain sebagainya.
b.  Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional.  Contohnya  dalam hal pelayanan transportasi,  pelayanan bis kota akan bergabung dengan pelayanan mikrolet,  bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.
c.  Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal  lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
d.  Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka  semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan
pelayanan.
e.  Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung,  yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja),  akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.
f.  Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

b.  Ruang Lingkup 
Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa.  Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun  demikian dalam prakteknya keduanya sulit  untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya. 
Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.
Tabel 1
Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa
Barang
Jasa
Sesuatu yang berwujud
Sesuatu yang tidak berwujud
Satu jenis barang dapat berlaku untuk
banyak orang (homogen)
Satu bentuk pelayanan kepada seseorang
belum tentu sesuai/sama dengan bentuk
jasa pelayanan kepada orang lain
(heterogen)
Proses produksi dan distribusinya
terpisah dengan proses konsumsi
Proses produksi dan distribusi pelayanan
berlangsung bersamaan pada saat
dikonsumsi
Berupa barang/benda
Berupa proses/kegiatan
Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan
Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli.
Pembeli pada umumnya tidak terlibat
dalam proses produksi
Pembeli terlibat dalam proses produksi
Dapat disimpan sebagai persediaan
Tidak dapat disimpan
Dapat terjadi perpindahan  kepemilikan 
Tidak ada perpindahan kepemilikan
Sumber: Gronroos (1990)

Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang  dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu  ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.



Tabel 2
Pengelompokan Barang dan Jasa
berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption
Exclusion
Consumption
Konsumsi
Individual
Konsumsi
Kolektif
Mudah mencegah orang
lain untuk ikut menikmati
Barang privat
Barang semi
publik
Sulit mencegah orang lain
untuk ikut menikmati
Barang semi
privat
Barang
publik
Sumber : Savas, (1987)

a.       Barang privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian.  Contoh: makanan, pakaian. 
b.      Barang semi privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah  pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan. 
c.       Barang semi publik
Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik.  Misal: jalan Toll,  Jembatan Timbang
d.      Barang publik
Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman.
Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a.       Pendidikan.
b.      Kesehatan.
c.       Keagamaan.
d.      Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e.      Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f.        Sosial.
g.       Perumahan.
h.      Pemakaman/krematorium.
i.        Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j.        Air minum.
k.       Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Dalam Kep. Menpan  No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.       Pelayanan administratif
2.       Pelayanan barang  
3.       Pelayanan jasa
Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai berikut:  
1.       Kelemahan yang berasal dari sulitnya  menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. 
2.       Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan  input tidak dapat ditentukan dengan jelas. 
3.       Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line”  artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. 
4.       Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah  eksternalities,  organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa  internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. 
Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari  crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana ang murni dikerjakan oleh pemerintah. 

c.  Paradigma Pelayanan
Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan.
Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di  sektor publik. Hal ini terjadi karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996: 13) menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu:
1.       Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfuingsional tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
2.       Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam   kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya tiak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.
3.       Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.
4.       Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.
5.       Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.
Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan.
Semangat  entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN.
Banyak negara yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand, dan menyebar ke seluruh dunia. Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi entrepreneurial government  dan  new public management  inilah maka cara pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik  haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5 strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu:
a.       Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan
b.      Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja
c.       Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu
d.      Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat
e.      Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha
Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang “melayani”. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan dengan misi pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.
Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep  co-production.  Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori  co-production mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik.
Sehingga di sini kita tidak lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai bagian dari pemberi layanan.
Secara singkat, teori  co-production dalam pelayanan publik dapat dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor publik, yaitu consumer produser, regular producer dan  co-production. Menurut Parks consumer producers  adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain, regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada  proses produksi untuk barang dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi  output dan  outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang dan jasa.
Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002: 15) menjelaskan bahwa partisipasi publik—terutama dalam proses pengambilan keputusan—adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga. Sedangkan menurut Marschall (2004: 231), tujuan dari partisipasi publik adalah pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.
Heller dalam Rich (1995: 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi, yaitu partisipasi  akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih tujuan dan metoda mereka sendiri, dan partisipasi  mandat pemerintah (government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan (kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga.
Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983: 14-15) membedakan partisipasi ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen.
Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah melalui media massa  dan sebagainya. Sementara partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasihat, aktivitas dengar pendapat, keterlibatan di kelompok-kelompok kepentingan dan partisipasi dalam lembaga pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan pemberian pelayanan umum.
Oleh karenanya penyelenggaraan pelayanan umum haruslah mendapat dukungan partisipasi dari masyarakat. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum. 
Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai penyedia layanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan publik (co-produser).




Gambar 1
Partisipasi dalam Pelayanan Publik
     Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5). 

Dalam gambar di atas dikenal istilah  co-produser, yang berarti penghasil jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum, sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996: 86) menjelaskan bahwa “coproduction as the process through which inputs used to produce a good or service are contributed by individuals who are not “in” the same organization“ , yaitu bahwa co-production adalah proses di mana  input yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari organisasi yang sama.  Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan—yang seharusnya dilakukan oleh  pemerintah—adalah termasuk kegiatan ko-produksi dalam pelayanan umum. 
Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel  dalam Lynch (1983: 41) telah meneliti bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.
Pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam proses pemberian pelayanan publik.
Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

d.  Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya tinggi.
Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik. Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan pelanggan. Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:
1.  Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap  karakteristik produknya.
2.  User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
3.  Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.

Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan, persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan.
Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi pada gambar berikut ini:
Gambar 2
Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan



Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et. al., (1990), hal.131

Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi
manajemen (Management Perception of Customer Expectation).
Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan pasar
atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya
Marketing Research
Orientation
Upward Communication
Levels of Management
Management Commitment to
Service Quality
Goal Setting
Task Standardization
Perception of Feasibility
Teamwork
Employee-Job Fit
Technology-Job Fit
Perceived Control
Role Ambiguity
Horizontal Communication
Propensity to Overpromise
GAP 1
GAP 2
GAP 3
GAP 5          
(Service Quality)

Tangibles

Reliability

Responsiveness

Assurance

Empathy
GAP 4
Supervisory Control
System
Role Conflict   - 14 -
interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang
terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan
(customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh
informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor
klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga
merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini.
2.  Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer
Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification).
Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan
kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas
pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya
standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang
jelas dalam penyediaan pelayanan.  
3.  Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification)
dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).
Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal
keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi
harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam
mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama
internal.
4.  Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External
Communication to  Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service
Delivery).
Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam
organisasi.
5.  Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)
dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat
kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan a
kesenjangan sebelumnya, kesenjagan kelima ini menitikberatkan pada sisi
pelanggan.


   - 15 -

II.  Standar Pelayanan Publik
a. Prinsip-prinsip Dasar
  Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas, diperlukan
penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang
berkualitas. Penetapan standar pelayanan  publik merupakan fenomena yang berlaku
baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya,
ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton,
yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan
konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah
sebagai berikut
Identify customer who are, or should be,  served by the agency, survey the
customers to determine the kind and quality of service they want and their level of
satisfaction with existing service, post service standards and measure result
against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of
services, and complaint system easily  accesible, and provide means to adress
customer complaints.  

Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi pelanggan
yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk menentukan jenis dan
kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk menentukan tingkat kepuasan
pelanggan dengan pelayanan yang sedang  berjalan, termasuk standar pelayanan pos
serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan sumber-
sumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah diakses, serta
menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.
Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme,   yang
berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi
pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap  pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut
adalah :
a.  Menentukan standar pelayanan; 
b.  Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;  
c.  Berkonsultasi dan terlibat; 
d.  Mendorong akses dan pilihan; 
e.  Memperlakukan semua secara adil; 
f.  Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan; 
g.  Memanfaatkan sumber daya secara efektif;    - 16 -
h.  Inovatif dan memperbaiki; dan
i.  Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya. 
Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam
kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.
Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti: 
1.  Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian
Perijinan di Bidang Usaha, 
2.  Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993
tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. 
3.  Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan
Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. 
4.  Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah-
langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No.
20/1996; 
5.  Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat
Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran
Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu bermuara pada
peningkatan kualitas pelayanan. 
6.  Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum 
7.  Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan Kewenangan
Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002
8.  Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.  
Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih
lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya masih jauh
dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan
oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.  
  Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah suatu
tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai
komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk
memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yag dimaksud dengan pelayanan
berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan,
serta mengikuti proses dan prosedur yang  telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi   - 17 -
pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi
juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya.
  Manfaat yang dapat diperoleh dengan  adanya standar pelayanan (LAN, 2003)
antara lain adalah:
1.  memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam
kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada
pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia
pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur
kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.
2.  melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik
mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik
menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi
utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik
yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan
ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya. 
3.  meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu unit-unit
penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas
dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya
serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang
seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai
pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban
apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa
pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat
terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang
berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja
yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria
pelayanan tersebut antara lain:   - 18 -
a.  Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara
mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan
oleh pelanggan.
b.  Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan
menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia
pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam
pencatatan data dan tepat waktu.
c.  Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai
dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi
sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
d.  Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan
menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
e.  Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan
petugas. Petugas   pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak
hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau
internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus
diperhatikan.
f.  Keramahan,  meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak
antara petugas pelayanan dan pelanggan.  Keramahan hanya diperlukan jika
pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia
layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang
diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
g.  Keterbukaan,  yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang
mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi mengenai tata
cara,  persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
h.  Komunikasi antara petugas dan pelanggan.  Komunikasi yang baik dengan
pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak
diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.
i.  Kredibilitas,  meliputi  adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia
pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak
dipercayai,  adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia
pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
j.  Kejelasan dan kepastian,  yaitu  mengenai tata cara,  rincian biaya layanan dan
tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini   - 19 -
sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang
diberikan.
k.  Keamanan,  yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas  pada
pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan.  Jaminan keamanan
yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada
diri sendiri.
l.  Mengerti apa yang diharapkan pelanggan.  Hal ini dapat dilakukan dengan
berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang
diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan
mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan
memberikan perhatian secara personal.
m.  Kenyataan,  meliputi bukti-bukti  atau wujud nyata dari pelayanan, berupa
fasilitas fisik,  adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang
digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang
lainnya.
n.  Efisien,  yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapai  sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
o.  Ekonomis,  yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar
dengan memperhatikan  nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk
membayar.
  Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah mengikuti
prinsip-prinsip antara lain:
1.  diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain
2.  ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota
3.  menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari
pemerintah daerah
4.  bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan
perkembangan kapasitas daerah
5.  berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat mengukur
pencapaian SPM.
Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam
menyusun sebuah standar pelayanan adalah sebagaimana yang tergambar dalam bagan
berikut:   - 20 -


Gambar 3
Langkah Penyusunan Standar Pelayanan


Sumber: diolah dari LAN (2003)

1.  Identifikasi Jenis Pelayanan
Kegiatan identifikasi ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
  Pelayanan-pelayanan apa yang diselenggarakan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi, baik yang langsung diberikan kepada masyarakat, kepada
instansi lainnya, maupun kepada unit lain secara internal dalam  instansi?
  Pelayanan apa yang sifatnya  core (menjadi utama) dan sifatnya  supporting
(pendukung)?
  Apa dasar hukum yang menjadi acuan?
2.  Identifikasi Pelanggan
Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: 
  Siapa pelanggan atau pengguna pelayanan atau target pelayanan yang
langsung merasakan hasil pelayanan?
  Siapa pelanggan yang secara tidak langsung merasakan hasil pelayanan?
  Dalam kaitan dengan pelayanan internal, siapa pelanggan internal yang
dilayani?
  Dalam kaitan dengan instansi lain, instansi mana yang menjadi pelanggan?
Untuk memudahkan proses identifikasi tentang jenis pelayanan dan pelanggan
dapat digunakan lembar kerja (worksheet) berikut ini:
3.  Identifikasi Harapan Pelanggan
Kegiatannya adalah mengidentifikasi harapan pelanggan akan pelayanan yang
• Jenis pelayanan
• Pelanggan
• Harapan pelanggan
• Proses & Prosedur
• Sarana & Prasarana
• Waktu
• Biaya
Visi
Misi
Identifikasi  Perumusan

Mekanisme
Pengaduan/
keluhan
Analisis   - 21 -
diberikan. Harapan pelanggan ini meliputi harapan terhadap kualitas, biaya dan
waktu pelayanan.
Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada pelanggan
ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian informasi
kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan. 
4.   Perumusan Visi dan Misi Pelayanan
a.  Kegiatan merumuskan visi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut: 
  Membentuk beberapa kelompok sebagai perwakilan seluruh staf yang ada
dalam unit penyedia pelayanan; 
  Pimpinan menjelaskan harapan-harapan yang ingin dicapai oleh organisasi
melalui pelayanan yang diberikan; 
  Kelompok bekerja secara mandiri merumuskan visi pelayanan. Kegiatan
merumuskan harus melihat dan mempertimbangkan nilai-nilai yang
berlaku pada lingkungan internal dan eksternal, yang meliputi kekuatan
dan kelemahan internal unit penyedia pelayanan, peluang dan tantangan,
serta harapan-harapan masyarakat pelanggan;
  Rumusan visi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama
dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi visi pelayanan
yang disepakati semua kelompok.
b.  Kegiatan merumuskan misi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
  Menggunakan kelompok yang sama ketika menyusun visi untuk menyusun
misi pelayanan;
  Memberi kepada kelompok tersebut untuk bekerja secara mandiri
merumuskan misi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus mencakup
pelayanan yang akan diberikan dan ditawarkan kepada pelanggan internal
dan eksternal;
  Rumusan misi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama
dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi misi pelayanan
yang disepakati semua kelompok.
5.  Analisis Proses dan Prosedur, Prasyarat, Sarana dan Prasarana, Waktu, dan
Biaya Pelayanan.   - 22 -
a.   Analisis Proses dan Prosedur
Kegiatannya adalah mengidentifikasi keseluruhan aktivitas dalam pemberian
pelayanan mulai saat pelanggan datang sampai pada pelanggan selesai menerima
pelayanan.
Untuk menyusun proses dan prosedur pelayanan dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut: 
  Identifikasi langkah-langkah aktivitas dalam memberikan satu jenis
pelayanan, mulai dari awal sampai dengan selesai pelayanan dilaksanakan. 
  Identifikasi dimulai dari aktivitas yang dilakukan oleh pelanggan ketika akan
mengajukan suatu jenis pelayanan tertentu kepada unit penyedia pelayanan. 
  Identifikasi aktivitas proses pengolahan pelayanan dimulai dari ketika
petugas menerima pelanggan yang akan mengajukan pelayanan, sampai
dengan aktivitas penyampaian produk pelayanan setelah selesai diproses
oleh pihak unit penyedia pelayanan. 
  Jika terdapat lebih dari satu jenis pelayanan yang dilaksanakan, maka
lakukan identifikasi langkah-langkah aktivitas untuk semua jenis pelayanan
tersebut. Makin sedikit aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka
pelayanan, makin pendek prosedur yang dilalui, makin cepat pelayanan akan
diberikan;
  Membuat alur proses setiap aktivitas tersebut secara sekuens. Alur proses ini
nantinya akan merupakan alur yang harus dilalui oleh seorang pelanggan dan
alur untuk proses pengolahan pelayanan.
b.  Analisis Persyaratan Pelayanan
Kegiatannya mengidentifikasi persyaratan yang dibutuhkan pada setiap tahapan
aktivitas dalam pemberian pelayanan.
Langkah mengidentifikasi persyaratan pelayanan sangat tergantung pada
rumusan yang dihasilkan pada identifikasi proses dan prosedur. Hasil
identifikasi diatas digunakan untuk menentukan persyaratan pada tiap-tiap
aktivitas. Perlu dicermati bahwa persyaratan pelayanan tidak hanya berupa
dokumen (surat-surat) tetapi termasuk  pula persyaratan dalam bentuk barang
maupun biaya.
c.  Analisis Sarana dan Prasarana Pelayanan
Kegiatannya adalah mengidentifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan   - 23 -
dalam memberikan pelayanan.
Langkah mengidentifikasi sarana dan parasana dilakukan dengan melihat hasil
analisis proses dan prosedur pelayanan diatas. Gunakan hasil identifikasi proses
dan prosedur untuk dilanjutkan identifikasi sarana dan prasarana yang
diperlukan pada tiap-tiap aktivitas pemberian pelayanan. Tidak setiap aktivitas
memerlukan sarana yang sama tergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan. 
d.  Analisis Waktu dan Biaya Pelayanan
Kegiatannya adalah menentukan waktu dan biaya pelayanan. Langkah
menentukan waktu dan biaya pelayanan sangat tergantung pada hasil analisis
proses dan prosedur yang harus dilakukan, hasil analisis sarana dan prasarana
yang dimiliki oleh organisasi pelayanan serta hasil analisis harapan pelanggan.
Hasil analisis digunakan sebelumnya untuk menentukan total waktu dan biaya
pelayanan.
6. Mekanisme pengaduan/keluhan
Langkah dalam melakukan penyusunan mekanisme pengelolaan keluhan/pengaduan
ini dapat ditempuh dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
  Sarana apa yang disediakan untuk menampung keluhan pelanggan (kotak surat,
telepon bebas pulsa, unit khusus pengaduan dll)?
  Prosedur apa yang harus dilalui oleh pengaduan untuk mendapatkan respon
terhadap pengaduannya? Berapa lama respon akan diterima pelanggan?
  Siapa yang berwenang mengambil keputusan dalam menangani pengaduan?

b. Standar Pelayanan Publik di Daerah
  Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah
daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5)
dinyatakan pula bahwa pemerintah juga menyelenggarakan  urusan pemerintahan di
luar enam urusan pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa
penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria  eksternalitas,   - 24 -
akuntabilitas  dan efisiensi  dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan. 
Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria
eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul
akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas
maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada
masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota.
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah
propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan
pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka
semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah
pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah kabupaten/kota.
Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna
yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat
pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara  cost
penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan
penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan
dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan  wajib didefinisikan sebagai urusan daerah
otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti   - 25 -
pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi
prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala
propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun
untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). 
  Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut,
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih
bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan,
pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan,
perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.
Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat
urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-bagi antara
pemerintah, pemerintahan daerah propinsi,  dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut melibatkan
pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota
secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut
merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait,
tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. 
  Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan
bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan
berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara
bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka
SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun   - 26 -
SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur
untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan
pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberpa
prinsip, yakni:
1.  SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk
urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing.
2.  SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
3.  SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang
harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan
wajibnya.
4.  SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan
kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata.
5.  SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk
pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi
daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.
6.  SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan,
pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.
  Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja pemerintah daerah, secara
spesifik menetapkan kriteria SPM harus memperhatikan unsur input (tingkat atau
besaran sumber daya yang digunakan), output (keluaran), outcome (hasil atau wujud
pencapaian kinerja), benefit (tingkat manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan
impact (dampak atau pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan
manfaat yang dihasilkan). Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat
mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output,
outcome, benefit dan impact.
  SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat
tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM
sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan
itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur   - 27 -
(benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan
tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM  akan menjadi acuan dalam menilai kinerja
pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah daerah. 
  Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:
1.  Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat.
2.  SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat
dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan
untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3.  SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih
adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
4.  SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu
pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.
5.  SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih
akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai
kinerja pemerintah daerah.
6.  SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah
kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara
pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah.
7.  SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan
pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan
masyarakat.
Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan
perundang-undangan, yakni:
1.  UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2.  UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah;
3.  PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom;
4.  PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;
5.  PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;   - 28 -
6.  PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah;
7.  PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
dan
8.  PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal.
Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh
masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang
dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim
konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan,
Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan
Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi
tersebut dikeluarkan oleh masing-masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri
yang bersangkutan.
Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan
peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan,
dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan
SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar
Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam
aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan
pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah
kegiatan yang harus dilakukan.
Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia
saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan
sebagai standar pelayanan minimal di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi
oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang
lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan
sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah standar pelayanan minimal yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan   - 29 -
masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan
minimal untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas)
sektor yang dalam UU ditetapkan untuk  didesentralisasikan kewenangannya ke
pemerintah daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional
yang telah siap melaksanakannya dengan  menyediakan acuan SPM yang ditetapkan,
yakni dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan
Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen terkait
yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia.
Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah
menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini
karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi
kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM
tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara
lain adalah sebagai berikut:
1.  Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada, bila
dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.
2.  Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.
3.  Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan.
Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun,
sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun.
4.  Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan
mengelolola data secara sistematis.
5.  Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan
perencanaan strategis.
6.  Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang
terjadi di daerah/desa; dan
7.  Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak
menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan
evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda maupun
Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal yang rendah.   - 30 -
Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala
tersebut antara lain adalah:
1.  Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor kesehatan.
2.  BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi
pupulasi.
3.  Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan
publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap tahun sekali.
4.  Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim yang
terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta auditor
independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga harus melakukan
evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota di wilayahnya.
III.  Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi Daerah 
Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah (sektor
publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari besarnya dana
yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal itu ternyata tidak
diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang maksimal. Bahkan
sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan  instansi pemerintah dapat dinilai sangat
buruk. Padahal masyarakat telah bersedia mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber
dayanya untuk negara dengan membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retibusi
dan sebagainya. Sudah sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan
(satisfaction) yang maksimal atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa
yang diperoleh masyarakat adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah.
Salah satu keluhan masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu
pelayanan dan tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang
berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus sekarang?
“kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan bahwa budaya
pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi pada kepuasan
masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja mengakibatkan
pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan menjadi sangat buruk.    - 31 -
Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang
menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat
langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati masyarakat
secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud mengambil
keuntungan dari operasionalnya. Salah satu  prinsip dalam pelaksanaan tugas instansi
pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang
telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas. Namun demikian tampaknya pemerintah belum sepenuhnya mampu
menerapkan ketiga pilar utama tersebut  dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian,
seandainya negara sebagai penyedia layanan harus bersaing dengan swasta dengan
produk pelayanan yang sama, dapat diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti
negara akan bangkrut karena biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan
berkurang drastis akibat ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan
pelayanan yang diberikan. 
Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang melanda
negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat multidimensional.
Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan negara dalam aspek
keuangan. Pada sisi lain kompleksitas  pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat
baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara tajam tanpa diimbangi
dengan peningkatan keuangan daerah untuk membiayainya. Akibatnya pelayanan
publik menjadi terbengkalai seperti rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran
irigasi, pendidikan serta kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. 
Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh
terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun
Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan yang sangat
mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk melibatkan sektor swasta dan
masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik yang meningkat dalam kondisi
keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring dengan argumen Osborne dan Gabler
yang menganjurkan pemerintah untuk lebih berperan dalam mengendalikan (steering)
dibandingkan menangani langsung (rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu
menjadi katalisator bagi keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut   - 32 -
berpartisipasi dalam menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan
masyarakat dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan
penerapan otonomi daerah.
Salah satu perubahan signifikan dalam  penyelenggaraan pemerintahan pasca
krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU No. 22
Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan
demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah membawa perubahan mendasar
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni berkurangnya secara signifikan
patronasi dan kooptasi pusat terhadap daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah,
daerah memiliki diskresi yang sangat tinggi -- bahkan oleh berbagai pihak sering
dikatakan “kebablasan” -- dalam berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi
dalam aspek kewenangan atau urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan
dan personil, serta diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah. 
Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah dituntut
untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good governance” sebagai
proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat menemukan bentuknya dalam
menangani persoalan-persoalan publik yang tidak mungkin lagi ditangani oleh Pemda.
Melalui mekanisme good governance kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering
dan  co-managing” dari ketiga  stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan
masyarakat. Ketiga aktor akan terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan
Pengawasan dalam manajemen pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan
terbentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di
lingkungannya.  
Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada
masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya
sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk
meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk tujuan itu
maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik (public service)
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya   - 33 -
diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk mengidentifikasi pelayanan-
pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dearah yang bersangkutan. 
Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat.  Pertama,
masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan lingkungan,
pasar, terminal, dan sebagainya.  Kedua, masyarakat membutuhkan pelayanan yang
terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency) yang ada di daerah
tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus terkait dengan kebutuhan
masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan daerah menyediakan pelayanan
kebutuhan pokok  dan pelayanan yang memungkinkan daerah mengembangkan sektor
unggulan. Dan betapapun luasnya otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan
dalam bentuk pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat. 
Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir pelayanan
Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public regulation). Public
good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk memenuhi kebutuhan publik
seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi, pasar, terminal dsb. Sedangkan
public regulation akan terwujud dalam bentuk mewajibkan penduduk untuk memiliki
kartu tanda penduduk (KTP), Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan
membuka usaha) dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan
untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap
pemda seharusnya memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik
apa yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana
memberikannya, siapa yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan
agenda pelayanan tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan
yang tak terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada
penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan
peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of corrupt and
absolute power will corrupt absolutely”.
Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak
fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan, dimana
banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya pada era
desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini masih   - 34 -
berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana-
dana public yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang
menggembirakan, dimana terdapat kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah
dalam mengoptimalkan dana APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik
secara optimal bagi masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut
menunjukkan bahwa terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan
desentralisasi tersebut, namun salah satu  yang kelihatannya paling penting adalah
political will dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. 
Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada
daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya
berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian keberhasilan suatu daerah
dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari indikator sejauhmana
keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan masyarakatnya) dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat seperti pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka kemiskinan, dan sebagainya secara
berkesinambungan. Dalam kerangka inilah diperlukan political will dari Kepala Daerah
untuk mengoptimalkan alokasi belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara
langsung terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara
berkesinambungan yang disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah
(khususnya kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public
yang berkualitas.
Kisah sedih mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah kelihatannya
memang menjadi suatu ironi. Hingga saat ini pelayanan publik yang berkualitas sebagai
dampak dari desentralisasi pemerintahan kelihatannya masih jauh dari harapan.
Jangankan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik (faster,
cheaper, and better), standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu
dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau
pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor
pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan
praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada saat masyarakat   - 35 -
mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Izin
Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), sertifikat tanah,
dan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui
survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat
pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik
yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan,
kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70 persen
pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan
kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat
pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum
pelakunya.
Kinerja pelayanan umum oleh birokrasi pemerintah daerah selama era otonomi
daerah yang masih banyak yang belum mengalami perubahan berarti juga dicatat oleh
Amiruddin (2002). Pada penelitiannya di 9  (sembilan) kota di Indonesia, Amiruddin
(2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang bermasalah menurut warga,
diantaranya air minum yang belum layak untuk diminum, listrik  masih sering padam,
pemasangan telepon baru butuh waktu yang lama dan biaya besar, kontainer yang
kurang sehingga sampah berserakan, prosedur pembuatan KTP berbelit-belit dan
biayanya mahal, angkutan kota yang tidak layak dan tarifnya yang tidak pasti,
puskesmas yang belum optimal dan adanya diskriminasi di rumah sakit, biaya sekolah
yang mahal namun guru masih kurang banyak dan kurang berkualitas, dan pedagang
kaki lima yang menjamur dimana-mana. Kondisi rendahnya kinerja pelayanan pemda
tersebut tentu saja disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya karena cakupan
wilayah pelayanan yang sangat luas, banyaknya jenis pelayanan yang harus disediakan,
terbatasnya dana bagi penyediaan pelayanan umum, kurangnya supervisi maupun
ketiadaan pedoman dari pemerintah, serta beragamnya kondisi sosial ekonomi, budaya,
pendidikan, dan sebagainya dari para  pengguna pelayanan umum sendiri. Kondisi
demikian kemudian menyebabkan munculnya persepsi yang berbeda dari pengguna
layanan terhadap pelayanan yang diterimanya. YLKI (1999) sebelumnya telah mencatat
beberapa hal yang menjadi kendala mengapa pelayanan umum yang baik sulit
direalisasikan, yakni tidak adanya standar pelayanan, kondisi sosial budaya masyarakat,
rendahnya kesadaran konsumen layanan, peraturan pemerintah,  dan ketidaksiapan
aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum menghadapi tuntutan masyarakat.   - 36 -
Dalam konteks itu, kata kunci dari upaya untuk mengatasi kegagalan menuju
keberhasilan adalah inovasi dan atau perubahan. Hal ini sesuai dengan jargon, we have
to change, if we don’t change we die. Pemerintah daerah mesti memiliki kemampuan
untuk melakukan inovasi dan perubahan guna menjalankan fungsinya secara lebih baik.
Terkait dengan itu, penggerak utama (driving force) dari inovasi dan perubahan tersebut
adalah kemauan politik (political will) dari kepala daerah sebagai mesin penggerak
sistem kerja birokrasi pemerintahan di daerah untuk melakukan upaya-upaya inovasi
dan perubahan secara riil menuju kearah yang lebih baik. Kepala daerah yang memiliki
political will akan membuka ruang yang luas dan terbuka bagi dilakukannya inovasi dan
perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemerintahan dan pembangunan daerah
sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel,
transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik,
dan mampu memenuhi kebutuhan riil masyarakat. 
Inovasi bagi pemerintah daerah merupakan suatu keharusan guna
mengimplementasikan substansi desentralisasi, yaitu mengupayakan peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal serta
pengentasan kemiskinan secara berkesinambungan. Kisah menyenangkan dari
pelaksanaan otonomi daerah justru diperolah dari penerapan inovasi dan perubahan
yang dilakukan pemerintahan daerah. Pengalaman inovasi pemerintahan yang berhasil
diantaranya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Prefektur Oita di Jepang yang
melakukan inovasi program pembangunan daerah pada tahun 1979 melalui gerakan One
Village One Product (OVOP). Gerakan OVOP terbukti mampu mengubah Oita yang
sebelumnya terbelakang secara ekonomi menjadi sebuah daerah yang sukses secara
ekonomi (CCLAD, 2000). Untuk kasus Indonesia, telah banyak daerah yang melakukan
inovasi program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya, Kabupaten
Jembrana dalam peningkatan pelayanan publik dan perekonomian daerah, Kabupaten
Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Banjarnegara, Kabupaten Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Kabupaten Gianyar melalui program
Gianyar Sejahtera (Tifa, 2004), maupun Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan
aparatur pemerintah desa (Apkasi, 2003 dalam Tifa, 2004). 
Pengalaman menarik yang dapat dijadikan pelajaran penting untuk dikaji dalam
kasus inovasi pemerintahan daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan   - 37 -
masyarakat (diantaranya melalui pelayanan) adalah Kabupaten Jembrana. Pemerintah
kabupaten Jembrana memiliki pengalaman dalam mendesain dan melaksanakan
program inovasi pemerintahan yang terbukti sukses sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya secara signifikan. Hasil studi yang dilakukan PPKSD
FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) menemukan bahwa dalam kurun waktu 3-4 tahun,
Kabupaten Jembrana dapat mengurangi persentase keluarga miskin sebesar 44% (Tahun
2001 19,4% berkurang menjadi hanya 10,9% pada tahun 2003). Prestasi lainya adalah
kematian bayi per seribu lahir hidup pada tahun 2001 sebesar 15,25% berkurang
menjadi 8,39% atau berkurang 45 %. Tingkat drop out (DO) siswa Sekolah Dasar (SD)
pada tahun 2001 mencapai 0,08% menjadi 0,02% pada tahun 2003 atau berkurang 75 %.
Hasil kajian di atas mencatat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan
kabupaten Jembrana sukses dalam melakukan inovasi pemerintahan. Pada bidang
pendidikan, yang dilakukan oleh pemda Kabupaten Jembrana adalah membebaskan
semua SPP bagi seluruh sekolah negeri  (SD, SLTP, SMU/SMK) serta pemberian
beasiswa bagi siswa sekolah swasta. Sedangkan pada bidang kesehatan, pemda
Kabupaten Jembrana mengeluarkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dalam bentuk
asuransi yang diperoleh bagi setiap warga yang memiliki KTP. Dengan demikian
penduduk kabupaten Jembrana bebas biaya obat dan dokter serta bebas biaya rumah
sakit bagi warga miskin. Sedangkan pada bidang ekonomi pemda memprogramkan dana
talangan untuk menjaga harga hasil panen serta dana bergulir bagi kelompok tani.
Padahal APBD Jembrana hanya Rp193,1 miliar pada tahun 2003 dengan PAD hanya
Rp9,2 miliar. Bandingkan misalnya dengan Kota Makassar yang mencapai Rp500
miliar ataupun daerah lain yang lebih besar dari itu.
Daerah lain seperti Enrekang juga sudah mulai akan mengimplementasikan
program inovasi dalam hal pengentasan kemiskinan dengan merumuskan indikator lokal
kemiskinan dan pemasaran hasil pertanian (Corner Makassar dan Yayasan TIFA, 2005).
Indikator lokal kemiskinan adalah merupakan upaya pemda dalam menyusun data untuk
kepentingan  poverty targeting yang tidak bisa didapatkan dengan mengandalkan data
yang ada pada BPS dan BKKBN. Dengan adanya indikator lokal ini maka data orang
miskin menjadi lebih akurat serta dapat didesain program yang tepat berdasarkan
kebutuhan dari masyarakat miskin. Sedangkan program inovasi yang akan
diimplentasikan Pemda Enrekang dalam bidang pertanian adalah penangangan secara
mapping dalam proses pertanian mulai dari input, permodalan dan output. Pada   - 38 -
permodalan akan dibentuk lembaga penjamin untuk memberikan kemudahan dan
dukungan modal bagi petani serta dalam bidang penanganan hasil pertanian adanya
badan pemasaran yang dilengkapi dengan terminal agro serta kendaraan angkut yang
tentu sangat membantu petani yang tersebar di wilayah Enrekang yang luas dan
topografinya didominasi pegunungan.
Kisah menyenangkan mengenai daerah yang bekerja keras untuk kemakmuran
rakyatnya mungkin juga banyak ditemukan di daerah-daerah lain. Hanya saja karena
keterbatasan informasi maka mungkin keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak banyak
diketahui publik. Namun yang terpenting adalah bahwa seharusnya daerah berlomba
untuk memikirkan dan melaksanakan program inovasi bagi kepentingan kesejahteraan
warganya. Program inovasi yang telah diimplementasikan oleh berbagai pemerintah
daerah diharapkan dapat menjadi inspirasi, pelajaran atau contoh bagi daerah lain yang
belum menerapkannya. Pengalaman dari daerah-daerah yang telah menerapkannya
menunjukkan bahwa inovasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan keinginan
untuk menjadi lebih baik yang kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk
mewujudkanya dan membuatnya berjalan dengan baik. Inovasi sangat terkait dengan
penemuan di mana secara umum inovasi muncul dari sebuah proses trial and error dan
bukan dari sebuah perencanaan yang besar. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam
menyusun program inovasi faktor-faktor yang mejadi pertimbangan dasar diantaranya
adalah adanya komitmen kepala daerah dan aparat birokrasi, keterlibatan semua
stakeholder dalam masyarakat, komitmen untuk melakukan efisiensi di semua sektor
dan pemilihan prioritas program yang akan dilakukan disesuaikan dengan kondisi lokal
walaupun terdapan pula beberapa hal yang merupakan kondisi umum. 
Kisah sukses lainnya di mana pemerintah daerah berhasil dalam
mengembangkan pelayanan publik yang lebih baik telah mulai mendapatkan
pengakuan, bahkan pada level internasional. Dalam proyek The World Bank’s Making
Services Work for the Poor (MSWP) pada tahun 20059
, diidentifikasi 9 jenis kasus
pelayanan di daerah yang dikategorikan sangat inovatif dan berhasil. Semua kasus ini
dinyatakan mempunyai dampak yang sangat positif terhadap perbaikan pelayanan
publik, dengan meliputi sedikitnya 500.000 penduduk miskin. Dalam laporannya,
pelayanan-pelayanan inovatif terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, tranparansi
anggaran serta kinerja pemerintah dan akuntabilitas.
Di bidang pendidikan, seperti di. Tanah Datar, di mana dilakukan reformasi di
bidang pendidikan dengan pemberian insentif kepada guru. Bentuknya adalah dengan
pemberian kesempatan kepada 4 persen dari jumlah guru yang bekerja di daerah serta
10 persen kepala sekolah untuk melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan
untuk menguasai metodologi pengajaran yang lebih baik. Selain itu jumlah sekolah dan
kelas dikurangi secara signifikan untuk mencapai rasio jumlah murid per kelas yang
proporsional. Daerah lain yang mencatatkan prestasi di bidang pendidikan adalah
Sulawesi Barat melalui proyek pendidikan CLCC (Creating Learning Communities for
Children) yang mendorong pengajaran aktif serta metode pembelajaran dan kualitas
guru yang lebih memadai. Proyek ini berhasil menciptakan metode pembelajaran yang
aktif dengan lebih melibatkan orang tua dan murid. Proyek ini telah mengalami
perluasan (scaling-up) mencapai 35% pada sekolah-sekolah negeri.
Di bidang pelayanan kesehatan, selain kasus Jembrana yang telah diungkap
sebelumnya, kasus di Pemalang menjadi salah satu best practice, di mana pemerintah
daerah menyediakan voucher kepada ibu hamil dari kelompok masyarakat miskin agar
mendapatkan pelayanan bersalin. Selama proyek berlangsung, tercatat jumlah pelayanan
bersalin meningkat dua kali lipat, dan luas wilayah pelayanan di tingkat desa-desa
mencapai 95 persen. Sementara itu, proyek WSLIC-2 (Second Water and Sanitation for
Low-Income Communities Project)  di  Jawa Timur uga mendapat perhatian, karena
keberhasilannya dalam meningkatkan akses warga terhadap air bersih 50 persen dari
seluruh target. Warga di bangun kesadarannya untuk memiliki perilaku yang sehat dan
rasa memiliki terhadap sistem supply air
Dalam hal transparansi anggaran,  kasus Bandung adalah contoh yang diangkat
dalam laporan ini. Dalam rangka pembangunan transparansi anggaran ini, lembaga
swadaya masyarakat BIGS (Bandung Institute of Goverance Studies) memegang peran
penting dengan menyebarkan informasi anggaran pemerintah kota melalui penerbitan
buku-buku, poster, majalah, dan melatih sekitar 100 orang termasuk wartawan/jurnalis,
politisi dan yang lainnya untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut, sekaligus
membangun kesadaran warga mengenai pentingnya transparansi anggaran. Beberapa
kota dan LSM di luar Bandung mulai meniru pola pemberdayaan seperti ini.
Selain itu, salah satu inovasi yang juga banyak dilakukan pemda dalam upaya
peningkatan pelayanan adalah dengan menerapkan pelayanan yang berbasis teknologi
(internet), yang sering dinamakan dengan  e-government. Pelayanan berbasis  e-  - 40 -
government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan
yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas
pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelayanan berbasis e-government pada saat
ini diperlukan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan
berbangsa dan bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter
dan sentralistik menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis, dan menerapkan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah  otonom. Perubahan yang tengah terjadi
tersebut menuntut terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu
menjawab tuntutan perubahan secara efektif. Sistem manajemen pemerintah yang
selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral yang
mengerucut dan panjang, dirubah menjadi sistem manajemen organisasi jaringan yang
dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali. 
Penerapan e-government dapat menjadi jawaban dari tuntutan masyarakat yang
berbeda namun berkaitan erat terhadap Pemerintah daerah, yaitu:  Pertama, tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di
seluruh wilayah Indonesia, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau
secara interaktif; dan  kedua, tuntutan masyarakat agar aspirasi mereka didengar,
sehingga pemerintah harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan
kebijakan publik. Melalui pengembangan  e-government, dilakukan penataan sistem
manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom. Hal itu
dilakukan dengan cara:  Pertama, mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi
informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi dan birokrasi; dan  Kedua,
membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-
instansi pemerintah bekerja secara terpadu, untuk menyederhanakan akses ke semua
informasi dan pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah. 
Melalui pengembangan  e-government, dilakukan penataan sistem manajemen
dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom dengan mengoptimasikan
pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup
dua aktivitas yang saling berkaitan, yaitu:  Pertama, pengolahan data, pengelolaan
informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; dan  Kedua,
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara
mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Untuk melaksanakan
maksud tersebut, pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai empat tujuan,   - 41 -
yaitu; Pertama, pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang
memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat
terjangkau di seluruh wilayah setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat;  Kedua, pembentukan hubungan interaktif dengan dunia
usaha untuk meningkatkan perkem-bangan perekonomian nasional dan memperkuat
kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional; Ketiga,
pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara dan
daerah lain serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara; dan Keempat, pembentukan sistem
manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi
dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom. 
Hingga saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah
otonom yang berinisiatif mengembangkan pelayanan publik melalui jaringan
komunikasi dan informasi dalam bentuk situs web. Namun berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, mayoritas
situs web Pemerintah Daerah Otonom masih berada pada tingkat pertama (persiapan)
dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai tingkat dua (pematangan), sedangkan
tingkat tiga (pemantapan) dan empat (pemanfaatan) masih belum tercapai. Untuk itu
maka agar pelaksanaan kebijakan pengembangan  e-government dapat dilaksanakan
secara sistematik dan terpadu, maka penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang-
undangan, standarisasi, dan panduan yang diperlukan harus konsisten dan saling
mendukung. Perumusan yang dibuat perlu mengacu pada kerangka yang utuh, serta
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembentukan pelayanan publik, dan penguatan
jaringan pengelolaan dan pengolahan informasi yang handal dan tepercaya. 


Referensi:
·         Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta.
·         Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT. Grasindo. Jakarta
·         Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production: Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The Institute of Development Studies. Brighton.  
·         Kiser, Larry L. & Stephen L. Percy. 1980. The Concept of Coproduction and Its Implication for Public Service Delivery. Paper presented at the 1980 Annual Meetings of the American Society for Public Administration, on April 13-16. Indiana University. Bloomington.
·         Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/
·         Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN. Jakarta. 
·         Marschall, Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context: A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political Research Quarterly. Academic Research Library.
·         McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community Governance. Ashgate. England.
·         Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts.
·         Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts.
·         Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development." World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.
·         Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John Hopkins University Press.
·         Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering Public Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo.
·         Zeithaml, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press. New York

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filsafat Islam Mazhab QOM

PROGRAM KERJA KEPALA PERPUSTAKAAN SMPN 1 KODEOHA | Junait Blog