Makalah Reformasi Perencanaan Anggaran Daerah
REFORMASI PERENCANAAN ANGGARAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak era reformasi tahun 1998 paradigma pembangunan di
Indonesia telah bergeser dari model pembangunan yang sentralistik menjadi
desentralistik. Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah kebijakan untuk
membangun daerah yang dikenal dengan istilah kebijakan “Otonomi Daerah”.
Hal tersebut ditandai dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan
otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan
tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing)
dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan
aspirasi masyarakat. Pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap
cara-cara mempertanggungjawaban keuangan pusat, dan khususnya daerah.
Perencanaan anggaran daerah merupakan salah satu perhatian utama
para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah
ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem
perencanaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan
masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi, demokratisasi,
transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada
umumnya dan proses perencanaan keuangan daerah.Secara garis besar, perencanaan keuangan
daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan
manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan
kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Penetapan berbagai peraturan
tersebut merupakan wujud dari reformasi perencanaan keuangan pemerintah.
Reformasi tersebut dilaksanakan di lima bidang utama, yaitu: 1. Perencanaan dan
penganggaran 2. Pelaksanaan anggaran3. Perbendaharaan dan pembayaran 4.
Akuntansi dan pertanggungjawaban5. Pemeriksaan Tujuan reformasi perencanaan
keuangan tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, meningkatkan kesejahteraan
dan pelayanan kepada masyarakat dan partisipasi masyarakat secara aktif. Berikut
ini akan dibahas secara singkat konsep utama manajemen keuangan
daerahberdasarkan peraturan terbaru, yaitu PP Nomor 58 Tahun 2005 dan
Permendagri Nomor 13Tahun 2006. Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
daerah.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah meliputi:1. hak daerah untuk
memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukanpinjaman; 2. kewajiban daerah untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayartagihan pihak ketiga; 3.
penerimaan daerah; 4. pengeluaran daerah;
5. kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan daerah; dan 6. kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
Perencanaan anggaran daerah dapat dikaji dari sisi makro dan mikro
sebagai berikut (PPE-FE-UGM, 2005). 1. Konsep Makro Perencanaan Anggaran
DaerahAnggaran Daerah merupakan rencana kerja Pemerintah Daerah yang diwujudkan
dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu (satu tahun). Anggaran
ini digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber
pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja dan sebagai alat
untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja. 2. Konsep Mikro
Perencanaan Anggaran DaerahAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada
hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai sebagai
alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Oleh karena itu, DPRD dan Pemerintah Daerah harus berupaya secara nyata dan
terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil
masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing Daerah, serta dapat memenuhi
tuntutan terciptanya anggaran daerah yang transparan, berorientasi pada
kepentingan dan akuntabilitas publik. Harus diakui bahwa dalam struktur APBD
yang lama, tuntutan di atas belum dapat dipenuhi sepenuhnya. Struktur anggaran
APBD hanya menyajikan informasi tentang jumlah sumber pendapatan dan
penggunaan dana. Sementara itu, informasi tentang kinerja yang ingin dicapai,
keadaan dan kondisi ekonomi serta potensinya tidak tergambarkan dengan jelas.
Informasi tersebut diperlukan sebagai tolok ukur yang harus dijadikan acuan
dalam perencanaan anggaran. Karena ketidakjelasan tersebut, maka sistem
perencanaan anggaran yang digunakan selama ini tidak dapat memberikan gambaran
yang komprehensif mengenai inisiatif, aspirasi dan kebutuhan riil masyarakatdan
potensi sumberdaya yang dimilikinya. Untuk menghasilkan struktur anggaran yang
sesuai dengan harapan dan kondisi normative tersebut, maka APBD yang pada
hakekatnya merupakan penjabaran kuantitatif dari tujuan dan sasaran Pemerintah Daerah serta tugas pokok dan fungsi
Unit Kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi pada suatu tingkat
kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran yang jelas
tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran yang hendak dicapai,
tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi dan
kebutuhan riil di masyarakat untuk suatu tahun tertentu. Dengan demikian
alokasi dana yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat
memberikan manfaat yang benar-benar dirasakanmasyarakat ( value for money )
dan kepuasan public (public satisfaction)
sebagai wujud pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan yang berorientasipada kepentingan
publik (public accountability ) dapat dicapai.
Secara umum, perencanaan anggaran
daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1. Perencanaan dalam menentukan Arah
dan Kebijakan Umum APBD, disebut perencanaan kebijakan ( policy planning ) Anggaran Daerah. Dalam
prakteknya, rencana ini harus disusun dan disepakati secara bersama-sama oleh
DPRD dan Pemerintah Daerah. Perencanaan kebijakan harus memuat kejelasan mengenai
tujuan dan sasaran yang akan dicapai di tahun mendatang dan sekaligus juga
harus menjadi acuan bagiproses pertanggungjawaban (LPJ) kinerja keuangan Daerah
pada akhir tahun anggaran. 2. Perencanaan serangkaian strategi, prioritas,
program dan kegiatan yang diperlukandalam mencapai Arah dan Kebijakan Umum
APBD, yang disebut juga Perencanaan Operasional (Operational Planning ) anggaran Daerah. Karena bersifat
teknis danoperasional, proses ini dibebankan kepada Pemerintah Daerah.
Seiring adanya
tuntutan good governance dan
reformasi pengelolaan sektor publik yang ditandai dengan munculnya era new
public management, dengan tiga prinsip utamanya yang berlaku secara
universal yaitu profesional, transparansi, dan akuntabilitas telah mendorong
adanya usaha untuk meningkatkan kinerja dibidang pengelolaan keuangan, dengan
mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam penganggaran sektor
publik.
Untuk menghadapi
tuntutan perkembangan tersebut, pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, telah menetapkan penggunaan pendekatan
penganggaran berbasis prestasi kerja atau kinerja dalam proses peyusunan
anggaran. Penganggaran berbasis kinerja atau performance budgeting merupakan
suatu pendekatan dalam penyusunan anggaran yang berorientasi pada kinerja atau
prestasi kerja yang ingin dicapai.
Anggaran berbasis
kinerja dapat dikatakan merupakan hal baru karena pusat perhatian diarahkan
pada upaya pencapaian hasil, sehingga menghubungkan alokasi sumber daya atau
pengeluaran dana secara eksplisit dengan hasil yang ingin dicapai. Dengan
demikian pengalokasian sumber daya didasarkan pada aktivitas untuk pencapaian
hasil yang dapat diukur secara spesifik, melalui proses perencanaan strategis
dengan mempertimbangkan isu kritis yang dihadapi lembaga, kapabilitas lembaga,
dan masukan dari stakeholder.
Tuntutan perubahan sistem perencanaan anggaran di era otonomi daerah
sangan mutlak dibutuhkan hal ini disebabkan banyaknya daerah otonom yang dalam
perencanaan anggarannya masih sangat minim bahkan ada beberapa daerah pada masa
pemekaran hingga beberapa tahun setelah pemekaran masih menggantung diri
terhadap pemerintah pusat dalam hal penganggaran. Hal ini disebabkan kurangnya kreativitas
pemerintah daerah dalam mencari sumber-sumber anggaran yang dapat meningkatkan
APBD yang bersumber dari sumber daya yang ada. Dilain sisi dalam perencanaan anggaran baik itu ditingkat
eksekutif maupun legislatif masih banyak oknum pejabat dalam implementasi
anggaran disektor publik yang mementingkan kepentingan Kelompok tertentu.
Secara politis penentuan besarnya
suatu mata anggaran tergantung pada sistem yang digunakan yakni apakah
mengunakan sistem line item budgeting, input output budgeting, program
budgeting, ataukah zero based budgeting. Line item budgeting diakui memang yang
paling sederhana untuk digunakan, namun dianggap sesuatu yang tradisional .
Konsep ini memang sederhana dan dapat mengurangi luasnya konflik dalam
persoalan alokasi sumber-sumber yang tersedia, namun implikasinya adalah bahwa
tidak akan ada perubahan kebijakan yang berarti dalam konteks estimasi
anggaran. Namun para ahli anggaran menganggap bahwa sistem ini tidak layak lagi
untuk digunakan apalagi dengan dengan arus desentralisasi yang sangat besar.
Tahap budget ratification sangat perlu diperhatikan oleh pimpinan daerah
sebagai manajemen keuangan daerah. Tahap ini merupakan acomplicative political
proses yang cukup berat, untuk itu pimpinan daerah harus memiliki political
skill, salesmanship, dan coalition building yang memadai. Prinsip kunci dalam
menghadapi persoalan-persoalan ratifikasi ini adalah preparation dan integrity
yang tinggi dari manajer keuangan daerah. Adalah suatu hal yang krusial bahwa
mereka harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang
rasional dan ilmiah atas segala pertanyaan - pertanyaan dan bantahan-bantahan
dari pihak legislatif, jawaban dan argumentasi yang dikemukakan haruslah akurat
dan sempurna dan bila perlu harus ilmiah. Untuk tahap budget implementation,
hal penting yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan daerah adalah
dimilikinya sistem informasi akuntansi dan sistem pengendalian yang terpadu
atas pelaksanaan anggaran yang telah disepakati dan bahkan dapat diandalkan
untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya, agar sistem akuntasi dapat
pula termonitor dengan baik, maka fungsi auidit internal harus berjalan dengan
baik, monitoring ini sekaligus digunakan sebagai indikator budget performance..
Pada dasarnya anggaran daerah disusun berdasarkan pendekatan kinerja yaitu:
sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil yang
ditetapkan, Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi kepada
kepentingan publik.
Melalui penerapan
anggaran berbasis kinerja, pemerintah daerah
dituntut untuk membuat standar kinerja pada setiap anggaran kegiatan,
sehingga jelas kegiatan apa yang akan dilakukan, berapa biaya yang dibutuhkan,
dan apa hasil yang akan diperoleh. Klasifikasi anggaran dirinci mulai dari
sasaran strategis sampai pada jenis belanja dari masing-masing kegiatan atau
program kerja, sehingga memudahkan dilakukannya evaluasi kinerja. Dengan
demikian, diharapkan penyusunan dan pengalokasian anggaran dapat lebih
disesuaikan dengan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip ekonomis,
efisiensi dan efektivitas.
BAB II
PENYAJIAN DATA/FENOMENA
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
Pemerintah Daerah danDPRD. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD setiap tahunditetapkan dengan peraturan daerah. APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan
dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Penetapan prioritas
anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada prinsip penganggaran terpadu
(unified budgeting). Penganggaran terpadu adalah penyusunan rencana keuangan
tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian
efisiensi alokasi dana. Sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun
2006, penyusunan APBD 2007 harus berdasar pada penganggaran terpadu.
Penyusunan APBD dilakukan secaraterintegrasi untuk seluruh jenis belanja.
Penyusunan APBD tersebut juga harus berorientasipada anggaran berbasis kinerja.
Penganggaran di daerah harus
di susun dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium-Term Expenditure
Framework ). Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap
kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan
mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun
berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Prakiraan Maju (forward estimate) adalahperhitungan kebutuhan dana
untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakanguna memastikan
kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar
penyusunan anggaran tahun berikutnya.
1. Asas dan Fungsi APBD
Salah satu asas penting dalam menetapkan prioritas anggaran belanja
yang dijabarkan dalam APBD adalah bahwa penentuan anggaran disusun sesuai
dengan kebutuhanpenyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
Secara khusus,penganggaran pengeluaran harus didukung oleh adanya kepastian
sumber pendanaanyang cukup dan memiliki landasan hukum yang kuat (Pasal 18 PP
Nomor 58 Tahun2005).APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,
alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek
Pemerintah Daerah yang tidak memiliki dampak berantai (multiplier effect )
bagi perekonomian. Didaerah miskin, pembangunan (fisik dan nonfisik) tidak
berjalan dengan baik karenaAPBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai
anggaran rutin. Sebaliknya, didaerah kaya yang memiliki APBD surplus, juga
menghadapi kesulitan menentukanprioritas pembangunan.Pengelolaan APBD yang
tidak efisien dapat dilihat dari dua sisi. Defisit APBD berdampaknegatif bagi
perekonomian daerah karena Pemerintah Daerah tidak mampu memberikanstimulus
bagi perekonomian. Di sisi lain, daerah yang mempunyai APBD surplus
ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan
APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien. Praktek
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Hasil penelitian Transparency International
Indonesia (TII) menunjukkan, 40-60 persen APBD terserap aksi korupsi, kolusi
dan nepotisme di kalangan birokrat, legislatif, dan aparat keamanan. Bahkan,
daerah pengelolaan APBD lebih rawan akibat makin renggangnya pengawasan dari
pusat maupun dari masyarakat.
2.
Prinsip Pengelolaan APBD
Terkait dengan kondisi tersebut, menurut Permendagri No.13 Tahun
2006, APBD perlu dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
masyarakat. 1. Secara tertib adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat
waktu dan tepat gunayang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. 2. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah bahwa
pengelolaan keuangan daerahharus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan,
yaitudengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. 4. Efisien merupakan
pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu ataupenggunaan
masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 5. Ekonomis merupakan pemerolehan masukan
dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah.
6. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan
masyarakat untukmengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-Iuasnya
tentang keuangan daerah. 7. Bertanggung jawab merupakan perwujudan kewajiban
seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya
dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. 8. Keadilan
adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/ataukeseimbangan
distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 9. Kepatutan adalah tindakan
atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar danproporsional.10. Manfaat untuk
masyarakat bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat.
Manajemen keuangan dan anggaran daerah perlu mengikuti beberapa
prinsip-prinsip utama berikut (Bank Dunia, 1998). a. Komprehensif dan disiplin
Anggaran Daerah adalah satu-satunya mekanisme yang akan menjamin terciptanya
disiplin pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Anggaran Daerah harus disusun
secara komprehensif, yaitu menggunakan pendekatan yang holistik dalam
mendiagnosis permasalahan yang dihadapi, analisis keterkaitan antarmasalah yang
mungkin muncul, evaluasi kapasitas kelembagaan yang dimiliki, dan mencari
cara-cara terbaik untuk memecahkannya. Anggaran harus meliputi semua operasi
fiskal pemerintah dan harus mendorong keputusan kebijakan yang mempunyai
implikasi keuangan untuk mengatasi kendala anggaran belanja dalam persaingan
dengan permintaan (demand ) lain. Disiplin juga mengimplikasikan
bahwa anggaran seharusnya hanya menyerap sumber daya yangperlu untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah. b. Fleksibilitas Sampai tingkat tertentu,
Pemerintah Daerah harus diberi diskresi yang memadai sesuaidengan ketersediaan
informasi-informasi relevan yang dimilikinya. Arahan dariPemerintah Pusat
memang harus ada tetapi harus diterapkan secara hati-hati, dalam artitidak
sampai mematikan inisiatif dan prakarsa Daerah. c. Terprediksi
Terprediksinya kebijakan yang akan diambil merupakan faktor penting
dalampeningkatan kualitas implementasi Anggaran Daerah. Sebaliknya, bila
kebijakan sering berubah-ubah, maka Daerah akan menghadapi ketidakpastian yang
sangat besar hinggaprinsip efisiensi dan efektivitas pelaksanaan suatu program
yang didanai oleh AnggaranDaerah cenderung terabaikan. d. Dapat DiperbandingkanPerencanaan anggaran
yang baik, harus dapat diperbandingkan, baik antar waktumaupun antar unit atau
daerah. Perbandingan juga dilakukan dengan melihat rencanadengan realisasi. Hal
ini dilakukan melalui proses monitoring dan evaluasi, sehinggadapat dinilai
tingkat kemajuan yang telah dicapai dan proses umpan balik (feedback )
bagi perbaikan perencanaan anggaran periode berikutnya.
Manajemen keuangan daerah menjadi begitu penting bagi aparat
pemerintahan didaerah karena merupakan konsekwensi logis dari perspektif
manajemen perimbangan antara keuangan pusat dan daerah. Transformasi nilai yang
berkembang dalam era reformasi ini adalah meningkatnya penekanan proses
akuntabilitas publik atau bentuk pertanggungjawaban horisontal, khususnya bagi
aparat pemerintahanan di daerah, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban vertical
kepada pemerintahan atasan dalam segala aspek pemerintahan, termasuk aspek
penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan Surat
Keputusan Mendagri No. 29 Tahun 2002.
Keberhasilan perubahan ini, pada
saatnya tergantung pada efektivitas, transparansi, dan manajemen yang efektif
juga kemampuan sumber daya publik darimanapun asal mereka. Seberapa baik proses
yang mendasari ini dikelola di tingkat distrik dan propinsi yang karenanya
bertambah minat dari pemerintah pusat maupun komunitas donor.
Diantara pertanyaan mendasar yang perlu
diperhatikan adalah : seberapa transparan pemerintah daerah dalam menggunakan
kewenangan yang baru mereka peroleh itu dan seberapa terlindungi proses
tersebut dari jangkauan dan kolusi para elit daerah? Bagaimanakah mereka akan meningkatkan
pendapatan publik daerah – secara lebih adil dan dengan lebih terprediksi
ataukah melalui pajak dan pungutan yang lebih agresif dan lebih membebani?
Seberapa efektif dan efisienkah sumber daya publik dipergunakan dan
dipertanggungjawabkan, dan dengan integritas dan pengawasan yang seperti apa
dari para stakeholder/pihak yang berkepentingan? Jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan ini dan sejumlah pertanyaan lainnya pastinya akan
bervariasi antar pemerintah daerah, namun variasi inilah yang dibutuhkan oleh
kita untuk mendiagnosa, menilai, dan memahami.
Dalam praktik manajemen keuangan daerah yang
masih berlangsung sekarang ini, ada kecenderungan dari oknum pejabat baik itu
ditingkat eksekutif maupun legislatif untuk menghabiskan sisa anggaran, baik
anggaran rutin maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat
tersebut termotivasi oleh insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena
kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan maka jumlah anggaran yang
disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang diusulkan dalam
Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan lebih
kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya. Akibatnya, oknum pejabat tersebut
merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan membuat laporan
keuangan “yang seolah-olah benar” untuk menjustifikasi kegiatan tersebut. Kelemahan lain dari manajemen keuangan daerah selama ini adalah adanya
nonbujeter, yaitu dana di luar APBD yang berasal dari pendapatan bukan pajak.
Adanya pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak
transparan dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan
dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governance).
Jadi, jelas
sistem manajemen keuangan daerah yang dipraktikkan pemerintah selama ini kurang
memenuhi prinsip good governance dalam manajemen keuangan daerah.
Sistem manajemen keuangan demikian melemahkan partisipasi masyarakat untuk
mengawasi penggunaan anggaran, memancing praktik korupsi, kolusi, nepotisme
(KKN) karena kurang transparan, dan mendorong pejabat untuk menggunakan keuangan dan sumber
daya negara secara tidak bertanggung jawab karena lemahnya mekanisme
akuntablitas publik dalam manajemen keuangan daerah, Yang pada akhirnya
pembangunan fisik dan pelayanan publik yang menjadi tugas utama pemerintah
daerah tidak berjalan sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang dasar 1945
dan jika ini terus menerus berlanjut maka pembangunan akan berjalan lambat dan
berdampak buruk bagi perkembangan kehidupan masyarakat.
BAB. III
PEMBAHASAN
Penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Sesuai dengan defenisi Good
Governance, dalam hubungannya dengan proses penyusunan anggaran maka hal
tersebut meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari tradisional budget ke
performance budget. Tradisional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang
bersifat line-item dan incrementalisme yaitu proses penyusunan
anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun
sebelumnya, konsekwensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru, hal
ini sering kali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat,
dengan basis seperti ini APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan,
serta orientasi sub ordinasi kepentingan pemerintah .
Untuk mendukung pelaksanaan good
governance, maka diperlukan berbagai reformasi lanjutan, khususnya pada sistem
pengelolaan keuangan pemerintah daerah yaitu : reformasi sistem pembiayaan (financing
reform), sistem penganggaran (budgeting reform), sistem akuntansi, (accounting
reform), sistem pemeriksaan (audit reform), dan sistem manajemen
pemerintahan daerah (financial management reform). Ruang lingkup
reformasi anggaran meliputi perubahan struktur anggaran (budget structure
reform) dan perubahan proses penyusunan (budget proces reform).
Perubahan struktur anggaran yang baru akan menampakkan dengan jelas besarnya
surflus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan bila terjadi defisit fiskal.
Hal ini akan memudahkan bagi masyarakat untuk melakukan analisis, evaluasi dan
pengawasan atas pelaksanaan dan pengelolaan APBD. Pemerintah daerah juga
dimungkinkan untuk membentuk dana cadangan, dengan demikian anggaran tidak
mesti dihabiskan dalam setahun Disadari bahwa pelaksanaan undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebabkan konsekwensi logis
terhadap perubahan dalam manajemen keuangan daerah, perubahan tersebut antara
lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Manajemen keuangan daerah, khususnya manajemen anggaran daerah dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi menduduki posisi yang sangat penting, namun
sayangnya kualitas perencanaan yang dipakai saat ini masih sangat lemah. Alasan
yang menyebabkan pentingnya anggaran sektor publik adalah:
a.
Anggaran merupakan alat terpenting bagi pemerintah untuk mengarahkan
pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas
hidup masyarakat.
b. Anggaran diperlukan karena
adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan
sumber daya yang ada terbatas.
c. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggungjawab terhadap rakyat.
Dalam hal ini
anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh
lembaga – lembaga publik yang ada. Pada dasarnya pemerintah daerah harus
menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam penganggaran dan manajemen keuangan
daerah antara lain seperti yang distandarkan internasional ( worl bank 1998;)
yaitu : 1. Komprehensip dan disiplin : Anggaran daerah adalah satu-satunya
mekanisme yang akan menjamin terciptanya disiplin pengambilan keputusan. Karena
itu anggaran harus disusun secara komprehensip dengan menggunakan pendekatan
holistik, yaitu adanya permasalahan yang dihadapi, analisis keterkaitan antar
masalah yang mungkin muncul, dan solusi dari permsalahan tersebut. 2.
Fleksibilitas Sampai tingkat tertentu pemerintah daerah harus diberi keleluasan
yang memadai sesuai dengan ketersediaan informasi-informasi yang relevan yang
dimiliki 3. Terprediksi Kebijakan yang terperediksi adalah faktor penting dalam
peningkatan kualitas implementasi anggaran daerah. Sebaliknya bila kebijakan
sering berubah-ubah seperti metode pengalokasian dana alokasi umum yang tidak
jelas maka daerah akan menghadapi ketidak pastian sehingga prinsip efektifitas
dan efesiensi pelaksanaan suatu yang didanai oleh anggaran daerah cenderung
terabaikan.
Dalam manajemen (manajemen) keuangan daerah yang terdiri
dari manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua
komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah
dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi
daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan
perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain
adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun
1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran
daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan
dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk
APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).
Aspek utama budgeting reform adalah
perubahan dari traditional budget ke performance budget.
Traditional budget merupakan pendekatan yang paling
banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. dalam pendekatan ini terdapat
dua ciri utama yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas
pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang
bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran
tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat
spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur
anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan
besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran
tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana
kegiatan. Sehingga banyak oknum pejabat pemerintah yang salah dalam menggunakan
angggran yang ada. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut,
maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan
hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional
adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for
money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak
dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak
adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada
akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian
dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk
dilaksanakan.
Dilihat
dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa
kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):
<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara
anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Pendekatan incremental menyebabkan
sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal
tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat
untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja.
Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan
apakah tujuan tercapai.
<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat
tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang
menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan
antar departemen.
<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]-->Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin
dan pengeluaran modal/investasi.
<!--[if !supportLists]-->f. <!--[endif]-->Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran
tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal
tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan
kolusi).
<!--[if !supportLists]-->g. <!--[endif]-->Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan
informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai
akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
<!--[if !supportLists]-->h. <!--[endif]-->Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga
gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti
seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
<!--[if !supportLists]-->i. <!--[endif]-->Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang
tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi
masalah dan tindakan.
Beberapa kelemahan
anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan
pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.
Performance budget pada dasarnya
adalah sistem penyusunan dan manajemen anggaran daerah yang berorientasi pada
pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada
kepentingan publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk
menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi
daerah harus dipahami sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk
mengelola dan mengatur urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah
tidak lagi merupakan alat kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat
untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah.
Secara
garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar.
Kedua pendekatan tersebut adalah (Mardiasmo, 2002) :
<!--[if !supportLists]-->(a) <!--[endif]-->Anggaran
tradisional atau anggaran konvensional; dan
<!--[if !supportLists]-->(b) <!--[endif]-->Pendekatan
baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.
Tabel 1
Perbandingan
Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
ANGGARAN
TRADISIONAL
|
NEW PUBLIC
MANAGEMENT
|
Sentralistis
|
Desentralisasi & devolved
management
|
Berorientasi pada input
|
Berorientasi pada input, output, dan
outcome (value for money)
|
Tidak terkait dengan perencanaan
jangka panjang
|
Utuh dan komprehensif dengan
perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan sasaran dan target
kinerja
|
Batasan departemen yang kaku (rigid
department)
|
Lintas departemen
(cross department)
|
Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning
Programming Budgeting System
|
Prinsip anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Sumber : Mardiasmo (2002)
Traditional budget didominasi oleh
penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan incrementalism,
yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi
anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas
anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan
kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat
menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah
atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan
inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan fenomena
pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Reformasi
sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public
Financial Management telah
mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam
perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut,
muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik
anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB),
dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan
baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karak-teristik
umum sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
<!--[if
!supportLists]-->1. <!--[endif]-->Komprehensif/komparatif
<!--[if
!supportLists]-->2. <!--[endif]-->Terintegrasi
dan lintas departemen
<!--[if
!supportLists]-->3. <!--[endif]-->Proses
pengambilan keputusan yang rasional
<!--[if
!supportLists]-->4. <!--[endif]-->Berjangka
panjang
<!--[if
!supportLists]-->5. <!--[endif]-->Spesifikasi
tujuan dan perangkingan prioritas
<!--[if
!supportLists]-->6. <!--[endif]-->Analisis
total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
<!--[if
!supportLists]-->7. <!--[endif]-->Berorientasi
input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.
<!--[if
!supportLists]-->8. <!--[endif]-->Adanya pengawasan kinerja.
Perubahan dalam
pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip manajemen keuangan
daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut
meliputi (Mardiasmo, 2002):
<!--[if
!supportLists]-->· <!--[endif]-->Akuntabilitas;
<!--[if
!supportLists]-->· <!--[endif]-->Value for Money;
<!--[if
!supportLists]-->· <!--[endif]-->Kejujuran dalam mengelola keuangan publik
(probity);
<!--[if
!supportLists]-->· <!--[endif]-->Transparansi; dan
<!--[if
!supportLists]-->· <!--[endif]-->Pengendalian.
Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran
mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat
dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas
mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang
diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil
kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal
maupun horizontal dengan baik.
Value for Money
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang
paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public
money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna).
Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai
target-target atau tujuan kepentingan publik.
Indikasi
keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin
baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan
tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan
memperhatikan konsep value for money.
Kejujuran dalam
Manajemen Keuangan Publik (Probity)
Manajemen keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang
memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk
korupsi dapat diminimalkan.
Transparansi
Transparansi
adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah
sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi
manajemen keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta
pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif
terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu
dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah
agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan
antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip
yang mendasari manajemen keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang
teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak
dasar terhadap pemerintah, yaitu (Mardiasmo, 2002):
<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]--> Hak untuk mengetahui (right to know),
yaitu:
Mengetahui kebijakan pemerintah.
Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.
Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan
keputusan tertentu.
<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Hak untuk diberi informasi (right to be
informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas
permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.
<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]--> Hak untuk didengar aspirasinya (right to be
heard and to be listened to).
Dalam upaya
pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002):
- Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
- Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
- Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya.
- Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
- Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
- Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
- Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
- Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
- Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
- Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran
daerah yang diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:
- Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
- Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
- Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
- Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
- Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
Anggaran
Daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk
memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for
money.
Sebagai sebuah sistem, perencanaan anggaran negara telah
mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran negara pada saat ini
telah mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan dinamika manajemen
sektor publik dan tuntutan yang muncul di masyarakat, yaitu sistem penganggaran
dengan pendekatan New Public Management (NPM).
Munculnya konsep New Public Management (NPM) berpengaruh
langsung terhadap konsep anggaran negara pada umumnya. Salah satu pengaruh itu
adalah terjadinya perubahan sistem anggaran dari model anggaran tradisional
menjadi anggaran yang lebih berorientasi pada kinerja. Kinerja adalah gambaran
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006:274). Setiap kegiatan
organisasi harus diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan visi dan misi
organisasi. Produk dan jasa akan kehilangan nilai apabila kontribusi produk dan
jasa tersebut tidak dikaitkan dengan pencapaian visi dan misi organisasi.
Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan
perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu
atau beberapa periode mendatang. Anggaran sektor publik adalah rencana kegiatan
dan keuangan periodik (biasanya dalam periode tahunan) yang berisi program dan
kegiatan dan jumlah dana yang diperoleh (penerimaan/pendapatan) dan dibutuhkan
(pengeluaran/belanja) dalam rangka mencapai tujuan organisasi publik.
Sedangkan Penganggaran (budgeting) merupakan
aktifitas mengalokasikan sumberdaya keuangan yang terbatas untuk pembiayaan
belanja organisasi yang cenderung tidak terbatas. Penganggaran Berbasis Kinerja
merupakan sistem penganggaran yang
berorientasi pada ‘output’ organisasi dan berkaitan sangat erat dengan
visi, misi dan rencana strategis organisasi. Ciri utama Performance Based
Budgeting adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan
antara pendanaan (input) dan hasil yang diharapkan (outcomes),
sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan efisiensi kegiatan.
Sistem penganggaran yang berbasis kinerja (Performance
Based Budgeting) merupakan sistem yang saat ini berkembang pesat dan banyak
dipakai oleh negara-negara maju di dunia sebagai pengganti sistem penganggaran
lama yaitu sistem Line Item Budgeting. Dalam sistem Line Item Budgeting penekanan
utama adalah terhadap input, di mana perubahan terletak pada jumlah anggaran
yang meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan kurang menekankan pada output
yang hendak dicapai dan kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan yang
ditetapkan secara nasional.
Penyusunan
anggaran dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja yang ditekankan
adalah berbagai segi yang akan dicapai (output), seperti pembangunan sosial
ekonomi dan aspek fisik yang terukur dengan jelas. Ditekankan pula segi-segi
fungsional dari masing-masing lembaga/departemen, pengelompokan setiap kegiatan
proyek yang berorientasi pada pengendalian anggaran dan menekankan pula pada
efisiensi pelaksanaan program.
Dengan
dilaksanakannya otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, maka
dilaksanakan pula perubahan pengelolaan keuangan daerah, melalui reformasi
anggaran yaitu dari sistem anggaran tradisional (traditional budgeting) ke performance
budget.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan
perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut:
1.
Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif
jangka menengah
Pendekatan
dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh,
meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran,
mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih
rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada
perguruan tinggi dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
Dengan
melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa yang
akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai
inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama,
harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks
keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. Cara ini juga memberikan peluang
untuk melakukan analisis apakah perguruan tinggi perlu melakukan perubahan
terhadap kebijakan yang ada, termasuk menghentikan program-program yang tidak
efektif, agar kebijakan-kebijakan baru dapat diakomodasikan.
2.
Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan perguruan tinggi disusun secara terpadu,
termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja
pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian
upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan
memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam
kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat
penting untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat
investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
3.
Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari
pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung
perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan
memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka
menengah. Rencana kerja dan anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi
kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan
perguruan tinggi harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah
ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Performance budgeting adalah
teknik anggaran yang mengikuti pendekatan New
Public Management, yang berfokus pada manajemen sektor publik yang
berorintasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan. Hal ini menimbulkan
beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk
melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost
cutting), dan kompetisi tender. NPM memberikan perubahan manajemen sektor
publik yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku,
birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel
dan lebih mengakomodasi pasar.
Anggaran
kinerja adalah sebuh sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapian hasil
kerja atau output dari alokasi biaya atau input yang ditetapkan. anggaran
berbasis kinerja juga dapat dimengerti sebagai hasil penganggaran yang
mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil
dari keluaran tersbut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target
kinerja pada setiap unit kerja.
Penganggaran
berbasis kinerja merupakan metode perencanaan penganggaran bagi manajemen untuk
mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan
keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil
dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target
kinerja pada setiap unit kerja. Sedangkan bagaimana tujuan itu dicapai,
dituangkan dalam program, diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat
pencapaian tujuan.
BAB. IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam
menghadapi era global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan
kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun,
sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Sejalan dengan itu, Pemerintah
Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal.
Penyusunan
anggaran dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budget ) yang ditekankan
adalah berbagai segi yang akan dicapai (output), seperti pembangunan sosial
ekonomi dan aspek fisik yang terukur dengan jelas. Ditekankan pula segi-segi
fungsional dari masing-masing lembaga/departemen, pengelompokan setiap kegiatan
proyek yang berorientasi pada pengendalian anggaran dan menekankan pula pada
efisiensi pelaksanaan program.
B. REKOMENDASI
Dalam Perencanaan/Penyusunan Anggaran Belanja
dan Pendapatan Daerah sebaiknya pemerintah darah tidak menggunakan sistem traditional budget tetapi sebaiknya
menggunakan sistem performance
budget (berbasis kinerja).
DAFTAR PUSTAKA
Bahrullah Akbar
(2002) Fungsi Manajemen Keuangan, Boklet Publikasi BPK, No.87
Bulan Oktober, Jakarta, BPK.
Departemen Dalam Negeri Indonesia, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006,
Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Kementrian Dalam
Negeri Republik Indonesia dan Bank Dunia (2005)
Indonesia Manajemen Keuangan Pemerintah Daerah Suatu Kerangka Kerja
Pengukuran makalah pada Workshop A Measurenment Framework Public Financial
Management, 28-29 Agustus, Bali
Mardiasmo (2002) Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah, makalah pada Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat,
Krisis Moneter Indonesia, 7 Mei , Jakarta.
Mardiasmo , 2004, Manajemen Keuangan Daerah,
Andi Offset, Yogyakarta
Pemerintah Republik Indonesia,2004, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Public Institute Dialog,
Jakarta
Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Public
Institute Dialog, Jakarta
T
tenks mas informasinya...
BalasHapusArtikelnya sangat mendalam. Terima kasih ....
BalasHapusKABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.